Madzhab Dan Perkembangannya

on Jumat, 04 Juni 2010

Penulis: Al-Ustadz Kholid Syamhudi, Lc


Hari demi hari kaum muslimin dewasa ini selalu mendapakan ujian pengkaburan nilai-nilai agamanya. Pengkaburan ini dilakukan dengan slogan perbedaan madzhab, sehingga akhirnya istilah madzhab dijadikan pembungkus kebid ‘ahan dan penyelewengan dalam agama. Realita yang ada menunjukkankan juga istilah madzhab memiliki konotasi taqlid, oleh karena itu perlu sekali kita melihat sejarah perkembangan pemikiran kaum muslimin dalam permasalahan ini walaupun secara singkat.

Pengertian madzhab
Kata Madzhab berasal dari kata bahasa Arab َهَبَ ذ- يَذْهَبُ – ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا bermakna berjalan (pergi) atau lewat, sedangkan الْمَذْهَبُ bermakna i’tiqad (keyakinan), jalan dan ushul yang dijalankannya [1], seperti pernyataan : “Madzhab kami adalah madzhab sepuluh orang yang dijamin masuk syurga dan Ahmad”[2].

Jadi, istilah madzhab sebenarnya mencakup juga keyakinan dan aqidah, sehingga sering digunakan para ulama untuk menyatakan keyakinan dan akidah ahlussunnah, seperti pernyataan Imam Al Shabuni ketika menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah : “Dan termasuk madzhab Ahli Al Hadits, Imam adalah perkataan dan perbuatan serta ma’rifah (ilmu), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan”[3]. Demikian juga beliau menyatakan : “Diantara madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah” [4]

Dengan demikian, salahlah bila seorang yang fanatis terhadap satu madzhab misalnya madzhab Syafi’i, lalu hanya mengambil madzhab beliau dalam fiqih dan meninggalkan aqidah yang diyakini beliau. Seperti kebanyakan pengikut madzhab yang ada, mereka ngotot menyatakan dirinya bermadzhab namun jauh dari keyakinan dan amalan imam yang diikutinya tersebut.

Sejarah Perkembangan madzhab-madzhab yang menyimpang

Umat islam di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah umat yang satu dan bersatu mengikuti seluruh petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . namun semakin jauh dari masa kenabian dan jauh dari kota Madinah maka bermunculanlah madzhab-madzhab yang menyimpang dan kebid’ahan. Kota-kota yang dihuni banyak para sahabat relatif lebih sulit dan sedikit kebid’ahannya dibandingkan yang lainnya, sebab disanalah berkembang ilmu dan iman. Kota-kota tersebut adalah Makkah, Madinah, Bashroh, Kufah dan Syam. Dari kota-kota tersebut kota Madinahlah yang tidak muncul kebidahan sampai selesai masa tabiit Tabiin sedangkan yang lainnya telah bermunculan kebidahan. Kota Kufah muncul kebidahan syi’ah dan Murji’ah, kota Bashroh muncul Qadariyah, mu’tazilah dan shufiyah dan kota Syam muncul bidah Nawashib [5]. Bahkan kota Madinah tidak berkembang kebidahan sampai zaman murid-murid imam Malik yang merupakan kurun keempat.

Syaikhul Islam menceritakan perkembangan kebid’ahan dalam umat ini: “Ketahuilah umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan aqidah dan ibadah, hanyalah terjadi pada umat islam di masa-masa akhir kekhilafahan Khulafaa’ Rasyidin, sebagaimana diberitakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya :

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ

“Barang siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah Rasyidin“..[6][7]

Kemudian beliau menyatakan: “Ketika negara khulafa’ Rasyidin habis dan jadilah kerajaan, maka muncullah kekurangan pada pemerintah dan ini mesti diikuti juga dengan kemunculan hal tersebut pada ulamanya, sehingga muncullah pada kekhilafahan Ali bin Abi Tholib dua kebid’ahan yaitu Khawarij dan Rafidhah. Dua kebidahan ini berhubungan dengan masalah imamah dan khilafah serta yang yang berhubungan dengan hal itu dari amalan dan hukum-hukum syari’at “[8].

Dalam pernyataan lainnya beliau menyatakan: “Ketika terjadi perpecahan setelah terbunuhnya khalifah Utsman muncullah kebidahan khawarij dan muncul juga syi’ah dengan 3 alirannya. Yang ekstrim dibakar oleh Ali bin Abi Tholib, Syiah Mufadholah dicambuk delapan puluh kali oleh Ali dan aliran Saba’iyah yang imam Ali ancam dan Ibnu Saba’ dicari untuk dibunuh namun berhasil melarikan diri”[9].

Kemudian setelah pemerintahan Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah umat Islam berpecah belah. Ibnu Taimiyah menyatakan: “Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat Islam berpecah belah, Ibnu Az Zubair memerintah di Hijaaz, Banu Al Hakam memerintah di Syam dan Al Mukhtar bin Abu Ubaid dan lainnya merebut Iraq. Dan ini terjadi di akhir masa shahabat dan masih tersisa pada mereka sahabat seperti Abdullah bnu Abas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al Khudri dan sejawatnya. Pada masa inilah muncul bidah Qadariyah dan Murji’ah. Lalu para sahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Umar[10], Jabir[11] dan Watsilah bin Al Asqaa’ serta yang lainnya membantahnya dengan tetap membantah kebidahan khawarij dan rafidhoh. Pada umumnya madzhab Qadariyah ketika itu hanya berbicara pada masalah amalan hamba (A’maal Al Ibaad) sebagaimana Murji’ah pun berbicara dalam permasalahan ini, sehingga mereka hanya berbicara tentang masalah taat dan maksiat, Mu’min dan fasiq dan yang sejenisnya dari masalah Asma Wa Ahkaam [12] dan Al Wa’d wa Al Wa’id [13] dan belum berbicara lagi tentang Rabb dan sifat-sifatNya kecuali di akhir-akhir masa shighor tabiin tepatnya di akhir kekhilafahan bani Umayah diawal abad ketiga –Tabi’ut Tabiin- ketika kebanyakan mereka telah wafat” [14].

Kemudian beliau menuturkan kembali dalam pernyataannya: “Lalu sebagian kitab-kitab Persia, India dan Rumawi dialih bahasakan kebahasa Arab dan muncullah apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَشْهَدَ الرَّجُلُ وَ لاَ يُسْتَشْهَدُ وَ يَحْلِفُ وَلاَ يُسْتَحْلَفُ

“Kemudian tersebarlah kedustaan sampai seseorang bersaksi dan tidak dimintai persaksian dan bersumpah tanpa diminta bersumpah“.

Lalu muncullah tiga kebidahan yaitu Ar Ra’yu [15], Al Kalam dan Tashawuf. Kemudian muncul bidah tajahhum (jahmiyah) yaitu bidah penolakan sifat-sifat Allah, lalu muncul juga bid’ah tamtsil” [16].

Ibnu Taimiyah menyatakan tentang kemunculan Jahmiyah ini dalam pernyataannya: “Adapun Jahmiyah, maka mereka muncul di akhir zaman Tabi’in setelah wafatnya Umar bin Abdil Aziz. Kemunculan Jahm bin Shafwan di Kota Khurasaan di zaman kekhilafahan Hisyam bin Abdilmalik” [17].

Ibnu Al Qayyim menyampaikan kepada kita ringkas sejarah yang dipaparkan guru beliau diatas dengan pernyataan: “Bidah Qadariyah muncul diakhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan yang semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul bidah Irja’ (murji’ah)setelah habis masa sahabat lalu para kibar tabiin angkat bicara membantahnya, kemudian muncul bid’ah tajahhum (Jahmiyah) setelah selesai masa Tabi’in. bidah ini menjadi besar dan menyebar kejelekannya pada zaman para imam seperti imam Ahmad dan yang semisalnya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah Hulul (Hululiyah) dan berkembang pada zaman Al Husein Al Hallaaj. Setiap kali syeithon memunculkan satu kebidahan dan yang lainnya maka Allah bangkitkan diantara hizbu dan tentaraNya yang membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebidahan tersebut” [18].

Sedangkan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa setelah penulisan hadits Nabi muncul penulisan tafsir Al Qur’an, kemudian pembukuan masalah-masalah fiqih yang dilahirkan dari Ra’yu murni kemudian pembukuan yang berhubungan dengan amalan-amalan hati (tashawuf). Adapun yang pertama (pembukuan hadits) diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sekelompok sahabat dan mayoritas mereka membolehkannya. Sedangkan yang kedua diingkari sejumlah Tabi’in diantaranya Asy Sya’bi dan yang ketiga diingkari Imam Ahmad dan sejumlah ulama. Demikian juga Imam Ahmad lebih mengingkari lagi yang setelahnya. Diantara yang muncul berkembang juga adalah pembukuan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan ushul agama, sehingga tersebarlah kelompok Mutsbitah (yang menetapkan sifat Allah) dan An Nufaah (yang menolak sifat Allah). Kelompok pertama menjadi ekstrim sampai menyerupakan Allah dengan makhluk dan yang kedua sampai menolak semua sifat Allah (Mu’aththil). Para salaf dengan kerasnya mengingkari hal ini seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Asy Syafi’i. Dan pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam sudah masyhur. Sebabnya karena mereka berbicara dalam hal-hal yang Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak membicarakannya. Imam malik pernah menyatakan bahwa pada zaman nabi, Abu bakar dan Umar tidak ada sedikitpun kebidahan- yaitu bidah khawarij, Rafidhah, Qadariyah- lalu berkembang lebih luas (bid’ah ini) pada masa belakangan dari tiga generasi yang utama dalam mayoritas perkara yang telah diingkari para tabiin dan tabiit tabiin. Mereka tidak puas hanya dengan hal ini sehingga mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan ilmu kalam Yunani dan menjadikan statemen filsafat sebagai dasar rujukan terhadap atsar (nash-nash syar’I) yang menyelisihinya dengan ta’wiel walaupun dipaksakan. Kemudian juga tidak cukup hanya dengan ini saja sampai menganggap apa yang mereka susun tersebut sebagai ilmu yang paling mulia dan utama untuk dipelajari serta orang yang tidak menggunakan istilah yang mereka buat tersebut sebagai orang awam yang bodoh. Orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan orang kholaf.[19]

Demikianlah orang-orang yang meanganggap pemikiran mereka lebih baik dari nash-nash syar’I, lalu setelah itu bermunculanlah sikap taklid buta pada kaum muslimin yang menyebabkan mereka jauh darikemulian dan kejayaan yang pernah dirasakan para salaf shalih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melengkapi pernyataan beliau diatas dengan menyatakan: “Kemudian orang-orang terdahulu (Mutaqaddimun) yang meletakkan jalan pemikiran , ilmu kalam dan tasawuf dan yang lainnya masih mencampurkan hal itu dengan dasar Al Qur’an dan Sunnah serta Atsaar, karena masanya masih dekat (dengan generasi terbaik) dan juga cahaya sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masih tampak tinggi, walaupun disebagian orang cahaya sunnah ini telah tercampuri kegelapan yang lainnya. Sedangkan orang-orang akhir (Mutaakhirun) maka banyak dari mereka yang lepas dari kaidah yang diletakkan orang terdahulunya, seperti orang yang menulis kitab ilmu kalam dari kalangan mutaakhirin yang hanya memuat kaidah-kaidah berfikir bid’ah saja dan berpaling dari kitabullah dan Sunnah. Juga menjadikan keduanya sebagai rujukan sekunder saja atau beriman kepada keduanya secara global saja atau perkaranya keluar sampai menjadi zindiq. Ahli kalam mutaqaddimun lebih baik dari mutaakhirun-nya. Demikian juga yang menulis pembahasan Ar Ra’yu hanya menjelaskan pemikiran imamnya dan sahabat pendukungnya saja dan berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah serta menimbang isi kandungan Al Qur’an dan Sunnah dengan pemikiran imamnya saja, seperti banyak dari para pengikut madzhab Abu Hanifah, malik, Syafi’I dan Ahmad” [20].

Demikian akhirnya madzhab menjadi segala-galanya. Semua yang menyelisihi madzhab walaupun itu Al Qur’an dan Sunnah maka harus ditinggalkan. Bahkan sampai-sampai dikatakan yang tidak bermadzhab satu dianggap sesat. Tidak sampai disini saja namun sampai ada yang melarang meneliti langsung Al Qur’an dan Sunnah dengan dalih madzhab telah mencukupinya. Subhanallahu hadza buhtanun Adzim.

Penutup

Sejarah ini membuktikan bahwa jauhnya kaum muslimin dari Al Qur’an dan Sunnah serta pemahaman para Salaf Shalih mengakibatkan kaum muslimin jatuh dalam kehancuran dan taklid buta. Marilah kita jadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pelindung kita dari semua kesesatan dan kehancuran dan menjadikan keduanya sebagai sumber pelita kehidupan kita semua. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk“. (QS. Al Imran: 103)

Mudah-mudahan dengan demikian Allah Ta’ala memberikan nikmat persaudaraan kepada kita semua.



Referensi

1. Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah

2. Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut

3. Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah

4. Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah

5. Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir

6. Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA



Artikel UstadzKholid.Com

Footnote

[1] Lihat Al Qaamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H ), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Ar Risaalah, Bairut hal. 111

[2] lihat Al Kuliyaat, Mu’jam Fi AL Mushtholahaat Wa Al Furuq Al Lughowiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (W. 1094 H) tahqiq ‘Adnaan Darus dan Muhammad Al Mishri cetakan pertama tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Bairut hal 878.

[3] Aqidah Al Salaf Wa Ashhabul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shobuni, (Wafat 449 H ), tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman Al Judai’, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah hal 264

[4] ibid hal.285

[5] lihat Majmu’ fatawa 20/300-301

[6] Hadits Shahih Lighairihi. Hadits ini diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya 4/126. Ad Darimi dalam Muqaddimah sunannya, At Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no 42 dan 44 (lihat takhrij Muhamad Umar Bazmul dalam kitab Al Intishor Li Ahli AlHadits hal 35)

[7] Majmu’ Fataawa 10/354

[8] ibid 10/356

[9] ibid 20/301.

[10] Lihat bantahan beliau terhadap qadariyah pada hadits no 8 dalam kitab Al Iman pada Shahih Muslim.

[11] Lihat bantahan beliau pada shohih Muslim, kitab Al Iman, no. 191.

[12] Penamaan seseorang dengan mukmin atau kafir dan hukumnya didunia dan akhirat.

[13] Masalah janji dan ancaman yang ada dalam nash-nash dan penerapannya.

[14] Majmu’ Fatawa 10/357

[15] yang dimaksud disini adalah menjadikan akal sumber rujukan dan mendahulukanatau mengedepankannya dari Nash Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Al Intishor Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamuul, cetakan pertama tahun 1418 H Dar Al Hijroh, KSA hal. 21

[16] ibid 10/358.

[17] Ibid 20/302.

[18] lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no 4527, kami nukil dari Taqrib Al Tadmuriyah, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, cetakan pertama tahun 1413H, Maktabah Al Sunnah, Mesir hal 12.

[19] Dinukil dari Taqrib Al Tadmuriyah hal 12-13 dengan merujuk kepada Fathul Bari 13/253)

[20] Majmu’ Fatawaa 10/366

MUSIBAH ADALAH UJIAN BAGI SETIAP MUKMIN

Penulis: Al-Ustadz Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.




Segala puji dan syukur hanya milik Allah Ta’ala yang telah berfirman dalamm kitab-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah: 155-157), shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diuji oleh Allah U dengan berbagai macam ujian, namun beliau selalu bersabar dan bersyukur, serta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Tidak samar bagi setiap orang, bahwasanya dalam kehidupan dunia ini tidak lepas dari ujian dan cobaan, serta musibah yang menimpa kita. Setiap mukmin pasti akan menghadapi berbagai macam ujian, karena Allah ta’ala tidak akan membiarkan begitu saja orang yang mengaku dirinya beriman tanpa adanya ujian. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Ankabut:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. al-Ankabut: 2-3)

Ya, kita semua berada dalam ruang ujian yang besar, ujian dalam kehidupan dunia. Semua yang ada padanya adalah ujian dan cobaan. Harta, anak dan istri, kekayaan dan kemiskinan serta kesehatan dan penyakit adalah ujian, dan kita akan diuji pada setiap apa yang kita miliki.

Allah ta’ala berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. al-Anbiya`: 35)

Namun apa pun ujian dan cobaan yang menimpa kita, maka itulah yang terbaik, apabila kita bersyukur terhadap nikmat-Nya dan bersabar atas cobaan-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh unik perkaranya orang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya baik, dan itu tidaklah dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Apabila ia diberi nikmat, ia bersyukur, dan ini baik baginya dan apabila ditimpa musibah, dia bersabar, dan ini baik pula baginya.” (HR. Muslim)

Dan hendaknya kita yakin akan takdir Allah, baik dan buruknya. Karena ini merupakan hal yang penting sekali bagi seseorang yang ditimpa musibah. Ketika dia yakin, insya Allah musibah itu akan terasa ringan bagi kita. Oleh karena itu, kita harus yakin sesungguhnya segala cobaan dan musibah yang menimpa kita tidak lepas dari takdir Allah.

Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al-Hadid: 22-23)

Beberapa hikmah dan pelajaran dari musibah yang menimpa kita:

1. Dalam musibah ada pelajaran tauhid, keimanan dan tawakal. Bukankah kita jadi mengetahui bahwa kita adalah hamba yang lemah dan tidak memiliki daya atau upaya, kecuali hanya dari Allah semata, maka bertawakallah hanya kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, serta kembali kepada-Nya karena Allah Maha Mampu dalam segala hal. Kita hanyalah hamba yang lemah dan dhaif, maka kembalilah kepada yang Maha Perkasa lagi Maha Berkuasa.

2. Dengan adanya musibah kita menjadi tahu akan hakekat dunia dan berbagai macam tipu daya yang ada di dalamnya. Karena kehidupan yang sempurna hanya ada di akhirat.

Allah ta’ala berfirman:

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Ankabut: 64)

3. Musibah mengingatkan kita akan karunia dan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dalam bentuk kesehatan. Dengan adanya musibah ini merupakan penjelasan yang gamblang dan sangat jelas sekali akan makna nikmatnya sehat, dimana kita merasakan sehat selama bertahun-tahun, tapi kita lalai akan hal itu, tatkala dengan tiba-tiba nikmat sehat itu hilang kita baru sadar akan nikmatnya sehat. Betulah apa yang dikatakan seseorang:

الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يراه إلا المرضى

“Kesehatan bagai mahkota yang ada di atas kepala orang-orang yang sehat, yang tidak dilihat kecuali oleh orang-orang yang sakit”.

4. Musibah merupakan peringatan bagi kita, supaya kita tidak terlalu gembira yang berlebihan dan tidak mudah berputus asa.

Allah Ta’ala berfirman:

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al-Hadid: 22-23)

5. Musibah dapat mengingatkan aib diri kita, agar kita dapat bertaubat dari dosa-dosa.

Allah Ta’ala berfirman:

مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. an-Nisa`: 79)

Dan juga firman-Nya:

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. asy-Syura: 30)

Bahkan dengan adanya musibah, ini merupakan kesempatan untuk bertaubat sebelum diturunkannya adzab yang lebih besar, dimana Allah ta’ala berfirman:

Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azhab yang dekat (di dunia) sebelum azhab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. as-Sajdah: 21)

6. Musibah bisa melatih kesabaran. Bukankah kita butuh kesabaran dalam segala hal? Kita tidak akan dapat teguh di atas al-haq kecuali dengan bersabar dalam mentaati Allah, kita tidak akan dapat menjauhi kebatilan kecuali dengan cara sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah. Alangkah indahnya kesabaran itu, dan kesabaran adalah bekal yang dapat mengantarkan ke surga yang penuh dengan keabadian.

Allah ta’ala berfirman:

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (QS. Fushshilat: 35)

Dan akhirnya, mudah-mudahan kita dapat memperoleh pahala dari musibah yang ada, dimana tak ada jalan untuk memperoleh pahala kecuali dengan kesabaran dan tak ada kesabaran kecuali dengan keinginan yang tulus dan penuh keyakinan. Allahu Ta’ala a’lam.



sumber: http://abusalma.wordpress.com/2010/01/05/musibah-adalah-ujian-bagi-setiap-mukmin/#more-978




Keutamaan Tersenyum di Hadapan Seorang Muslim

Penulis: Al-Ustadz Abdullah Taslim, MA.


Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan tersenyum dan menampakkan muka manis di hadapan seorang muslim, yang hadits ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria“[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

- Menampakkan wajah ceria dan berseri-seri ketika bertemu dengan seorang muslim akan mendapatkan ganjaran pahala seperti pahala bersedekah[3].

- Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat yang mulia, Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarangku untuk menemui beliau sejak aku masuk Islam, dan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum di hadapanku“[4].

- Menampakkan wajah manis di hadapan seorang muslim akan meyebabkan hatinya merasa senang dan bahagia, dan melakukan perbuatan yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan dan keutamaan[5].

- Imam adz-Dzahabi menyebutkan faidah penting sehubungan dengan masalah ini, ketika beliau mengomentari ucapan Muhammad bin Nu’man bin Abdussalam, yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih tekun beribadah melebihi Yahya bin Hammad[6], dan aku mengira dia tidak pernah tertawa”. Imam adz-Dzahabi berkata, “Tertawa yang ringan dan tersenyum lebih utama, dan para ulama yang tidak pernah melakukannya ada dua macam (hukumnya):

Pertama: (bisa jadi) merupakan kebaikan bagi orang yang meninggalkannya karena adab dan takut kepada Allah, serta sedih atas (kekurangan dan dosa-dosa yang ada pada) dirinya.

Kedua: (bisa jadi) merupakan celaan (keburukan) bagi orang yang melakukannya (tidak mau tersenyum) karena kedunguan, kesombongan, atau sengaja dibuat-buat. Sebagaimana orang yang banyak tertawa akan direndahkan (diremehkan orang lain).

Dan tidak diragukan lagi, tertawa pada diri pemuda lebih ringan (dilakukan) dan lebih dimaklumi dibandingkan dengan orang yang sudah tua.

Adapun tersenyum dan menampakkan wajah ceria, maka ini lebih utama dari semua perbuatan tersebut (di atas). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“. Dan Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum“.

Inilah akhlak (mulia) dalam Islam, dan kedudukan yang paling tinggi (dalam hal ini) adalah orang yang selalu menangis (karena takut kepada Allah) di malam hari dan selalu tersenyum di siang hari. (Dalam hadits lain) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu tidak akan mampu berbuat baik kepada semua manusia denga hartamu, maka hendaknya kebaikanmu sampai kepada mereka dengan keceriaan (pada) wajahmu“[7].

Ada hal lain (yang perlu diingatkan) di sini, (yaitu) sepatutnya bagi orang banyak tertawa dan tersenyum untuk menguranginya (agar tidak berlebihan), dan mencela dirinya (dalam hal ini), agar dia tidak dijauhi/dibenci orang lain. Demikian pula sepatutnya bagi orang yang (suka) bermuka masam dan cemberut untuk tersenyum dan memperbaiki tingkah lakunya, serta mencela dirinya karena buruknya tingkah lakunya, maka segala sesuatu yang menyimpang dari (sikap) moderat (tidak berlebihan dan tidak kurang) adalah tercela, dan jiwa manusia mesti sungguh-sungguh dipaksa dan dilatih (untuk melakukan kebaikan)”[8].

Artikel www.muslim.or.id

[1] HR at-Tirmidzi (no. 1956), Ibnu Hibban (no. 474 dan 529) dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah” (no. 572).

[2] HSR Muslim (no. 2626).

[3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (6/75-76).

[4] HSR al-Bukhari (no. 5739) dan Muslim (no. 2475).

[5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (5/458).

[6] Beliau adalah seorang Imam besar yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits (wafat 215 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (10/139) dan “Taqriibut tahdzib” (hal. 545).

[7] HR al-Hakim (1/212) dll, hadits ini sangat lemah, dalam sanadnya ada Abdullah bin Sa’id al-Maqburi, dia seorang yang sangat lemah dan ditinggalkan riwayatnya, sebagaimana ucapan adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar dalam “Taqriibut tahdzib” (hal. 256). Lihat “adh-Dha’iifah” (no. 634).

[8] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (10/140-141).


Bolehkah Perokok Masuk Masjid?

Dari Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma-, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا

“Barangsiapa memakan dari pohon ini, yaitu bawang putih, maka jangan sekali-kali dia mendekati masjid kami.” (HR. Al-Bukhari no. 339 dan Muslim no. 561)

Dari Jabir bin Abdullah t dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa yang makan sayur bawang putih ini, -dan pada kesempatan lain beliau bersabda, “Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung,”- maka janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu dari bau yang juga manusia merasa terganggu (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)

Dari Aisyah -radhillahu anha- dia berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di tempat yang banyak rumahnya (pemukiman), dan juga memerintahkan untuk membersihkan serta memberikan wewangian padanya.” (HR. Abu Daud no. 455 , AT-Tirmizi no. 542, Ibnu Majah no. 751, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Misykah Al-Mashabih no. 717)

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

“Saya tidaklah diperintahkan untuk meninggikan masjid-masjid.”
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan meninggikan masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani meninggikan (tempat ibadah mereka).” (HR. Abu Daud no. 448 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 718)

Penjelasan ringkas:
Masjid adalah tempat yang baik dan juga tempatnya orang-orang yang baik, karenanya dia sepatutnya disucikan dari bau-bau yang busuk dan sebaliknya senantiasa diwangikan dengan bau-bau yang harum. Hal ini jauh lebih utama dan lebih penting daripada menghias-hiasi dan meninggikan masjid tersebut, karena kedua amalan ini bukanlah tuntunan Nabi -alaihishshalatu wassalam-.

Maka hadits ini tegas menunjukkan larangan masuk masjid kepada siapa saja yang membawa bau busuk, baik pada badannya maupun pada mulutnya. Sebabnya karena para malaikat akan merasa terganggu karenanya sebagaimana manusia juga terganggu karenanya. Karenanya barangsiapa yang badannya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia mandi terlebih dahulu atau minimal memakai wangi-wangian yang bisa menghilangkan bau badannya sebelum dia mendatangi masjid. Demikian pula orang yang mulutnya bau karena memakan bawang-bawangan yang mentah (bukan yang sudah dimasak/digoreng) atau habis minum miras atau habis menghisap rokok dan semacamnya yang menyebabkan mulutnya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia menghilangkan dulu bau mulutnya sebelum ke masjid. Jika tidak maka dia telah terjatuh ke dalam larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam- yang tersebut dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir di atas.

Sebaliknya Islam menuntunkan agar masjid senantiasa dibersihkan dari semua hal-hal yang bisa menganggu kekhusyuan ibadah dan mewangikan masjid dengan pengharum ruangan atau dengan membakar bukhur (kayu yang asapnya wangi).

Menjaga kekhusyuan orang yang beribadah inilah yang menjadi inti dari dibangunnya masjid, karenanya termasuk melampaui batas dan mubazzir tatkala masjid dibangun atau dihiasi atau direnovasi bukan untuk tujuan ini. Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menyatakan terlarangnya meninggikan masjid karena hal itu merupakan perbuatan orang-orang kafir. Yang dimaksud dengan meninggikan masjid di sini bukanlah membangunnya dalam 2 lantai atau lebih, karena hal ini terkadang dibutuhkan untuk menampung jamaah. Akan tetapi yang dimaksud dalam larangan ini adalah meninggikan atap masjid tanpa keperluan, sebagaimana tingginya atap-atap gereja. Juga termasuk dalam larangan ini adalah menghias-hiasi masjid dengan perkara yang tidak bermanfaat bahkan cenderung mengganggu orang yang shalat, misalnya dengan menuliskan kaligrafi pada dinding atau meletakkan tegel yang bercorak di depan atau di bawah (pada sajadah) orang yang shalat, yang bisa mengganggu kekhusyuan orang yang shalat. Dan demikian seterusnya.

Di antara hukum yang berkenaan dengan masjid adalah, hendaknya kaum muslimin membangun satu masjid untuk tiap pemukiman. Yang mana ini bertujuan untuk lebih menghidupkan pemukiman tersebut dengan syiar islam dan untuk mempermudah kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan hendaknya mereka jangan membangun dua atau lebih masjid di dalam satu pemukiman kecuali dengan adanya izin pemerintah serta mempunyai alasan syar’i dalam pembangunannya. Karena sungguh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mencela pembangunan masjid yang bertujuan hanya untuk menandingi masjid lainya, dan juga karena hal itu akan menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dan mempersedikit jumlah jamaah pada masjid yang pertama.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1912

Merealisasikan Kalimat Tauhid Tak Mudah

Merealisasikan Kalimat Tauhid Tak Semudah Yang Dibayangkan

Penulis: Al-Akh Abu Mushlih Ari Wahyudi



Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Merealisasikan la ilaha illallah adalah suatu hal yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.

Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.

Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?‘. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman‘ (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih.” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38] cet. Makt. al-’Ilmu)

Apa yang dimaksud dengan merealisasikan la ilaha illallah?

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20 cet. Makt. al-’Ilmu)

Benarkah sesulit itu merealisasikan la ilaha illallah?

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan,

“Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikhnya tanpa menyebutkan jumlah sahabat yang ditemui, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang fuqaha’ dan ahli ibadah di kalangan tabi’in- berkata,

“Tidaklah aku hadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir termasuk orang yang didustakan/tidak dipercayai nasehatnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh beliau dalam Tarikhnya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar. al-Hadits)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata -menjelaskan maksud ucapan di atas-,

“Maksudnya; aku merasa takut orang akan mendustakan diriku karena melihat amalanku yang menyelisihi ucapanku, sehingga dia akan berkata, ‘Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang menyelisihi ucapanmu’. Beliau mengucapkan hal itu karena beliau sering memberikan nasehat/wejangan kepada orang-orang -sementara beliau mengkhawatirkan amalannya, pent-…” (Fath al-Bari [1/136])

Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata,

“… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa’id, hal. 34 cet. Dar al-’Aqidah)

Lalu bagaimana langkah mewujudkannya?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Tauhid (la ilaha illallah) itu tidak akan terwujud kecuali dengan tiga perkara:

Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.’ (QS. Muhammad: 19).

Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.’ (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.

Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?’ (QS. ash-Shaffat: 35-36)…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55] cet. Makt. al-’Ilmu)

Ilmu tentang la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“… La ilaha illallah tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya kecuali apabila dia telah mewujudkan syarat-syaratnya yang jumlahnya ada delapan:

1. Ilmu -tentang makna la ilaha illallah, pent- yang menepis kebodohan
2. Keyakinan yang menepis adanya keragu-raguan
3. Keikhlasan yang menepis kemusyrikan
4. Kejujuran yang menepis dusta/kepura-puraan
5. Kecintaan yang menepis kebencian
6. Ketundukan yang menepis sikap meninggalkan
7. Sikap menerima yang menepis penolakan
8. Mengingkari segala sesembahan selain Allah…” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 15)

Makna la ilaha illallah

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“…Maknanya: Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.

Makna lain yang keliru adalah:

[1] Tidak ada sesembahan selain Allah.

Ini keliru, sebab makna(konsekuensi)nya: segala yang disembah benar atau salah adalah Allah.

[2] Tidak ada pencipta selain Allah.

Ini memang sebagian dari maknanya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan; sebab seandainya itu merupakan makna la ilaha illallah niscaya tidak akan terjadi persengketaan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaumnya, sebab mereka mengakui hal ini -yaitu keesaan Allah dalam hal mencipta, dsb. Pent-.

[3] Tidak ada penetapan hukum selain oleh Allah.

Ini juga sebagian saja dari maknanya, akan tetapi hal ini belum mencukupi dan bukan maksud utamanya. Sebab seandainya Allah dieesakan dalam perkara hukum namun tetap ada selain-Nya yang disembah/diibadahi -oleh seorang hamba- maka tauhid belum dianggap terwujud.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 13)

Apa konsekuensi la ilaha illallah?

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,

“… (konsekuensinya) adalah meninggalkan peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah, hal ini ditunjukkan oleh ungkapan penolakan yaitu dalam ucapan kita ‘la ilaha’, dan beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini ditunjukkan oleh penetapan yaitu dalam ucapan kita ‘illallah’…” (at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 50)

Apa itu ibadah?

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“Pengertiannya: Secara bahasa artinya perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut syari’at adalah sebuah ungkapan yang mewakili segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tersembunyi/batin maupun yang tampak/lahir.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)

Apa saja pilar-pilar ibadah?

Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,

“Pilar-pilar ibadah:

1. Kecintaan (mahabbah)
2. Rasa takut (khauf)
3. Harapan (raja’).” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)

Ada apa antara cinta dengan ibadah?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Makt. al-’Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“… Tidak akan sempurna tauhid seorang hamba sampai sempurna kecintaan hamba tersebut kepada Rabbnya dan kecintaan kepada-Nya harus lebih didahulukan di atas semua perkara yang dicintainya dan mengalahkan itu semua serta kecintaan kepada Allah itulah yang menghakimi semua kecintaan yang lain sehingga semua yang dicintai oleh hamba tersebut senantiasa mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Menggapai manisnya iman dengan cinta

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa ketiganya terdapat dalam dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. [2] Tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah. [3] Dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kamu ini memang aneh!

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 45)

Mana bukti cintamu?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Artikel www.muslim.or.id

Pria yang Meninggalkan Shalat Jama’ah Sungguh Merugi

Penulis: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’ain.

Sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat ini. Jika kita sedikit memalingkan pandangan ke masjid-masjid, kita akan menyaksikan bahwa rumah Allah yang ada sangat sedikit sekali dihuni oleh jama’ah ketika mu’adzin meneriakkan hayya ‘ala shalah. Berlatar belakang inilah, dalam risalah yang ringkas ini kami berusaha mendorong setiap orang yang membaca tulisan ini untuk melakukan shalat yang memiliki banyak keutamaan yaitu shalat berjama’ah. Semoga Allah selalu memberi hidayah dan taufik kepada kita sekalian.

Pertama: Shalat Jama’ah Memiliki Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” [1]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً

“Shalat jama’ah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala 50 shalat.” [2]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.” [3]

Kedua: Dengan Shalat Jama’ah Akan Mendapat Pengampunan Dosa

Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

“Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berjalan untuk menunaikan shalat wajib yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”[4]

Ketiga: Setiap Langkah Menuju Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, Malaikat Akan Senantiasa Mendo’akannya

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

“Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat. Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats. ” [5]

Keempat: Melaksanakan Shalat Jama’ah Berarti Menjalankan Sunnah Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan Sunnahnya

Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

“Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat.” [6]
Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib sendirian atau melaksanakan shalat jama’ah namun di rumah (bukan di masjid) sehingga tidak nampaklah syi’ar Islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang yang betul-betul meremehkannya … , maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syi’ar shalat berjama’ah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.” [7]

Catatan: Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah ini ditujukan bagi kaum pria, sedangkan wanita lebih utama shalat di rumahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma’ kaum muslimin).

Semoga dengan risalah yang singkat ini dapat mendorong kita untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Semoga masjid-masjid kaum muslimin dapat terisi terus dengan banyaknya jama’ah.

Pembahasan ini masih akan dilanjutkan dengan hukum shalat jama’ah. Semoga Allah memudahkan urusan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****

Panggang, Gunung Kidul, 1 Robi’ul Akhir 1430 H

Artikel www.muslim.or.id
Endnote:
[1] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Kewajiban Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 43-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras Apabila Seseorang Meninggalkannya]
[2] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Syarh Shohih Al Bukhari li Ibni Baththol, 2/271, Maktabah Ar Rusyd
[4] HR. Muslim. [Muslim: 3-Kitab Ath Thoharoh, 4-Bab Keutamaan Wudhu dan Shalat Sesudahnya]
[5] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Wajibnya Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 50-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Keutamaan Menunggu Shalat]
[6] HR. Muslim. [Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 45-Bab Shalat Jama’ah adalah Sunanul Huda]
[7] Dalil Al Falihin Li Thuruqi Riyadhis Sholihin, 6/402, Asy Syamilah


sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pria-yang-meninggalkan-shalat-jamaah-sungguh-merugi.html/comment-page-1#comment-54950

Puluhan Ulama Saudi Serukan Jihad Lawan Israel

Sekitar 70 orang aktivis dan ulama Islam Arab Saudi, mendesak dunia internasional untuk memecahkan blokade dan embargo Yahudi terhadap umat Islam di jalur Gaza dan mengutuk pembantaian yang dilakukan oleh militer Israel terhadap aktivis pro-Palestina dalam rombongan armada kebebasan yang menuju ke Gaza untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan.

Mereka juga menuntut dan menyerukan adanya Jihad Islam untuk mengusir zionis Israel dari tanah kaum muslimin.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Kamis pagi ini (3/6) ke 70 aktivis dan ulama Islam Saudi tersebut menyatakan bahwa apa yang terjadi di kapal Mavi Marmara merupakan sebuah kejahatan, ketidakadilan dan pengkhianatan, karena para aktivis kemanusiaan datang dengan cara damai dan membawa makanan dan obat-obatan serta melakukan gerakan perdamaian dalam sebuah perjanjian internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Mereka menekankan bahwa satu-satunya solusi untuk menyelamatkan umat Islam dari serangan dan penghinaan adalah harus merujuk kepada Allah dan RasulNya, dan hal ini adalah yang pertama diperlukan untuk mencegah terjadinya pendudukan, serta menekankan pentingnya mengecam agresi Israel dan memaksa mereka untuk mengangkat pengepungan di jalur Gaza dan wilayah lainnya di Palestina.

Yang menandatangi pernyataan itu masuk dalam daftar pengkhotbah paling terkenal di Arab Saudi, termasuk diantaranya adalah Syaikh Abdul Rahman al-Barrak, Syaikh Yussuf Bin Abdullah Al-Ahmad, Syaikh Sulaiman bin Hamad.

Mereka menegaskan bahwa sudah waktunya untuk meninggalkan metode dialog dan negosiasi dan solusi perdamaian, dan mengganggap orang-orang yang melakukan hal tersebut sebagai orang yang tergoda oleh rayuan Yahudi.

Dalam pernyataan para aktivis dan ulama Saudi tersebut menyatakan juga: “Kami percaya bahwa satu-satunya solusi untuk menyelamatkan umat Islam dari penghinaan ini adalah kembali kepada Allah dan RasulNya serta menerapkan syariat Islam di semua lapisan masyarakat karena Allah berfirman dalam Al-Quran, Yaa Ayyuhalladzi Na amanu Intanshurullah Yan Shurkum Wa Yutsabbit Aqdamakum (Hai Orang-orang yang berimana, jika kamu menolong Allah maka Allah akan menolong kamu dan meneguhkan pendirianmu) QS. Muhamamad. Ayat:7.(fq/imo/EM)


sumber: http://www.kajianislam.net/modules/wordpress/2010/06/03/puluhan-ulama-saudi-serukan-jihad-lawan-israel/#more-917

Hadits, Atsar Dhaif - Palsu Seputar Tawassul (5)

Penyadur: Al-Akh Yulian Purnama


Sebagian orang yang ber-tabarruk dengan kuburan orang shalih, atau ber-tabarruk dengan orang shalih itu sendiri, atau bahkan ber-tabarruk dengan tanah, air, debu, serta benda-benda yang dianggap mengandung berkah, sering beralasan dengan kisah Fathimah Radhiallahu’anha. Kisahnya adalah sebagai berikut:

عن علي بن أبي طالب – رضي الله تعالى عنه – قال: لما رمس رسول الله – صلى الله عليه وسلم – جاءت فاطمة – رضي الله تعالى عنها – فوقفت على قبره وأخذت قبضة من تراب القبر فوضعته على عينيها وبكت وأنشأت تقول:

ماذا على من شم تربة أحمد * أن لا يشم مدى الزمان غواليا

صبت علي مصائب لو أنها * صبت على الأيام عدن لياليا

“Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, beliau berkata: ‘Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dimakamkan, Fathimah Radhiallahu’anha datang. Beliau berdiri di depan makam Nabi lalu mengambil segenggam tanah dari makam Nabi, kemudian menaruh tanah tersebut di wajahnya sambil menangis dan bersyair:

Bagi yang mencium wangi tanah makam Ahmad

Tidak akan ia temukan sepanjang zaman wangi yang demikian

Sungguh pedih musibah yang kurasa

Begitu pedihnya seakan dapat membalik siang menjadi malam‘”

Kisah ini dibawakan oleh:

1. As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (218/4). Dalam kitab ini As Samhudi mengatakan ia menukil kisah ini dari At Tuhfah[1] milik Ibnu ‘Asakir dengan sanadnya.
2. Muhammad bin Yusuf Ash Shalihi Asy Syammi, dalam Sabilu Al Huda Wal Irsyad Fii Siirati Khairi Al ‘Ibad, 337/12, tanpa sanad. Namun beliau mengatakan bahwa kisah ini diriwayatkan dari Thahir bin Yahya Al Husaini.
3. Abul Faraj Ibnul Jauzi, dalam Al Wafa-u Bit Ta’rifi Fadhaili Al Musthafa, tanpa sanad
4. Abul Baqa’ Ibnu Dhiya’, dalam Taarikhu Makkah Al Musyrifah Wal Masjidil Haram, hal. 163, tanpa sanad
5. Dan beberapa kitab sirah lain

Catatan

Bila hanya diketahui sebuah riwayat ada di kitab ini dan kitab itu, dibawakan oleh imam A dan imam B, belumlah cukup untuk melegalisasi riwayat tersebut untuk diterima dan di amalkan. Perlu diperiksa ke-shahih-an dari riwayat tersebut. Terlebih lagi kisah ini hanya diriwayatkan dari kitab-kitab sirah, bukan kitab hadits. Lebih jelasnya, silakan simak artikel “Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dhaif”

Jalur Periwayatan

As Samhudi dalam Al Wafa’ menukil kisah ini dari At Tuhfah milik Ibnu Asakir dengan sanad berikut:

عن طاهر بن يحيى الحسيني قال: حدثني أبي عن جدي عن جعفر بن محمد عن أبيه عن علي رضي الله عنه

“Dari Thahir bin Yahya Al Husaini, ia berkata: Ayahku (yaitu Yahya bin Al Hasan) pernah mengatakan kepadaku: Dari kakekku (yaitu Al Hasan bin Ja’far) : Dari Ja’far bin Muhammad: Dari ayahnya (yaitu Muhammad bin Ali) : Dari Ali bin Abi Thalib”

Kualitas sanad

Sanad kisah ini gelap. Karena banyak perawi yang tidak dikenal (majhul) dalam sanad kisah ini, yaitu:

* Thahir bin Yahya Al Husaini
* Yahya bin Al Hasan
* Al Hasan bin Ja’far bin Muhammad

Andai perawi-perawi tersebut diterima pun masih terdapat sisi kelemahan lain, yaitu keterputusan sanad (inqitha’) antara Muhammad bin Ali dengan sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Karena Muhammad di sini adalah Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan kata lain, Muhammad adalah cicit dari sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Sedangkan Muhammad tidak pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, sebagaimana dikatakan oleh Al Mizzi dalam Tahzibul Kamal (26/137) dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya (1602/161/6):

وَأَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىِّ بْنِ الْحُسَيْنِ لَمْ يُدْرِكْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ

“Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Al Husain tidak pernah bertemu Ali bin Abi Thalib”

Ringkasnya, kisah ini dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Adz Dzahabi:

… :وَمِمَّا يُنْسَبُ إِلَى فَاطِمَةَ، وَلاَ يَصِحُّ

“Salah salah satu kisah yang diklaim dari Fathimah, namun tidak shahih adalah … (lalu menyebutkan riwayat di atas)” (Siyar A’laamin Nubala, 113/3)

Al Mulla Ali Al Qaari dalam Mirqatul Mafaatih (243/17) juga mengisyaratkan lemahnya kisah ini.

Lebih lagi telah diketahui bahwa riwayat ini tidak terdapat satu pun di kitab-kitab hadits. Riwayat ini tidak pernah dibawakan oleh para ulama pemilik kitab Shahih, seperti Bukhari-Muslim, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, atau semacamnya, tidak juga kitab Mu’jam, seperti Mu’jam Ath Thabrani, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad, Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik. Riwayat ini kebanyakan dibawakan dalam kitab-kitab sirah.

Sikap Keluarga Fathimah Terhadap Makam

Lalu bagaimana sebenarnya sikap Fathimah Radhiallahu’anha terhadap makam Nabi? Cukuplah kita melihat sikap orang-orang terdekat beliau bersikap terhadap makam.

Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib (Cucu Fathimah) -Radhi’allahu’anhum-

رأى رجلا يأتي فرجة كانت عند قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فيدخل فيها فيدعو، فنهاه وقال: « ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي – يعني علي بن أبي طالب رضي الله عنه عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم».

“Ali bin Al Husain melihat seorang lelaki yang mendatangi celah di sisi makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian ia masuk ke dalamnya lalu berdoa. Beliau lalu berkata: ‘Wahai engkau, maukah aku sampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Jangan jadikan kuburan sebagai Ied[2], dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan, bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian bershalawat’ ‘”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (375/2), Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya (6694). As Sakhawi dalam Al Qaulud Baadi’ (228) berkata: ‘Hadits ini hasan’. Ibnu ‘Adiy dalam Ash Sharimul Munkiy (206) mengatakan: ‘Sanadnya jayyid’

Ali bin Abi Thalib (Suami Fathimah) -Radhi’allahu’anhuma-

عن أبي الهياج الأسدي أن علياً رضي الله عنه قال له: « ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه » (مسلم969).

“Dari Abu Hayyaj Al Asadiy, Ali Radhiallahu’anhu pernah berkata kepada Abu Hayyaj: ‘Maukah engkau aku utus untuk mengerjakan sesuatu yang dulu aku pun pernah di utus oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah. Lalu tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan harus dihilangkan’” (HR. Muslim, no.969)

Dalam menjelaskan hadits ini An Nawawi berkata:

أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ

“Yang sesuai sunnah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun tingginya hanya sekitar sejengkal dan dibuat rata. Ini mazhab Asy Syafi’i dan murid-muridnya” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3)

Inilah sikap Ali bin Abi Thalib terhadap kuburan. Berbeda dengan para penyembah kubur serta orang-orang yang ber-tabarruk dengan kuburan, mereka meninggikan makam-makam.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (Ayah Fathimah -Radhi’allahu’anha-)

عن عائشة « أن النبي قال في مرض موته» لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari no. 1330)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata tentang hadits ini:

وكأنه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ علم أنه مرتحل من ذلك المرض، فخاف أن يعظم قبره كما فعل من مضى، فلعن اليهود والنصارى إشارة إلى ذم من يفعل فعلهم
“Seakan-akan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui beliau akan wafat karena sakit yang sedang dialaminya, lalu beliau khawatir makam beliau diagungkan sebagaimana perbuatan orabg-orang terdahulu. Dilaknatnya kaum Yahudi dan Nasrani adalah isyarat bahwa orang yang melalukan perbuatan tersebut dicela” (Fathul Baari, 688/8)

Demikian uraian singkat. Semoga Allah senantiasa melimpkahkan rahmah dan hidayah-Nya kepada kita semua.

[ Sebagian besar tulisan ini disadur dari tulisan Al Akh Dimasqiyyah di Forum Ahlul Hadits (http://www.ahlalhdeeth.cc/vb/showthread.php?t=155930). Semoga Allah senantiasa menjaganya. ]

Artikel www.muslim.or.id
[1] Ada yang mengatakan bahwa judul yang benar adalah Al Ithaaf

[2] Dalam Lisaanul Arab dijelaskan:

والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌٌ

“Ied adalah setiap hari yang terdapat berkumpulnya manusia”

قال الأَزهري: والعِيدُ عند العرب الوقت الذي يَعُودُ فيه الفَرَح والحزن

“Al Azhari berkata: Ied menurut budaya arab adalah setiap waktu yang secara rutin kesenangan dirayakan atau kesedihan diratapi”

sumber: http://muslim.or.id/aqidah/hadits-atsar-dhaif-serta-palsu-seputar-tawassul-dan-tabarruk-5.html