TAHNIAH ATAS KELAHIRAN PUTRI PERTAMA

on Rabu, 27 Januari 2010


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

ALHAMDULILLAH, SEGALA PUJA-PUJI KESEMPURNAAN HANYA MILIK ALLAH 'AZZA WA JALLA SEMATA, SHOLAWAT SALAM BUAT BAGINDA NABI DAN RASUL TERAKHIR MUHAMMAD BIN ABDULLAH SHALLALLAHU'ALAIHI WASSALAM, KELUARGA BELIAU, PARA SAHABAT DAN ORANG-ORANG YANG ISTIQOMAH MENGIKUTI JALAN BELIAU YANG LURUS HINGGA HARI KIAMAT KELAK.

TAHNIAH ATAS KELAHIRAN PUTRI PERTAMA

ALHAMDULILLAH, DENGAN RAHMAT DAN KARUNIANYA ALLAH TA'ALA TELAH MENGANUGERAHKAN AMANAH DAN PERMATA HATI (ANAK) YANG PERTAMA KEPADA AL-AKH ABU UMAIR ABDUR'RAUF (GATOT) BIN MUHAMMAD AL-BAGANI (AYAH/ABI) DAN UMMU UMAIR KHADIJAH (RINI) BIN ABDURRAZAK (IBU/UMMI)

BAARAKALLAHULAKA FII MAUHUUBILAKA WA SYAKARTA WAHIBA WABALAGHO ASYUDDAH WARUZIQTA BIRROH....

MARHABAN YA BUNAI, SELAMAT DATANG KE DUNIA WAHAI PUTRIKU:

" HAFSAH QONITAH "
(WANITA PEMBERANI DAN TA'AT BERIBADAH)
TTL : BAGANSIAPIAPI, 4 SHAFAR 1431 H / 2O JANUARI 2010 M
PUKUL : 18.10 WIB (SEBELUM MASUK WAKTU SHOLAT MAGHRIB)

SEMOGA MENJADI ANAK YANG SHOLEHAH, BERAKHLAK MULIA, BERANI MEMBELA AL-HAQ, TA'AT BERIBADAH, KAYA AKAN ILMU DAN HATI, BERBAKTI KEPADA ORANG TUA, AGAMA DAN BANGSA....AMIIN

REDAKSI "SUNNAH MELAYU"
MAKTABAH NURUSSALAF
BAGANSIAPIAPI-ROKAN HILIR
RIAU

Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin’

Penulis: Yulian Purnama

Allah Ta’ala berfirman,

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Ta’ala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mu’min dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?

Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

1. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.

1. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
2. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
3. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
4. Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
5. 6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Apakah kalian tidak mentadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qu’an bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Ta’ala adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Ta’ala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Karena hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Ta’ala juga melarang kaum mu’minin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

Wabillahi At Taufiq.

Artikel www.muslim.or.id

TANYA JAWAB: APA HUKUM KHURUJ DENGAN JAMA'AH TABLIGH

Penulis: ASY SYAIKH ABDURRAZZAQ AFIFI

Syaikh Abdurrazzaq Afifi – semoga Allah merahmatinya- ditanya: tentang khuruj jama'ah tabligh untuk megingatkan manusia tentang kebesaran Allah?

Beliau menjawab:

الواقع أنهم مبتدعة ومخرفون, وأصحاب طرق قادرية وغيرهم, وخروجهم ليس في سبيل الله ولكنه في سبيل إلياس, هم لا يدعون إلى الكتاب والسنة ولكن يدعون إلى إلياس شيخهم في بنجلادش.


أما الخروج بقصد الدعوة إلى الله فهو خروج في سبيل الله وليس هذا هو خروج جماعة التبليغ

وأنا أعرف التبليغ منذ زمان قديم وهم المبتدعة في أي مكان كانوا في مصر وإسرائيل وأمريكا والسعودية وكلهم مرتبطون بشيخهم إلياس



Pada kenyataannya mereka adalah ahli bid'ah, suka berbuat khurafat, penganut tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya.Khuruj mereka bukanlah dijalan Allah,namun dijalan Ilyas, mereka tidak mengajak kepada Al-Kitab dan a-As-sunnah, namun mengajak kepada Ilyas guru mereka di Bangladesh.

Adapun khuruj dengan tujuan berdakwah menuju jalan Allah Azza wajalla maka itu merupakan khuruj dijalan Allah, dan tidak demikian dengan khuruj jama'ah tabligh.

Saya mengetahui tabligh semenjak dahulu, mereka adalah ahli bid'ah dimanapun berada, apakah mereka berada di Mesir, Israel, Amerika, Arab Saudi. Mereka semua terikat dengan guru mereka Ilyas.

(dari kitab : fatawa wa rasaaail samahatus syaikh Abdurrazzaq Afifi:1/174. Dinukil dari kitab : al-fatawa al-muhimmah fi tabshiir al-ummah,hal:148).

Diterjemahkan Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafidzahulloh
Sumber : http://tsabat.com/ dan http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1685

MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH


KUFUR NIKMAT KARENA MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH

Di antara bentuk kufur nikmat adalah menyandarkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘azza wajalla. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini pembahasannya yang merupakan kelanjutan dari kajian Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah Bab Ma Ja-a Fil Istisqa’ bil Anwa’ yang disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah pada acara LKIBA Ma’had As-Salafy Jember, hari Ahad 1 Shafar 1431 / 17 Januari 2010.

ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه ، قال : « صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح بالحديبية على إثر سماء كانت من الليل ، فلما انصرف أقبل على الناس فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟ . قالوا : الله ورسوله أعلم ، قال : ” قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب. » .

Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh di Hudaibiyyah setelah turunnya hujan tadi malam. Tatkala selesai salam beliau menghadap ke arah para shahabat kemudian bersabda: Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian? Para shahabat mengatakan: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: Allah berfirman: Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir, adapun orang-orang yang mengatakan: Kami diberi hujan dengan sebab keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, maka dia telah berman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan: Kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.

Penjelasan beberapa lafazh hadits:

ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه

Maksudnya adalah hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Dhamir (kata ganti) lahuma (yang maknanya bagi keduanya) yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Penggunaan kata ganti dalam konteks seperti ini sering digunakan oleh para ulama.

صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح

Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh.

بالحديبية

Kata ini dalam bahasa Arab bermakna nama sebuah sumur atau terkadang digunakan juga untuk penyebutan sebuah tempat tertentu. Kenyataanya yang lebih dikenal dan sering digunakan adalah untuk penyebutan sebuah tempat tertentu.

على إثر سماء كانت من الليل

Maksudnya adalah setelah turun hujan malam harinya.

فلما انصرف أقبل على الناس

Yaitu tatkala selesai salam, beliau menghadap ke arah para shahabatnya yang saat itu ikut shalat bersama beliau.

فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟

Kemudian belau bersabda: “Apakah kalian tahu apa yang telah difirmankan Rabb kalian?” Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Beliau ingin memberikan faidah ilmiah kepada umatnya dengan apa yang telah beliau ketahui. Bersemangat untuk memberikan faidah kepada saudaranya merupakan perilaku yang patut dicontoh. Tanamkan pada diri kita bagaimana kita bisa memberikan faidah kepada saudara kita, mungkin di antara kita ada yang tidak mampu memberikan faidah yang sifatnya duniawi (materi) kepada saudaranya, maka sebagai gantinya kita upayakan apa yang kita dapatkan dari majelis ilmu berupa faidah ilmiyyah untuk disampaikan kepada saudara kita yang belum mendapatkan (mengetahuinya).

Dan thariqah (metode) pengajaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah thariqah tanya jawab. Metode seperti ini menarik sekali dan merupakan thariqah yang jitu dalam pengajaran serta lebih bermanfaat daripada mengajar tetapi tidak pernah ada tanya jawab padanya.

قالوا : الله ورسوله أعلم

Para shahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Jawaban para shahabat yang demikian menunjukkan tingginya kemuliaan adab para shahabat, karena ketika mereka tidak mengetahui suatu perkara agama, maka permasalahan tersebut dikembalikan kepada ahlinya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mulianya adab para shahabat ini tidak lepas dari didikan langsung dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب.

Allah subhanahu wata’ala berfirman: Pada pagi hari ini, ada di antara hamba-hamba-Ku yang beriman dan adapula yang kafir. Adapun orang-orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam kepada kita karena keutamaan dan rahmat Allah’, maka merekalah yang telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang yang telah mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam disebabkan bintang yang demikian dan demikian’, maka dia telah kafir kepada-Ku dan telah beriman kepada bintang-bintang.

Penjelasan secara global hadits ini

Dalam hadits ini, shahabat Zaid bin Khalid memberitakan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau selesai mengimami shalat fajar bersama para shahabatnya di Hudaibiyah beliau ingin memberikan faidah dan pelajaran kepada para shahabat, maka beliau menanyakan: ‘Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian?’ Maka para shahabat yang mereka sangat baik adabnya, ketika tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan Rasulullah tersebut, mereka menyerahkan ilmu tentang permasalahan ini kepada ahlinya. Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Allah subhanahu wata’la telah mewahyukan kepada beliau bahwasanya manusia itu terbagi menjadi dua setelah turunnya hujan, yaitu orang yang bersyukur (beriman) dan orang yang kufur. Barang siapa yang menisbahkan (menyandarkan) turunnya hujan kepada Allah, maka dia telah bersyukur (beriman) dan barang siapa yang menisbahkan hujan kepada bintang-bintang, berarti dia telah kufur kepada Allah. Dan yang mengimani bahwa bintang itu sendiri yang menurunkan hujan, maka dia telah kafir. Dan adapun yang menisbahkan hujan itu kepada bintang dan dia tetap meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala yang menurunkan hujan, maka ini masuk ke dalam syirik ashgar kerena dia telah menjadikan sesuatu sebagai sebab yang padahal sesuatu itu bukan sebagai sebab secara syar’i maupun kauni (hukum alam).

Faidah yang terkandung dalam hadits ini:

1. Disunnahkan bagi imam shalat untuk menoleh dan menghadapkan wajahnya ke arah makmum ketika selesai salam.

2. Disunnahkan untuk membuat rindu atau penasaran kepada ilmu dengan thariqah (metode) tanya jawab, sebagaimana hal ini telah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebetulnya Rasulullah mampu untuk menyampaikan langsung pokok permasalahan yang akan menjadi objek pembicaraan, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyengaja tidak melakukanya untuk menciptakan rasa penasaran para shahabat agar mereka lebih perhatian ketika menerima ilmu. Banyak juga hadits yang menyebutkan thariqah seperti ini.

3. Menetapkan sifat berbicara bagi Allah. Berbicaranya Allah tentu berbeda dengan bicaranya makhluq. Bicaranya Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan kemuliaan-Nya.

4. Gambaran adab yang baik bagi orang yang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui, yaitu dengan mengatakan Allahu a’lam atau yang semisal dengannya.

5. Haramnya kufur terhadap nikmat Allah.

6. Penetepan sifat Rahmah bagi Allah ta’ala, yaitu sifat kasih sayang. Makhluk mempunyai sifat kasih saying, tapi berbeda dengan kasih sayang Allah.

7. Menisbahkan (menyandarkan) nikmat kepada selain Allah adalah salah satu bentuk kufur nikmat kepada-Nya.

8. Haramnya ucapan seseorang: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini dan bintang itu.’

Insya Allah bersambung....

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=433#more-433

AHLU HADITS DAN KEUTAMAANNYA



Siapakah Ulama Ahlul Hadits?

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Begitu banyaknya perselisihan di kalangan umat islam. Demikian banyaknya manhaj (metode dalam berpikir, beramal dan berdakwah) dari kelompok-kelompok yang hendak memperbaiki umat ini dan semuanya mengklaim diatas kebenaran, membuat umat islam semakin bingung siapakah sesungguhnya yang bisa dijadikan rujukan, tempat bertanya dan mencari pemecahan masalah dan problematika umat ini.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan tentang sekelompok orang dari umat ini yang beliau memujinya dan merekomendasikannya, dengan sabdanya:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَ لاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menampakkan di atas al haq (kebenaran), tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka dan tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya, dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah (wafat tahun 181 H) berkata, “Menurutku mereka adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullah (wafat tahun 234 H) berkata, “Mereka itu adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, At-Tirmidzi, As-Sunan, 4/485)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat tahun 241 H) berkata, “Jika golongan yang mendapat pertolongan itu bukan ulama ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (maksudnya tidak mungkin yang lain lagi, pen). (Atsar Shahih, Al-Hakim, Ma’rifah Ulumul Hadits, 3)

Al-Imam Ahmad bin Sinan rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Mereka adalah ahlul ilmu dan ulama atsar.” (Atsar Shahih, Abu Hatim, Qiwamus Sunnah fil Hujjah, 1/246)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Yakni (mereka tersebut, pen) ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Sejarah Ulama Ahlul Hadits

Sesungguhnya sudah cukup jelas dan terang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i, bahwa ulama ahlul hadits adalah golongan yang sudah ada semenjak zaman kenabian. Awal mula mereka adalah para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) berkata: “Ulama ahlul hadits telah sepakat bahwa shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.” (Al Ishabah, 12/68)

Al-Imam Asy-Sya’bi rahimahullah (seorang imam besar tabi’in/murid shahabat, wafat tahun 110 H) berkata: “Apa yang akan aku hadapi dan apa yang akan aku tinggalkan, tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits.” (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh, 1/83)

Al-Imam Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Didalamnya terdapat dalil yang jelas dan terang bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan generasi yang pertama kali digelari dengan ulama ahlul hadits, karena Asy-Sya’bi rahimahullah telah menjumpai lima ratus orang shahabat radhiyallahu ‘anhum dan mengambil ilmu (hadits) dari mereka. Oleh karena itulah, ia menyebut mereka dengan gelar tersebut dengan ucapannya, “Tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits (para shahabat radhiyallahu ‘anhum).” (Tarikh Ahli Hadits, 25)

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah diketahui bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum generasi yang pertama kali dijuluki sebagai “ulama ahlul hadits”. Para tabi’in dan para pengikutnya pun menyebut mereka sebagai ulama ahlul hadits. Senantiasa nama yang mulia ini dilekatkan pada ulama ahlul hadits dari generasi ke generasi sampai masa kita ini. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamïn…

Keutamaan-keutamaan Ulama Ahlul Hadits

1. Ulama Ahlul Hadits adalah Al-Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan)

Ini berdasarkan hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu di atas, hadits ini menguatkan keberadaan satu golongan yang akan tertolong sepanjang masa. Golongan ini adalah para ulama ahlul hadits (sebagaimana keterangan diatas) yang selamat dari perpecahan, perselisihan, dan kerugian di dunia, serta selamat dari panasnya api neraka yang merupakan tempat kembalinya tujuh puluh dua golongan yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

« تَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ ثَلاَثَةٌ وَسَبْعِينَ فِرقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ » . قَالُوا : وَمَا تِلْكَ الفِرْقَةُ ؟ قَالَ : « مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي »

“…Umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk An-Nar (neraka), kecuali satu.” Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan kondisi para shahabatku pada hari ini” (yakni kondisi keberagamaan mereka atau cara memahami agama mereka, pen). (HR. At-Thabarani, Ash-Shaghir, 1/256)

karena semua kelompok tersebut (kecuali satu) telah keluar dari jalan Al-Haq, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Ulama ahlul hadits adalah golongan yang selamat, orang-orang yang berdiri diatas kebenaran.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/237)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) berkata: “Jika sifat golongan yang selamat itu (adalah) mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dan itu merupakan syi’ar Ahlus Sunnah-, maka golongan yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah, 3/457)

2. Imam Ulama Ahlul Hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat bersama pemimpin mereka.” (Al-Isra`: 71)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata: “Sebagian salaf mengomentari ayat diatas: “Ini adalah sebesar-besar kemuliaan untuk ashabul hadits (ulama ahlul hadits), karena imam mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al-Qur`an, 2/56)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seseorang dari ulama ahlul hadits seakan-akan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.” (Atsar Shahih Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/477)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Aqidah ulama ahlul hadits adalah sunnah yang murni, karena itu merupakan keyakinan yang benar yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhajus Sunnah, 4/59-60)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Ciri-ciri paling minimal yang terdapat pada ulama ahlul hadits ialah mencintai Al-Qur`an dan Hadits, membahas dan mendalami makna-makna keduanya, beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari keduanya. Dan fuqaha` hadits lebih mengerti dan berpengalaman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari fuqaha` selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 4/95)

3. Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memuliakan, menghormati dan mencintai Ulama Ahlul Hadits

Dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, apabila melihat seorang penuntut ilmu -yakni ulama ahlul hadits- ia berkata: “Marhaban! Selamat bergembira dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar Hasan, riwayat At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya)

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga berkata: “Marhaban dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Adalah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati kami tentang kalian.” (Atsar Hasan, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/88)

Amir bin Ibrohim rahimahullah berkata: “Adalah shahabat Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu apabila melihat penuntut ilmu ia mengatakan, “Marhaban dengan penuntut ilmu! Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kalian.” (Atsar Hasan, Ad-Darimi dalam Al-Musnad, 1/99)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengagungkan ulama ahlul hadits, maka ia akan menjadi besar di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang merendahkan mereka, maka ia akan jatuh dan hina di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ulama ahlul hadits adalah para penyampai berita beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Manaqib Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 180)

4. Kebenaran bersama Ulama Ahlul Hadits

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Wajib bagi kalian mengikuti ulama ahlul hadits karena merekalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Atsar Shahih, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, 14/197)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur`an, maka besarlah nilainya. Dan barangsiapa yang memperhatikan ilmu fiqih, maka mulialah kedudukannya. Dan barangsiapa yang menulis hadits, maka kuatlah hujjah-nya.” (Atsar Shahih, Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 324, dan Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/281)

Al-Walid Al-Karabisi rahimahullah berkata: “Wajib atas kalian berpegang dengan apa yang dipegang ulama ahlul hadits. Sesungguhnya aku melihat kebenaran itu selalu bersama mereka.”

Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Kebenaran itu bersama ulama ahlul hadits dan mereka adalah golongan yang selamat.” (Tarikh Ulama ahlul hadits, 130)

5. Ulama Ahlul Hadits adalah Pengayom dan Penjaga Agama

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (salah seorang ulama tabi’ut tabi’in, wafat tahun 161 H) berkata: “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan ulama ahlul hadits adalah para penjaga bumi.”

Yazid bin Zura’i rahimahullah berkata: “Setiap agama memiliki para penjaga, dan penjaga agama ini adalah ulama asanid (yakni ulama ahlul hadits).” (Atsar Hasan, dinukil oleh Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah dalam Syarafu Ashabil Hadits, 91)

6. Empat Imam Madzhab adalah ulama (ahlul) hadits

* Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullah (wafat tahun 150 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Malik bin Anas Al-Ashbahani rahimahullah (wafat tahun 179 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani rahimahullah (wafat tahun 241 H)

7. Kecintaan terhadap Ulama ahlul hadits sebagai Tolok Ukur seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni-Atsari)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah berkata: “Apabila kamu menjumpai seseorang yang mencintai ahul hadits, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada diatas sunnah. Dan barangsiapa menyelisihi hal ini, ketahuilah bahwa ia adalah seorang ahli bid’ah.” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 1/67)

Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah (wafat 277 H) berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah ialah membenci ahlul atsar (ulama ahlul hadits -pen).” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 2/179)

Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah (wafat 256 H) berkata: “Tidak ada di dunia seorang ahlul bid’ah pun kecuali ia membenci ulama ahlul hadits, maka apabila seseorang telah terjerumus kedalam perbuatan bid’ah, maka dicabutlah manisnya hadits dari hatinya.” (Atsar Shahih, Al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulumul Hadits, hal. 5)

Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah sangatlah nyata, dan yang paling nampak ialah kebencian dan permusuhan mereka terhadap ulama ahlul hadits, serta pelecehan mereka terhadap ulama ahlul hadits.” (Al-I’tiqad, hal. 116)

Penutup

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa merahmati para ulama ahlul hadits dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan yang setelah mereka hingga yang ada pada masa kini; mengampuni kekurangan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga-Nya. Amïn…

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.

SUMBER: http://www.assalafy.org/mahad/?p=434#more-434