FATWA-FATWA PENTING SEPUTAR ASYURA

on Sabtu, 05 Desember 2009

Oleh: Redaksi Assalafy.org


Hukum Bersandar Pada Kalender dalam Penentuan Shiyâm (Puasa) Hari ‘Asyûra (10 Muharram).

Pertanyaan : Saya seorang pemuda yang telah diberi hidayah oleh Allah dengan cahaya Al-Haq. Saya ingin melaksanakan Shiyâm ‘âsyûrâ` dan semua shiyâm pada hari-hari yang utama di luar Ramadhân. Apakah boleh terkait dengan shiyâm ‘âsyûra` saya bersandar pada kalender dalam penentuan masuknya bulan Muharram, ataukah berhati-hati dengan cara bershaum sehari sebelum dan sesudah itu lebih utama? Jazâkumullâh Khairan.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Tetap wajib atasmu untuk bersandar kepada ru’yatul hilâl. Namun ketika tidak ada ketetapan ru`yah maka engkau menempuh cara ihtiyâth, yaitu dengan menyempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

[diterbitkan di majalah Ad-Da’wah edisi 1687 tanggal 29 / 12 / 1419 H. lihat Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/402, fatwa no. 157 ]

===

Hukum Memperhatikan Hilâl Tanda Masuknya Bulan Muharram

Pertanyaan : Banyak dari kaum muslimin yang bershaum (berpuasa) pada hari ‘âsyûrâ` dan benar-benar mementingkannya karena mereka mendengar dari para da’i tentang dalil-dalil yang memberikan motivasi dan dorongan untuk mengamalkannya. Maka kenapa umat tidak diarahkan untuk benar-benar memperhatikan hilâl Muharram, sehingga kaum muslimin mengetahui (masuknya bulan Muharram) setelah disiarkan atau disebarkan melalui berbagai media massa?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Shiyâm para hari ‘Âsyûrâ` merupakan ibadah sunnah yang disukai bershaum padanya. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut demikian juga para shahabat juga bershaum pada hari tersebut, dan sebelumnya Nabi Musa ‘alaihissalam juga bershaum pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah, karena hari tersebut (10 Muharram) merupakan hari yang Allah menyelamatkan Nabi Musa u dan kaumnya, serta Allah binasakan Fir’aun dan kaumnya. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil bershaum pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bershaum juga pada hari itu dalam rangka bersyukur kepada Allah dan mencontoh Nabiyullâh Musa. Dulu kaum jahiliyyah juga biasa bershaum pada hari itu.

Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menekankan shaum tersebut kepada umat ini. Kemudian ketika Allah menurunkan kewajiban shaum Ramadhan, maka beliau bersabda : “Barangsiapa yang mau silakan bershaum pada hari itu, barangsiapa yang mau boleh meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhâri 5402, Muslim 1125]

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa-dosa setahun sebelumnya. Yang utama adalah dengan diiringi bershaum sehari sebelum atau sesudahnya, dalam rangka menyelisihi kaum Yahudi, karena Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad] dalam riwayat lain dengan lafazh : “Bershaumlah kalian sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

Jadi kalau diiringi dengan bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bershaum pada hari sebelumnya dan sehari setelahnya, yakini bershaum tiga hari sekaligus (9, 10, 11 Muharram) maka itu semua adalah bagus, dan padanya terdapat penyelisihan terhadap musuh-musuh Allah.

Adapun berupaya mencari kepastian malam ‘âsyûrâ`, maka itu merupakan perkara yang tidak harus. Karena shaum tersebut adalah nâfilah bukan kewajiban. Maka tidak harus mengajak untuk memperhatikan hilâl (Muharram). Karena seorang mukmin kalau dia keliru, sehingga ternyata dia bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya maka itu tidak memadharatkannya. Dia tetap mendapat pahala yang besar. Oleh karena itu tidak wajib untuk memperhatikan masuknya bulan (Muharram) dalam rangka itu (shaum), karena shaum tersebut hanya nâfilah saja.

[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/401 - 402, fatwa no. 156 ]

===

Apakah Harus mengqadha` Shaum ‘Asyura yang Terlewatkan

Pertanyaan : “Barangsiapa yang tiba hari ‘Asyura dalam keadaan haidh, apakah dia harus mengqadha’nya? Apakah ada qaidah yang menjelaskan mana dari puasa nafilah yang harus diqadha` dan mana yang tidak? Jazakallah Khairan.

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :

Ibadah Nafilah ada dua jenis : Jenis yang ada sebabnya, dan jenis yang tidak ada sebabnya. Nafilah yang ada sebabnya, maka dia tidak ada jika sebabnya tidak ada, dan tidak perlu diqadha`. Contohnya shalat tahiyyatul masjid. Jika seseorang datang ke masjid langsung duduk dan duduknya tersebut sudah berlangsung lama, kemudian ia hendak melakukan shalat tahiyyatul masjid. Maka shalat yang ia lakukan bukanlah shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tersebut memiliki sebab, terkait dengan sebab. Jika sebabnya hilang, maka hilang pula pensyari’atannya.

Termasuk dalam jenis ini pula -yang tampak- adalah shaum hari ‘Arafah dan shaum hari ‘Asyura. Apabila seseorang tertinggal dari shaum ‘Arafah dan shaum ‘Asyura` tanpa ada udzur, maka tidak diragukan lagi ia tidak perlu mengqadha`, dan tidak ada manfaatnya kalau pun dia mengqadha`. Adapun jika terlewat pada seseorang (puasa tersebut) dalam kondisi dia ada ‘udzur, seperti perempuan haidh, nifas, atau orang sakit, maka dia juga tidak perlu mengqadha`. Karena itu khusus pada hari tertentu, hukumnya hilang dengan berlalunya hari tersebut.

[Liqa’atil Babil Maftuh]

===

Hukum Melakukan Shaum Nafilah Bagi Orang yang Masih Punya Hutang Shaum Ramadhan

Pertanyaan : Apa hukum melaksanakan shaum sunnah, -seperti shaum 6 hari bulan Syawwal, shaum 10 pertama bulan Dzulhijjah, dan shaum ‘Asyura-, bagi seorang yang memiliki hutang Ramadhan yang belum ia bayar?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Yang wajib bagi seorang yang memiliki hutang qadha` Ramadhan untuk mendahulukan qadha` sebelum ia melakukan shaum Nafilah. Karena ibadah wajib lebih penting daripada ibadah nafilah, menurut pendapat yang paling benar di antara berbagai pendapat para ‘ulama.

[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/394-395, fatwa no. 152 ]

===

Hukum Bergembira atau Bersedih Pada Hari ‘Asyura

Apakah boleh menampakkan kegembiraan, atau sebaliknya menampakkan kesedihan pada hari ‘Asyura?

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Adapun hari ‘Asyura`, sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang shaum pada hari itu, maka beliau menjawab : “Menghapuskan dosa setahun yang telah lewat.” Yakni tahun sebelumnya. Tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id). Sebagaimana pada hari tersebut tidak ada sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id), maka juga tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar kesedihan. Maka menampakkan kesedihan atau kegembiraan, keduanya sama-sama menyelisihi sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tentang hari ‘Asyura tersebut kecuali melakukan shaum, di samping juga beliau shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bershaum juga sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya agar kita berbeda dengan Yahudi yang mereka biasa bershaum pada hari itu saja.”

[Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin II/231]

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=295)

IBUNDA....TERSENYUMLAH....TERTAWALAH



Saat kita masih dalam buaian, dengan bersimbah keringat dan badan pegal-pegal, ibu bisa berjam-jam menggendong kita hanya agar jerit tangis terhenti, agar membias senyuman indah di bibir kita. Kala itu, rasa pegal-pegal di bagian punggungnya atau rasa sakit di pinggang dan lehernya, sudah tidak dirasakan lagi. Senyuman kita, bagi seorang ibu, adalah hadiah mahal yang mau dia bayar dengan apapun juga.

Saat usia sudah mulai menggerogoti kekuatan fisik seorang ibu, teronggaklah dia menjadi orang tua yang serba pasrah menerima segalanya. Ia hanya terus berharap, agar segala upayanya selama ini tidak sia-sia. Agar anaknya bisa hidup berbahagia lebih beruntung dari dirinya. Meski demikian, tali kasih itu ternyata tidak pernah terputus. Dengan merangkak pun dia siap, untuk mendatangi kediaman anaknya yang amat jauh, demi berkesempatan melihat wajah anaknya yang ceria, demi memastikan bahwa anaknya itu masih baik-baik saja.

Dengan realitas itu seorang anak harus sedikit tahu diri. Ia sudah sepatutnya bekerja keras untuk dapat membahagiakan orang tuanya, terutama sang ibu, sebagaimana ibunya telah berusaha membahagiakannya. Seorang ibu mungkin tidak pernah mengharapkan apa-apa. Namun lubuk hatinya, teramat membutuhkan siraman kebahagiaan melalui tawa dan canda.

“Abdulah bin Amru, suatu hari datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, ‘Duhai Rasulullah! Aku sangat ingin berhijrah bersamamu. Namun tadi, aku meninggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis. Apa yang harus kulakukan’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Pulanglah. Buatlah mereka tertawa, sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya II: 63, Abu Dawud II: 17, Ibnu Majah II: 930, dan Ahmad I: 160)

Berupayalah untuk membuat sang ibu tertawa bahagia. Umumnya, pekerjaan itu hanya membutuhkan secercah keikhlasan. Sepucuk surat yang memuat doa hangat, sapaan santun dan sedikit basa-basi menceritakan kabar-kabar terkini sang anak, sudah cukup untuk membuat ibu menyunggingkan senyuman,bahkan terkadang, memaksanya meneteskan airmata haru.

Berupayalah untuk membuat sang ibu tertawa berbahagia. Bisa jadi, terkadang kita harus merelakan biaya cukup besar dikuras dari kantong kita, hanya untuk bisa berjumpa dengan sang ibu. Bahkan, waktu berjam-jam mungkin malah berhari-hari, harus kita habiskan di perjalanan menuju kediamannya. Tapi sadarlah, bahwa kebahagiaan sang ibu adalah kebahagiaan kita juga. Sebesar apapun biaya itu tetap tak ada nilainya, bila dibandingkan doa tulus yang keluar dari mulutnya, ‘Mudah-mudahan, kamu murah rezeki.’

Duhg, dentuman keras seperti membelah jantung, saat kita sadar, bahwa doa itu keluar dari mulut wanita agung yang bukan lebih berkecukupan dibandingkan kita, yang selayaknya doa itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri, atau justru keluar dari mulut kita untuk si ibu yang terkasih. Tapi, tampaknya luapan kasihnya yang tidak terbentung, membuatnya mampu untuk lebih enteng mengucapkan doa mulia tersebut, ketimbang kita…

Berupayalah untuk membuat sang ibu tersenyum bahagia. Di hari-hari tua itu mereka akan sangat membutuhkan hiburan kita.

Surat untuk Ibu:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ibunda. Maafkan kami, bila kurang mengisi hari-harimu dengan tawa.

Maafkan kami, bila kurang mampu membuatmu berbahagia.

Bahkan kami pun tahu, banyak tindakan dan ucapan kami yang telah membuat hatimu terluka. Demi Allah, kami menyesali semua itu. Tertawalah bunda, agar hari-hari kami pun menjadi semakin ceria..


[Disarikan dari buku Sutra Kasih Ibunda karya Ustadz Abu Umar Basyir]

http://hi-in.facebook.com/notes.php?subj=574948373

SHAUM (PUASA) ASYURA

Oleh: Redaksi Assalafy.org

SHAUM ‘ÂSYÛRÂ`

Hukum, Keutamaan, Sejarah, dan Cara Pelaksanaannya

Shaum ‘âsyûrâ` adalah shaum (puasa) hari âsyûrâ`, yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Shaum pada hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shaum pada hari Asyura`, maka beliau menjawab :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

“(Shaum tersebut) menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim 1162)

Shaum ini merupakan shaum sunnah. Dulu Nabi shalallahu’alaihi wa sallam biasa melakukannya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mu`minin Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُهُ.

“Dulu kaum Quraisy biasa bershaum hari ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga terbiasa bershaum pada hari tersebut (yakni sebelum beliau berhijrah ke Madinah).” [HR. Al-Bukhâri 2002, Muslim 1125]

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah berhijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah ternyata juga bershaum pada hari tersebut. Maka beliau bertanya kepada mereka. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ r « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r : « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ r وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapat Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya (kepada mereka) : “Hari apakah ini yang kalian bershaum padanya?” Maka mereka menjawab : “Ini merupakan hari yang agung, yaitu pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun bersama kaumnya. Maka Musa bershaum pada hari tersebut dalam rangka bersyukur (kepada Allah). Maka kami pun bershaum pada hari tersebut” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari tersebut. [HR. Al-Bukhari 2004, 3397, 3943, 4680, 4737. Muslim 1130]

Maka awal setiba beliau di Madinah, beliau memerintahkan para shahabatnya untuk melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura. Bahkan menjadi shaum wajib bagi kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Dulu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari ‘Asyura. Namun ketika diwajibkan shaum Ramadhan, maka jadilah bagi siapa yang mau boleh bershaum (’Asyura`) dan barangsiapa yang mau boleh juga tidak bershaum.” [Al-Bukhari 2001, Muslim 1125]

Kewajiban tersebut diperkuat dengan adanya seruan umum atas perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam , sebagaimana dikisahkan oleh Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu :

أَمَرَ النَّبِىُّ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِى النَّاسِ « أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ ، فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ »

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia : “Bahwa barangsiapa yang telah terlanjur makan, maka hendaknya ia bershaum pada sisa hari tersebut. Barangsiapa yang masih belum makan, hendaknya ia bershaum. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyura` “. [HR. Al-Bukhari 2007, Muslim 1135]

Demikianlah, pada awal mula hijriah shaum ‘Asyura` merupakan kewajiban atas kaum muslimin.

Namun kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan turunnya perintah shaum Ramadhan. Hal ini berdasarkan penegasan shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma :

صَامَ النَّبِىُّ r عَاشُورَاءَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ

“Nabi shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shaum ‘Asyura, dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum juga pada hari tersebut. Namun ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka (shaum ‘Asyura) ditinggalkan.” [HR. Al-Bukhari no. 1892]

Juga sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ ، فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ

“Ketika turun perintah shaum Ramadhan, maka shaum Ramadhan menjadi kewajiban, dan ditinggalkanlah (kewajiban) shaum ‘Asyura`. Jadinya barangsiapa yang mau boleh bershaum pada hari tersebut dan barangsiapa yang mau boleh tidak bershaum pada hari tersebut” [HR. Al-Bukhari 4504]

Maka dihapuslah kewajiban shaum ‘Asyura`, dan hukumnya berubah menjadi mustahab (tidak wajib).

Namun dalam pelaksanaanya, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak suka kalau hanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram saja. Beliau menginginkan untuk berbeda dan menyelisihi kaum Yahudi yang juga punya kebiasaan bershaum ‘Asyura`. Maka beliau menginginkan untuk melaksanakannya pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ».

قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ r.

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk bershaum pada hari itu, para shahabat shahabat berkata : “Itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bila tiba tahun depan Insya Allah kita (juga) akan bershaum pada hari ke-9 (bulan Muharram).”

Ibnu ‘Abbas berkata : Namun belum sampai tahun depan kecuali Nabi shalallahu’alaihi wa sallam telah wafat terlebih dahulu. [HR. Muslim no. 1134]

Oleh karena itu shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menegaskan :

صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ.

“Bershaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, selisihilah kaum Yahudi!” [HR. ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf­- nya 7839, Al-Baihaqi IV/287. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya di bawah hadits no. 755]

Dalam riwayat lain, disebutkan agar bershaum pada tanggal 9 dan 10, atau 10 dan 11, atau 9, 10, 11.

« صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »

“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا »

“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” [HR. Al-Baihaq IV/287]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Namun tentang kedudukan hadits tersebut, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya dha’if (lemah). Karena adanya perawi yang lemah, yaitu Ibnu Abi Laila. Dia adalah perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Abi Laila yang jelek hafalannya ini meriwayatkan hadits tersebut secara marfu’ (sampai kepada Nabi), yang riwayatnya tersebut berbeda dengan riwayat perawi lain yang lebih kuat hafalannya, yaitu ‘Atha` dan lainnya, yang mereka meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya ucapan) shahabat Ibnu ‘Abbas. Riwayat yang mauquf ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi. Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah no. 2095.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :

“Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.

- bershaum pada hari ke-9 dan ke-10 ini yang paling utama.

- kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah mencukupi, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.

- kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka tidak mengapa. Berdasarkan sebagian riwayat : “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

- Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka makruh.”

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/403, fatwa no. 158]

Jadi, yang paling utama adalah shaum hari ke-9 dan ke-10.

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim (dalam Zadul Ma’ad II/76) dan Al-Hafizh (dalam Fathul Bari).

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :

“Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan :

Tingkat Pertama : bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad : Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.” Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.

Tingkat Kedua : bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.

Tingkat Ketiga : bershaum pada tanggal 10 dan 11.

Tingkat Keempat : bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh.

Yang berpendapat hukumnya mubah berdalil dengan keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9.

Sementara yang berpendapat hukumnya makruh berdalil dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain, “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.”

[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja? Maka lembaga tersebut menjawab :

“Boleh melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja. Namun yang afdhal (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Yakni bersama hari ke-10.”

Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` X/401, fatwa no. 13.700]

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=294)

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM

Oleh: Redaksi Assalafy.org

.: :.
بسم الله الرحمن الرحيم

HUKUM MEMPERINGATI

TAHUN BARU ISLAM

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 - 1 - 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=290)

BULAN MUHARRAM BUKAN BULAN SIAL

Oleh: Redaksi Assalafy.org


“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?

Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.

Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?

Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.

Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran.
Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)

Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)

Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)

Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)

Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)

Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?

Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.

Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)

Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:

الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ

“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)

Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.

Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)

Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.

Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.

Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:

هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.

Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=31)

DIALOG SEPUTAR JENGGOT

Penulis Asy-Syaikh 'Abdul Karim al-Juhaiman



Segala puji untuk Alloh atas segala nikmat-Nya. Sholawat dan Salam untuk Makhluknya yang paling mulia dan penutup para Nabi, Muhammad dan para Keluarga, dan Shahabat beliau.

Di Zaman ini telah tersebar salah satu jenis mode banci yang disebut mencukur jenggot. Sebuah kebetulan yang sangat indah, duduk di sebuah majelis dua orang yang saling berlawanan (kisah nyata). Yang satu adalah orang yang Alloh karuniai jenggot yang menawan, sekaligus ciri kejantanan yang jelas. Dia merawatnya, bangga dengannya, bahkan menganggap hal itu sebagai sebuah kemuliaan. Sedangkan orang kedua adalah orang yang memusuhi dan membenci dengan ciri ini. Oleh karena itu, jenggotnya dia cukur habis dengan pisau cukur. Dari lubuk hatinya yangpaling dalam dia bercita-cita meski konyol, anda dia mampu mencabuti rambut tersebut satu per satu dari akar-akarnya, tentu akan dia lakukan agar wajahnya tetap mulus bersih dari rambut-rambut tersebut, sehingga wajahnya halus tanpa jenggot seperti wajah seorang gadis.

Dua orang yang bisa dinilai sebagai dua orang yang bermusuhan ini bertatap muka. Keduanya lalu membawakan alasannya masing-masing demi membela kebiasaannya. Berikut ini dialog yang terjadi dengan sedikit diringkas.

Pemilik jenggot (Selanjutnya disebut J) :
(Sambil berisyarat kepada lawan bicaranya) Mengapa setiap pagi dan petang kulihat kau bersusah-payah menghilangkan rambut-rambut itu seakan-akan Alloh membebanimu dengan sebuah perintah untuk menghilangkannya. Tidak, bahkan aku yakin andai kau benar-benar diperintahkan untuk melakukannya tentu engkau akan malas dan menganggapnya sebagai pekerjaan berat dan beban yang sudah melewati batas.

Orang yang mencukur jenggot (selanjutnya disebut AJ) :
Apa urusanmu dengan rambut-rambut ini. Mau kucukur atau kubiarkan ini kan jenggot-jenggotku sendiri yang bisa kuperlakukan semauku sendiri. Subhanalloh!! Jenggot-jenggotku sendiri ingin kau atur-atur juga!

J : Tenang Wahai Saudaraku! Mengapa pakai emosi segala! Kita ingin berdialog dalam suasana penuh kejernihan dan rasa cinta. Sampaikan alasanmu akan kusampaikan alasanku. Mari berdialog namun kita semua harus berprinsip bahwa tujuan kita adalah mencari kebenaran. Kebenaran itulah yang kita cari bersama. Kita akan mengambil kebenaran itu di mana saja kebenaran itu ada. Tidakkah kau setuju dengan persyaratan ini?

AJ :Ya, Aku setuju. Akan tetapi, apa yang akan kau sampaikan sehingga aku bisa mengutarakan pendapatku?

J : Jika demikian, mari kita kembali kepada pernyataan yang kau sampaikan. Tadi kau bilang bahwa jenggot itu adalah jenggot-jenggotmu sendiri terserah mau kau apakan. Ya, memang itu merupakan jenggotmu sendiri, tetapi terserah mau kau apakan itu tidak benar.

AJ : (emosi, marah-marah, hendak bangkit, hampir saja kemarahannya meledak)

J : Jangan tergesa-gesa , santailah tunggu sampai aku menyelesaikan jawabanku, baru setelah itu kau bisa berkomentar sesuai dengan yang kau inginkan. Salah satu kateristik dan ciri umat khas ini adalah Alloh jadikan sebagai umat yang beramar ma'ruf dan nahi mungkar. "Kalian adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk manusia. Kalian beramar ma'ruf dan nahi munkar." (Qs. Ali 'Imron: 110) Muhammad Shalallohu 'alayhi wasalam, pemimpin seluruh manusia bersabda, "Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka dengan lisannya. Bila tidak mampu dengan hatinya." (HR. Muslim) Kita sebagai umat Islam seharusnya seperti jasad. Sebagian tubuh merasa sakit karena bagian tubuh yang lain. Kita nilai kebaikan orang lain sebagaimana kita juga menilai kejelekan orang tersebut. Bukankah demikian?

AJ : (dengan roman muka terpaksa) Ya.

J : Selama kau akui hal tersebut maka kukatakan kepadamu bahwa mencukur jenggot itu termasuk kemungkaran. Aku berkeyakinan bahwa ikatan persaudaraan seagama mengharuskanku untuk mengingatkan hal tersebut.

AJ : (dengan suara tercekik yang menunjukan ketidakberdayaan) Rambut-rambut ini hanya sejenis kotoran. Di dalamnya terdapat beragam mikrobakteri. Menghilangakan rambut-rambut tersebut termasuk ajaran kebersihan dalam agama kita. Padalah Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam bersabda, "Kebersihan itu sebagian dari iman."

J : (dengan penuh percaya diri dan yakin akan menang) Aku rela menyerahkan hukum kepada orang yang bersabda, "kebersihan itu sebagian dari iman." Apakah kau juga rela melakukan hal serupa?

AJ : (dengan sedikit bimbang) Ya.

J : Jika demikian, mari kita perhatikan orang yang bersabda, "Kebersihan itu sebagian dari iman." Andai hadits tersebut benar-benar shohih, mari kita cermati apakah beliau mencukur jenggotnya? Apakah beliau pangkas habis dengan pisau cukur setiap pagi dan petang dengan anggapan bahwa hal itu termasuk kebersihan yang beliau anjurkan kepada umatnya, sebagaimana pradugamu? Ataukah beliau malah membiarkannya dan memerintahkan untuk membiarkannya?

AJ : (nampak jelas tanda-tanda kebingungan yang menunjukan kalau dia telah melakukan sebuah kesalahan)

J : Terdapat keterangan yang jelas dari Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam yang tidak diragukan dan tidak bisa diotak-atik lagi, bahwa beliau memiliki jenggot dengan rambut yang lebat. Beliau bahkan memerintahkan agar dibiarkan untuk menyelisihi orang-orang musyrik.

AJ : (dengan wajah masam seolah merasa terpojok) Tinggalkanlah ucapan seperti itu. Setiap zaman memiliki akhlaq dan tradisi berbeda. Dalam hal ini acuannya adalah perasaan dan hal ini sama sekali bukan wilayah agama. Setiap orang boleh berbuat sebagaimana kehendak perasaannya dan hal yang dimantapi oleh hatinya. Biarkanlah aku mengikuti perasaanku dan pergilah engkau mengikuti perasaanmu. Aku tidak mau mengikutimu!

J : Subhanalloh, kau katakan acuan dalam masalah ini adalah perasaan dan hal ini bukan merupakan wilayah agama? Benar-benar mengherankan. Bisa-bisanya kau tidak mengetahui perkara ini dalam syariat. Aku ingin bertanya, jawablah demi Robb-mu. Apa sih Agama itu?

AJ : (bingung lantas terdiam, kemudian memandang J seolah bertanya)

J : Bukankah agama adalah yang terdapat di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah Nabi Shalallohu 'alayhi wasalam yang shohih?

AJ : (menganggukkan kepala)

J : Jika demikian mari kita renungkan, apakah terdapat keterangan dari Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam mengenai hal ini atau tidak?

AJ : Ya, carilah lalu sampaikan keterangan dari Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam kepadaku!

J : Dengan senang hati, namun izinkanlah aku menyampaikan sebuah pengantar sebelum membawakan berbagai dalil.

AJ : Silakan.

J : Hadits dari Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam berkenaan dengan hal ini hampir sampai derajatnya mutawatir atau bahkan telah sampai derajat mutawatir. Aku yakin tentu kau ingin tahu hikmah yang terkandung dalam larangan mencukur jenggot. Dalam syariat Nabi shalallohu 'alayhi wasalam seringkali memerintahkan menyelisihi orang-orang musyrik. Tahukah engkau mengapa seperti itu?

AJ : Tidak tahu.

J : Menyelisihi orang-orang musyrik merupakan salah satu tujuan syariat karena serupa secara lahir akan menyebabkan dan menghasilkan serupa secara batin. Secara umum, seorang muslim hendaknya menyelisihi orang musyrik dalam masalah agama, tradisi, akhlaq, dll. Aku yakin sekarang kau ingin mengetahui dalil-dalil dari Rosululloh shalallohu 'alayhi wasalam mengenai masalah ini.

AJ : (dengan suara mengejar) Ya, hilang sudah kesabaranku. Aku telah rindu untuk mengetahui dalil-dalil yang kau janjikan semenjak tadi.

J : Bila demikian, inilah sebagian dalil-dalil tersebut. Nabi Shalallohu 'alayhi wasalam bersabda,

"Selisihilah orang-orang Musyrik, lebatkanlah jenggot, dan pangkaslah kumis." (HR. Bukhori dan Muslim)

"Selisihilah orang-orang Majusi karena mereka memendekkan jenggot dan memanjangkan kumis." (HR. Muslim)

"Dari Ibnu 'Umar rodhiallohu 'anhuma, beliau berkata, "Kami diperintahkan untuk mencukur kumis dan melebatkan jenggot."" (HR. Muslim)

Salah satu ciri fisik Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam adalah memiliki rambut jenggot yang lebat. (HR. Muslim)

Sedangkan Alloh berfirman,
"Sungguh, dalam diri Rosululloh terdapat suri teladan yang baik." (Qs. Al-Ahzab: 21)

Dan masih banyak lagi dalil berupa hadits dari Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam berkaitan dengan hal ini. Lihatlah, Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam membiarkan jenggotnya, beliau memerintahkan umatnya untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan majusi dengan memangkas kumis dan memelihara jenggot, karena menyelisihi orang musyrik --sebagaimana tadi telah kami sampaikan-- merupakan salah satu tujuan syariat. Sebab, menyerupai orang musyrik secara lahir akan menyebabkan timbulnya rasa cinta dalam hati, sebagaimana rasa cinta dalam hati menyebabkan keinginan menyerupainya secara lahir. Dengan penjelasan ini, tidakkah sekarang jelas bahwa perkara ini tidak sebagaimana yang telah kau utarakan, yaitu urusan jenggot adalah urusan perasaan dan bukan wilayah agama? Apakah sekarang kau bisa mengetahui kerancuan dan titik lemah pendapatmu dan kebenaran ada pada pihak kami?

AJ : (setelah berpikir dalam-dalam) Sekarang memang tidak ragu lagi bahwa pendapatmu memang benar. Akan tetapi, aku mempunyai alasan yang ingin kuutarakan kepadamu. Orang-orang di lingkunganku suka mengolok-olok dan merendahkan orang yang berjenggot. Mereka memandang remeh dan hina terhadap orang yang berjenggot. Aku yakin kau pernah mendengar untaian syair:

Andaikan Jenggot ini Ganja
Lalu jadi Pakan Kuda-kuda Umat Islam...

Bait syair di atas menyebabkan orang-orang yang berjenggot naik pitam. Mereka sampaikan bait di atas di hadapan orang banyak. Oleh karena itu, aku sekarang yakin bahwa memelihara jenggot adalah hal yang benar dan utama. Akan tetapi, aku t idak mampu melakukannya.

J : Keyakinanmu itu memang benar, tetapi ketidakberdayaanmu melakukannya tidak memberikan manfaat kepadamu. Bahkan, orang yang tidak tahu lebih baik daripada dirimu. Hal itu karena tidak ada gunanya kita mengetahui kebenaran sesuatu bila tidak disertai pengamalan.

AJ : Selama aku masih mengetahui hal itu benar --aku tidak menerapkannya karena suatu sebab, aku meninggalkannya karena beralasan-- tidakkah hal itu bisa dijadikan alasan untukku?

J : Tidak, engkau tidak memiliki alasan, peganglah tanganku agar kutunjukkan bahwa pendapat yang tepat dan benar adalah pendapatku. paman Nabi, Abu Tholib, paman bagi pemimpin seluruh manusia yaitu Muhammad Shalallohu 'alayhi wasalam. Dia membela Rosululloh Shalallohu 'alayhi wasalam dengan lisan dan fisik. Segalanya dia korbankan untuk menolong Nabi. Di samping itu beliau mengakui bahwa agama yang dibawa oleh keponakannya itu benar. Lawan dari kebenaran adalah kesesatan. Dalam sebuah qosidah Abu Tholib bersenandung,

Sungguh kutahu bahwa agama Muhammad Shalallohu 'alayhi wasalam
adalah sebaik-baik agama seluruh makhluq
Andai tidak karena celaan atau takut cacian
Sungguh kau dapat menyaksikan aku menerimanya

Abu Tholib sendiri menyatakan bahwa dia tidak mengikuti agama yang dia yakini kebenarannya hanya karena takut celaan dan cacian, seperti dalam kasus anda mencukur jenggot. Meski demikian Abu Tholib termasuk penghuni neraka sebagaimana tersebut dalam al-Qur'an dan Sunnah Rosul. Pengetahuan Abu Tholib mengenai kebenaran tidaklah berguna karena tidak diiringi dengan amal.



AJ : (berdiri lalu menjabat tangan lawan bicaranya sebagaimana jabat tangan seorang teman terhadap temannya. Dia lalu berkata dengan nada penuh ketulusan dan persaudaraan) Sekarang kusadari bahwa kebenaran itu bersamamu. Dadaku telah lapang untuk menerima pendapatmu. Sejak detik ini aku akan menjadi orang yang berjenggot, orang yang memelihara jenggot karena menganggapnya sebagai sebuah kemuliaan dan mempertahankannya sebagai pembeda dan ciri khas. Kuanggap pertemuan kita saat ini merupakan pertemuan yang paling membahagiakan. Ucapanmu akan kujadikan senjata terhadap orang-orang yang ingin menghilangkan ciri khas kelelakian dari para pemuda dan senjata terhadap orang-orang tanpa sadar menyelisihi agamanya.

J : Sebelum kita berpisah aku ingin menyampaikan sebuah nasihat berharga dan kenyataan yang ada. Kita kaum muslim, pada zaman ini mengalami kelemahan pada segenap sisi. Kita lemah dalam aspek agama, moral, finansial, industri, dan fisik badan. Kita menginginkan masa depan yang gemilang, memiliki 'izzah (kemuliaan), dan kekuatan yang luas. Jika kita menginginkan itu semua, seyogyanya kita kuatkan diri kita dalam seluruh aspek. Salah satu di antaranya adalah fisik badan. Menguatkan fisik badan tidak menuntut sesuatu yang memberatkan. Kita hanya dituntut untuk tidak cenderung pada kelembutan dan kita dituntut untuk meninggalkan kecenderungan yang membawa kepada sikap lemah-lembut seperti perempuan. Kita harus memberikan perhatian untuk menggunakan makanan, minuman, pakaian, dll. yang cenderung kasar. Salah satu pemicu timbulnya rasa malu adalah adanya beberapa tokoh yang hendak melenyapkan ciri khas kelelakian dari para pemuda dengan bentuk0bentuk KEWARIAAN, lembut, lunak, dan mudah sedih, sehingga jika tubuh mereka dihembus sedikit angin menjadi kurang sehat dan hanya terbaring di tempat tidur beberapa hari lamanya. Semoga Alloh membimbing mereka ke jalan yang lurus.

***

AJ berterima kasih kepada lawan debatnya yang keras namun telah berubah menjadi teman akrab. Dia berjanji kepada J untuk menjadi pembela jenggot, membenci perbuatan mencukur jenggot, dan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya.

Keduanya telah mengakhiri dialog dengan beberapa kesimpulan:

- Jenggot merupakan perhiasan seorang laki-laki.
- Jenggot merupakan tanda kemuliaan seorang laki-laki.
- Jenggot merupakan karakteristik seorang laki-laki.
- Jenggot merupakan pembeda antara laki-laki dan perempuan.

Inilah yang terjadi di antara keduanya. Kemenangan --sebagaimana pembaca saksikan-- berada di pihak pemilik jenggot. Tidaklah ada selain kebenaran kecuali kesesatan.

Aku kira --tetapi aku berharap kalau pradugaku itu salah-- bahwa dialog ini akan menimbulkan kemarahan banyak orang sehingga mereka akan mencela penulisnya dan menuduh dengan berbagai tuduhan. Lalu apa salah penulis? Dialog ini merupakan sebuah dialog nyata lagi riil. Penulis hanya melakukan penyusunan, peringkasan dan pemaduan. Orang-orang yang mungkin mencela itu hendaknya merasa kasihan terhadap dirinya sendiri dan merenung. Adakah kami memiliki tujuan lain selain mengadakan perbaikan?

"Katakanlah, 'Jika kalian benar-benar mencintai Alloh, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Alloh akan mengasihi kalian dan akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Ali-Imran: 31)

Maraji' :
Judul Asli "Muhaawaroh Thoriifah Bayna Dzii Lihyah wa Mahluuqiha"
Penulis 'Abdul Karim al-Juhaiman
Tahun 1987 M.

Sumber: Buku "Jenggot Yes, Isbal No."


UCAPAN TERAKHIR IMAM SYAFI'I SEBELUM WAFAT


Menjelang Akhir Hidupnya di dunia dan permulaan hidupnya di akhirat, salah seorang murid beliau yang bernama Imam Muzani datang membesuk.

Saat itu Imam Syafi'i hanya bisa terbaring di pembaringan. Imam Muzani bertanya kepadanya, "Bagaimana Keadaanmu?" Beliau menjawab, "Aku merasa sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini dan berpisah dengan teman-teman. Segelas Anggur Kematian telah aku teguk dan hanya kepada Alloh saja aku kembali. Sungguh, demi Alloh aku tidak tahu, kemana ruhku akan berjalan. Ke Surgakah atau ke Neraka? Jika ke Surga maka aku akan selamat. Namun, jika ke Neraka, maka aku akan celaka."

Setelah berkata demikian, Beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut:

"Kala hatiku mengeras dan jalanku mulai menyempit

Aku hanya bisa mengharap titihan ampunan-Mu

Dosa-dosaku amat besar, namun jika aku bandingkan

Dengan ampunan-Mu, ya Robb, ampunan-Mu jauh lebih besar

Engkau Senantiasa melimpahkan ampunan atas segala dosa

Dan Engkau tiada pernah bosan memberi ampunan."

(Sifat Ash-Shofwah, 3/146)

Sumber : Lilin-lilin Yang Tak Pernah Padam, Biografi Para Ulama Salaf.
Penulis : Abu Malik Muhammad ibn Hamid ibn Abdul Wahab
DUKUTIP DARI: http://hi-in.facebook.com/notes.php?subj=574948373

ANCAMAN ALLAH BAGI PELAKU MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM

on Rabu, 25 November 2009

ANCAMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA BAGI ORANG YANG BERBUAT MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM

Penulis: Dr Muhammad bin Abdur Rahman Alu Sa'ud


ان الد تن كفرؤ وايصدون عن سبيل الله والمسجد الحرام الدى جعانه للنا س سواء العكف فيه والباد ومن يرد فيه باءلحاد بظام ندقه من عداب اليم

"Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih". [al Hajj/22 : 25]

Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang sifat orang kafir. Yaitu, mereka berpaling dari jalan Allah yang lurus. Yakni, yang telah dijelaskan kepada para hambaNya melalui para rasulNya. Mereka berbuat demikian, supaya tetap berada dalam orientasi-orientasi mereka yang hina. Bahkan berharap menjumpai orang-orang yang mau bergabung dan mengikuti pemikiran mereka. Sehingga bisa bersatu-padu dalam menghalangi manusia dari hidayah Allah.

Sebagai contoh, kaum kafir Quraisy Mekkah. Mereka pun berupaya menghalangi manusia dari hidayah. Tidak itu saja, bahkan mereka juga menghalangi kaum Mukminin dari melakukan thawaf di sekitar Ka’bah dan beribadah karena Allah di Masjidil Haram. Kaum kafir Quraisy tidak membedakan antara kaum Muslimin penduduk al Haram maupun yang berasal dari luar. Mereka melakukan ini dengan maksud untuk menekan kaum Muslimin, para sahabat Rasulullah.

Sehingga dengan perbuatan ini, berarti mereka telah menzhalimi diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka telah menyeleweng dari tujuan utama pendirian Masjidil Haram. Mereka berpaling dari kebenaran dan menempuh jalan kesesatan.

Bahkan dalam kondisi ketidakberdayaan untuk menghambat kaum muslimin, baik secara fisik atau maknawi, mereka tetap memendam api kebencian untuk merealisasikannya. Oleh karena itu, Allah mengancam mereka dengan adzab yang pedih.

ANCAMAN ALLAH BAGI PELAKU MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM
Masjidil Haram sebuah tempat termulia di dunia ini. Ia mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan tempat lainnya. Yaitu, Allah mengancam orang yang ingin berbuat ilhad dan kezhaliman – hanya berniat – dengan siksaan yang pedih.

Sementara di tempat lain, hukuman akan menimpa pelaku tatkala ia mengerjakannya dan terjadi dengan sebenar-benarnya. Bukan langsung menimpa saat ada niatan untuk itu bila belum dijalaninya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Dan barangsiapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa (adzab) yang pedih" [al Hajj/22 : 25]

Dalam ayat di atas terkandung kata-kata iradah (keinginan), ilhad (penyimpangan) dan zhulm. Berkaitan tentang al iradah, menurut al Jauhariy, bermaknaal masyi'ah (kehendak atau keinginan).[1]

Sedangkan al Alusi menjelaskan, asal makna al iradah adalah, kekuatan yang terbentuk dari syahwat (keinginan, kesenangan), khathir (sesuatu yang terlintas dalam benak), dan amal (harapan)..[2]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, sebagian ulama berpendapat, orang yang berkeinginan melakukan maksiat tidak akan diberi balasan (dosa), kecuali jika keinginan berbuat kejelekan itu terjadi di al Haram, meskipun ia tidak memiliki keinginan yang kuat. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Dan barangsiapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa (adzab) yang pedih" [al Hajj/22 : 25]

Al Imam ats Tsauri rahimahullah meriwayatkan dalam tafsirnya [3], dari as Suddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu , ia mengatakan : “Tidaklah seseorang berkeinginan untuk berbuat satu kejelekan, kemudian akan dituliskan baginya (dosanya). Kecuali jika ada orang yang berkeinginan di Adan Abyan untuk membunuh seseorang di Masjidil Haram, maka Allah pasti akan menimpakan adzab pedih kepadanya.[5]

Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa al Haram wajib diyakini keagungannya. Barang siapa bermaksud berbuat maksiat padanya, ia telah menyelisihi sebuah kewajiban dalam menodai keagungannya.

Timbul satu tanda tanya, pengagungan terhadap Allah lebih ditekankan daripada pengagungan terhadap al Haram. Meskipun demikian, Allah tidak langsung menghukum orang yang berniat untuk berbuat maksiat. Mengapa Allah menghukumi langsung dengan pelanggaran yang lebih rendah tingkatnya?.

Jawabnya, menodai kemuliaan al Haram dengan perbuatan maksiat mengakibatkan pelecehan terhadap kemuliaan Allah. Sebab, mengagungkan al Haram termasuk mengagungkan Allah. Sehingga perbuatan maksiat yang dilakukan di tempat tersebut lebih berat dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan di tempat yang lainnya. Kendatipun itu juga termasuk menodai keagungan Allah.

Mengenai makna kata ilhad, Abu Ubaidah mengatakan, lahada fiddin artinya, maala (condong) wa ‘adala (berpaling).

Menurut Ibnus Sikkit, mulhid adalah al 'adil 'anil haqqi (orang yang berpaling dari kebenaran), dan orang yang memasukkan ke dalam al haq, sesuatu yang bukan bagian darinya.

Adapun ilhad fihi, sebagaimana dalam QS al Hajj/22 ayat 25 tersebut, az Zajjaj mengatakan, maksudnya adalah ragu-ragu tentang Allah k . Ada juga yang mengatakan, bahwa setiap orang yang berbuat zhalim di al Haram, berarti dia mulhid (orang yang melakukan penyimpangan).

Ibnul Arabi rahimahullah mengatakan : firman Allah Azza wa Jalla :

(dan siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya …), maksud ilhad dalam ayat ini adalah, al mail (condong). Adapun secara syar'i adalah, kecendrungan yang tercela. Oleh karena itu, ilhad yang dimaksud dalam ayat ini adalah cenderung kepada kezhaliman.[6]

Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan al hada fil haram adalah, meninggalkan niat yang semestinya saat melakukan hal-hal yang diperintahkan dan cenderung kepada perbuatan zhalim.

Ath Thabari membawakan satu riwayat dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu ‘Abbas : “Al ilhad adalah at takdzib (mendustakan, tidak mengimani).

Qatadah berkata : “Yulhidun, maksudnya adalah yusyrikun (berbuat syirik)”.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ ...

"Orang yang paling dibenci oleh Allah ada tiga. (Pertama), orang yang berbuat ilhad di al Haram …" [7]

Al Muhallab rahimahullah dan ulama lainnya berkata,”Yang dimaksud tiga orang ini, mereka adalah termasuk ahli maksiat yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Kata (abghadu, Red.) ini sama dengan kalimat akbarul kabair (dosa besar yang paling besar). Dan syirik merupakan maksiat yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla”

Sabda Rasulullah, “mulhidun fil haram (orang yang berbuat ilhad di al Haram)”, arti dari mulhid, yaitu orang yang berpaling dari kebenaran. Ilhad, bermakna menyimpang dari tujuan.

Timbul permasalahan, yaitu pelaku dosa kecil juga termasuk orang berpaling dari kebenaran, (namun, dia tidak termasuk orang yang paling dibenci oleh Allah, Red.) Jawabannya, ungkapan seperti ini biasa dipergunakan untuk (istilah) orang yang sudah keluar dari din (agama) (atau murtad, Red.). Jika ungkapan ini digunakan untuk mensifati pelaku satu kemaksiatan, itu berarti menunjukkan dosa maksiat tersebut sangatlah besar.

Ada yang mengatakan, penjelasan keterangan ini dengan menggunakan jumlah ismiyah (istilah bahasa Arab, yaitu sebuah kalimat yang diawali dengan kata benda, Red.), mengisyaratkan tsubutus-sifat (penetapan sifat). Kemudian dengan menggunakan kata nakirah, tujuannya untuk ta’zhim (pengagungan). Sehingga ungkapan dengan gaya bahasa seperti ini menunjukkan besarnya dosa.

Tentang firman Allah Azza wa Jalla :

و من يرد فيه ناء لحاد بظام

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa al ilhad maksudnya perbuatan syirik. ‘Atha' mengatakan: “Perbuatan syirik dan pembunuhan”.

Firman Allah:

وللة ألأسماء الحسنى فا دعوة بها ودروا الدين يلحدون فى أسمئة

(Hanya milik Allah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada Allah dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. –QS al A'raf/7 ayat 180-), maknanya menyimpang dari petunjuk yang benar, dengan memberi nama bagi Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama yang tidak layak bagiNya.

Makki bin Abi Thalib Al Qaisi berkata: ”Bentuk ilhad mereka dalam masalah Asma Allah (nama-nama Allah), yaitu mengalihkan nama-nama itu dari Allah Azza wa Jalla. Mereka menamai Tuhan dan patung-patung mereka dengannya. Mereka mengobrak-abrik nama-namaNya. Mereka menamakan sebagian patungnya Al Lata yang diambil dari kata Allah, dan ‘Uzza yang diambil dari kata al ‘Aziz [8].” Maha suci Allah dari apa yang mereka lakukan.

Sedangkan azh zhulmu secara bahasa, artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Menurut makna leksikal, ungkapan untuk sesuatu yang melanggar batas kebenaran. Disebut juga dengan al jaur. Ada juga yang mengatakan : azh zhulmu yaitu memanfaatkan dan melanggar batas hak milik orang lain.

Ibnul ‘Arabi mengatakan : “Sebenarnya azh zhulmu secara bahasa dan syara' yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Yaitu, apabila seseorang melakukan dosa secara mutlak, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri atau yang berhubungan dengan makhluk. Dosa yang terakhir ini lebih besar (dibandingkan yang pertama).

Satu kejahatan akan menjadi lebih besar tergantung pada kemuliaan waktu dan tempatnya. Misalnya, pada bulan-bulan haram dan di tanah haram. Sehingga pelanggaran yang ditentang berbentuk dua jenis. Pertama, pelanggaran itu sendiri dan kedua, pelecehan terhadap kehormatan bulan haram dan daerah haram.[9]

Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas : “Maknanya, barang siapa yang bermaksud melakukan mail (penyimpangan) di dalamnya, maka penyimpangan tersebut merupakan bentuk kezhaliman. Karena ilhad artinya al mail secara bahasa. Hanya saja, dalam kaca mata syariat, sudah berkonotasi yang jelek. Dengan ini, Allah telah menghilangkan tanda tanya yang ada, yaitu menjelaskan penyimpangan dengan bentuk kezhalimanlah yang dimaksudkan dalam ayat ini”.[10]

Ibnu Katsir berkata : “Kata kerja di sini mencakup makna yahimmu (berkeinginan). Oleh karena itu, menjadi kata kerja transitif dengan tambahan huruf ba' . Allah Azza wa Jalla berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

Artinya kata beliau : “Dan siapa yang bermaksud melakukan kejahatan yang sangat keji, berupa maksiat-maksiat yang besar. [secara dhalim] sengaja lagi berniat mengerjakan kezhaliman tersebut, bukan karena terdorong oleh takwil (kekeliruan pemahaman) dalam melaksanakan (tindakan yang salah itu)” [11]

Firman Allah [ waman yurid ] iradah di sini merupakan keinginan kuat untuk melaksanakannya dan sifat keras kepalanya untuk merealisasikan niat tersebut berupa berbagai macam perbuatan dosa dan maksiat di Masjidil Haram.

Syaikh Bin Baz menyatakan: “Sayyi`at (perbuatan-perbuatan dosa) di dalamnya (Baitullah) merupakan perkara yang sangat besar. Sebagaimana kebaikan akan dilipatgandakan di sana.

Perbuatan-perbuatan dosa, menurut ahli ilmu dilipatgandakan, tapi dari sisi kaifiyah (bentuknya) bukan bilangannya. Karena orang yang mengerjakan kejelekan, ia hanya dibalas semisalnya. Tindakan dosa di al Haram tidak seperti dosa di tempat luar Haram. Dosanya lebih besar dan parah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Barang siapa ingin dan bermaksud (melakukan) ilhad dengan kezhaliman"

Jika orang yang hanya berniat atau berkeinginan berbuat ilhad, ia berhak ditimpa siksa yang pedih. Bagaimana dengan orang yang sudah menjalankannya?. Bila orang yang hanya berniat saja diancam dengan siksaan yang pedih, maka apalagi orang yang telah berbuat kejahatan dan melampaui batas. Ia lebih berhak menerima hukuman dan siksaan yang pedih.

Kesimpulan
(Jadi) ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa hal tersebut haram. Tidak ada bedanya antara orang yang bermukim di sana atau pendatang, jamaah haji atau umrah. Dari situ, bisa diketahui bahwa berbuat aniaya kepada orang dan menyakiti mereka di al Haram yang aman baik dengan ucapan atau tindakan termasuk perbuatan haram yang besar. Pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih. Perbuatannya termasuk bagian dari kabair (dosa-dosa besar)”.

Oleh karenanya, kata Syaikh Bin Baz, kewajiban seorang muslim di setiap tempat dan waktu, agar ia bertakwa kepada Allah dan mengagungkan aturan-aturanNya, bekerjasama dengan orang lain dalam kebaikan dan ketakwaan serta menjauhi segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Diadopsi dari:
Al Ilhad Wazh Zhulmu Fil Masjidil Haram Bainal Iradati Wat Tanfidz Dr. Muhammad bin Abdur Rahman Alu Sa’ud Majallah Jami’ah Islamiyyah Edisi 107 Th. IXXX 1418- 1419 H

Hurmati Mekkah Wa Makanatil Baitil ‘Athiq Wa Ma Warada Fi Dzalika Min Ayat Wa Ahadits Wa Atsar Syaikh ‘Abdul ‘Azin bin ‘Abdillah bin Baz. Majallah al Majma’ al Fiqhi al Islami Rabithah ‘Alam Islami Mekkah Mukarramah. Edisi 10 Th. VIII 1417 H – 1996 M

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Ash Shihah dan Al Lisan maadah (rawada)
[2]. Lihat Ruhul Ma'ani (1\201)
[3]. hlm. 168
[4]. Nama tempat di gunung Aden
[5]. Ibnu Hajar berkata : “Isnadnya shahih”. (Fat-hul Bari: 12/210).
[6]. Lihat Ahkamul Qur`an (3/1276)
[7]. HR. al Bukhari, kitab ad Diyat no. 6374
[8]. Lihat kitabnya, al ‘Umdah Fi Gharibil Qur`an
[9]. Lihat kitab Ahkamul Qur`an ( 3/1276)
[10]. Silahkan lihat kitab Ahkamul Qur`an ( 3/1276)
[11]. Silahkan lihat tafsir Ibnu katsir dalam surat Al Hajj ayat 25
[12]. Risalah Hurmati Makkah Wa Makanatil Baitil ‘Athiq Wa Ma Warada Fi Dzalika Min Ayat Wa Ahadits Wa Atsar Syaikh Baz. Hlm. 21-22
[13]. ibid 25

SUMBER: http://www.almanhaj.or.id/content/2577/slash/0

PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT ‘ID (*)

Penulis: Redaksi al-manhaj.or.id

Perhelatan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui dengan lebih berarti.

Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya, banyak hal lebih penting yang dilalaikan.

Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot, bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai hari raya yang mulia ini.

Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa kesalahan dalam pelaksaan shalat ‘Id. Mudah-mudahan hal ini bisa menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada ‘alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi kesalahan itu seakan sudah membudaya.

Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat ‘Id, ialah sebagai berikut:

A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT ‘ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; “Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya (‘Idul Fithri dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat, sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa shalat ‘Id wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ain, Red), bukan fardlu kifayah”. [As Sailur Jarar, 1/315].

Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: “(Dalam penjelasan di atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya yang tidak memiliki jilbab.”[1]

Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau’izhah Al Hasanah, 43).

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum’at apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at.

اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (tidak shalat Jum’at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum’at. Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum’at, dan kami akan tetap shalat Jum’at."[2]

Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak shalat ‘Id disyari’atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ‘Id secara berjama’ah hingga sampai wafatnya. Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ‘Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar shalat ‘Id. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul Minnah, 344. Dan wajibnya shalat ‘Id, merupakan pilihan dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: “Kami menganggap rajih (menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat ‘Id itu hukumnya wajib bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i, dan salah satu diantara dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun ucapan yang mengatakan, “Shalat ‘Id tidak wajib”, merupakan ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul untuk melakukan shalat ‘Id lebih besar daripada shalat Jum’at. Pada hari ini, disyari’atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan “Shalat ‘Id fardhu kifayah”, perkataan ini tidak memiliki dasar yang kuat. (Majmu’ Fatawa, 23/161).

Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat diambil dua hukum fiqih:

1). Disyari’atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama’ah kaum muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai kewajiban mengenakan hijab syar’i. Terkadang sebagian orang merasa heran terhadap syari’at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat ‘Id.

Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil disyari’atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu.

حَقٌّ عَلَى كُلِّ ذِيْ نِطَاقٍ الْخُرُوْجُ إِلَى الْعِدَيْنِ

"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat ‘Id"[3]

2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat ‘Id, sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ

"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya ‘Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan adalah shalat (ied)".[4]

Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: “Sunnah yang telah berjalan dalam masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]

Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan Ahmad) serta yang lainnya.

Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati. Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam, bertakbir, bertahlil dan berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya merupakan hari bahagia.

Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah nabi mereka, menghidupkan syi’ar agama yang menjadi syarat kemuliaan (kewibawaan) dan keberuntungan mereka.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu" [QS Al Anfal:24]

B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n menghentikan takbir.[6]

Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini, hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.

Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan dzikir yang disyari’atkan dengan suara keras ataupun yang tidak disyari’atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari’atkan secara berjama’ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama’ah sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali, dzikir berjama’ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata atau kalimat tersebut, seperti “lailaha” dalam tahlil selepas shalat Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT ‘ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat ‘Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan: “Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir”. (Zaadul Ma’ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut tidak benar.

Syaikh Al Albani mengatakan: “Adapun riwayat dari Umar, ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik mengatakan,’ aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini’.” [Tamamul Minnah, hlm. 349].

Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah (1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ (5/26). Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: “Imam Malik mengatakan,’Dalam hal ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang pertama (tidak mengangkat tangan)’.”

D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT ‘ID DAN UCAPAN “AS SHALAT JAAMI’AH” SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat ‘Id di lapangan melakukan shalat dua raka’at sebelum duduk di tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua raka’at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka’at pada hari raya. Beliau tidak shalat dua raka’at sebelum maupun sesudahnya" [HR. Bukhari dan Muslim]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id, berbeda dengan orang yang mengkiaskannya (menyamakan shalat ‘Id) dengan shalat Jum’at”. [Fath-hul Bari, 2/476].

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id”. (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id. Nabi keluar shalat ‘Id tidak melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan shalat sunnat setelahnya”. [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]

Ibnul Qayyim mengatakan: “Beliau n dan para sahabatnya g tidak melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id ketika telah sampai di lapangan”. (Zaadul Ma’ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai di lapangan, Beliau melakukan shalat ‘Id tanpa adzan dan iqamat, dan tanpa ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan merupakan sunnah, tidak mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma’ad, 1/442 dan At Tamhid, 1/243).

E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.

Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan dalil-dalil:

مَنْ أَحْيَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

"Barangsiapa menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].

Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.

F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: “Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa’ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.

Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.

Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya serta istisqa. Ada yang mengatakan “khutbah ‘id dan istisqa dimulai dengan takbir”, dan ada pula yang mengatakan “khutbah istisqa diawali dengan istighfar”, dan ada pula yang mengatakan “keduanya diawali dengan hamdalah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar”. [Zaadul Ma’ad, 1/447-448].

Syaikh Masyhur, mengatakan: “Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya, terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa’ad bin Ammar bin Sa’ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa’ad bin Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut”. [Tamamul Minnah, 351]

G. MENJADIKAN ‘ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak ada satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah”. [Lihat Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]

Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim terjadi pada pelaksanaan hari raya ‘Id. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’ Al Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980, 981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad (5/84,85); An Nasa’i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami’, no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al ‘Idain, no. 150; Abu Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat ‘Idain Fil Mushalla Hiya Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al Faryabi dalam Ahkam ‘Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520

SUMBER: www.almanhaj.or.id

PANDUAN SHOLAT 'IED

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.


Hukum Shalat ‘Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.

Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]

Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]

Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.

Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

FOOTNOTE:
[1] Lihat Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq: Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal. 201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, 1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

SUMBER: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-shalat-idul-fithri-dan-idul-adha.html