Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at

on Selasa, 25 Mei 2010

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim


Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك ولا الاسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم

“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,

فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان

“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة

“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa 1/250).

Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).

Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.

Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.

Artikel www.muslim.or.id

sumber: http://muslim.or.id/manhaj/hadits-shahih-sumber-hukum-syariat-bukan-hadits-dhaif.html

PANTUN NASEHAT MELAYU

# Angin teluk menyisir pantai
Hanyut rumpai di bawah titi
Biarlah buruk kain dipakai
Asal pandai mengambil hati
# Pergi mendaki Gunung Daik
Hendak menjerat kancil dan rusa
Bergotong-royong amalan yang baik
Elok diamalkan setiap masa
# Air melurut ke tepian mandi
Kembang berseri bunga senduduk
Elok diturut resmi padi
Semakin berisi semakin tunduk

# Daun sirih ulam Cik Da
Makan sekapur lalu mati
Walaupun banyak ilmu di dada
Biar merunduk resmi padi
# Buah pelaga makan dikikir
Dibawa orang dari hulu
Sebarang kerja hendak difikir
Supaya jangan mendapat malu
# Kemumu di tengah pekan
Dihembus angin jatuh ke bawah
Ilmu yang tidak diamalkan
Bagai pohon tidak berbuah
# Tumbuh melata si pokok tebu
Pergi pasar membeli daging
Banyak harta tak ada ilmu
Bagai rumah tidak berdinding
# Tulis surat di dalam gelap
Ayatnya banyak yang tidak kena
Jagalah diri jangan tersilap
Jikalau silap awak yang bencana
# Hendak belayar ke Teluk Betong
Sambil mencuba labuhkan pukat
Bulat air kerana pembetung
Bulat manusia kerana muafakat
# Pakai baju warna biru
Pergi ke sekolah pukul satu
Murid sentiasa hormatkan guru
Kerana guru pembekal ilmu
# Lagu bernama serampang laut
Ditiup angin dari Selatan
Layar dikembang kemudi dipaut
Kalau tak laju binasa badan
# Padi segemal kepuk di hulu
Sirih di hilir merekap junjungan
Kepalang duduk menuntut ilmu
Pasir sebutir jadikan intan.
# Budak-budak berkejar-kejar
Rasa gembira bermain di sana
Kalau kita rajin belajar
Tentu kita akan berjaya
# Jangan pergi mandi di lombong
Emak dan kakak sedang mencuci
Jangan suka bercakap bohong
Semua kawan akan membenci
# Buah cempedak bentuknya bujur
Sangat disukai oleh semua
Jika kita bersikap jujur
Hidup kita dipandang mulia
# Jikalau tuan mengangkat peti
Tolong masukkan segala barang
Jikalau anak-anak bersatu hati
Kerja yang susah menjadi senang
# Asam kandis mari dihiris
Manis sekali rasa isinya
Dilihat manis dipandang manis
Lebih manis hati budinya
# Kayu bakar dibuat arang
Arang dibakar memanaskan diri
Jangan mudah menyalahkan orang
Cermin muka lihat sendiri
# Selasih tumbuh di tepi telaga
Selasih dimakan si anak kuda
Kasih ibu membaa ke syurga
Kasih saudara masa berada
# Masuk hutan pakai sepatu
Takut kena gigitan pacat
Kalau kita selalu bersatu
Apa kerja mudah dibuat
# Bandar baru Seberang Perai
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan tulang berkecai
Budi yang baik dikenang juga
# Encik Dollah pergi ka Jambi
Pergi pagi kembali petang
Kalau Tuhan hendak membagi
Pintu berkancing rezeki datang
# Orang haji dari Jeddah
Buah kurma berlambak-lambak
Pekerjaan guru bukanlah mudah
Bagai kerja menolak ombak
# Pinang muda dibelah dua
Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua
Ajaran baik jangan diubah
# Terang bulan di malam sepi
Cahya memancar kepangkal kelapa
Hidup di dunia buatlah bakti
Kepada ibu dan juga bapa
# Kapal kecil jangan dibelok
Kalau dibelok patah tiangnya
Budak kecil jangan di peluk
Kalau dipeluk patah tulangnya
# Asal kapas menjadi benang
Dari benang dibuat kain
Barang yang lepas jangan dikenang
Sudah menjadi hak orang lain
# Tengahari pergi mengail
Dapat seekor ikan tenggiri
Jangan amalkan sikap bakhil
Akan merosak diri sendiri
# Ke hulu membuat pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Supaya jangan sesal kemudian
# Mari kita tanam halia
Ambil sedikit buat juadah
Usia muda jangan disia
Nanti tua sesal tak sudah
# Padi muda jangan dilurut
Kalau dilurut pecah batang
Hati muda jangan diturut
Kalau diturut salah datang
# Sorong papan tarik papan
Buah keranji dalam perahu
Suruh makan awak makan
Suruh mengaji awak tak mahu
# Anna Abadi membeli halia
FR memesan membeli laksa
Jadilah insan berhati mulia
Baik hati berbudi bahasa
# Sungguh indah pintu dipahat
Burung puyuh di atas dahan
Kalau hidup hendak selamat
Taat selalu perintah Tuhan

Belatuk di atas dahan
Terbang pergi ke lain pokok
Hidup mati ditangan Tuhan
Kepada Allah kita bermohon

Daun tetap di atas dulang
Anak udang mati dituba
Dalam Al-Qur'an ada terlarang
Perbuatan haram jangan dicuba

Kulit lembu celup samak
Mari buat tapak kasut
Harta dunia janganlah tamak
Kalau mati tidak diikut

Pak Kulup anak juragan
Mati diracun muntahkan darah
Hidup di dunia banyak dugaan
Kepada Allah kita berserah

Sayang-sayang buah kepayang
Buah kepayang hendak dimakan
Manusia hanya boleh merancang
Kuasa Allah menentukan

Banyak sayur dijual di pasar
Banyak juga menjual ikan
Kalau kamu sudah lapar
cepat cepatlah pergi makan

Kalau harimau sedang mengaum
Bunyinya sangat berirama
Kalau ada ulangan umum
Marilah kita belajar bersama

Hati-hati menyeberang
Jangan sampai titian patah
Hati-hati di rantau orang
Jangan sampai berbuat salah

Manis jangan lekas ditelan
Pahit jangan lekas dimuntahkan
Mati semut karena manisan
Manis itu bahaya makanan.

Buah berangan dari Jawa
Kain terjemur disampaian
Jangan diri dapat kecewa
Lihat contoh kiri dan kanan

Di tepi kali saya menyinggah
Menghilang penat menahan jerat
Orang tua jangan disanggah
Agar selamat dunia akhirat

Tumbuh merata pohon tebu
Pergi ke pasar membeli daging
Banyak harta miskin ilmu
Bagai rumah tidak berdinding

Pinang muda dibelah dua
Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua
Ajaran baik jangan diubah

Anak ayam turun sepuluh
Mati satu tinggal sembilan
Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh
Supaya engkau tidak ketinggalan

Anak ayam turun sembilan
Mati satu tinggal delapan
Ilmu boleh sedikit ketinggalan
Tapi jangan sampai putus harapan

Anak ayam turun delapan
Mati satu tinggal lah tujuh
Hidup harus penuh harapan
Jadikan itu jalan yang dituju

Ada ubi ada talas
Ada budi ada balas
Sebab pulut santan binasa
Sebab mulut badan merana

Jalan kelam disangka terang
Hati kelam disangka suci
Akal pendek banyak dipandang
Janganlah hati kita dikunci

Bunga mawar bunga melati
Kala dicium harum baunya
Banyak cara sembuhkan hati
Baca Quran paham maknanya

Ilmu insan setitik embun
Tiada umat sepandai Nabi
Kala nyawa tinggal diubun
Turutlah ilmu insan nan mati

Ke hulu membuat pagar,
Jangan terpotong batang durian;
Cari guru tempat belajar,
Supaya jangan sesal kemudian.

Tiap nafas tiadalah kekal
Siapkan bekal menjelang wafat
Turutlah Nabi siapkan bekal
Dengan sebar ilmu manfaat

HARIMAU SUMATERA SUDAH BANYAK PUNAH
SETIAP TAHUN DIBUAT BARANG PECAH BELAH
KALAU INGIN JADI PEMIMPIN AMANAH
CONTOH SAJA RASULULLAH

Sungguh indah pintu dipahat
Burung puyuh di atas dahan
Kalau hidup hendak selamat
Taat selalu perintah Tuhan

Halia ini tanam-tanaman
Ke barat juga akan rebahnya
Dunia ini pinjam-pinjaman
Ke akhirat juga akan sudahnya

Redup bulan nampak nak hujan
Pasang pelita sampai berjelaga
Hidup mati di tangan Tuhan
Tiada siapa dapat menduga

Terang bulan terang bercahaya
Cahaya memancar ke Tanjung Jati
Jikalau hendak hidup bahagia
Beramal ibadat sebelum mati

Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat jasad tidak sembahyang

Kulit lembu celup samak
Mari buat tapak kasut
Harta dunia janganlah tamak
Kalau mati tidak diikut

Banyaklah masa antara masa
Tidak seelok masa bersuka
Meninggalkan sembahyang jadi biasa
Tidak takut api neraka?

Dua tiga empat lima
Enam tujuh lapan sembilan
Kita hidup takkan lama
Jangan lupa siapkan bekalan

Kalau Tuan pergi ke Kedah
Singgah semalam di Kuala Muda
Sembahyang itu perintah Tuhan
Jika ingkar masuk neraka

Ramai orang menggali perigi
Ambil buluh lalu diikat
Ilmu dicari tak akan rugi
Buat bekalan dunia akhirat

Pak Kulup anak juragan
Mati diracun muntahkan darah
Hidup di dunia banyak dugaan
Kepada Allah kita berserah

Letak bunga di atas dulang
Sisipkan daun hiasan tepinya
Banyak berdoa selepas sembahyang
Mohon diampun dosa di dunia

Encik Borhan seorang kerani
Terkemut-kemut bila meniti
Tinggalkan sembahyang terlalu berani
Sepertii tubuhnya takkan mati

Sayang-sayang buah kepayang
Buah kepayang hendak dimakan
Manusia hanya boleh merancang
Kuasa Allah menentukan

Masa berada di Pulau Jawa
Rakan diajak pergi menjala
Maha Berkuasa jangan dilupa
Kuasa Allah tidak terhingga

Nyiur mudah luruh setandan
Diambil sebiji lalu dibelah
Sudah nasib permintaan badan
Kita di bawah kehendak Allah

Kemuning di dalam semak
Jatuh melayang ke dalam paya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya?

Harimau belang turun sekawan
Mati ditikam si janda balu
Ilmu akhirat tuntutlah tuan
Barulah sempurna segala fardu

Kera di hutan terlompat-lompat
Si pemburu memasang jerat
Hina sungguh sifat mengumpat
Dilaknat Allah dunia akhirat

Anak ayam turun sepuluh
Mati seekor tinggal sembilan
Bangun pagi sembahyang subuh
Minta doa kepada Tuhan

Anak ayam turun sembilan
Mati seekor tinggal lapan
Duduk berdoa kepada Tuhan
Minta Allah jalan ketetapan

Anak ayam turun lapan
Mati seekor tinggal tujuh
Duduk berdoa kepada Tuhan
Supaya terang jalan bersuluh

Anak ayam turunnya lima
Mati seekor tinggal empat
Turut mengikut alim ulama
Supaya betul jalan makrifat

Anak ayam turunnya lima
Mati seekor tinggal empat
Kita hidup mesti beragama
Supaya hidup tidaklah sesat

Tuan Haji memakai jubah
Singgah sembahyang di tengah lorong
Kalau sudah kehendak Allah
Rezeki segenggam jadi sekarung

Bulu merak cantik berkaca
Gugur sehelai ke dalam baldi
Jika tak banyak kitab dibaca
Jangan mengaku khatib dan kadi

Inderagiri pasirnya lumat
Kepah bercampur dengan lokan
Sedangkan nabi kasihkan umat
Inikan pula seorang insan

Anna Abadi pergi berenang
Sambil berenang berdondang sayang
Jika hidup dikurnia senang
Jangan lupa tikar sembahyang


(Dikumpulkan dari berbagai sumber dengan izin penulisnya)

Mari Menghidupkan Sunnah Nabi

on Sabtu, 22 Mei 2010

Penulis: Al-Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”[1].

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”[2].

Kedudukan dan Keutamaan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Islam

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam firman-Nya,

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).

Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“[4].

Ini berarti bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[5].

Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[6].

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam“[7].

Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“[8].

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“[9].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang telah ditinggalkan (manusia)[10].

Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”[11].

Semangat Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Meneladani Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.

Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!”[12].

Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[13], “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya”[14].

Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”[15].

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16], “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“[18], ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19].

Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”[20].

Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21].

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[22]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Peringatan dan Nasehat Penting

Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.

Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya. Apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku“[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].

Oleh karena itu, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}

“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).

Mirip dengan kasus di atas, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka syaikh al-’Utsaimin berkata, “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam) hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28].

Penutup

Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah Ta’ala ketika kita mengahadap-Nya nanti?

Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,

{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya” (QS al-Israa:71).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“[29].

Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?“[31].

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.

Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[32]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 9 Dzulqa’dah 1430 H

Artikel www.muslim.or.id
[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).

[2] Kitab “asy-Syifa bita’riifi huquuqil mushthafa” (2/24).

[3] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).

[4] HSR Muslim (no. 746).

[5] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).

[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).

[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).

[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).

[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/216).

[13] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r, dari kalangan atba’ut tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381).

[14] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/219).

[15] Ibid (1/168).

[16] Kitab “Ighatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (1/70).

[17] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubala’” (12/195).

[18] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-’Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.

[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.

[20] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/220).

[21] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).

[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).

[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).

[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa taujiihaat li tullaabil ‘ilmi” (1/55-57).

[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[28] Liqa-aatul baabil maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.

[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).

[30] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 166).

[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/74).

[32] Doa yang selalu diucapkan oleh imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349).

sumber: http://muslim.or.id/manhaj/mari-menghidupkan-sunnah-nabi.html

Wanita Penghuni Surga dan ciri-cirinya

Penulis: Redaksi Buletin Islam Al Ilmu Edisi: 22 / VI / VIII / 1431


Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Kenikmatan-kenikmatan di Al-Jannah (Surga)

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanallahu wa Ta’ala Shalallahu ‘alaihi wa Sallam rahimahullah berfirman:

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad: 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Merekalah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah: 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala:

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah: 22-23)

Juga firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman: 56)

Juga firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman: 58)

Dan firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah: 35-37)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau:

“…seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan berdendang bagi suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka: “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan: “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1561)

Ciri-Ciri Wanita Ahli Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah:

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala seakan-akan melihat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, jika dia tidak dapat melihat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, dia meyakini bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, tawakkal kepada-Nya, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah Subhanallahu wa Ta’ala, mengharap rahmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah Subhanallahu wa Ta’ala serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Taat kepada suami (dalam hal ma’ruf/kebaikan)

7. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata.

8. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

9. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

10. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, suka berderma, menjaga diri dari meminta-minta, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

11. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

12. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk

13. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

14. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

15. Berbakti kepada kedua orang tua.

16. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

17. Menutup aurat dan menjaga kehormatan dirinya.

18. Menundukkan pandangan

19. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan islami.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:

” … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Azhari Asri dan Redaksi artikel Darus Sunnah, berjudul Wanita Ahli Surga dan Ciri-cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini, dengan beberapa tambahan)

www.darussunnah.or.id

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=502#more-502

Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul (4)

Penulis: Al-Akh Yulian Purnama


Atsar berikut ini sering dibawakan oleh orang-orang yang gemar mencium serta mengusap-ngusap kubur untuk mengharap berkah darinya (tabarruk) :

عن داود بن أبي صالح ، قال : أقبل مروان يوما فوجد رجلا واضعا وجهه على القبر ، فأخذ برقبته وقال : أتدري ما تصنع ؟ قال : نعم ، فأقبل عليه فإذا هو أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه ، فقال : جئت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم آت الحجر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول : لا تبكوا على الدين إذا وليه أهله ، ولكن ابكوا عليه إذا وليه غير أهله

“Daud bin Abi Shalih berkata: “Suatu ketika Marwan[1] datang. Dia melihat seorang lelaki sedang meletakkan wajahnya di atas kubur Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu Marwan menarik lehernya dan mengatakan: “Apakah anda menyadari apa yang anda lakukan?”. Lelaki itu berkata: “Ya”, lalu menengok ke arah Marwan, ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari[2] Radhiallahu’anhu. Ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan datang untuk sebongkah batu. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan menangis untuk agama, jika agama masih dipegang oleh ahlinya. Namun tangisilah agama jika ia dipegang bukan oleh ahlinya”

Atsar ini diriwayatkan oleh:

1. Al Hakim dalam Mustadrak-nya, hadits no.8571, hal 515 jilid 4
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadits no. 23633, hal 422 jilid 5
3. Ath Thabrani, dalam Mu’jam Al Kabir, hadits no. 3999, hal 189 jilid 4. Juga di Mu’jam Al Ausath, hadits no. 289 dan no. 11422.

Jalur Periwayatan

Hadits ini diriwayatkan dari 2 jalan, yaitu dari jalan Daud bin Abi Shalih dan jalan Muthallib bin Abdillah bin Hanthab. Jalan pertama sebagaimana yang dibawakan Al Hakim dan Imam Ahmad. Al Hakim membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، ثنا العباس بن محمد بن حاتم الدوري ، ثنا أبو عامر عبد الملك بن عمر العقدي ، ثنا كثير بن زيد ، عن داود بن أبي صالح

”Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata kepadaku: Al ‘Abbas bin Muhammad bin Hatim Ad Dauri menyampaikan kepadaku: Abu ‘Amir ‘Abdul Malik bin Umar Al’Aqdiy menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”

Imam Ahmad membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الملك بن عمرو ثنا كثير بن زيد عن داود بن أبي صالح

“Abdullah berkata kepadaku: Ayahku (Abu Abdillah) berkata kepadaku: Abdul Malik bin ‘Amr menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”

Jalan kedua dibawakan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath dan Mu’jam Al Kabir, beliau membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut;

حدثنا أحمد بن رشدين قال : نا سفيان بن بشير الكوفي قال : نا حاتم بن إسماعيل ، عن كثير بن زيد ، عن المطلب بن عبد الله بن حنطب ، عن أبي أيوب الأنصاري

“Ahmad bin Rusydain menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Basyir Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku: Dari Katsir bin Zaid: Dari Muthallib bin Abdillah bin Hanthab: Dari Abu Ayyub Al Anshari”

Di tempat lain di Mu’jam Al Ausath, Ath Thabrani membawakan dengan sanad sedikit berbeda:

….حدثنا هارون بن سليمان أبو ذر ، ثنا سفيان بن بشر الكوفي ، نا حاتم بن إسماعيل

“Harun bin Sulaiman Abu Dzar menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Bisyr Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku, dst….”

Komentar Ulama

Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai status hadits ini. Ulama yang menerima hadits ini diantaranya:

Pertama: Abu Abdillah Al Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan:

هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه

“Sanad hadits ini shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim”

Kedua: Adz Dzahabi dalam Talkhis-nya terhadap Al Mustadrak, beliau mengatakan hadits ini shahih. Namun pernyataan ini agak aneh karena Adz Dzahabi mengatakan tentang Daud bin Abi Shalih:

حجازي لا يعرف

“Ia orang Hijaz namun tidak dikenal (majhul)” (Lisanul Mizan, 2617)

Ketiga: As Subki, dalam Syifa As Saqqam (152) mengatakan bahwa hadits ini shahih dan beliau berdalil dengan hadits ini bolehnya mengusap-usap kuburan.

Namun klaim shahih tersebut sangat patut dipertanyakan, sebab para ahli hadits mengkritik hadits ini karena terdapat kecacatan pada perawi-perawinya:

* Daud bin Abi Shalih
Adz Dzahabi sendiri mengatakan ia majhul. Ibnu Hajar Al Asqalani pun menyetujui hal ini, beliau berkata:

فأنى له الصحة؟

“Apa saya pernah tahu hadits shahih darinya?” (Tahdzib At Tahdzib, 188/3)
* Katsir bin Zaid
Ia adalah perawi yang memiliki kecacatan. Ibnu Hajar berkata:

صدوق يخطئ

“Orang jujur namun sering salah”

Al Haitsami berkata:

وثقه أحمد وغيره وضعفه النسائي

“Ia dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad, namun dianggap lemah oleh An Nasa’i” (Majma’ Az Zawaid, 441/5)
* Hatim bin Isma’il,
* Sufyan bin Basyir / Bisyr,
* Ahmad bin Rusydain,
Sedangkan pada riwayat yang terdapat pada Mu’jam Al Kabir dan Al Ausath, terdapat kecacatan pada perawi Hatim bin Isma’il. Sebenarnya ia adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari-Muslim. Namun komentar Ibnu Hajar tentangnya:

صحيح الكتاب ، صدوق يهم

“Shahihul kitab, jujur namun sering ragu”. (Tahdzib At Tahdzib)

Oleh karenanya Al Albani berkata: “Ada kemungkinan keraguan tersebut ada pada penyebutan Muthallib bin Abdillah padahal sebenarnya Shalih bin Abi Shalih. Namun juga, jalur periwayatan sebelum sampai ke Hatim tidaklah shahih. Sehingga keraguan juga dimungkinkan dari selain Hatim. Pasalnya Sufyan bin Basyir / Bisyr tidak dikenal (majhul). Barangkali juga kebohongan ada pada Ahmad bin Rusydain, guru dari Ath Thabrani. Karena status dari Ahmad bin Rusydain adalah muttahamun bil kadzab (tertuduh sering berdusta)”. (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)

Ringkasnya, dengan adanya kecacatan ini, wallahu’alam, lebih tepat menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if. Terlebih lebih terdapat ijma’ ulama yang dinukil dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Al Imam An Nawawi rahimahullah bahwa mengusap-ngusap kubur hukumnya terlarang. Al Haitami menyanggah As Subki yang berdalil dengan hadits ini dengan berkata:

الحديث المذكور ضعيف. فما قاله النووي- أي حكايته الإجماع على النهي عن مس القبر- صحيح لا مطعن فيه

“Hadits tersebut dhaif. Dan ijma yang dinukil oleh An Nawawi itu shahih tidak ada seorang ulama pun yang mengkritik” (Hasyiatul I-dhah, 219)

Sedangkan ijma yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan dalil shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

لا يمكن أن يقع إجماع على خلاف نص أبدا

“Tidak akan pernah ada ijma ulama yang bertentangan dengan dalil” (Majmu’ Fatawa, 201/19)[3]

Dengan kata lain, orang yang mengusap-ngusap kuburan dengan dasar anggapan shahih terhadap hadits ini, orang tersebut mengingkari klaim ijma’ dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Imam Abu Yahya Muhyiddin An Nawawi.

Tambahan

Terlepas dari dhaif-nya hadits ini, terdapat pula beberapa kejanggalan, diantaranya:

Pertama: Dalam hadits tersebut dikatakan Abu Ayyub Al Anshari meletakan wajahnya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu rata dengan tanah. Sebagaimana hadits shahih:

عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا

“Dari Sufyan At Tammar, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam rata dengan tanah” (HR. Al Bukhari, no.1390)

Jika demikian, konsekuensinya, Abu Ayyub Al Anshari dalam posisi sujud. Dan ini perkara yang mustahil, tidak pernah tergambar di benak bahwa ada seorang sahabat Nabi sujud kepada kuburan!

Kedua: Hadits ini seolah-olah menggambarkan bahwa makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terbuka dan dapat didatangi semua orang. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tertutup dan orang-orang dilarang masuk kecuali diberi izin. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:

عائشة « أن النبي ( قال في مرض موته» لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari)

Ketiga: Dalam hadits dikatakan bahwa Abu Ayyub Al Anshari meletakkan wajahnya di atas kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengungkapkan kesedihannya terhadap orang-orang yang berbicara agama tanpa ilmu. Dari sisi mana perbuatan ini dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap-ngusap kuburan untuk mengambil berkahnya (tabarruk) ??

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:

و قد شاع عند المتأخرين الاستدلال بهذا الحديث على جواز التمسح بالقبر لوضع أبي أيوب وجهه على القبر ، و هذا مع أنه ليس صريحا في الدلالة على أن تمسحه كان للتبرك – كما يفعل الجهال – فالسند إليه بذلك ضعيف كما علمت فلا حجة فيه

“Orang-orang zaman ini banyak yang menyebarkan kabar bahwa mengusap-ngusap kubur itu dibolehkan dengan dalil hadits ini. Yaitu dalam hadits ini Abu Ayyub meletakkan wajahnya di atas kuburan. Selain hadits ini sanadnya lemah, sebagaimana telah dijelaskan kepada anda, hadist ini juga tidak menunjukkan Abu Ayyub menyentuh kubur Nabi tersebut untuk mengambil berkah (tabarruk), seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak paham. Sehingga hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)

Keempat: Hadits ini juga sering dijadikan tameng oleh orang-orang syi’ah untuk membela kebiasaan mereka ber-tabarruk kepada imam-imam mereka (Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, 373 ). Ini salah satu bukti bahwa perbuatan mengusap-usap kubur dan ber-tabarruk dengannya adalah kebiasaan orang Syi’ah. Pantaskah kita mengikutinya?

Demikian penjelasan ringkas yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama.

Semoga Allah memberi taufik.

Diringkas dari:

* Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, Syaikh Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasy-qiyyah, halaman 373
* Silsilah Ahadits Adh Dha’ifah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, halaman 552

Artikel www.muslim.or.id
[1] Marwan bin Al Hakam bin Abil ‘Ash Al Qurasyi (2 – 65H), khalifah ke-4 Bani Umayyah, termasuk Kibarut Tabi’in.

[2] Abu Ayyub Khalid bin Zaid bin Kulaib Al Anshari (wafat tahun 52 H) -radhiallahu’anhu-, sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

[3] Dinukil dari Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, halaman 173, Muhammad bin Husain Al Jizani

sumber: http://muslim.or.id/aqidah/hadits-atsar-dhaif-serta-palsu-seputar-tawassul-dan-tabarruk-4.html

Dakwah Para Nabi dan Rasul

Penulis: Al-Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Berikut ini gambaran sekilas mengenai seruan para nabi dan rasul kepada kaumnya. Allah ta’ala telah mengisahkan sejarah perjuangan dakwah mereka di dalam kitab-Nya, mudah-mudahan kita termasuk orang yang bisa memetik pelajaran darinya, amin.

[1] Dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Nuh adalah dakwah tauhid.

[2] Dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Hud adalah dakwah tauhid.

[3] Dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 73). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Shalih adalah dakwah tauhid.

[4] Dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 85). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Syu’aib adalah dakwah tauhid.

[5] Dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah: 4). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Ibrahim adalah dakwah tauhid.

[6] Dakwah Segenap Rasul ‘alaihimus salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid.

Lalu apa yang dimaksud dengan tauhid itu?

Tauhid, sebagaimana telah dijelaskan di dalam ayat-ayat di atas adalah menyembah/beribadah semata-mata kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Inilah tauhid yang senantiasa didengung-dengungkan oleh para nabi dan rasul kepada kaumnya dan yang menjadi tujuan utama dakwah mereka (lihat Fath al-Majid, hal. 15, al-Qaul al-Mufid [1/7]).

Hakekat perintah tauhid ini sering diulang-ulang oleh Allah ta’ala di dalam al-Qur’an dalam konteks yang beraneka ragam. Di antaranya adalah:

[1] Ketika menjelaskan tujuan hidup jin dan manusia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

[2] Ketika menjelaskan muatan dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah kecuali dari Yang menciptakan diriku.” (QS. az-Zukhruf: 26-27)

[3] Ketika menjelaskan ‘motto hidup’ seorang mukmin

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku dan sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya milik Allah Rabb alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya.” (QS. al-An’am: 162-163)

[4] Ketika melarang berdoa kepada selain-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang tidak menjamin manfaat dan madharat kepadamu. Apabila kamu melakukannya, maka sungguh kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim. Apabila Allah timpakan kepadamu suatu bahaya, niscaya tidak ada yang bisa menyngkapnya kecuali Dia.” (QS. Yunus: 106-107)

[5] Ketika menjelaskan kesesatan orang yang berdoa kepada selain-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak akan bisa memenuhi permintaannya sampai kiamat tiba.” (QS. al-Ahqaf: 5)

[6] Ketika menjelaskan lemahnya sesembahan selain Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu mau mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak bisa menciptakan apa-apa, sementara mereka itu sendiri juga diciptakan, bahkan mereka juga tidak mampu untuk memberikan pertolongan kepada mereka/pemujanya…” (QS. al-A’raaf: 191-192)

[7] Ketika mencela sesembahan selain Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Segala sesuatu yang kalian seru selain-Nya itu sama sekali tidak menguasai meskipun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13)

[8] Ketika menjelaskan kecintaan orang kafir kepada sesembahan mereka

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengangkat selain Allah sebagai sesembahan tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)

[9] Ketika memerintahkan untuk bertawakal kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hendaknya kalian bertawakal kepada Allah saja, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23)

[10] Ketika melarang tindakan menyelisihi Rasul-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau siksa yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘fitnah’ dalam ayat ini adalah syirik.

Keutamaan Tauhid

Berikut ini sebagian keutamaan tauhid yang disebutkan oleh para ulama, semoga semakin mendorong kita untuk mendalami, mengamalkan, serta mendakwahkannya.

[1] Tauhid adalah rahasia al-Qur’an

al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “… Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh sebagian ulama salaf bahwa al-Fatihah merupakan rahasia al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini terkandung dalam kalimat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ -hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong-…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/36] cet. Dar al-Fikr)

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “al-Qur’an itu seluruhnya berbicara mengenai tauhid, hak-hak serta balasannya, dan juga berbicara mengenai syirik serta pelaku dan balasan/hukuman bagi mereka…” (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)

[2] Tauhid adalah syarat keamanan dan hidayah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik) mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah yang akan diberikan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82)

[3] Tauhid adalah syarat diterimanya amalan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110)

[4] Tauhid adalah sebab keberuntungan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

[5] Tauhid adalah kunci surga

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah telah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah: 72)

Kesimpulan

Setelah membaca dalil-dalil di atas, dapat kita simpulkan bahwa:

1. Dakwah para nabi dan rasul adalah dakwah tauhid
2. Hakekat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya
3. Tauhid tidak akan terwujud tanpa mengenal syirik dan macam-macamnya
4. Tauhid memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah; tauhid merupakan rahasia al-Qur’an, syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah, syarat diterimanya amalan, sebab keberuntungan, dan kunci untuk bisa masuk ke dalam surga
5. Dengan demikian, sudah semestinya setiap da’i Islam menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas utama dakwah yang dilakukannya
6. Dan bagi para orang tua, hendaknya mereka menjadikan pendidikan tauhid sebagai pembinaan yang paling dititikberatkan kepada putra-putri mereka. Allahu a’lam bis shawab.

Artikel www.muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/aqidah/dakwah-para-nabi-dan-rasul.html

Merenungi Kehidupan Setelah Kematian

Penulis: Redaksi Assalafy.org


Setiap jiwa pasti akan menemui ajalnya. Tiada setiap jiwa pun yang kekal abadi hidup di dunia. Bila ajal telah tiba tak ada yang bisa menghindar dan lari darinya. Bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tetapi telah berpindah ke alam berikutnya, yaitu alam kubur atau alam barzakh, yang termasuk bagian dari beriman kepada hari akhir.

Setiap yang telah memasuki alam kubur maka akan mengalami fitnah kubur. Yaitu ujian berupa pertanyaan dua malaikat kepada si mayit, tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Dari ujian ini akan diketahui apakah dia termasuk hamba-Nya yang jujur keimanannya sehingga berhak mendapatkan nikmat kubur, atau apakah dia termasuk yang dusta keimanannya sehingga berhak mendapakan adzab kubur.

Ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib setiap mu’min untuk meyakini kebenaran adanya fitnah kubur, nikmat kubur dan adzab kubur. Termasuk konsekuensi dari beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam adalah meyakini kebenaran apa yang dikhabarkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentang kejadian-kejadian di alam ghaib. Di awal-awal ayat Al Qur’an Allah Ta’ala mengkhabarkan ciri orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, diantaranya adalah orang yang beriman tentang perkara ghaib. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, menunaikan shalat dan menginfaqkan sebagian yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka pula beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka (Al Qur’an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Baqarah: 3-5)

Dalil – Dalil Tentang Fitnah Kubur
Dalil-dalil yang menunjukan adanya fitnah kubur, diantaranya;
Dalam Al Qur’an firman Allah ?:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan dengan al qauluts tsabit kepada orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
Di dalam ayat di atas menetapkan akan adanya fitnah kubur. Karena Allah Ta’ala memberikan kemulian kepada orang-orang yang benar-benar beriman dengan diteguhkannya al qaulul tsabit. Yaitu keteguhan iman si mayit di alam kubur ketika ditanya oleh dua malaikat. Sebagaimana hadits dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib ? bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا أُقْعِِدَ الْمُؤْمِنُ فِي قَبْرِهِ أُتِيَ ثُمَّ شَهِدَ أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَذَالِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ

“Jika seorang mu’min telah didudukkan di dalam kuburnya kemudian didatangi (dua malaikat dan bertanya kepadanya) maka dia akan (menjawab) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat:

أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Itulah al qauluts tsabit sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala di atas.” (H.R. Al Bukhari no. 1379 dan Muslim no. 2871)
Ayat di atas juga sebagai dalil bahwa peristiwa fitnah kubur ini merupakan bagian dari hari akhir. Karena Allah Ta’ala menyebutkan peristiwa fitnah kubur ini dengan lafadz “wafil akhirah” yaitu di hari akhir.

Demikian pula dari As Sunnah, dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Abu Dawud 2/281, Ahmad 4/287 dan selain keduanya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam mengisahkan peristiwa fitnah kubur yang akan dialami oleh orang mu’min dan orang kafir. Keadaan orang mu’min ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia akan dikokohkan jawabannya oleh Allah ?. Siapakah Rabb-mu? Dia akan bisa menjawab: Rabb-ku adalah Allah. Apa agamamu? Dia akan bisa menjawab: Agamaku adalah Islam. Siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun bisa menjawab: Dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam (Demikianlah Allah Ta’ala pasti memenuhi janji-Nya sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim: 27 di atas). Sebaliknya keadaan orang kafir ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia tidak akan bisa menjawab. Siapakah Rabb-mu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Apa agamamu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Lalu siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu.

Demikian pula hadits dari Ummul Mu’minin Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلُ أَوْ قَرِيْبٌ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Telah diwahyukan kepadaku sungguh akan ditimpakan fitnah kepada kalian di dalam kubur-kubur kalian seperti atau hampir mirip dengan fitnah Al Masih Ad Dajjal.” (H.R. Al Bukhari no. 87 dan Muslim no. 905)
Padahal fitnah Al Masih Ad Dajjal merupakan fitnah terbesar dari fitnah-fitnah yang terjadi sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat nanti. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ أَمْرٌ أكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ

“Tidak ada fitnah yang paling besar sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat dibanding dengan fitnah Dajjal.” (Muslim no. 2946)
Sehingga fitnah kubur itu pun amat ngeri seperti atau hampir mirip dengan fitnah Dajjal, kecuali bagi orang-orang yang jujur keimanannya. Oleh karena itu bila si mayit telah dikuburkan maka dianjurkan bagi kita untuk mendo’akannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَغْفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْئَلُ

“Mohonkan ampunan untuk saudaramu, dan mohonkan untuknya keteguhan (iman), karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (Shahihul Jami’ no. 476)
Adapun nama dua malaikat tersebut adalah malaikat Munkar dan Nakir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 1071, Ibnu Hibban no. 780 dan selain keduanya dari shahabat Abu Hurairah ?. Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1391.

Dalil – Dalil Adzab Kubur Dan Nikmat Kubur
Setelah mengalami proses fitnah kubur, maka akan mengalami proses berikutnya, yaitu proses nikmat kubur dan adzab kubur. Bila dia selamat dalam fitnah kubur maka dia akan mendapatkan nikmat kubur dan sebaliknya bila ia tidak selamat dalam fitnah tersebut maka dia akan mendapatkan adzab kubur.
Para pembaca, proses ini pun merupakan perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya. Karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mengkhabarkan peristiwa ini di dalam Al Qur’anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyyah.

Di antara dalil dalam Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala (artinya): “…, Alangkahnya dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang zhalim (kafir) berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangan mereka, sambil berkata: ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini (sekarang ini, sejak sakaratul maut) kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan. Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah dengan perkataan yang tidak benar dan selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’am: 93)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisirul Karimir Rahman: “Ayat ini sebagai dalil tentang adanya adzab di alam barzakh dan kenikmatan di dalamnya. Dan adzab yang diarahkan kepada mereka dalam konteks ayat ini terjadi sejak sakaratul maut, menjelang mati dan sesudah mati.”
Dalam Q.S. Ghafir ayat ke 46 Allah Ta’ala berfirman (artinya): “ (Salah satu bentuk azdab di alam barzakh nanti) Neraka akan ditampakkan di waktu pagi dan petang kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Kemudian pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
Berkata Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i: “Ayat di atas merupakan landasan utama yang dijadikan dalil bagi aqidah Ahlus Sunnah tentang adanya adzab di alam kubur.” (Lihat Al Mishbahul Munir)
Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya; hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib ?, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur (diulangi sampai 2/3 kali).” Kemudian Rasululah ? berdo’a:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur (sampai 3 kali).”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam menggambarkan keadaan orang mu’min dengan dibentangkan tikar dari al jannah, dikenakan pakaian dari al jannah dan dibukakan pintu baginya ke arah al jannah yang mendatangkan aroma harum, serta diperluas tempatnya di alam kubur seluas mata memandang. Sebaliknya keadaan orang kafir, maka dibentangkan baginya tikar dari neraka, dibukakan pintu yang mengarah ke neraka yang mendatangkan panas dan aroma busuk, serta disempitkan tempatnya di alam kubur sampai tulang belulangnya saling merangsek. (H.R. Abu Dawud 2/281 dan lainnya)
Dalam riwayat Al Imam Ahmad 6/81 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ

“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya adzab kubur itu adalah benar adanya.”
Dalam hadits Ibnu Abbas ?, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah melewati dua kuburan. Kemudian beliau bersabda:

أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ

“Kedua penghuni ini sungguh sedang mendapat adzab. Dan tidaklah keduanya diadzab karena melakukan dosa besar. Adapun salah satunya karena berbuat namimah (adu domba) dan yang kedua karena tidak membersihkan air kecingnya.” (H.R. Muslim no. 292)
Demikian pula do’a yang ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam sebelum salam ketika shalat:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dan dari fitnah selama hidup dan sesudah mati, serta dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.” (H.R. Muslim dan selainnya, lihat Al Irwa’ no. 350)

Apakah adzab kubur dan nikmat kubur itu terus menerus? Adapun adzab kubur bagi orang kafir adalah terus menerus sampai datangnya hari kiamat. Sedangkan bagi orang mu’min yang bermaksiat, bila Allah Ta’ala telah memutuskannya untuk mengadzabnya maka tergantung dengan dosa-dosanya. Mungkin dia diadzab terus menerus dan juga mungkin tidak terus menerus, mungkin lama dan mungkin juga tidak lama, tergantung dengan rahmat dan ampunan dari Allah ?. Mungkin pula orang mu’min yang bermaksiat tadi diputuskan tidak mendapat adzab sama sekali dengan rahmat dan maghfirah Allah ?. Semoga kita diselamatkan oleh Allah Ta’ala dalam fitnah kubur dan dari adzab kubur.

Para pembaca, semua peristiwa yang terjadi di alam kubur itu merupakan perkara ghaib yang tidak bisa dinilai kebenarannya dengan logika, analisa dan eksperimen. Bahkan semua peristiwa di alam kubur itu amatlah mudah bagi Allah ?. Karena Allah Ta’ala memilki nama Al Qadir Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga peristiwa di alam kubur harus dinilai dan ditimbang dengan nilai dan timbangan iman. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Sehingga bila ada manusia yang mati tenggelam dilaut yang badannya hancur dimakan ikan laut, atau manusia yang mati terbakar sampai menjadi abu sangatlah mudah bagi Allah Ta’ala untuk mengembalikannya.

Marilah kita perhatikan firman Allah Ta’ala (artinya): “Dan kami (malaikat) lebih dekat kepadanya (nyawa) dari pada kalian. Tetapi kalian tidak bisa melihat kami.” (Al Waqi’ah: 85)

Ketika malaikat hendak mencabut nyawa seseorang, sesungguhnya malaikat tersebut ada disebelahnya tetapi ia tidak bisa dilihat oleh mata kepalanya. Demikianlah kekuasaan dan kagungan Allah Ta’ala yang tidak tidak bisa diukur dengan logika manusia.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=29)


Tragedi Koja : Fitnah Kuburan Malapetaka Umat

Penulis: Redaksi Assalafy.org


Kalau kita menengok perkembangan ideologi umat dewasa ini, maka banyak dijumpai kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagian manusia, dan menjadi tempat yang lebih ramai dari tempat-tempat wisata. Mereka berduyun-duyun datang dari penjuru daerah maupun negara untuk meraih berbagai hajatnya masing-masing. Ada yang datang untuk meminta jodoh, jabatan, kekayaan, ataupun mendatangkan keselamatan hidup. Ada juga sebagian lainnya datang untuk beribadah kepada Allah seperti shalat, membaca Al Qur’an dan yang lainnya dengan anggapan bahwa beribadah di samping kuburan orang shalih lebih mendatangkan kekhusyu’an.

Sementara di sisi lain masjid-masjid Allah semakin sunyi dari jama’ah, sungguh ironis sekali. Hal inilah yang mendorong untuk dimuatnya tema ini, sebagai bentuk nasehat dan tambahan ilmu untuk kita semua, yang didasari atas rasa ukhuwah (solidaritas) imaniyah semata. Rasulullah bersabda:
الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ ، الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ ، الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ
“Agama adalah nasehat, Agama adalah nasehat, Agama adalah nasehat. (HR. Muslim, dari sahabat Tamim Ad Daari )

Bisakah Orang Mati Memberikan Manfaat ?
Secara fitrah yang suci, orang yang telah mati tidak mampu lagi berhubungan dengan orang yang hidup, baik berbicara ataupun mendengar panggilan orang yang memanggil. Lebih dari itu, Allah sebagai dzat Yang Maha Mengetahui tentang makhluk-Nya menetapkan bahwa orang yang mati telah terputus amalnya, tidak lagi ia mampu menjawab panggilan orang yang memanggil atau mengabulkan do’a orang yang berdo’a kepadanya, dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadikan orang mati dapat berinteraksi dengan orang yang hidup. Sebagaimana firman Allah (artinya): “Dan orang-orang yang kalian sembah selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian, dan kalaupun mereka mendengarnya mereka tiada dapat memperkenankan permintaan kalian dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian……” (Faathir: 13-14)
Begitu juga firman-Nya:
“Dan kamu (Wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang-orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 22)
Rasululah bersabda (artinya):
“Bila anak Adam (manusia) telah meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasaa’i)

Pengagungan Kuburan Dari Masa Ke Masa
Awal mula munculnya fitnah pengagungan kuburan ini, terjadi pada kaum Nabi Nuh u, sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta’ala tentang mereka (artinya): “Nuh berkata: “Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan mereka telah melakukan tipu daya yang amat besar”. Mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.…” (Nuh: 21-24)

Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Al Bukhari menyatakan: “Sesembahan tersebut adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh u. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan membisikkan kepada orang-orang; Dirikanlah di majelis-majelis kalian patung-patung mereka dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut namun masih belum disembah, sampai orang-orang itu meninggal (dari generasi ke generasi) dan ilmu semakin dilupakan, akhirnya patung-patung tersebut itu pun disembah.”

Fitnah pengagungan kuburan terus berlangsung dari masa ke masa. Termasuk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara) juga mendapat kutukan dari Allah , disebabkan mereka terjatuh dalam pengagungan kuburan ini. Al Imam Al Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih keduanya meriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia lihat tentang gereja Maria di negeri Habasyah (Ethopia) yang di dalamnya terdapat gambar-gambar/patung-patung. Rasulullah bersabda: “Mereka (Yahudi dan Nashara), bila ada seorang shalih diantara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung (monumen-monumen) ataupun gambar-gambar orang shalih tersebut di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah . (Al Bukhari 1/15 dan Muslim 1/375)

Rasulullah diutus ke muka bumi juga pada saat bangsa Arab terfitnah dengan penyembahan patung orang-orang shalih yang di tancapkan di kuburan-kuburan mereka atau disekitar Ka’bah. Terbukti -hal yang demikian itu- dengan firman Allah Ta’ala (artinya): “Apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata, Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.”(An-Najm: 19-22)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang membuat adonan roti dari gandum untuk para jamaah haji (tatkala ia mati orang-orang beri’tikaf di atas kuburnya lalu mereka menjadikannya berhala -red).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/35 dan Al Qaulul Mufid 1/253 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
Para pembaca, kita bisa menyaksikan (langsung) pula bahwa malapetaka atau fitnah kuburan ini pun merupakan asal usul kekafiran dari agama-agama selain agama samawi, seperti Hindu, Budha, Konghuchu, agama-agama sesat yang ada di Yunani dan kepercayaan-kepercayaan lainnya yang tersebar di belahan dunia ini. Atas dasar itulah, sesungguhnya hakekat seluruh bentuk kekufuran adalah satu, karena dedengkot kekufuran itu adalah satu pula yaitu Iblis la’natullah.

Bentuk-Bentuk Pengagungan Kubur
Para pembaca, sesungguhnya fitnah pengagungan kuburan ini bermula dari sikap ghuluw (ekstrim) di dalam memuliakan orang-orang shalih. Padahal sikap ghuluw merupakan cara jitu iblis dan pengikutnya untuk menjatuhkan manusia dalam kebinasaan, dan ternyata telah terbukti pada kaum-kaum sebelum Islam. Pantaslah Rasulullah bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُو فَإِنَّمَا أَهْلََكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو
“Hati-hatilah kalian dari perbuatan ghuluw (melampaui batas), sesungguhnya kebinasaan kaum sebelum kalian adalah karena disebabkan perbuatan ghuluw.”(HR. Ahmad)
Diantara bentuk-bentuk perbuatan ghuluw terhadap kuburan adalah:
1. Membuat Bangunan Di Atasnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tahdzir As-Sajid (hal. 9-20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Diantaranya:
1. Hadits Jabir bin Abdullah :
نَهَىرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya dan membuat bangunan (mengkijing dan semisalnya) di atasnya.” (HR. Muslim, 3/62)
2. Hadits Ali , dari Abu Hayyaj Al-Asadi rahimahullah ia berkata:
قاَلَ ليْ علِيُّ بْنُ أَبِيْ طاَلِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى ماَ بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لاَتَدَعَ تِمْثاَلاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفاً إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.” (HR. Muslim)
Kalau kita melihat kenyataan sekarang, jarang sekali kuburan yang bersih dari bangunan, pengapuran, penerangan (lampu), bahkan ada yang dipasang tirai (selambu). Yang semuanya ini dilarang oleh agama, karena selain menyelisihi petunjuk Nabi , bahkan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir dan menghambur-hamburkan harta. Padahal usaha tersebut sama sekali tidak memberikan manfaat kepada penghuni kubur, lebih dari itu sebagai fitnah bagi yang masih hidup.
2. Beribadah Kepada Allah Di Sisi Kuburan.
Perbuatan ini berasal dari sebuah keyakinan bahwa beribadah di sisi kuburan lebih bisa mendatangkan kekhusyu’an dan barakah. Disini kita sebutkan beberapa contoh ibadah yang lagi marak dilakukan di atasnya:
Shalat, sesungguhnya ia merupakan ibadah yang sangat mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan syari’at. Telah datang hadits-hadits shohih yang melarang shalat di atas kubur baik mengadap ke kuburan ataupun tidak (yakni menghadap ke kiblat). Diantaranya:
Hadits Abu Martsad Al Ghanawi , Rasulullah bersabda:
لاَتُصَلُّوا إِلَى الْقُبُور
“Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur.” (HR. Muslim)
2. Hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُورِ
“Sesungguhnya Nabi Muhammad melarang shalat diantara kuburan-kuburan.” (HR. Al Bazzar no. 441, Ath Thabrani di Al Ausath 1/280)
3. Hadits Abu Sa’id Al Khudri
الأََرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi dan seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)
a. Memotong hewan kurban di atasnya. Rasulullah bersabda:
لاَعَقْرَ (أَي عِنْدَ الْقَبْرِ) فِي الإِسْلاَمِ
“Tidak ada sesembelihan di atas kuburan dalam Islam.” (HR. Abu Dawud 2/71, Ahmad 3/197, dari sahabat Anas )
Al Imam An Nawawi berkata: “Menyembelih sembelihan di atas kubur merupakan perbuatan yang dilarang, sesuai kandungan hadits Anas .” (Al Majmu’: 5/320)
c. Sengaja membaca Al Qur’an, berdo’a, bernadzar ataupun jenis ibadah yang lainnya di sisi kuburan.
Semua perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, kalau seandainya perkara ini adalah baik niscaya Rasulullah pasti akan menyampaikannya dan para sahabatlah y yang paling dahulu mengamalkannya.
Semestinya rumah-rumah Allah (masjid) ataupun rumah-rumah kita sendiri itulah yang lebih pantas untuk diramaikan dengan berbagai macam ibadah, bukan kuburan. Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
Dan jenis perbuatan inipun juga masuk dalam larangan sabda Rasulullah :
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid-masjid.” (HR. Al-Bukhari, 3/156, Muslim, 2/67 dan lainnya)
Karena makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup membangun masjid di atas kuburan dan juga mencakup menjadikan kuburan sebagai tempat sujud (ibadah) ataupun berdo’a walaupun tidak ada bangunan di atasnya. Kecuali berdo’a untuk si mayit, karena inilah yang dianjurkan dalam agama. (Lihat Ahkamul Jana’iz hal. 279 karya Asy Syaikh Al Albani dan Al Qaulul Mufid 1/396)
Sedangkan keyakinan menjadikan penghuni kubur sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan dia dengan Allah , juga termasuk amalan baru (diada-adakan) yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian dari agama, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Imam Asy Syafi’i berkata:
مَنِ اسْتَحَْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)
Sehingga jenis tawassul seperti ini tergolong dari tawassul yang tidak disyari’atkan (terlarang).
3. Beribadah Kepada Penghuni Kubur.
Tujuan utama yang diharapkan oleh iblis dan bala tentaranya adalah memalingkan manusia untuk mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah . Kenyataan ini pun terjadi, banyak kita jumpai kuburan-kuburan yang dikunjungi ratusan bahkan ribuan orang perharinya. Dalam keadaan khusyu’ dan takut, bahkan diiringi linangan air mata, mereka meminta kepada penghuni kubur baik rizki, jodoh, jabatan, atau ketika ditimpa musibah buru-buru menyembelih sembelihan untuk penghuni kuburan tersebut. Inilah hakekat kesyirikan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah :
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad dari sahabat Abu Hurairah)
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celaka dan binasalah orang-orang yang melampaui batas (ekstrim).” (HR. Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud )
Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan baginya al jannah, dan tempat kembalinya adalah an naar dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang zhalim.” (Al Maidah: 72)
Akhir kata, kami mengajak seluruh saudara-saudara kaum muslimin untuk meramaikan masjid-masjid Allah Ta’ala dengan majlis-majlis ilmiah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat nabi . Karena dengan tersebarnya ilmu yang haq ini merupakan jalan keluar terbaik dari musibah (fitnah) yang menimpa umat Islam yaitu pengagungan terhadap kuburan-kuburan yang dikeramatkan.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=113)

Ziarah Kubur Dalam Bingkai Sunnah Nabawiyah

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Islam adalah agama yang paling mulia di sisi Allah , karena Islam dibangun diatas agama yang wasath (adil) diseluruh sisi ajarannya, tidak tafrith (bermudah-mudahan dalam beramal) dan tidak pula ifrath (melampaui batas dari ketentuan syari’at). Allah berfirman (artinya):
“Dan demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ….” (Al Baqarah: 142)

Ziarah kubur termasuk ibadah yang mulia di sisi Allah bila dilandasi dengan prinsip wasath (tidak ifrath dan tidak pula tafrith). Tentunya prinsip ini tidak akan terwujud kecuali harus diatas bimbingan sunnah Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan satu-satunya, sungguh ia telah berjalan diatas hidayah Allah . Allah berfirman (artinya):
“Dan jika kalian mentaati (nabi Muhammad ), pasti kalian akan mendapatkan hidayah (dari Allah ).” (An-Nuur: 54)

Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Al Imam An Nawawi berkata: “Sebab (hikmah) dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, yaitu karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yang ketika berziarah diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kokoh pondasi-pondasi Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)

Tidak ada keraguan lagi, bahwa amalan mereka di zaman jahiliyah yaitu berucap dengan sebatil-batilnya ucapan, seperti berdo’a, beristighotsah, dan bernadzar kepada berhala-berhala/patung-patung di sekitar Makkah ataupun di atas kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh mereka.

Tujuan Disyari’atkannya Ziarah Kubur
Para pembaca, marilah kita perhatikan hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya dari ziarah kubur:
a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur yaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi , seperti hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah . Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)

Catatan Penting Bagi Penziarah Kubur
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan bagi penziarah kubur, yaitu:
Pertama: Menjauhkan hujr yaitu ucapan-ucapan batil.
Sebagaimana hadits Rasulullah :
“…maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
Berbicara realita sekarang, maka sering kita jumpai para penziarah kubur yang terjatuh dalam perbuatan ini. Mereka mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a kepada penghuni kubur (merasa belum puas /khusyu’) mereka sertai dengan sujud, linangan air mata (menangis), mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disini, tanah kuburannya dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau sebagai penolak bala’. Adakah perbuatan yang lebih besar kebatilannya di hadapan Allah dari perbuatan ini? Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur -sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendo’akan penghuni kubur, dan bukan berdo’a kepada penghuni kubur.
Kedua: Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)
Kalau demikian, bagaimana besarnya kemurkaan Allah kepada orang yang menjadikan kuburan selain para nabi sebagai masjid?
Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meramaikan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga: Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)

Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah. Sehingga salah kaprah anggapan orang bahwa safar ke masjid An Nabawi atau safar ke tanah Suci (Masjidil Haram) hanya dalam rangka berziarah ke kubur Nabi dan tidak dibenarkan pula safar ke tempat-tempat napak tilas para nabi dengan niat ibadah, sebagaimana penegasan hadits di atas tidak bolehnya mengadakan safar dalam rangka ibadah kecuali ke tiga masjid saja.

Al Imam Ahmad meriwayatkan tentang kejadian Abu bashrah Al Ghifari yang bertemu Abu Hurairah . Beliau bertanya kepada Abu bashrah: “Dari mana kamu datang? Abu bashrash menjawab: “Aku datang dari Bukit Thur dan aku shalat di sana.” Berkata Abu Hurairah : “Sekiranya aku menjumpaimu niscaya engkau tidak akan pergi ke sana, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.”
Adapun hadits-hadits yang tersebar di masyarakat seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
Semua hadits-hadits di atas ini dho’if (lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30).
Keempat: Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Hanyalah pernyataan ini berasal dari Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)
Kelima: Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan. Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah.
Keenam: Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=114)