FENOMENA DUKUN UANG

on Kamis, 14 Januari 2010

Penulis: Al-Ustadz Abdul Wahid At-Tamimi

Deraan krisis ekonomi berkepanjangan yang berujung pada tingginya angka pengangguran dan lesunya sektor riil, membuat sebagian orang dengan mudahnya tergiur cara-cara instan untuk mendapatkan uang. Tak heran jika hampir tiap hari kita disuguhi berita banyaknya masyarakat yang tertipu dengan praktik-praktik bisnis berkedok pegadaian, ‘perjudian’ bernama Asuransi, hingga yang berbau ‘primitif’ sekalipun, yakni penggandaan uang melalui dukun.

Tak jarang praktik-praktik tersebut dibungkus dengan istilah-istilah modern, seperti spiritualis, supranaturalis, ahli metafisika, dan nama-nama lainnya. Ditambah lagi si dukun kerap membantah keras jika metodenya tersebut dianggap klenik yang sarat dengan kesyirikan. Untuk menipu masyarakat, umumnya mereka mengaku menggunakan jin putih bukan jin hitam, jalan kanan bukan jalan kiri, anti syirik, dan berbagai alasan lainnya.

Bahkan tak jarang, dengan sekuat tenaga mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan praktik busuk mereka. Padahal dengan jelas Allah subhanahu wata’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab. Mereka percaya kepada Al-Jibt dan Ath-Thaghut, serta mengatakan kepada orang kafir di Makkah bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang beriman.” (An-Nisa: 51)

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya (2/7726) menyatakan berkenaan dengan ayat ini:

“Bahwa yang dinamakan Al-Jibt dalam bahasa Habasyah adalah tukang sihir, sedangkan yang dimaksud dengan Ath-Thaghut adalah para dukun.”

Saudara, hakekat perbuatan dukun adalah meminta bantuan setan untuk mengetahui hal-hal yang terkait dengan perkara gaib, seperti meramal nasib seseorang, mengetahui tempat barang-barang yang raib, atau mengaku mengetahui peristiwa yang akan terjadi. Yang tentu saja, perkara yang akan datang tersebut sebenarnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah ‘azza wajalla saja. Hanya saja sang dukun meminta bantuan para setan yang menyadap berita langit dari pernyataan-pernyataan malaikat. Lantas oleh setan perkataan tersebut disampaikan ke telinga dukun. Kemudian sang dukun menambahi kalimat tersebut dengan seratus kedustaan. (Lihat ‘Aqidatut Tauhid hal. 126 karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Dari sini, nampak sekali persahabatan antara setan dan dukun terjalin dengan mesra. Praktik dukun yang menggunakan cara-cara magis tak lepas dari bantuan setan. Dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (221) تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (222) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ.

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah para pendusta.” (Asy-Syu’ara’: 221-223)

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا.

“Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jinn: 6)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang dukun, beliau menjawab:

لَيْسُوا بِشَيْءٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا الشَّيْءَ يَكُونُ حَقًّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْجِنِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُونَ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ

“Sungguh mereka itu tidak ada apa-apanya. Lantas orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, terkadang para dukun itu mengatakan sesuatu yang benar? Maka Nabi menjawab; perkataan itu dari yang benar, lantas setan menyambarnya, lalu disampaikan kepada telinga pengikutnya seperti suara ayam betina. Tercampurlah di dalamnya dengan seratus lebih kedustaan.” (HR. Al-Bukhari no. 7561, Muslim no. 4135)

Saudara pembaca, itulah sebenarnya hakekat dukun. Mereka sejatinya adalah tukang bual, yang pada akhirnya keahliannya dalam berdusta tersebut digunakan sebagai bisnis yang dapat menghasilkan uang.

Tentu dalam prakteknya mereka tidak hanya pandai komat-kamit membaca mantra, namun mereka pun lihai membungkus ajian-ajian syiriknya tersebut dengan bahasa yang berbau kearab-araban. Tak lain, semua itu digunakan untuk menutupi kedustaannya tersebut dengan label agama.

Konyolnya, di zaman yang (katanya) kian maju ini, banyak orang yang justru kian mudah dibodohi. Laris manisnya praktik perdukunan adalah contoh nyata yang terpapar di depan kita. Karir sukses, lancar usaha, kaya mendadak hingga ritual buang sial adalah segelintir jualan dukun yang mampu membenamkan akal sehat sebagian masyarakat.

Kini praktik tersebut ternyata mulai diperankan oleh para dukun ‘putih’ yang dibalut dengan nama-nama yang terkesan kekinian, seperti orang pinter, paranormal, supranatural. Atau yang berbau agamis, seperti kiyai, ustadz, habib, atau yang lainnya. Namun intinya sama-sama dukun bual yang berusaha menyedot kocek orang lain.

Padahal kasus penipuan berupa penggandaan uang yang melibatkan para dukun, bukan berita baru dan rahasia di masyarakat. Tapi hal itu senyatanya tak membuat masyarakat jera. Dukun berikut produk-produknya masih kian laris diserbu masyarakat hingga kini. Padahal ini adalah masalah besar yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ancam dalam sabdanya:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi dukun, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari”. (HR. Muslim No. 2230, Ahmad no. 16041 dari beberapa istri Rasulullah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2918)

Hukum ini sebagai akibat dari hanya mendatangi dukun saja, walaupun ia tidak mempercayai dukun tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan walaupun hanya sekadar mendatanginya saja. Oleh karena itu, ketika shahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan perihal dukun, beliau menjawab:

فَلا تَأْتُوا الْكُهَّانَ

“Jangan sekali-kali kalian mendatangi para dukun.” (HR. Muslim no. 4133)

Adapun kalau mempercayainya, maka ancamannya jelas lebih keras lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam dalam sabdanya:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai yang dikatakannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Ahmad No. 9541, dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2650)

Bertolak dari dalil-dalil di atas, setidaknya ada dua bahaya besar yang mengancam orang-orang yang mendatangi dan menanyakan sesuatu kepada para dukun:

Pertama; haram, shalatnya tidak mendapat pahala selama 40 hari. Ini sebagai akibat hanya mendatanginya saja guna menanyakan sesuatu.

Kedua; kekafiran, jika membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan dukun tersebut.

Namun, jika datangnya ke dukun dalam rangka hendak menampakkan kelemahan dan kedustaan dukun, atau menguji dukun tersebut, tidak dalam rangka mengambil perkataannya, maka hal ini diperbolehkan.

(Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, I/533-534)

Parahnya, tak sedikit orang terbuai dengan giuran maut mereka yang kini mulai mampu merasuk ke jajaran saudagar muda, setelah diiming-iming bisa menggandakan uang dengan berlipat-lipat.

Justru kenyataan berbalik, akhirnya sang mbah berbalik menjadi saudagar setelah berhasil mengeruk kantong korbannya. Sedangkan si saudagar tadi hanya bisa gigit jari, sadar bahwa dirinya telah tertipu setelah uangnya ludes digondol sang dukun.

Si dukun sendiri tak perlu mengeluarkan modal besar untuk merintis usahanya ini, hanya butuh beberapa rupiah untuk membeli kemenyan dan bunga tujuh rupa, ia mampu mengkibuli banyak pasien yang datang kepadanya.

Makna yang bisa ditangkap di sini, selain mimpi-mimpi kesuksesan yang memang menjadi penyakit membelit di sebagian masyarakat kita, juga dikarenakan syari’at tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang penting tanam duit dulu, pinjam sana pinjam sini, maka sekian laba per bulan telah membayang di depan mata. Atau bagi yang berdukun, tinggal tunggu malam Jum’at Kliwon, maka uang konon bakal berlipat dengan sendirinya.

Pembaca, itulah potret kehidupan manusia yang memang ‘tak pernah kehilangan akal’ untuk menyeberangi batasan-batasan syari’at. Demi urusan perut, seseorang terkadang rela menjual keislamannya kepada dukun dengan kesyirikan. Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa selainnya.” (An-Nisa’: 48)

Semoga kita semua terjaga dari perbuatan syirik yang dapat menyesatkan dan menjerumuskan umat ke jurang kebinasaan di dunia dan akhirat. Amin Ya Mujibas Sa’ilin…

SUMBER: http://www.assalafy.org/mahad/?p=424#more-424

0 komentar:

Posting Komentar