SYI'AH MENDUKUNG PERZINAAN

on Kamis, 22 Juli 2010

SYI'AH MENDUKUNG PERZINAAN DENGAN MENGATASNAMAKAN PERNIKAHAN


Salah satu dari sekian banyak keyakinan kaum Syi'ah yang sangat bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan Ijma’, ialah adanya keyakinan di kalangan mereka tentang bolehnya nikah mut’ah, atau disebut dengan istilah kawin kontrak. Nikah mut'ah (kawin kontrak) ini biasa dilakukan oleh kaum Syi'ah. Mereka melakukannya tanpa ada beban, karena memang sudah menjadi salah satu bagian dari pokok-pokok keyakinan mereka sebagaimana disebutkan di dalam kitab-kitab Syi'ah.

Berikut inilah beberapa pandangan aneh dari kalangan tokoh-tokoh kaum Syi'ah tentang nikah mut’ah. Tentu, pandangan-pandangan ini sarat kedustaan.

Pertama : Nikah mut’ah merupakan salah satu dasar keimanan kaum Syi'ah.
Ja’far Shadiq berkata: “Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Raj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari Kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami”.[1]

Kedua : Nikah mut’ah, konon sebagai pengganti dari minuman yang memabukkan.

Dari Muhammad bin Aslam dari Abu Ja’far berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha lemah lembut. Dia telah menjadikan mut’ah sebagai pengganti dari semua minuman yang memabukkan". [2]

Ketiga : Ancaman yang keras bagi seseorang yang meninggalkan nikah mut'ah.

Kaum Syi'ah mengatakan, barang siapa yang keluar dari dunia (meninggal) dan tidak melakukan mut’ah maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan hidungnya terpotong.[3]

Keempat : Seseorang yang melakukan nikah mut'ah maka akan mendapatkan pahala yang besar.

Ini tentu merupakan keyakinan aneh dan menyesatkan. Sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa seseorang yang melakukan nikah mut’ah sebanyak empat kali maka derajatnya sejajar dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menisbatkan perkataan dusta ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menuturkan: “Barang siapa yang nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Husain. Barang siapa yang nikah mut’ah dua kali, derajatnya seperti hasan. Barang siapa yang nikah mut’ah tiga kali, derajatnya seperti 'Ali. Dan barang siapa yang melakukannya empat kali maka derajatnya sama dengan Rasulullah". Sungguh anggapan ini merupakan suatu kedustaan besar atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[4]

Kelima : Boleh melakukan nikah mut’ah dengan para gadis tanpa izin dari walinya.

Dari Ziad bin Abi Halal: Aku mendengar Abu 'Abdillah berkata: "Tidak mengapa seseorang melakukan mut’ah dengan seorang gadis selama tidak menghamilinya karena ditakutkan munculnya aib yang akan menimpa keluarganya".[5]

Keenam : Tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan menikahi istri orang lain secara mut’ah kecuali madzhab Mazdakiyyah yang menghalalkan praktek seks bebas. Demikian pula dengan kaum Syi'ah, mereka membolehkannya.

Diceritakan dari Yunus bin 'Abdurrahman, ia bertanya kepada ar-Ridha: ”Seorang wanita telah dinikahi secara mut’ah kemudian habis masa kontraknya, bolehkah laki-laki lain bermut’ah dengannya sebelum habis 'iddahnya?” Dia menjawab: “Tidak mengapa melakukannya, karena dosanya ditanggung oleh wanita tersebut”.[6]

Fadhl, salah seorang budak Muhammad bin Rasyid bertanya kepada Abu 'Abdilah: ”Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita secara mut’ah. Aku merasa ia telah bersuami. Setelah aku berusaha mencari tahu, ternyata benar wanita itu memiliki suami. Apa yang harus aku lakukan?” Dia menjawab: ”Mengapa engkau mencari tahu tentang keadaan dirinya?” [7]

Ketujuh : Bolehnya bermut’ah dengan wanita pelacur.
Dari Ishaq bin Jarir, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: “Sesungguhnya di kota Kufah ada seorang wanita pelacur. Bolehkah aku menikahinya dengan cara mut’ah?”

Dia balik bertannya: “Apakah bendera telah diangkat?”

Aku jawab: “Belum, karena kalau diangkat dia akan diambil oleh penguasa”.
Dia menjawab: “Nikahilah dia dengan mut’ah,” kemudian ia berbisik kepada salah satu budaknya sehingga aku dekati budak tersebut dan aku tanyakan: “Apa yang telah ia katakan?”

Budak itu menjawab: ”Sesungguhnya dia mengatakan, 'Seandainya bendera telah diangkat maka tidak ada dosa untuk menikahinya, karena sesungguhnya hal tersebut telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal'."

Dari Hasan bin Dharif berkata: ”Aku telah mengirim surat kepada Abu Muhammad menceritakan keadaanku yang telah meninggalkan mut’ah selama bertahun-tahun, kemudian aku kembali bersemangat untuk melakukannya. Aku mendengar ada seorang wanita cantik di salah satu desa yang telah menggugah hasratku untuk melakukan mut’ah, apalagi ia adalah wanita pelacur yang tidak akan menolak tawaran siapapun. Tetapi aku masih bimbang, sekalipun para imam telah mengatakan: 'Bermut’ahlah dengan wanita pelacur, karena sesungguhnya engkau telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal. Maka aku bertanya kepada Abu Muhammad: 'Bolehkah aku melakukan mut’ah setelah sekian lama meninggalkannya?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya engkau telah menghidupkan salah satu Sunnah dan mematikan salah satu bid’ah. Tidak mengapa engkau melakukannya'."[9]

Kedelapan : Kaum Syi'ah menghalalkan pinjam-meminjam istri.
Praktek ini sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab kaum Syi'ah, seperti diriwayatkan dari Hasan al-Athar, ia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang i’aratul-farj (pinjam-meminjam istri), maka dia menjawab: 'Tidak mengapa untuk melakukannya'. Aku kembali bertanya: 'Bagaimana kalau ternyata sampai melahirkan anak?' Dia menjawab: 'Anak itu untuk orang yang memiliki wanita tersebut, kecuali kalau memang dia memberikan syarat'."[10]

Demikian, sebagian pemikiran dan keyakinan kaum Syi'ah tentang nikah mut'ah (kawin kontrak), yang menggambarkan bahwa praktek nikah mut’ah merupakan kerusakan moral dan praktek seks bebas dan penuh dengan kedustaan yang mereka nisbatkan kepada agama yang mulia ini. Sehingga sangat mengherankan, ketika sebagian orang yang mendapatkan julukan "cendikiawan Islam" membela tanpa reserve terhadap agama Syi'ah yang mengusung pemikiran aneh dan menyesatkan. Bahkan sebagai "cendekiawan Islam", mereka mengatakan dengan penuh kejahilan bahwa madzhab Syi'ah sama dengan madzhab yang empat, sehingga mereka berusaha mendekatkan Agama Syi'ah dengan agama Islam. Yang lainnya lagi: ”Mengapa kita harus sibuk membahas tentang Syi'ah? Bukahkah mereka juga muslim seperti kita; cari persamaannya dan tutupi perbedaannya”.

Begitulah syubhat mereka, sehingga tampaklah kejahilan mereka secara nyata terhadap agama Islam yang mulia dan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya: "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta". [al-Kahfi/18 ayat 5].

Sumber:
Kitab al Jama’âat al-Islamiyyah fî Dha`uil Kitâbi was-Sunnah,
karya Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali, halaman 305-308.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/148), Wasâ`il Syiah (4/438), Tafsîr ash-Shafiy (1/347).
[2]. Ar-Raudhatu minal-Kâfi (hlm. 151), Wasâ`il Syiah (14/438).
[3]. Minhâju ash-Shadiqîn, oleh Fathullah al-Qasimi, hlm. 356.
[4]. Ibid.
[5]. Al-Furu’ minal-Kâfi (2/46), Wasâ`il Syiah ( 14/457).
[6]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/149), Wasâ`il Syiah (14/456).
[7]. Wasâ`il Syiah, 14/457.
[8]. Wasâ`il Syiah, 14/455.
[9]. Wasâ`il Syiah (14/455), Kasyfu al-Ghummah, hlm. 307.
[10]. Wasâ`il Syiah, (7/540), Furû’ al-Kâfi (2/48), al-Istibshâr (3/141), at-Tahdzib (2/185).

http://www.almanhaj.or.id/content/2759/slash/0

0 komentar:

Posting Komentar