ANCAMAN ALLAH BAGI PELAKU MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM

on Rabu, 25 November 2009

ANCAMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA BAGI ORANG YANG BERBUAT MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM

Penulis: Dr Muhammad bin Abdur Rahman Alu Sa'ud


ان الد تن كفرؤ وايصدون عن سبيل الله والمسجد الحرام الدى جعانه للنا س سواء العكف فيه والباد ومن يرد فيه باءلحاد بظام ندقه من عداب اليم

"Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih". [al Hajj/22 : 25]

Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang sifat orang kafir. Yaitu, mereka berpaling dari jalan Allah yang lurus. Yakni, yang telah dijelaskan kepada para hambaNya melalui para rasulNya. Mereka berbuat demikian, supaya tetap berada dalam orientasi-orientasi mereka yang hina. Bahkan berharap menjumpai orang-orang yang mau bergabung dan mengikuti pemikiran mereka. Sehingga bisa bersatu-padu dalam menghalangi manusia dari hidayah Allah.

Sebagai contoh, kaum kafir Quraisy Mekkah. Mereka pun berupaya menghalangi manusia dari hidayah. Tidak itu saja, bahkan mereka juga menghalangi kaum Mukminin dari melakukan thawaf di sekitar Ka’bah dan beribadah karena Allah di Masjidil Haram. Kaum kafir Quraisy tidak membedakan antara kaum Muslimin penduduk al Haram maupun yang berasal dari luar. Mereka melakukan ini dengan maksud untuk menekan kaum Muslimin, para sahabat Rasulullah.

Sehingga dengan perbuatan ini, berarti mereka telah menzhalimi diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka telah menyeleweng dari tujuan utama pendirian Masjidil Haram. Mereka berpaling dari kebenaran dan menempuh jalan kesesatan.

Bahkan dalam kondisi ketidakberdayaan untuk menghambat kaum muslimin, baik secara fisik atau maknawi, mereka tetap memendam api kebencian untuk merealisasikannya. Oleh karena itu, Allah mengancam mereka dengan adzab yang pedih.

ANCAMAN ALLAH BAGI PELAKU MAKSIAT DI MASJIDIL HARAM
Masjidil Haram sebuah tempat termulia di dunia ini. Ia mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan tempat lainnya. Yaitu, Allah mengancam orang yang ingin berbuat ilhad dan kezhaliman – hanya berniat – dengan siksaan yang pedih.

Sementara di tempat lain, hukuman akan menimpa pelaku tatkala ia mengerjakannya dan terjadi dengan sebenar-benarnya. Bukan langsung menimpa saat ada niatan untuk itu bila belum dijalaninya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Dan barangsiapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa (adzab) yang pedih" [al Hajj/22 : 25]

Dalam ayat di atas terkandung kata-kata iradah (keinginan), ilhad (penyimpangan) dan zhulm. Berkaitan tentang al iradah, menurut al Jauhariy, bermaknaal masyi'ah (kehendak atau keinginan).[1]

Sedangkan al Alusi menjelaskan, asal makna al iradah adalah, kekuatan yang terbentuk dari syahwat (keinginan, kesenangan), khathir (sesuatu yang terlintas dalam benak), dan amal (harapan)..[2]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, sebagian ulama berpendapat, orang yang berkeinginan melakukan maksiat tidak akan diberi balasan (dosa), kecuali jika keinginan berbuat kejelekan itu terjadi di al Haram, meskipun ia tidak memiliki keinginan yang kuat. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Dan barangsiapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa (adzab) yang pedih" [al Hajj/22 : 25]

Al Imam ats Tsauri rahimahullah meriwayatkan dalam tafsirnya [3], dari as Suddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu , ia mengatakan : “Tidaklah seseorang berkeinginan untuk berbuat satu kejelekan, kemudian akan dituliskan baginya (dosanya). Kecuali jika ada orang yang berkeinginan di Adan Abyan untuk membunuh seseorang di Masjidil Haram, maka Allah pasti akan menimpakan adzab pedih kepadanya.[5]

Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa al Haram wajib diyakini keagungannya. Barang siapa bermaksud berbuat maksiat padanya, ia telah menyelisihi sebuah kewajiban dalam menodai keagungannya.

Timbul satu tanda tanya, pengagungan terhadap Allah lebih ditekankan daripada pengagungan terhadap al Haram. Meskipun demikian, Allah tidak langsung menghukum orang yang berniat untuk berbuat maksiat. Mengapa Allah menghukumi langsung dengan pelanggaran yang lebih rendah tingkatnya?.

Jawabnya, menodai kemuliaan al Haram dengan perbuatan maksiat mengakibatkan pelecehan terhadap kemuliaan Allah. Sebab, mengagungkan al Haram termasuk mengagungkan Allah. Sehingga perbuatan maksiat yang dilakukan di tempat tersebut lebih berat dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan di tempat yang lainnya. Kendatipun itu juga termasuk menodai keagungan Allah.

Mengenai makna kata ilhad, Abu Ubaidah mengatakan, lahada fiddin artinya, maala (condong) wa ‘adala (berpaling).

Menurut Ibnus Sikkit, mulhid adalah al 'adil 'anil haqqi (orang yang berpaling dari kebenaran), dan orang yang memasukkan ke dalam al haq, sesuatu yang bukan bagian darinya.

Adapun ilhad fihi, sebagaimana dalam QS al Hajj/22 ayat 25 tersebut, az Zajjaj mengatakan, maksudnya adalah ragu-ragu tentang Allah k . Ada juga yang mengatakan, bahwa setiap orang yang berbuat zhalim di al Haram, berarti dia mulhid (orang yang melakukan penyimpangan).

Ibnul Arabi rahimahullah mengatakan : firman Allah Azza wa Jalla :

(dan siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya …), maksud ilhad dalam ayat ini adalah, al mail (condong). Adapun secara syar'i adalah, kecendrungan yang tercela. Oleh karena itu, ilhad yang dimaksud dalam ayat ini adalah cenderung kepada kezhaliman.[6]

Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan al hada fil haram adalah, meninggalkan niat yang semestinya saat melakukan hal-hal yang diperintahkan dan cenderung kepada perbuatan zhalim.

Ath Thabari membawakan satu riwayat dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu ‘Abbas : “Al ilhad adalah at takdzib (mendustakan, tidak mengimani).

Qatadah berkata : “Yulhidun, maksudnya adalah yusyrikun (berbuat syirik)”.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ ...

"Orang yang paling dibenci oleh Allah ada tiga. (Pertama), orang yang berbuat ilhad di al Haram …" [7]

Al Muhallab rahimahullah dan ulama lainnya berkata,”Yang dimaksud tiga orang ini, mereka adalah termasuk ahli maksiat yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Kata (abghadu, Red.) ini sama dengan kalimat akbarul kabair (dosa besar yang paling besar). Dan syirik merupakan maksiat yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla”

Sabda Rasulullah, “mulhidun fil haram (orang yang berbuat ilhad di al Haram)”, arti dari mulhid, yaitu orang yang berpaling dari kebenaran. Ilhad, bermakna menyimpang dari tujuan.

Timbul permasalahan, yaitu pelaku dosa kecil juga termasuk orang berpaling dari kebenaran, (namun, dia tidak termasuk orang yang paling dibenci oleh Allah, Red.) Jawabannya, ungkapan seperti ini biasa dipergunakan untuk (istilah) orang yang sudah keluar dari din (agama) (atau murtad, Red.). Jika ungkapan ini digunakan untuk mensifati pelaku satu kemaksiatan, itu berarti menunjukkan dosa maksiat tersebut sangatlah besar.

Ada yang mengatakan, penjelasan keterangan ini dengan menggunakan jumlah ismiyah (istilah bahasa Arab, yaitu sebuah kalimat yang diawali dengan kata benda, Red.), mengisyaratkan tsubutus-sifat (penetapan sifat). Kemudian dengan menggunakan kata nakirah, tujuannya untuk ta’zhim (pengagungan). Sehingga ungkapan dengan gaya bahasa seperti ini menunjukkan besarnya dosa.

Tentang firman Allah Azza wa Jalla :

و من يرد فيه ناء لحاد بظام

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa al ilhad maksudnya perbuatan syirik. ‘Atha' mengatakan: “Perbuatan syirik dan pembunuhan”.

Firman Allah:

وللة ألأسماء الحسنى فا دعوة بها ودروا الدين يلحدون فى أسمئة

(Hanya milik Allah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada Allah dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. –QS al A'raf/7 ayat 180-), maknanya menyimpang dari petunjuk yang benar, dengan memberi nama bagi Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama yang tidak layak bagiNya.

Makki bin Abi Thalib Al Qaisi berkata: ”Bentuk ilhad mereka dalam masalah Asma Allah (nama-nama Allah), yaitu mengalihkan nama-nama itu dari Allah Azza wa Jalla. Mereka menamai Tuhan dan patung-patung mereka dengannya. Mereka mengobrak-abrik nama-namaNya. Mereka menamakan sebagian patungnya Al Lata yang diambil dari kata Allah, dan ‘Uzza yang diambil dari kata al ‘Aziz [8].” Maha suci Allah dari apa yang mereka lakukan.

Sedangkan azh zhulmu secara bahasa, artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Menurut makna leksikal, ungkapan untuk sesuatu yang melanggar batas kebenaran. Disebut juga dengan al jaur. Ada juga yang mengatakan : azh zhulmu yaitu memanfaatkan dan melanggar batas hak milik orang lain.

Ibnul ‘Arabi mengatakan : “Sebenarnya azh zhulmu secara bahasa dan syara' yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Yaitu, apabila seseorang melakukan dosa secara mutlak, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri atau yang berhubungan dengan makhluk. Dosa yang terakhir ini lebih besar (dibandingkan yang pertama).

Satu kejahatan akan menjadi lebih besar tergantung pada kemuliaan waktu dan tempatnya. Misalnya, pada bulan-bulan haram dan di tanah haram. Sehingga pelanggaran yang ditentang berbentuk dua jenis. Pertama, pelanggaran itu sendiri dan kedua, pelecehan terhadap kehormatan bulan haram dan daerah haram.[9]

Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas : “Maknanya, barang siapa yang bermaksud melakukan mail (penyimpangan) di dalamnya, maka penyimpangan tersebut merupakan bentuk kezhaliman. Karena ilhad artinya al mail secara bahasa. Hanya saja, dalam kaca mata syariat, sudah berkonotasi yang jelek. Dengan ini, Allah telah menghilangkan tanda tanya yang ada, yaitu menjelaskan penyimpangan dengan bentuk kezhalimanlah yang dimaksudkan dalam ayat ini”.[10]

Ibnu Katsir berkata : “Kata kerja di sini mencakup makna yahimmu (berkeinginan). Oleh karena itu, menjadi kata kerja transitif dengan tambahan huruf ba' . Allah Azza wa Jalla berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

Artinya kata beliau : “Dan siapa yang bermaksud melakukan kejahatan yang sangat keji, berupa maksiat-maksiat yang besar. [secara dhalim] sengaja lagi berniat mengerjakan kezhaliman tersebut, bukan karena terdorong oleh takwil (kekeliruan pemahaman) dalam melaksanakan (tindakan yang salah itu)” [11]

Firman Allah [ waman yurid ] iradah di sini merupakan keinginan kuat untuk melaksanakannya dan sifat keras kepalanya untuk merealisasikan niat tersebut berupa berbagai macam perbuatan dosa dan maksiat di Masjidil Haram.

Syaikh Bin Baz menyatakan: “Sayyi`at (perbuatan-perbuatan dosa) di dalamnya (Baitullah) merupakan perkara yang sangat besar. Sebagaimana kebaikan akan dilipatgandakan di sana.

Perbuatan-perbuatan dosa, menurut ahli ilmu dilipatgandakan, tapi dari sisi kaifiyah (bentuknya) bukan bilangannya. Karena orang yang mengerjakan kejelekan, ia hanya dibalas semisalnya. Tindakan dosa di al Haram tidak seperti dosa di tempat luar Haram. Dosanya lebih besar dan parah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ومن يرد فيه باءلحاد بظام ند قه من عدان أليم

"Barang siapa ingin dan bermaksud (melakukan) ilhad dengan kezhaliman"

Jika orang yang hanya berniat atau berkeinginan berbuat ilhad, ia berhak ditimpa siksa yang pedih. Bagaimana dengan orang yang sudah menjalankannya?. Bila orang yang hanya berniat saja diancam dengan siksaan yang pedih, maka apalagi orang yang telah berbuat kejahatan dan melampaui batas. Ia lebih berhak menerima hukuman dan siksaan yang pedih.

Kesimpulan
(Jadi) ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa hal tersebut haram. Tidak ada bedanya antara orang yang bermukim di sana atau pendatang, jamaah haji atau umrah. Dari situ, bisa diketahui bahwa berbuat aniaya kepada orang dan menyakiti mereka di al Haram yang aman baik dengan ucapan atau tindakan termasuk perbuatan haram yang besar. Pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih. Perbuatannya termasuk bagian dari kabair (dosa-dosa besar)”.

Oleh karenanya, kata Syaikh Bin Baz, kewajiban seorang muslim di setiap tempat dan waktu, agar ia bertakwa kepada Allah dan mengagungkan aturan-aturanNya, bekerjasama dengan orang lain dalam kebaikan dan ketakwaan serta menjauhi segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Diadopsi dari:
Al Ilhad Wazh Zhulmu Fil Masjidil Haram Bainal Iradati Wat Tanfidz Dr. Muhammad bin Abdur Rahman Alu Sa’ud Majallah Jami’ah Islamiyyah Edisi 107 Th. IXXX 1418- 1419 H

Hurmati Mekkah Wa Makanatil Baitil ‘Athiq Wa Ma Warada Fi Dzalika Min Ayat Wa Ahadits Wa Atsar Syaikh ‘Abdul ‘Azin bin ‘Abdillah bin Baz. Majallah al Majma’ al Fiqhi al Islami Rabithah ‘Alam Islami Mekkah Mukarramah. Edisi 10 Th. VIII 1417 H – 1996 M

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Ash Shihah dan Al Lisan maadah (rawada)
[2]. Lihat Ruhul Ma'ani (1\201)
[3]. hlm. 168
[4]. Nama tempat di gunung Aden
[5]. Ibnu Hajar berkata : “Isnadnya shahih”. (Fat-hul Bari: 12/210).
[6]. Lihat Ahkamul Qur`an (3/1276)
[7]. HR. al Bukhari, kitab ad Diyat no. 6374
[8]. Lihat kitabnya, al ‘Umdah Fi Gharibil Qur`an
[9]. Lihat kitab Ahkamul Qur`an ( 3/1276)
[10]. Silahkan lihat kitab Ahkamul Qur`an ( 3/1276)
[11]. Silahkan lihat tafsir Ibnu katsir dalam surat Al Hajj ayat 25
[12]. Risalah Hurmati Makkah Wa Makanatil Baitil ‘Athiq Wa Ma Warada Fi Dzalika Min Ayat Wa Ahadits Wa Atsar Syaikh Baz. Hlm. 21-22
[13]. ibid 25

SUMBER: http://www.almanhaj.or.id/content/2577/slash/0

PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT ‘ID (*)

Penulis: Redaksi al-manhaj.or.id

Perhelatan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui dengan lebih berarti.

Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya, banyak hal lebih penting yang dilalaikan.

Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot, bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai hari raya yang mulia ini.

Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa kesalahan dalam pelaksaan shalat ‘Id. Mudah-mudahan hal ini bisa menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada ‘alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi kesalahan itu seakan sudah membudaya.

Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat ‘Id, ialah sebagai berikut:

A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT ‘ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; “Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya (‘Idul Fithri dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat, sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa shalat ‘Id wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ain, Red), bukan fardlu kifayah”. [As Sailur Jarar, 1/315].

Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: “(Dalam penjelasan di atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya yang tidak memiliki jilbab.”[1]

Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau’izhah Al Hasanah, 43).

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum’at apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at.

اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (tidak shalat Jum’at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum’at. Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum’at, dan kami akan tetap shalat Jum’at."[2]

Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak shalat ‘Id disyari’atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ‘Id secara berjama’ah hingga sampai wafatnya. Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ‘Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar shalat ‘Id. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul Minnah, 344. Dan wajibnya shalat ‘Id, merupakan pilihan dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: “Kami menganggap rajih (menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat ‘Id itu hukumnya wajib bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i, dan salah satu diantara dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun ucapan yang mengatakan, “Shalat ‘Id tidak wajib”, merupakan ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul untuk melakukan shalat ‘Id lebih besar daripada shalat Jum’at. Pada hari ini, disyari’atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan “Shalat ‘Id fardhu kifayah”, perkataan ini tidak memiliki dasar yang kuat. (Majmu’ Fatawa, 23/161).

Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat diambil dua hukum fiqih:

1). Disyari’atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama’ah kaum muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai kewajiban mengenakan hijab syar’i. Terkadang sebagian orang merasa heran terhadap syari’at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat ‘Id.

Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil disyari’atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu.

حَقٌّ عَلَى كُلِّ ذِيْ نِطَاقٍ الْخُرُوْجُ إِلَى الْعِدَيْنِ

"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat ‘Id"[3]

2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat ‘Id, sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ

"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya ‘Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan adalah shalat (ied)".[4]

Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: “Sunnah yang telah berjalan dalam masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]

Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan Ahmad) serta yang lainnya.

Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati. Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam, bertakbir, bertahlil dan berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya merupakan hari bahagia.

Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah nabi mereka, menghidupkan syi’ar agama yang menjadi syarat kemuliaan (kewibawaan) dan keberuntungan mereka.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu" [QS Al Anfal:24]

B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n menghentikan takbir.[6]

Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini, hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.

Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan dzikir yang disyari’atkan dengan suara keras ataupun yang tidak disyari’atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari’atkan secara berjama’ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama’ah sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali, dzikir berjama’ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata atau kalimat tersebut, seperti “lailaha” dalam tahlil selepas shalat Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT ‘ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat ‘Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan: “Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir”. (Zaadul Ma’ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut tidak benar.

Syaikh Al Albani mengatakan: “Adapun riwayat dari Umar, ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik mengatakan,’ aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini’.” [Tamamul Minnah, hlm. 349].

Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah (1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ (5/26). Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: “Imam Malik mengatakan,’Dalam hal ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang pertama (tidak mengangkat tangan)’.”

D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT ‘ID DAN UCAPAN “AS SHALAT JAAMI’AH” SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat ‘Id di lapangan melakukan shalat dua raka’at sebelum duduk di tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua raka’at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka’at pada hari raya. Beliau tidak shalat dua raka’at sebelum maupun sesudahnya" [HR. Bukhari dan Muslim]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id, berbeda dengan orang yang mengkiaskannya (menyamakan shalat ‘Id) dengan shalat Jum’at”. [Fath-hul Bari, 2/476].

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id”. (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id. Nabi keluar shalat ‘Id tidak melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan shalat sunnat setelahnya”. [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]

Ibnul Qayyim mengatakan: “Beliau n dan para sahabatnya g tidak melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id ketika telah sampai di lapangan”. (Zaadul Ma’ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai di lapangan, Beliau melakukan shalat ‘Id tanpa adzan dan iqamat, dan tanpa ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan merupakan sunnah, tidak mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma’ad, 1/442 dan At Tamhid, 1/243).

E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.

Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan dalil-dalil:

مَنْ أَحْيَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

"Barangsiapa menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].

Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.

F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: “Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa’ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.

Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.

Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya serta istisqa. Ada yang mengatakan “khutbah ‘id dan istisqa dimulai dengan takbir”, dan ada pula yang mengatakan “khutbah istisqa diawali dengan istighfar”, dan ada pula yang mengatakan “keduanya diawali dengan hamdalah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar”. [Zaadul Ma’ad, 1/447-448].

Syaikh Masyhur, mengatakan: “Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya, terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa’ad bin Ammar bin Sa’ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa’ad bin Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut”. [Tamamul Minnah, 351]

G. MENJADIKAN ‘ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak ada satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah”. [Lihat Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]

Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim terjadi pada pelaksanaan hari raya ‘Id. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’ Al Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980, 981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad (5/84,85); An Nasa’i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami’, no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al ‘Idain, no. 150; Abu Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat ‘Idain Fil Mushalla Hiya Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al Faryabi dalam Ahkam ‘Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520

SUMBER: www.almanhaj.or.id

PANDUAN SHOLAT 'IED

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.


Hukum Shalat ‘Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.

Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]

Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]

Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.

Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

FOOTNOTE:
[1] Lihat Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq: Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal. 201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, 1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

SUMBER: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-shalat-idul-fithri-dan-idul-adha.html

TAKBIRAN HARI RAYA

Penulis: Ammi Nur Baits

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
* Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

SUMBER: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/takbiran-hari-raya.html

HUKUM QURBAN SECARA KOLEKTIF

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi[1], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.[2]


Ketentuan Qurban Kambing

Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.

كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3]

Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[4]

Ketentuan Qurban Sapi dan Unta

Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang)[5]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً

“Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”[6]

Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.

Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790

Soal:

Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya. Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?

Jawab:

Yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.

Yang menandatangai fatwa ini:

Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[7]

Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?

Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.

Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.

Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055

Soal:

Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, “Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan “Sembelihlah unta”, itu keliru.” Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.

Jawab:

Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Yang menandatangai fatwa ini:

Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[8]

Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:

1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.

Solusi Dalam Iuran Qurban

Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan cara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, “Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9] Qurban sama halnya dengan aqiqah.

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, “Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, “Aku telah mendengar firman Allah,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”[10]

Catatan:

1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.

Bagaimana dengan Hadits “Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?

Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ‘Abdillah berikut,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».

“Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ‘Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban.’”[11] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.

Sanggahan: Mengenai hadits “qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.

Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[12] Oleh karena, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).

Kesimpulan:

1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.

Semoga pelajaran yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

***
Dipublikasikan dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, siang hari, 16 Dzulqo’dah 1430 H

Footnote:

[1] Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi.

[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah.

[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.

[4] Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam.

[5] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)

[6] HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17].

[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’

[8] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403

[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits.

[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.

[11] HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[12] Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam.

Amalan yang Menyelamatkan dari Adzab Kubur

Penulis : Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Setelah memberitahukan dahsyatnya adzab kubur dan sebab-sebab yang akan menyeret ke dalamnya, baik melalui firman-Nya ataupun melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dengan rahmat dan keutamaan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan amalan-amalan yang akan menyelamatkan dari adzab kubur tersebut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebab-sebab yang akan menyelamatkan seseorang dari adzab kubur terbagi menjadi dua:
1. Sebab-sebab secara global
Yaitu dengan menjauhi seluruh sebab yang akan menjerumuskan ke dalam adzab kubur sebagaimana yang telah disebutkan.
Sebab yang paling bermanfaat adalah seorang hamba duduk beberapa saat sebelum tidur untuk mengevaluasi dirinya: apa yang telah dia lakukan, baik perkara yang merugikan maupun yang menguntungkan pada hari itu. Lalu dia senantiasa memperbarui taubatnya yang nasuha antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidur dalam keadaan bertaubat dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya bila nanti bangun dari tidurnya. Dia lakukan itu setiap malam. Maka, apabila dia mati (ketika tidurnya itu), dia mati di atas taubat. Apabila dia bangun, dia bangun tidur dalam keadaan siap untuk beramal dengan senang hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menunda ajalnya hingga dia menghadap Rabbnya dan berhasil mendapatkan segala sesuatu yang terluput. Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada taubat ini. Terlebih lagi bila dia berzikir setelah itu dan melakukan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia hendak tidur sampai benar-benar tertidur. Maka, barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan hidayah taufik untuk melakukan hal itu. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Sebab-sebab terperinci
Di antaranya:
- Ribath (berjaga di pos perbatasan wilayah kaum muslimin) siang dan malam.
Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الَّذِي مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِنَّهُ يُنْمَى لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ
“Setiap orang yang mati akan diakhiri/diputus amalannya, kecuali orang yang mati dalam keadaan ribath di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amalannya akan dikembangkan sampai datang hari kiamat dan akan diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
- Mati syahid
Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yang mati syahid akan mendapatkan enam keutamaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala: diampuni dosa-dosanya dari awal tertumpahkan darahnya, akan melihat calon tempat tinggalnya di surga, akan diselamatkan dari adzab kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang sangat besar, diberi hiasan dengan hiasan iman, dinikahkan dengan bidadari, dan akan diberi kemampuan untuk memberi syafaat kepada 70 orang kerabatnya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Al-Albani berkata dalam Ahkamul Jana’iz bahwa sanadnya hasan)
- Mati pada malam Jumat atau siang harinya.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يـَمُوتُ يَوْمَ الْـجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dan Al-Fasawi. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Ahkamul Jana’iz bahwa hadits ini dengan seluruh jalur-jalurnya hasan atau shahih)
- Membaca surat Al-Mulk
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هِيَ الْمَانِعَةُ هِيَ الْمُنْجِيَةُ تُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dia (surat Al-Mulk) adalah penghalang, dia adalah penyelamat yang akan menyelamatkan pembacanya dari adzab kubur.” (HR. At-Tirmidzi, lihat Ash-Shahihah no. 1140) [dinukil dari Ar-Ruh dengan sedikit perubahan]
- Doa sebagaimana yang telah lalu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari adzab kubur dan memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya.

Nikmat Kubur
Setelah mengetahui dan meyakini adanya adzab kubur yang demikian mengerikan dan menakutkan, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, juga mengetahui macam-macamnya, penyebabnya, dan hal-hal yang akan menyelamatkan darinya, maka termasuk kesuksesan yang agung adalah selamat dari berbagai adzab tersebut dan mendapatkan nikmat di dalamnya dengan rahmat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-Jatsiyah: 30)
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ. مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku.’ Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-An’am: 15-16)
Adapun nikmat kubur, di antaranya apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dalam hadits Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu yang panjang:
- mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Sebagaimana perkataan malakul maut kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut:
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ، اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ
“Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.”
- dikokohkan hatinya untuk menghadapi dan menjawab fitnah kubur.
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
- Digelarkan permadani, didandani dengan pakaian dari surga, dibukakan baginya pintu menuju surga, dilapangkan kuburnya, dan di dalamnya ditemani orang yang tampan wajahnya, bagus penampilannya, sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits Al-Bara’ yang panjang:
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ. قَالَ: وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ، فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ
“Maka gelarkanlah permadani dari surga, dandanilah ia dengan pakaian dari surga. Bukakanlah baginya sebuah pintu ke surga, maka sampailah kepadanya bau wangi dan keindahannya. Dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang, kemudian datang kepadanya seorang yang tampan wajahnya, bagus pakaiannya, wangi baunya. Lalu dia berkata: ‘Berbahagialah dengan perkara yang menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu kamu dijanjikan.’ Dia pun bertanya: ‘Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah orang yang datang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang shalih…” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan hati kita di atas kalimat tauhid hingga akhir hayat kita dan menyelamatkan kita dari berbagai fitnah (ujian) dunia dan fitnah kubur, serta memasukkan kita ke dalam jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=812

KUNCI SUKSES BERMU'AMALAH

Penulis: Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari


Dalam hidup ini, setiap insan pasti berhubungan dengan orang lain. Ia hidup dikelilingi tetangga kanan dan kiri, muka dan belakangnya, dengan berbagai macam corak ragam, tingkah laku dan latar belakangnya. Ada yang muslim, dan barangkali ada pula yang non muslim. Ada yang multazim, dan ada pula yang fasik. Ada yang terpelajar dan ada yang awam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita pentingnya menjaga hak-hak tetangga ini. Tetangga memiliki kedudukan yang agung dalam kehidupan beliau. Beliau bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

"Malaikat Jibril q senatiasa mewasiatkan agar aku berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira ia (Jibril) akan memberikan hak waris (bagi mereka)". [Muttafaqun 'alaihi].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu :

يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاؤُهَا وَ تَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

"Wahai, Abu Dzar. Jika engkau memasak makanan, perbanyaklah kuahnya, janganlah engkau lupa membagikannya kepada tetanggamu". [HR Muslim]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperingatkan dari bahaya menggangu tetangga.

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

"Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya". [HR Muslim]

Dengan akhlak seperti ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berhasil menguasai hati, perasaan dan pikiran manusia. Sehingga, dalam bermu'amalah kepada manusia, kita harus mengedapankan akhlak yang terpuji.

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku :

اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

"Bertaqwalah dimanapun engkau berada, dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia" [HR at Tirmidzi, dan ia berkata,"Hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh al Albani di dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2516]

Demikian pula dalam bermu'amalah dengan manusia, seharusnya bersikap santun, memilih kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Musa dan Harun Alaihissalam untuk berkata lemah-lembut kepada orang yang paling keras kekafirannya, yaitu Fir'aun :" Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha/20:44].

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku :

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

"Janganlah engkau menganggap remeh suatu kebaikan, walaupun sekedar bermanis muka ketika engkau bertemu dengan saudaramu" [Diriwayatkan oleh Muslim]

Diriwayatkan dari 'Adiy bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Jagalah dirimu dari neraka, meskipun dengan memberikan sebutir kurma. Jika kamu tidak mendapatinya, maka dengan mengucapkan kata-kata yang baik".[Muttafaq alaihi]

Begitu pula, seharusnya menghindari sikap keras dalam bermu'amalah dan kata-kata yang kasar dalam berbicara. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [Ali Imran/3 : 159]

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لاَ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

"Barangsiapa yang tidak menyayangi sesama manusia, maka Allah Azza wa Jalla pun tidak akan menyayanginya" [Muttafaqun 'alaihi]

Secara tabiat, manusia tidak suka dikasari. Sulaiman bin Mihran berkata, "Tidaklah engkau membuat marah seseorang, lalu ia mau mendengarkan kata-katamu."

Oleh karena itu, sikap kasar dan berlagak dalam berbicara merupakan perkara yang dibenci oleh Nabi. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا. وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat kelak, yaitu tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun". Sahabat bertanya : "Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?" Beliau menjawab,"Orang yang sombong." [HR at Tirmidzi, ia berkata: "Hadits ini hasan". Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2018]

الثَّرْثَارُونَ (tsartsarun), banyak omong dengan pembicaraan yang menyimpang dari kebenaran.

الْمُتَشَدِّقُونَ (mutasyaddiqun), kata-kata yang meremehkan orang lain dan berbicara dengan suara lagak untuk menunjukkan kefasihannya dan bangga dengan perkataannya sendiri.

الْمُتَفَيْهِقُونَ (mutafaihiqun), berasal dari kata al fahq, yang berarti penuh. Maksudnya, seseorang yang berbicara keras panjang lebar, disertai dengan perasaan sombong dan pongah, serta menggunakan kata-kata asing untuk menunjukkan, seolah dirinya lebih hebat dari yang lainnya.

At Tirmidzi juga meriwayatkan dari 'Abdullah bin al Mubarak rahimahullah mengenai maksud akhlak yang mulia. Ia berkata,"Yaitu bersikap ramah, memberikan kebaikan kepada orang lain, serta tidak mengganggunya."

Apalagi menghadapi kebanyakan orang, kita harus banyak bersabar. Jika menolak terhadap perbuatan mereka yang kasar, lakukanlah dengan cara yang terbaik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" [Fushshilat/41 : 34-35].

Hal seperti ini telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah kisah disebutkan, dari Mu'awiyah bin al Hakam as Sulami , ia berkata :

Ketika aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Aku (pun) berkata : "Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)."

Orang-orang memandang ke arahku. Aku berkata: "Malangnya ibuku! Mengapa kalian memandangku seperti itu?" Merekapun menepukkan tangan ke paha. Setelah mengerti, bahwa mereka menyuruhku diam, maka akupun diam.

Setelah Rasulullah menyelesaikan shalat, maka demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang pendidik sebelum maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau hanya berkata:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an".

Atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Aku berkata,"Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku baru saja masuk Islam. Allah telah menurunkan dinul Islam kepada kami. Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mendatangi dukun."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menimpali: "Jangan datangi dukun!"
"Di antara kami masih ada yang suka bertathayyur," lanjutku.

[Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu. Misalnya, melihat burung tertentu atau mendengar suara binatang tertentu, kemudian beranggapan akan terjadi suatu musibah. (Pen)]

Rasulullah menjawab,"Itu hanyalah sesuatu yang terlintas dalam hati, maka jangan sampai mereka menangguhkan niat karenanya."
Kemudian aku lanjutkan: "Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mempraktekkan ilmu ramal".
Rasulullah menjawab,"Dahulu ada nabi yang menggunakan ilmu ramal. Apabila yang terjadi sesuai dengan ramalannya, maka itu hanyalah kebetulan saja."
Mu'awiyah bin al Hakam as Sulami melanjutkan ceritanya :

"Aku memiliki beberapa ekor kambing yang digembalakan oleh salah seorang budak wanitaku di antara gunung Uhud dan bukit Jawwaniyah. Pada suatu hari, aku datang memeriksa kambing-kambingku. Ternyata seekor serigala telah membawa lari seekor kambingku. Sebagaimana lumrahnya seorang manusia, akupun marah lalu kutampar budak wanita itu. Lalu aku datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadukan peristiwa tersebut. Beliau menganggap perbuatanku itu sangat keterlaluan.

Maka kukatakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai, Rasulullah. Tidakkah lebih baik jika kubebaskan saja budak wanita itu?"
Rasulullah menjawab,"Panggilah ia kemari!" Akupun memanggil budak wanita itu. Rasulullah bertanya kepadanya :
أَيْنَ اللهُ؟
"Dimana Allah?"
"Di langit," jawabnya.
"Siapakah aku?" tanya Rasulullah lagi.
"Engkau adalah utusan Allah," jawabnya. Maka Rasulullah pun berkata:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
"Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mukminah". [HR Muslim]

Coba lihat, bagaimana terjadi dialog yang panjang antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Mu'awiyah bin al Hakam, yang waktu itu ia baru saja memeluk Islam. Dengan sikap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang santun, Mu'awiyah tergerak untuk berdialog dengan beliau. Ia mendengarkan kata-kata beliau dan mengadukan masalah-masalah yang ia hadapi kepada beliau.

Coba lihat penuturannya: "Demi Allah. Tidak pernah aku melihat seorang mu'allim (pendidik) sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya berkata: 'Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an'."

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha menuturkan, setiap kali disampaikan kepada beliau sesuatu yang kurang berkenan dari seeorang, beliau tidak berkata “apa diinginkan 'fulan' (menyebut nama) berkata demikian", namun beliau mengatakan "apa yang diinginkan 'mereka' berkata demikian”. [HR Tirmidzi].

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu menceritakan, pernah, suatu kali seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bekas celupan berwarna kuning pada pakaiannya (bekas za’faran). Biasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jarang menegur sesuatu yang dibencinya pada seseorang di hadapannya langsung. Setelah lelaki itu pergi, beliau pun berkata: “Alangkah elok bila engkau suruh lelaki itu supaya menghilangkan bekas za’faran dari bajunya”. [HR Abu Dawud dan Ahmad].

'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ حُرِّمَ عَلَى النَّارِ أَوْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ ؟ تُحْرَمُ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ

"Inginkah aku kabarkan kepadamu orang yang diselamatkan dari api neraka, atau dijauhkan api neraka darinya? Yaitu setiap orang yang ramah, lemah-lembut dan murah hati". [HR Tirmidzi]

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata :

لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ n فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا, وَلاَ صَخَّابًا فِي الأَسْوَاقِ وَلاَ يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ, وَلكَنْ يَعْفُو وَ يَصْفَحُ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah seorang yang keji, dan (ia) tidak suka berkata keji. Beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan" [HR Ahmad].

Demikianlah akhlak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selaku Nabi dengan penuh kasih sayang selalu memberi petunjuk dan memberi nasihat. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau.

"Al Husain, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku mengatakan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti luhur lagi rendah hati. Beliau bukan seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang mencela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkannya, pasti tidak akan kecewa. Dan siapa saja yang memenuhi undangannya, pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara, (yaitu) riya, berbangga-bangga diri, dan dari yang tidak bermanfaat. Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, (yaitu): beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala. Jika berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara. Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja. Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub, dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, sehingga para sahabat g selalu mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu, guna mengambil manfaat. Beliau bersabda,"Bila engkau melihat seseorang yang sedang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia.” Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang selayaknya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Beliau segera menghentikan pembicaraan tersebut dengan melarangnya, atau berdiri meninggalkan majelis" [HR at Timidzi].

Tak hilang dari ingatan kita, yaitu kisah seorang Arab Badui yang buang air kecil di dalam masjid, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Sesungguhnya masjid ini bukan untuk kencing atau membuang kotoran lainnya. Sesungguhnya masjid ini untuk dzikrullah dan bacaan al Qur`an."

Rasulullah berkata kepada para sahabat : "Biarkanlah dia, dan siramlah kencingnya dengan seember air. Atau segayung air. Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyusahkan".

Saking gembiranya orang Arab Badui itu, sehingga ia berdoa: "Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad, dan jangan ampuni selain kami berdua."

Sikap-sikap seperti ini yang diterapkan dalam bermu'amalah di antara sesama manusia. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita. Demikian pula para ulama, mereka adalah pewaris Nabi. Mereka juga telah mencontohkan sikap-sikap seperti ini dalam bermu'amalah kepada manusia. Tidak bersikap mentang-mentang dan semau gue. Sebagai misal, coba lihatlah akhlak yang dicontohkan Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin dalam bermu'amalah kepada orang lain. Beliau t mempunyai sifat ulama rabbani yang rendah hati, juga rajin membantu keluarga.

Sebagaimana dikisahkan oleh Abdul Karim bin Shalih al Muqrin dalam kitab 14 'Aaman Ma'a Samahatul 'Allamah Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin.

Pada suatu hari, saat kami sedang merekam program Nurun 'Ala Darb pada waktu dhuha. Tiba-tiba pintu diketuk seorang tukang pipa yang sudah berjanji dengan syaikh untuk memperbaiki pipa air. Maka beliau memberikan isyarat kepadaku agar menghentikan rekaman. Lalu beliau mempersilakan tukang pipa tersebut masuk. Kemudian beliau mendatangiku sambil tersenyum dan berkata: "Maaf ya Abu Khalid, kami memotong waktu Anda setengah jam untuk menperbaiki pipa air yang ada di halaman."

Kukatakan: "Tidak mengapa ya Syaikh," kemudian tukang pipa itu memulai pekerjaannya memperbaiki pipa, dan syaikh membantunya untuk memegang beberapa perkakas tukang pipa tersebut hingga ia selesai memperbaikinya.
Untuk memanfaatkan waktu senggang tersebut aku membaca kembali soal-soal yang akan ditanyakan kepada Syaikh. Setelah tukang pipa itu selesai memperbaiki pipa air, ia pun keluar. Lalu Syaikh mendatangiku dengan tersenyum.

Kisah yang lain yaitu, ketika rekaman sedang berlangsung lebih kurang jam sepuluh pagi, tiba-tiba ada dua orang yang mengetuk pintu, lalu Syaikh membukakan pintu dan memberikan salam. Beliau melihat, bahwa orang ini nampaknya datang dari jauh, kemudian beliau mempersilahkan untuk masuk dan mengabarkan kepada mereka, bahwa beliau sedang merekam untuk acara radio. Kemudian beliau menanyakan keperluan mereka.

Salah seorang mereka berkata: "Kami datang dari salah satu kota di negara ini yang akan menanyakan tentang masalah perceraian". Karena salah seorang mereka telah menceraikan istrinya dan ingin rujuk. Mereka juga membawa surat pengantar dari perwakilan dakwah yang ada di kota mereka yang ditujukan kepada Syaikh, dan di dalamnya terdapat keterangan yang rinci tentang duduk permasalahannya.

Setelah beliau menanyaikan beberapa permasalahan tentang perceraian tersebut, beliau menuliskan jawaban permasalahan ini kepada kantor dakwah dan irsyad yang ada di kota mereka. Orang tersebut kelihatannya mempunyai beberapa kekurangan dalam melaksanakan syari'at. Ia memakai baju yang melebihi mata kaki, dan hal lain yang menyalahi syar'i. Adapun temannya, kelihatannya seorang yang taat.

Satu jam lamanya syaikh melayani keperluan orang ini. Setelah beliau selesai memberikan fatwa kepada orang ini, Syaikh mengingatkannya agar memperbaiki pakaiannya, dan memberi nasihat agar mereka berusaha melakukan amalan-amalan kebaikan, serta menghindari hal-hal yang dilarang syar'i. Kemudian syaikh pergi ke dalam untuk menghidangkan teh, kopi dan kurma. Kami duduk bersama beliau sambil menikmati teh dan kopi tersebut.
Di tengah pembicaraan kami, orang yang mempunyai permasalahan tersebut berkata: "Ya Fadhilatusy- Syaikh. Aku banyak mempunyai kekurangan dalam menjalankan syari'at. Namun setelah Anda menasihatiku, melepaskan dari kesulitan yang menimpaku, dan setelah aku rujuk kepada istriku, aku berjanji kepada Allah kemudian kepadamu, untuk istiqamah dan melakukan amal kebaikan serta mentaati Rabb-ku."

Mendengar hal itu, Syaikh merasa gembira dan wajahnya berbinar-binar. Kemudian kedua orang itu pamit dan mencium kening Syaikh serta berdoa untuk beliau. Kemudian, sekitar pukul setengah dua belas kami meneruskan rekaman. Kisah ini masih segar di ingatanku. Syaikh berkata: "Tahukah engkau, ya Abdul Karim betapa banyak pahala yang kita peroleh jika orang itu bertaubat, melaksanakan kebaikan dan melakukan amal shalih," lalu beliau tersenyum dan memuji Allah, kemudian kami meneruskan rekaman.

Juga terdapat kisah lainnya.
Kami bertugas di bagian perekaman. Ketika kami merekam beberapa pertemuan untuk program siaran Nurun 'Ala Darb, pada saat yang sama terdengar suara pekerja bangunan yang sedang bekerja di dekat rumah beliau, yaitu tetangga beliau. Kelihatannya ia sedang membetulkan sesuatu pada mesin, dan suara tersebut masuk ke dalam rekaman. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berdiri mendatangi mereka, meminta agar mereka menghentikan pekerjaan tersebut. Ketika sampai di pintu ruangan, beliau kembali dan bertanya: "Wahai Abdul Karim, siapa yang mulai terlebih dahulu?"

"Mereka, ya Syaikh," jawabku.

Karena kewara'an dan kekhawatirannya, beliau membiarkan mereka bekerja, beliau berkata: "Kalau begitu, kita tunda dulu rekaman ini sampai mereka menyelesaikan pekerjaan tersebut".

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas.

Walau bagaimanapun keadaan saudara-saudara kita sesama muslim yang awam itu, mereka ibarat tambang emas dan perak. Jikalau Allah membuka hati mereka untuk menerima kebenaran, maka akan menjadi asset yang berguna bagi Islam. Bahkan kadang kala, mereka rela berkorban demi membela agama ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

"Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia berilmu. Ruh ibarat pasukan yang dikumpulkan, ia akan bersatu jika serasi dan akan berselisih jika tidak serasi". [HR Muslim].

Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan, semua anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang cepat-cepat bertaubat. Ini merupakan asas yang paling agung. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meletakkan asas tersebut dalam bermu’amalah terhadap manusia.

Jika kita membangun hubungan mu’amalah kita dan sikap kita terhadap manusia atas dasar akhlak-akhlak yang terpuji, niscaya kita melihat sambutan yang hangat dari mereka. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

"Tidak beriman salah seorang dari kamu, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". [Muttafaqun 'alaihi]

Washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa ash-habihi wa sallam.

Maraji':
1. Al Qur`anul-Karim.
2. 14 'Aaman Ma'a Samahatul-Allamah Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin, Penyusun: Abdul Karim bin Shalih al Muqrin.
3. Ad-Durruts-Tsamin min Riyadhish-Shalihin, Abdul 'Aziz Sa'ad al 'Utaibi.
4. Mausu’ah Adab Islami, 'Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nidaa.
5. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
6. Tafsir al Qur`anul-'Azhim, Ibnu Katsir.
7. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani.
7. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ at-Tirmidzi, al Mubarakfuri.
8. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi.
9. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2574/slash/0