DIBALIK MERDUNYA NYANYIAN DAN INDAHNYA LUKISAN

on Jumat, 06 November 2009

Oleh: Ummu Asma'

Siapa yang suka menyanyi atau menggambar? Atau siapa yang suka mendengarkan musik? Mungkin ada banyak orang akan menjawab “Saya!” Ketiga kegiatan tersebut menurut sebagian besar orang bagaikan garam dalam masakan. Banyak orang mengatakan dengan mendengarkan musik atau menggambar akan menjadikan hati yang sedih menjadi terhibur. Namun maukah kalian, wahai saudariku, melihat apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perbuat terhadapnya? Jika memang kita mengaku sebagai hamba Allah serta pengikut Rasulullah yang setia, hendaknya kita memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.


Dibalik Merdunya Nyanyian dan Musik

Mungkin ada di antara kita yang pernah mendengar bahwa Islam melarang adanya musik dan gambar. Padahal telah kita ketahui bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki banyak keburukan bagi manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan (suara) yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” (QS. Luqman: 6)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini, “Al-Lahwu (suara) di sini adalah lagu (ghina‘).” Pendapat yang sama juga dikeluarkan oleh Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Sa’id bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim rahimakumullah yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-lahwu adalah lagu. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan tentang nyanyian dan seruling.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Nanti pasti ada beberapa kelompok dari umatku yang menganggap bahwa zina, sutra, arak dan musik hukumnya halal, (padahal itu semua hukumnya haram).” (HR. Imam Bukhari dan Abu Dawud)

Saudariku, sebenarnya mengapa Allah dan Rasul-Nya membenci musik dan nyanyian? Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa di antara bahayanya:

* Musik bagi jiwa seperti arak karena banyak orang yang melakukan berbagai kekejian seperti zina dan penganiayaan dikarenakan mabuknya musik dan penyanyi yang membawakannya. Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata, “Nyanyian adalah tangga menuju zina.”
* Musik dapat menyebabkan pecandunya lebih mencintai penyanyi atau pemain musik lebih daripada cintanya kepada Allah sehingga cintanya tersebut dapat menjatuhkannya ke dalam kesyirikan tanpa dia sadari.
* Musik melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah. Berapa banyak orang yang lebih menyukai musik daripada mendengarkan Al-Qur’an? Berapa banyak orang yang melalaikan sholat karena hatinya tertambat pada lagu atau musik? Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidak seorang pun yang mendengarkan nyanyian kecuali hatinya munafik yang ia sendiri tidak merasa. Andaikata ia mengerti hakikat kemunafikan pasti ia akan melihat kemunafikan itu di dalam hatinya, sebab tidak mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara ” cinta nyanyian” dan “cinta Al-Qur’an”, kecuali yang satu mengusir yang lain.” Juga perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Nyanyian menimbulkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran, sedang dzikir menumbuhkan iman dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Serta Imam Ahmad rahimahullah, “Nyanyian itu dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Kemudian ketika ditanya tentang syair-syair Arab yang dinyanyikan, beliau berkata, “Aku tidak menyukainya, ia adalah amalan baru, tidak boleh duduk bersama untuk mendengarkannya.”

Jumhur ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah sesuatu yang terlarang, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa nyanyian itu tidak disukai (baca = haram) karena menyerupai kebatilan, adapun mendengarkan lagu adalah termasuk dosa.

Nyanyian yang Diperbolehkan

Namun benarkah, dalam Islam semua bentuk nyanyian terlarang? Perlu kita ketahui bahwa ada beberapa nyanyian tanpa musik yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu:

1. Nyanyian di hari raya yang dilakukan oleh wanita. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

“Rasulullah masuk menemui ‘Aisyah. Di dekatnya ada dua anak perempuan yang sedang memainkan rebana. Lalu Abu Bakar membentak mereka, maka Rasulullah bersabda: biarkanlah mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah hari ini.” (HR. Bukhari)

2. Nyanyian yang diiringi terbang (rebana) pada waktu pernikahan dengan maksud memeriahkan atau mengumumkan akad nikah dan mendorong orang untuk menikah tanpa berisi pujian akan kecantikan seseorang atau pelanggaran terhadap syari’at. Namun nyanyian ini dinyanyikan oleh wanita dan diperdengarkan di kalangan wanita pula.

Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika saya menikah. Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya seperti jarak tempat dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan pernikahan kami, beberapa orang gadis tetangga kami menabuh rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan para pahlawan Perang Badar. Ketika mereka asyik bernyanyi, ada salah seorang di antara mereka yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok.’ Mendengar syair seperti itu Nabi berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan seperti itu! Bernyanyilah seperti nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari)

3. Nyanyian pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan rajin bekerja terutama bila mengandung do’a atau nyanyian yang berisi tauhid atau cinta kepada Rasulullah yang menyebut akhlaknya atau berisi ajakan jihad, memperbaiki budi pekerti, mengajak persatuan, tolong-menolong sesama umat atau menyebut dasar-dasar Islam.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullah berkata bahwa syair-syair yang diperdengarkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan. Selain itu, para sahabat melantunkannya secara sendirian dikarenakan makna yang terdapat di dalamnya. Mereka melantunkan sebagai syair ketika bekerja yang melelahkan, seperti membangun (masjid) serta berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas diperbolehkannya lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Selain itu, mereka tidak pernah menjadikan nyanyian sebagai kebiasaan yang dilakukan terus-menerus, karena para shahabat adalah generasi yang selalu mengisi hari-harinya dengan Al-Qur’an dan tidak pernah tersibukkan dengan selain Al-Qur’an.

4. Adapun terbang (rebana) hanya boleh dimainkan pada waktu hari raya serta pernikahan dan tidak boleh dipakai ketika berdzikir seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi, karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya.

Obat Bagi Hati

Jika setiap penyakit ada obatnya, maka bagaimana cara untuk mengobati kecanduan akan musik dan nyanyian? Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah menyebutkan 3 cara menghindari nyanyian dan musik:

1. Menjauhkan diri dari mendengarkan nyanyian dan musik melalui televisi, radio, dan lain-lain, terutama lagu-lagu yang seronok.

2. Membaca Al-Qur’an, terutama surat Al-Baqarah.

“Sesungguhnya syaitan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)

3. Mempelajari riwayat hidup Rasulullah sebagai seorang yang berakhlak mulia serta para shahabatnya.

Untuk pertama kali, mungkin masih ada yang merasa sulit untuk menghilangkan kebiasaan mendengarkan musik. Namun saudariku, kita harus yakin bahwa dalam setiap larangan-Nya selalu ada hikmah yang besar bagi kita.

Hakikat Dibalik Keindahan Lukisan, Gambar dan Patung

Hakikat diutusnya para nabi dan rasul adalah untuk mendakwahkan kepada manusia agar menyembah pada Allah semata, yaitu memurnikan aqidah dari kesyirikan. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (yang berseru) sembahlah Allah dan tinggalkan thaghut itu. ” (QS. An-Nahl: 36)

Pada zaman dahulu, banyak orang menjadi kafir karena menyembah patung di samping menyembah Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana orang-orang Quraisy yang kafir karena menyembah berhala. Awal mula penyembahan patung adalah karena sikap orang-orang pada zaman Nuh ‘alahissalam berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Setelah orang-orang shalih itu meninggal, mereka kemudian membuat patung orang-orang shalih tersebut yang lama-kelamaan menjadikannya sebagai sesembahan. Inilah salah satu sebab mengapa Islam melarang memajang patung maupun membuat gambar makhluk bernyawa karena hal itu dapat menjadi sarana terjadinya kesyirikan.

Banyak orang yang berkata bahwa sekarang ini sudah tidak ada orang yang menyembah patung lagi. Namun hal tersebut adalah sebuah kekeliruan besar. Berapa banyak orang-orang yang kufur (Nasrani, Hindu, Budha, dll) karena mereka lebih memilih menyembah patung yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun daripada menyembah Allah ‘Azza wa Jalla? Apakah patung-patung tersebut mampu melindungi pemujanya ketika mereka dalam kesusahan? Jangankan membela pemujanya, membela diri mereka saja mereka tidak akan bisa. Yang ada justru pemujanya yang melindungi mereka, karena bagaimanapun patung-patung itu adalah benda mati yang dibuat oleh manusia.

Benarkah Islam telah melarang adanya patung dan membuat gambar-gambar makhluk bernyawa? Lalu apa buktinya? Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwad, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia).’” (QS. Nuh: 23-24)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku. waktu itu tirai penutup bilik saya berupa kain tipis yang penuh dengan gambar (dalam riwayat lain disebutkan: terdapat gambar kuda-kuda bersayap.) Melihat tirai tersebut, beliau merobeknya dan wajahnya terlihat merah padam. Beliau kemudian bersabda, ‘Wahai ‘Aisyah, manusia yang disiksa dengan siksaan yang paling keras pada hari kiamat kelak adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah’ (Dalam riwayat lain: ‘Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa dan dikatakan kepadanya, ‘Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan ini!” Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar tidak akan dimasuki malaikat.”) ‘Aisyah berkata, ‘Saya kemudian memotong kain tersebut dan menjadikan sebuah bantal atau dua bantal. (Saya kemudian melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar.)’” (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ats-Tsaqafi, ‘Abdurrazaq dan Ahmad)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala mengomentari hadist tersebut dengan adanya dua petunjuk:

Pertama, haramnya menggantung gambar atau sesuatu yang mengandung gambar.

Kedua, larangan membuat gambar, baik berupa patung maupun gambar biasa. Dengan kata lain menurut mayoritas ulama, baik yang memiliki bayangan (3 dimensi) atau tidak.

Hadist di atas dikuatkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan bahwa Jibril ‘alaihissalam mendatangi rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada beliau, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat korden yang bergambar. Oleh karena itu, hendaklah kalian memotong kepala gambar-gambar tersebut, lalu jadikanlah sebagai hamparan atau bantal, lalu gunakanlah untuk bersandar, karena kami tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau biarkan patung-patung itu sebelum kau jadikan tidak berbentuk dan jangan pula kau tinggal kuburan yang menggunduk tinggi sebelum kau ratakan.” (HR. Muslim)

Adapun gambar bagian-bagian tubuh kecuali muka adalah diperbolehkan menurut sebagian ulama semisal gambar tangan, kaki, dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah, “Di dalam rumah itu terdapat tirai dari kain tipis yang bergambar patung dan di dalam rumah itu terdapat seekor anjing. Perintahkan agar gambar kepala patung yang berada di pintu rumah itu dipotong sehingga bentuknya menyerupai pohon, dan perintahkan agar tirai itu dipotong dan dijadikan dua buah bantal untuk bersandar dan perintahkan agar anjing itu dikeluarkan dari rumah.” (HR. At-Tirmidzi dalam Al-Adab 2806)

Bahaya Patung dan Gambar

Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali adanya bahaya yang mengancam agama, akhlak dan harta manusia. Islam melarang patung dan gambar makhluk bernyawa karena banyak mendatangkan bahaya:

1. Patung dan gambar dapat menjadi sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya pemujaan terhadap patung dan berhala.

2. Pada masa sekarang ini banyak dipasang gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya di sepanjang jalan dengan ukuran sangat besar. Hal ini seakan-akan sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, padahal Islam sangat memuliakan wanita. Namun justru wanita sendiri yang rela dirinya dieksploitasi dengan dalih seni dan keindahan.

3. Manusia yang paling pedih siksanya adalah pelukis dan pembuat gambar karena mereka meniru ciptaan Allah.

“Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis)” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya pemilik gambar ini akan diadzab dan akan dikatakan kepada mereka. Hidupkanlah apa yang telah engkau ciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Membuat patung dan gambar adalah merupakan pemborosan karena biaya yang dihabiskan untuk membuat maupun membelinya kadang sampai mencapai jutaan rupiah.

5. Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau lukisan makhluk yang bernyawa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah, “Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan lukisan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Gambar dan Patung yang Diperbolehkan

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan bahwa terdapat beberapa gambar dan patung yang diperbolehkan, yaitu:

1. Gambar dan patung selain makhluk bernyawa.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apabila anda harus membuat gambar, gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak ada nyawanya.” (HR.Bukhari)

2. Gambar-gambar yang dipasang di kartu pengenal seperti paspor, SIM dan lain-lain yang diperbolehkan karena keperluan darurat.

3. Foto penjahat agar mereka dapat ditangkap untuk dihukum.

4. Barang mainan anak perempuan yang dibuat dari kain seperti boneka berupa anak kecil yang dipakaikan baju dengan maksud untuk mendidik rasa kasih sayang pada anak perempuan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya bermain-main dengan boneka berbentuk anak perempuan di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)

5. Diperbolehkan gambar yang dipotong kepalanya sehingga tidak menggambarkan makhluk bernyawa lagi. Hal ini berdasarkan perintah malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala gambar seperti pada hadist yang telah disebutkan sebelumnya.

Demikianlah bagaimana agama yang hanif (lurus) ini telah menggariskan yang terbaik bagi manusia. Hanya orang-orang yang beriman yang akan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan bersegera dan penuh keikhlasan. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Allahu Ta’ala a’lam.

Maraji’:

Adab Az-Zifaf (edisi terjemah) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Bimbingan UntukPribadi dan Masyarakat (Taujihaat Islamiyyah) karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ (edisi terjemah) karya Imam As-Suyuthi


Sumber: Artikel www.muslimah.or.id

PELEDAKAN DEMI PELEDAKAN...INIKAH JIHAD ?

Oleh: Redaksi Bulletin At Tauhid Edisi 125 Tahun II.


Peledakan demi peledakan terjadi di negeri kita. Yang satu belum terlupakan dan bekasnya masih ada, duh yang lain terjadi lagi. Terakhir masyarakat Indonesia Raya dikagetkan lagi oleh sebuah ledakan di Hotel JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 M.

Sebagian orang yang terpengaruh dengan paham Khawarij menyangka bahwa semua tindak teror tersebut adalah ibadah jihad yang mendapatkan ganjaran pahala yang amat besar di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Tapi, demikiankah jihad??!

Para pembaca yang budiman, apa yang dilakukan oleh para teroris tersebut bukanlah jihad sedikitpun!! Bahkan ia adalah sebuah bentuk pemberontakan kepada pemerintah muslim, dalam hal ini Bapak SBY –semoga Allah selalu memberinya petunjuk dan kekuatan-. Sedangkan pemberontakan kepada seorang pemerintah muslim adalah amat haram!!!

Kalian jangan tertipu dengan pengakuan batil mereka yang menyatakan bahwa perbuatan mereka adalah JIHAD, walaupun mereka menghiasi perbuatan batil mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang JIHAD. Demikianlah kebiasaan buruk mereka dari zaman ke zaman, mereka senantiasa berdalih dengan ayat atau hadits, padahal ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut menjadi bumerang atas diri mereka yang tidak menempatkannya pada tempatnya. Sebab ayat-ayat atau hadits-hadits JIHAD menjelaskan bahwa jihad yang dimaksudkan adalah JIHAD bersama pemerintah dan atas izinnya, bukan kembali kepada ide dan hawa nafsu setiap orang, walaupun ia melantik dirinya sebagai "MUJAHIDIN"!!!

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan aqidah Ahlus Sunnah, "Haji, dan jihad akan terus berjalan bersama pemerintah dari kalangan kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir sampai tegaknya hari kiamat, tak akan dibatalkan dan digugurkan oleh sesuatu apapun". [Lihat Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 50)]

Para teroris menganggap perbuatan mereka merupakan perbaikan yang membawa kemaslahatan. Ini adalah sangkaan batil, sebab bagaimana mungkin suatu perusakan dikatakan perbaikan. Cukuplah kerusakan dari tindak jahat mereka tersebut, jauhnya manusia dari Islam, dan banyaknya persangkaan buruk kepada Islam beserta pemeluknya. Belum lagi akibat buruk lainnya, berupa sempitnya gerak dakwah Islam di berbagai tempat. Mereka inilah yang disebutkan oleh Allah -Azza wa Jalla- di dalam firman-Nya,

"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya dalam kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanaman-tanaman dan binatang ternak. Sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", maka bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah baginya neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya". (Al-Baqoroh : 204-206)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman Ibn Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, "Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa ucapan-ucapan yang muncul dari orang-orang, bukanlah dalil tentang kejujuran atau kedustaan, kebajikan atau kefajiran sampai ada perbuatan yang membenarkan ucapannya atau membersihkannya. Seyogyanya menguji kondisi orang-orang yang memberi kesaksian, para pejuang kebenaran, dan para pejuang kebatilan dari kalangan manusia dengan meneliti perbuatan-perbuatan mereka, memperhatikan korelasi-korelasi dari kondisi mereka, serta jangan tertipu dengan kecohan mereka, dan penyucian mereka terhadap diri mereka sendiri". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman min Kalam Al-Mannan (hal. 94) oleh As-Sa'diy]

Seorang teroris (walaupun ia mengaku sebagai "mujahid") jika niatnya ingin melakukan perbaikan di muka bumi dengan tindak terornya, maka ucapannya tidak boleh kita benarkan begitu saja, sebab apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar, bahkan perbuatan batil. Mana ada dalil dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menyatakan bahwa jihad boleh dikumandangkan tanpa ada izin dari pemerintah muslim?! Mana hujjahnya (dalil) bahwa membunuh orang kafir mu’ahad atau musta’min atau kafir dzimmi adalah sesuatu yang dibenarkan?! Tolong datangkan dalilnya -wahai para teroris- bahwa jihad adalah membunuh kaum muslimin?!

Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh kaum KHAWARIJ-TERORIS, kecuali mereka harus berdusta dan menipu kaum muslimin dengan silat lidah mereka yang licik.

Membunuh orang-orang kafir di luar medan jihad, dan tanpa ada izin dari pemerintah adalah perbuatan kezhaliman di sisi Allah, sebab perbuatan itu akan melahirkan kerusakan besar bagi kaum muslimin. Inilah yang pernah dikatakan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,

“ Oleh Karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi". (QS. Al-Maa’idah: 32)

Inilah hukum yang Allah tetapkan bagi Bani Isra’il, suatu kaum yang suka membunuh manusia. Perlu diketahui bahwa hukuman dan ancaman dalam ayat ini tidak terkhusus bagi Bani Isra’il, tapi mencakup semua umat. Hanya saja Allah mengaitkan ayat ini dengan Bani Isra’il, karena mereka adalah kaum jahat yang amat gemar membunuh manusia, sampai para nabi-nabi pun mereka bunuh.

Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, "Allah menyebutkan Bani Isra’il secara khusus, karena konteks ayat menyebutkan kejahatan-kejahatan mereka (Bani Isra’il); karena mereka umat pertama yang turun atasnya ancaman dalam hal pembunuhan jiwa. Lantaran itu, lahirlah kecaman keras atas mereka, karena seringnya mereka menumpahkan darah, dan seringnya membunuh para nabi". [Lihat Fath Al-Qodir (2/298)]

Jika orang-orang kafir tinggal bersama kaum muslimin (kafir dzimmi) atau masuk ke negeri kita (kafir mu’ahad atau musta’min) dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kita, maka kita tidak boleh menzhalimi mereka dan menyakitinya, kecuali jika ia melakukan pelanggaran, maka ia diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Namun hukuman tersebut tidak dilakukan oleh orang perorangan, tapi kembali kepada pemerintah.

Selain kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin), orang-orang kafir tersebut di atas (kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’min) tidak boleh kita bunuh, dan tidak boleh pula dizhalimi. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya -radhiyallahu anhum-. Kaum kafir di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- banyak yang keluar masuk ke negeri Madinah dan Makkah, tapi tak ada sejarahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- membunuh atau menzhalimi mereka. Adapun kafir harbi atau kaum Yahudi (Bani Isra’il) yang suka membatalkan isi perjanjian, maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerangi mereka demi mencapai kemaslahatan dan menciptakan keamanan. Sebab mereka adalah kaum yang suka berbuat onar sebagaimana juga yang anda lihat sampai hari ini di Negeri Palestina –semoga Allah membersihkannya dari cengkeraman zhalim Bani Isra’il-.

Di dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam menjelaskan bahwa orang-orang kafir (selain kafir harbi) tidak boleh dibunuh,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

" Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun " . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang kafir mu’ahad, merendahkannya, membebani di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya, tanpa keridhoan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (3052). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (445)]

Hadits ini adalah dalil bantahan atas para teroris yang semena-mena mengganggu orang-orang kafir, seperti menyakitinya, menakut-nakutinya, menghalalkan harta mereka, bahkan membunuh mereka sebagaimana yang terjadi di Legian, Bali, dan daerah lainnya.

Abdur Ra’uf Al-Munawiy Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata ketika menerangkan hadits yang semakna dengan hadits di atas, "Orang kafir yang diberi jaminan keamanan (oleh pemerintah muslim), dan orang mukmin, tidak boleh diganggu jiwa, anggota badan, dan hartanya selama masih ada ikatan perjanjian dan jaminan keamanan. Bagi permasalahan ini ada syarat-syarat dan hukum-hukumnya yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab furu’ (fiqih)". [Lihat Faidhul Qodir (6/318)]

Jadi, menganggu, dan menzhalimi kaum kafir tersebut –apalagi membunuhnya- adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bukan seperti yang dipahami oleh para teroris-Khawarij bahwa semua jenis orang kafir boleh dibunuh. Demi Allah, ini adalah bukti kedunguan dan kedangkalan akal mereka. [Lihat Badzl An-Nushhi wa At-Tadzkir li Baqoya Al-Maftunin bi At-Takfir wa At-Tafjir (hal. 42-43) karya Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad, cet. Mathba'ah Safir, 1426 H]

Para pembaca budiman, para teroris dalam aksi kejinya, bukan hanya menzhalimi dan membunuh orang kafir saja, tapi KAUM MUSLIMIN pun tak lepas darinya. Membunuh seorang muslim dengan sengaja, dan tanpa alasan syar’iy merupakan dosa besar yang mendapatkan lima ancaman dalam sebuah nas ayat,

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa`: 93)

Ibnu Nashir As-Sa’diy berkata, "Tak ada ancaman yang lebih besar dalam semua jenis dosa besar, bahkan tidak pula semisalnya dibandingkan ancaman ini, yaitu pengabaran bahwa balasan orang yang membunuh adalah Jahannam. Maksudnya, cukuplah dosa yang besar ini saja untuk dibalasi pelakunya dengan Jahannam, beserta siksaan yang besar di dalamnya, kerugian yang hina, murkanya Al-Jabbar (Allah), luputnya keberuntungan, dan terjadinya kegagalan, dan kerugian. Kami berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmat-Nya". [Lihat Taisir Al-Karim (hal.193-194)]

Lihatlah pembaca yang budiman!! Allah mengancamnya di dalam ayat ini dengan neraka Jahannam dan tidak sampai disitu saja, bahkan ia akan lama di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya dan menyediakan siksa yang pedih baginya. Tak heran jika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَزَوَالُ لدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang muslim”. [HR. At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1399), dan An-Nasa`iy dalam As-Sunan (7/82). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghoyatul Maram (4390)]

Para pembaca yang budiman, saking bodohnya para teroris tersebut, mereka rela membunuh diri dengan bom. Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka kelak ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari kiamat". [HR. Al-Bukhoriy (no. 6047), dan Muslim (no. 176)]

Semua ayat-ayat dan hadits-hadits di atas meruntuhkan persangkaan batil para teroris-Khawarij yang menyatakan bahwa tindak teror dan peledakan yang mereka lakukan adalah JIHAD!!! Padahal bukan jihad, bahkan perusakan, bunuh diri dan mati konyol !!!

Ulama Negeri Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhohullah- berkata setelah peledakan di kota Riyadh yang dilakukan oleh para teroris, "Peristiwa peledakan yang telah terjadi termasuk perkara yang amat buruk dalam hal kejahatan dan perusakan di muka bumi. Perkara yang lebih buruk lagi, setan menghias-hiasi bagi para teroris yang telah melakukan perbuatan itu bahwa perbuatan jahat itu adalah JIHAD. Berdasarkan akal dan agama apakah sehingga JIHAD bisa berupa bunuh diri, membunuh kaum muslimin, dan kaum kafir yang mendapatkan jaminan keamanan, menakut-nakuti masyarakat, membuat para wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, merobohkan bangunan bersama orang-orang ada di dalamnya". [Lihat Bi Ayyi Aqlin wa Diin Yakunu At-Tafjir wa At-Tadmir Jihadan?! (hal. 16), oleh Syaikh Al-Abbad]

Mereka berteriak ketika kaum kuffar AS dan sekutunya membantai jutaan kaum muslimin dengan menyatakan bahwa nyawa seorang muslim itu sangat mahal di sisi Allah. Namun di sisi lain, mereka sendiri ternyata juga turut menumpahkan darah kaum muslimin. Parahnya lagi, kesalahan tersebut berusaha ditutupi dan dibenarkan dengan berjuta dalih: “Ini kan jihad”, dan “Mereka mati syahid”. Seorang yang membunuh dirinya, membunuh kaum muslimin, atau kaum kafir yang tak layak dibunuh, merusak harta benda orang lain, dan membangkang melawan pemerintah. Demikiankah jihad?! Sama sekali bukan jihad, tapi ia adalah teror dan pemberontakan yang diharamkan dalam Islam!!

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 125 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Url sumber http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/inilah-jihad.html)

MENGOBRAL AURAT MERUSAK MASYARAKAT (2)

Oleh: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi


Perintah Menahan Pandangan

Allah ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluan maka Allah pun memerintahkan kaum perempuan yang beriman dengan perintah serupa. Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,” yaitu menahan pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki dengan disertai syahwat atau pandangan sejenis yang terlarang.” “Dan hendaknya mereka menjaga kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’, menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan barang perhiasan. Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 566)

Sedangkan yang dimaksud dengan illa maa zhahara minhaa atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/84). Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl bin Abbas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hazm berkata: “Seandainya wajah adalah aurat maka wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas: sedangkan dia adalah perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah perempuan itu terbuka dan ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya untuk menutupinya. (lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385)

Situasi yang Membolehkan Memandang Perempuan

Diantara keadaan yang membolehkan lelaki untuk melihat perempuan adalah:

1. Ketika melamar (khitbah). Abu Malik berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang lelaki memandangi perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”
2. Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada asalnya hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki diperbolehkan mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang sakit apabila itu memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan batasan syari’at yang sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah: Hendaknya lebih didahulukan dokter perempuan dalam mengobati pasien perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah orang yang amanah dan baik agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan tanpa ada mahram atau perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian tubuh yang dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.
3. Hakim dan saksi yang melihat perempuan yang terlibat dalam kasus persidangan.
4. Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam transaksi jual beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki melihat wajah perempuan lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian pula sebaliknya, dia boleh melihat lelaki itu.” (diringkas dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 403-404)

Jangan Bertabarruj

Allah ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Abu Malik mengatakan: “Yang dimaksud dengan tabarruj adalah: seorang perempuan menampakkan perhiasan serta kecantikan dirinya dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal itu dapat memancing syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Ancaman bagi yang Bertabarruj

Diriwayatkan hadits melalui jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya: Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi, dengan alat itu mereka menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang berpakaian namun telanjang yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan kecantikannya. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Seorang muslimah shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu tanda bukti kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95) Beliau juga berkata: “Sehingga apabila ada seorang perempuan yang mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia tercakup oleh (ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220) Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan, padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220)

Berdandanlah untuk Suami Tercinta

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Berdandan dan menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang disyari’atkan akan tetapi hanya dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)

Demikian pula kisah Ummu Sulaim ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu Thalhah pulang maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka suaminya pun menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia berdandan untuk suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.” … … … “…’Aisyah radhiyallahu’anha pun sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits luput dari beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170)

Di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kriteria perempuan (isteri) yang terbaik. Maka beliau menjawab, “Yaitu perempuan yang menyenangkan suaminya apabila dipandang, taat kepada suami jika diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 456)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah saudariku muslimah, disunnahkan (bagimu) memperhatikan urusan rambut dan menyisirnya, meminyaki dan mencucinya dan sebagainya agar engkau bisa tampil menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak diragukan lagi bahwa membuat senang suami adalah sesuatu yang dituntut dalam koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 412) Selain itu hendaknya dia rajin menggosok gigi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perempuan juga diperbolehkan menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau yang biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada di sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus menghilangkan semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian (kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak wangi.” (HR. Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.411-426)

Selesai disusun, malam Jum’at, 2 Rabi’u Tsani 1428
Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat

Abu Muslih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuni
Dan memberikan taufiq kepadanya

Sumber: Artikel www.muslimah.or.id

MENGOBRAL AURAT MERUSAK MASYARAKAT (1)

Oleh: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi

Seorang perempuan cerdik dan shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dengan mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan dan kehancuran. Dan dengan hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab dan rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91) Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)

Mulia dengan Pakaian Takwa

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah itu Khusus untuk Isteri Nabi ?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan untuk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dalam hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan untuk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dalam perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53) Alasan hukum yang disebutkan Allah dalam menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki dan perempuan dari godaan nafsu di dalam firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka dan hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tidak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tidak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan dan kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tidak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus untuk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dalam ayat ini bersifat umum dengan adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat jilbab

Di dalam kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh dan juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang dan semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dalam Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani dan para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

1. Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah dan bukan sesuatu yang wajib.
2. Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dengan warna selain hitam dan beliau tidak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dengan pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak dan semacamnya. Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Pakaian itu harus tebal, tidak boleh tipis supaya tidak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dalam Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh dan tidak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.
4. Harus longgar, tidak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dalam riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.
5. Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.
6. Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dan lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad sahih)
7. Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad)
8. Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud untuk mencari popularitas. Yang dimaksud dengan libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai untuk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dengan sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Yang Boleh Melepaskan Jilbab

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tidak punya hasrat menikah untuk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dengan perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tidak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tidak lagi berhasrat untuk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tidak diizinkan-Nya kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dalam keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tidak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan untuk ditutupi sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tidak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab dan sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh dan melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tidak menarik untuk dinikmati dan tidak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah)

Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah dan Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya dan tidak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang boleh dilepas dalam ayat ini adalah kerudung, jubah, dan semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tidak melepas pakaian tersebut (kerudung dan semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Sumber: Artikel www.muslimah.or.id