Tabligh Akbar Bersama Ulama Ahlussunnah dari Timur Tengah

on Jumat, 11 Juni 2010

Penulis: Redaksi salafy.or.id



بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد

Segala puji hanya bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan shahabat beliau, serta yang mengikuti jalan beliau hingga hari akhir.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah semata, tahun ini Allah memberikan kenikmatan kepada kaum muslimin di Indonesia secara khusus dengan rencana kehadiran para ulama dari Timur Tengah, insya Allah.

Kehadiran para ulama ini dikemas dalam acara Kajian Ilmiah Nasional Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah beberapa kali diselenggarakan,
walhamdulillah.

Berikut ini rincian waktu dan tempat pelaksanaannya.

I. Tabligh Akbar Nasional Bersama Ulama Ahlussunnah dari Timur Tengah

Pembicara:
1. Asy-Syaikh Dr. Abdullah Al-Bukhari (Dosen Univ. Islam Madinah, dalam konfirmasi)
2. Asy-Syaikh Dr. Muhammad Umar Bazmul (Profesor Univ. Ummul Qura, Makkah)
3. Asy-Syaikh Dr. Khalid Adz-Dzafiri (Ulama Ahlussunnah dari Kuwait)

Peserta :
UMUM : PUTRA & PUTRI *)

Kontribusi :
GRATIS

Waktu : Sabtu—Senin, 27—29 Rajab 1431 H/
10 — 12 Juli 2010

Tempat : Masjid Agung Manunggal Bantul di Jl. Jendral Sudirman No. 1, Bantul

II. Daurah Asatidzah

Waktu : Kamis—Ahad, 25 Rajab—6 Sya’ban 1431 H/8—18 Juli 2010
Tempat: Kompleks PP. Al Anshor, Wonosalam, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.

Penyelenggara :
Panitia Dauroh Ilmiyah Nasional Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Jl. Godean Km 5 Gg Kenanga 26 B, Patran, RT 01/01, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY.

Kontak Person :
Daurah Umum 0274 7453237
Daurah Asatidz 0813 2802 2770
Informasi Umum: 0857 4756 6736
Informasi Paltalk : 0813 2856 1738.

*** Insya Allah Kajian Ini akan disiarkan Live via Internet, dengan software Paltalk ( petunjuk: http://www.salafy.or.id/upload/paltalk.zip ). Di Room Religion & Spirituality - Islam - Salafiyyin dengan akun "salafiyyin" ***

>>> Diharapkan menyebarkan informasi ini secara luas dengan alamat halaman situs ini http://daurah.salafy.or.id. Apabila ada perubahan, insya Allah akan diinformasikan lewat situs ini atau majalah Asy Syariah. Update terakhir 5 Juni 2010 pukul 08.38 WIB <<< Demikian pengumuman ini semoga bermanfaat. Redaksi Salafy.or.id Catatan :
- Rute menuju lokasi
1. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via pesawat :
a. Menuju Bandara Adisutjipto, Jogjakarta
b. Naik taksi/ojek/kendaraan ke terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6
2. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Surabaya, Solo via bus :
a. Turun di terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta
no 6
3. Rute menuju lokasi dari Semarang via bus :
a. Turun di terminal Jombor, naik bus kota jurusan terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6
4. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kereta api :
a. Menuju stasiun Tugu/Lempuyangan, Jogjakarta
b. Naik bus kota menuju terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6
5. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kendaraan
pribadi :
a. Dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Semarang, Surabaya, menuju Jogjakarta, setelah masuk Jogjakarta, temukan plang ke kota Bantul yang ada di Jl. Ringroad Selatan, perempatan Dongkelan.
b. Lantas arahkan kendaraan ke selatan masuk Jalan Bantul untuk menuju ke kota Bantul, sampai gapura kota Bantul. Ikuti jalan sampai perempatan pertama (Klodran). Lokasi masjid Agung Manunggal, Bantul dari utara di sebelah kanan
6. Rute menuju lokasi dari sekitar Jogjakarta :
a. Dari terminal Jombor/halte Trans Jogja, ke terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
b. Dari terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
c. Dari arah Semarang turun di perempatan Dongkelan (Jl. Ringroad Selatan), naik bus Koperasi Abadi turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)

*) Peserta PUTRI dapat mendengarkan relay live di beberapa tempat sbb :
a. Tarbiyatul Aulad Ibnu Taimiyyah
Jl. Palagan Tentara Pelajar, Sedan, no 99 C RT 06/34. Sleman
b. Ma'had Ar Ridlo
Jl. Parangtritis km 6, RT 6/RW 46, Dagaran, Sewon Bantul

BAHAYA PANDANGAN MATERIALISTIS BAGI KELUARGA

BAHAYA PANDANGAN MATERIALISTIS, BAGI KEHIDUPAN RUMAH TANGGA MUSLIM


PANDANGAN MATERILISTIS TERHADAP DUNIA
Pandangan materialistis saat ini, banyak menerpa kehidupan manusia. Bahkan sebagian kaum muslimin ada yang juga terpengaruh dengan kehidupan yang melalaikan ini. Yaitu mengedepankan cara pandang tentang kehidupan yang hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia fana ini, sehingga aktifitas hidup yang dijalankan hanya berkisar pada masalah bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi, membangun rumah dan gedung, memenuhi kepuasan hidup dan hal-hal lain yang bersifat duniawi, tanpa memikirkan akibat dan sikap yang seharusnya dilakukan. Seolah menganggap, bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan harta. Alhasil, pandangan materialistis ini mengusik keharmonisan dan ketenangan rumah tangga seorang muslim. Melalaikan tujuan inti penciptaannya, penghambaan diri kepada Allah semata dalam setiap aspek kehidupannya. Allah berfirman:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآأُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz Dzariyat: 56-58]

Sebagai efeknya, tak jarang wanita juga ikut bekerja membanting tulang, mengerahkan segala cara untuk mendapatkan harta yang banyak. Dalam benaknya, yang berkembang hanya bagaimana bisa menguasai dunia dengan harta berlimpah, seolah kebahagiaan dan ketenangan bergantung dengan harta; padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar. Apakah engkau menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya (Abu Dzar) menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Dan engkau menyangka, karena harta sedikit orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar) berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan adalah miskin hati”. [HR Hakim dan Ibnu Hibban].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

"Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata". [Al Hajj: 11]

Allah menciptakan dunia tidak untuk main-main atau sendau gurau, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung, sebagaimana firman Allah:

إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya". [Al Kahf :7].

Allah menciptakan dunia tidak lain ialah sebagai ladang kampung akhirat dan kampung untuk beramal. Sedangkan akhirat sebagai kampung menuai balasan. Barangsiapa mengisi dunia dengan amal shalih, niscaya ia akan menuai keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya, barangsiapa yang menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.

PANDANGAN YANG SALAH TERHADAP DUNIA
Allah menjadikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa harta, anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lainnya, yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Dari Tsauban, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ

"Hendaklah di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri yang shalihah yang membantu dalam urusan akhirat". [HR Ahmad dan Ibnu Majah].

Pada kenyataannya, sebagian besar manusia memusatkan perhatiannya pada aspek lahiriah dan kenikmatan materi semata. Setiap hari disibukkan dengan bekerja untuk mendapatkan harta dan kenikmatan dunia, sehingga lupa menyiapkan bekal untuk amal kehidupan sesudah mati; bahkan ada yang mengingkari kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَانَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ

"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula) “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. [Al Al An’am : 29].

Allah mengancam orang-orang yang memiliki pandangan kerdil terhadap dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan". [Hud: 15-16].

ANCAMAN ALLAH TERHADAP ORANG-ORANG MATERIALISTIS
Dampak ancaman di atas berlaku bagi semua orang yang memiliki pandangan materialis, yaitu mereka yang beramal hanya sekedar mencari keuntungan dunia, misalnya: orang-orang munafik, orang-orang kafir, orang-orang yang menganut faham kapitalisme, komunisme dan sekulerisme. Allah akan menjadikan kehidupan ini terasa sempit bagi mereka. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

"Barangsiapa yang menjadikan dunianya sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan membuat perkaranya berantakan, kemiskinan berada di depan kedua matanya dan dunia tidaklah datang, kecuali yang telah ditentukan baginya saja. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat (sebagai) niatnya, niscaya Allah akan memudahkan urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam dalam dalam hatinya dan dunia akan datang dengan sendirinya". [Hadits Ibnu Majah dengan sanad yang shahih]

PANDANGAN YANG BENAR TERHADAP DUNIA
Dunia bukanlah segala-galanya, akan mengalami kehancuran. Ia hanya jembatan penyeberangan belaka. Segala prasarana dan sarana yang Allah adakan di dunia ini, harta, kekuasaan dan lain-lain, semestinya dioptimalkan sebesar-besarnya untuk kepentingan yang lebih besar, meraih kehidupan akhirat yang paling baik.

Karena itu, pada hakikatnya dunia tidak tercela dzatnya. Pujian atau celaan tergantung pada tindak-tanduk seorang hamba dalam menjalani siklus kehidupannya di dunia. Sekali lagi, dunia, kehidupannya bersifat maya.

Kehidupan yang baik yang diperoleh penduduk surga, tidak lain karena kebaikan dan amal shalih yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia adalah kampung jihad, shalat, puasa dan infak di jalan Allah, serta medan untuk berlomba dalam kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada penduduk surga, artinya :

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَآأَسْلَفْتُمْ فِي اْلأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

"(Kepada mereka dikatakan) “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia)”. [Al Haqqah : 24].

Selayaknya kita bersiap diri meninggalkan kampung dunia menuju kampung akhirat dengan selalu menambah simpanan amal kebaikan dan bersegera memenuhi panggilan Allah.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah habis berlalu dan akhirat semakin mendekat. Dan masing-masing mempunyai anak keturunan. Jadilah kalian anak keturunan akhirat dan jangan menjadi anak keturunan dunia, karena sekarang kesempatan beramal tanpa ada hisab (peratnggungjawaban) dan besok di akhirat masa perhitungan amalan dan tidak ada kesempatan beramal”. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu juga mengatakan: “Halalnya adalah dipertanggungjawabkan, dan haramnya adalah neraka”.

Wahai saudaraku kaum muslimin, ingatlah terhadap empat hal : Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan dimakan orang lain, maka tenteramlah jiwaku. Aku tahu bahwa amalku tidak akan dilakukan orang lain, maka akupun disibukkannya. Aku tahu bahwa kematian akan datang tiba-tiba, maka segera aku menyiapkannya. Dan aku tahu bahwa diriku tidak akan lepas dari pantauan Allah, maka aku akan merasa malu kepadaNya. [Lihat Manaqib Al Iman Ahmad, Ibnu Jauzi, Maktabah Al Hany, Bab As Siaru, Vol. 11, hlm. 485 dan Wafayat Al A’yan, Op.Cit, Vol. 2, hlm. 27].

Orang yang mengosongkan hatinya dari keinginan dunia akan merasa ringan tanpa beban, total menyongsong Allah dan mempersiapkan diri untuk datangnya perjalanan. Mengosongkan hati untuk dunia yang fana bukan berarti meninggalkan dunia kerja, enggan mencari kehidupan dunia dan tidak mencoba berusaha. Islam sendiri memerintahkan untuk bekerja dan menganggapnya sebagai satu jenis jihad, bila dengan niat yang tulus dan memenuhi syarat amanah dan ikhlas, serta tidak melanggar syariat. (Ummu Ahmad).

Maraji’:
- Kitab Tauhid III, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan.
- Islahul Qulub, karya Syaikh Abdul Hadi Wahbi.
- Faraidul Kalam Lil Khulafail Kiram, karya Syaikh Qasim ‘Asyur.
- Ad Dunya Dhillul Zailun, Abdul Malik bin Muhammad Al Qasim.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


http://www.almanhaj.or.id/content/2706/slash/0

BERPERANG MELAWAN WAS-WAS SETAN

Penulis: Al-Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin



Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menuturkan, Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ

"Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya,'Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?' Hingga dia bertanya,'Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?' Oleh karena itu, jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)".

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini muttafaqun 'alaihi (Al-Bukhari dalam Shahih-nya di kitab "Bad'ul-Khalqi", bab "Shifatu Iblisa wa Junudihi", hadits no. 3276 [6/387 – Fathul-Bari]; dan Muslim dalam Shahih-nya di kitab "Al Iman", bab "Bayan al Waswasati fil-Iman wa ma Yaquluhu man Wajadaha", hadits no. 134 [2/132 – Syarhu Shahih Muslim]).

BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau bernama Abdur-Rahman bin Shakhr Ad-Dausi, inilah pendapat yang masyhur. Pada masa Jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Panggilan kunyahnya Abu Hurairah, dan inilah yang masyhur. Kunyah lainnya yaitu Abu Hir, karena beliau Radhiyallahu 'anhu memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari. Dalam Shahih Al-Bukhari[1] disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memanggilnya “Wahai Abu Hir”.

Ahli hadits telah bersepakat, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan di dalam Musnad Baqiy bin Makhlad, terdapat 5.300-an hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu

Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al-Fadhl bin al-Abbas, Ubaiy bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al-Ghifari, dan Ka’ab al-Ahbar Radhiyallahu 'anhum.

Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari beliau, dan beliau adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam asy-Syafi’i berkata,"Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”

Beliau masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Datang ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah [2]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah untuk masuk Islam.

Amr bin Ali al-Fallas mengatakan, Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.

Humaid al-Himyari berkata,"Aku menemani seorang sahabat yang pernah menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana halnya Abu Hurairah.”

Menurut pendapat yang lebih kuat, beliau Radhiyallahu 'anhu wafat pada tahun 57 H.[3]

MAKNA HADITS
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan, setan dapat mendatangi seseorang untuk menghembuskan was-was (gangguan) dan syubhat (keraguan) ke dalam hatinya; di antaranya dengan membisikkan kalimat-kalimat yang dapat menimbulkan keragu-raguan secara halus, hingga menggiringnya kepada kalimat kufur.

Contohnya, seperti disebutkan dalam hadits ini. Yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan yang semula merupakan pertanyaan biasa, lalu setan berusaha menggiring pada pertanyaan yang membuat keraguan, yaitu "siapa yang menciptakan Rabb-mu?"

Bila was-was setan ini telah merasuk ke dalam hati dan benak pikiran seseorang, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar orang tersebut segera meminta perlindungan kepada Allah dan mengakhiri (was-was setan tersebut) dari benak pikirannya. Walahu a'lam.

PENJELASAN DAN PELAJARAN HADITS
Setan Musuh Yang Nyata Bagi Bani Adam
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala mengusir Iblis dari surga karena keengganannya menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk bersujud kepada Adam Alaihissallam, ia meminta tangguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seraya menyatakan tekadnya untuk menggoda dan menjerumuskan Adam Alaihissallam dan anak cucunya ke dalam lembah kehinaan, menyimpangkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lurus.[4]

Untuk pertama kalinya Iblis berhasil membujuk Adam Alaihissallam dan isterinya melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga keduanya dihukum oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan diturunkan ke bumi, meskipun kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima taubat Adam Alaihissallam dan isterinya, dan mengampuni keduanya.[5]

Tidak berhenti sampai di situ, Iblis kemudian mengajak bala tentaranya dari kalangan setan untuk terus memerangi anak cucu Adam, menggelincirkannya dari jalan Allah yang lurus, dan menjatuhkannya ke dalam kesesatan yang menghinakan. Maka Iblis dan bala tentaranya menjadi musuh yang paling nyata dan paling sengit bagi manusia. Oleh karena itu berhati-hatilah dari tipu daya dan langkah-langkah setan yang menyesatkan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya:

وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

"… dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya syithan itu musuh yang nyata bagimu". [Al-Baqarah/2:168. Al An'âm/6:142].

Setan Menghembuskan Was-was dan Syubhat
Sejak awal permusuhan, setan telah mempersiapkan jurus-jurus dan langkah-langkah muslihat untuk menggelincirkan dan melumpuhkan manusia agar tidak taat kepada Allah. Di antaranya dengan meluncurkan was-was dan syubhat (keraguan) dalam diri manusia.

Perhatikan perkataan setan (Iblis). Dengan muslihatnya, ia berlagak sebagai penasihat, dan bahkan dengan mengangkat sumpah kepada Adam  dan isterinya –sebelum diturunkan ke bumi- setelah sebelumnya Allah memperingatkan keduanya untuk tidak mendekati pohon terlarang.

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مِنْ سَوْءَاتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُوناَ مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوناَ مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ. فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ ...

"Maka setan membisikkan pikiran jahat (was-was) kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)". Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya,"Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,' maka setan membujuk keduanya dengan tipu daya. …" [Al-A'râf/7:20-22]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menceritakan hal serupa.

فَوَسْوَسَ لَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لاَ يَبْلَى

"Kemudian setan membisikkan pikiran jahat (waswas) kepadanya, dengan berkata,"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?" [Thâhâ/20:120].

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan tentang ketergelinciran Adam Alaihissallam dan isterinya oleh was-was dan tipu daya setan, yang membuat Adam lupa dengan peringatan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketergelinciran ini untuk menjadi pelajaran bagi anak cucunya.

Bentuk-bBntuk Waswas Setan
Banyak cara yang dilancarkan setan dalam menghembuskan was-was (pikiran jahatnya) kepada bani Adam. Di antaranya dapat dicontohkan sebagai berikut.

1. Setan menghiasi kemaksiatan.
Setan menghiasi kemaksiatan dengan hiasan-hiasan indah, sehingga kemaksiatan tersebut tidak nampak lagi sebagai kemaksiatan di mata manusia. Seperti perkataannya kepada Adam Alaihissallam dan isterinya dalam dua ayat di atas, ternyata merupakan tipuan berhias nasihat. Begitu pula ketika menghiasi perbuatan kaum musyrikin pada perang Badar. Allah Subhanhu wa Ta'ala mengisahkan:

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَراً وَرِئَـاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ، وَاللهُ بِمَا يَعْمَلوُنَ مُحِيطٌ. وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌّ لَّكُمْ، فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنْكْم إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَونَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَاللهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan,"Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu," maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata,"Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah". Dan Allah sangat keras siksa-Nya". [Al-Anfâl/8:47-48].

Begitulah hiasan setan yang berisikan janji-janji palsu dan angan-angan kosong.

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِم وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً

"Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka" [An-Nisâ': 120]

2. Setan Mmenakut-Nakuti Manusia.
Tatkala ada sebagian manusia tidak mempan dengan hiasan-hiasan setan, maka setan menggunakan cara lain, yaitu menakut-nakuti mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُم مُؤْمِنِينَ

"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman". [Ali Imran/3:175].[6]

Menangkal Was-Was Setan
Keberadaan setan sebagai musuh yang nyata bagi manusia merupakan salah satu ujian terberat buat manusia; karena setan dapat melihat keberadaan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat setan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا مِن سَوْءَاتِهِمَا، إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِن حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُم، إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ.

"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." [Al-A'râf/7:27]

Namun begitu, Allah Subhanhu wa Ta'ala dengan rahmatNya memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu kiat-kiat untuk menangkal dan mengusir setiap serangan yang dilancarkan setan. Di antaranya sebagai berikut.

1. Ikhlas.
Hamba-hamba yang ikhlas akan dijaga dan diselamatkan dari gangguan setan, sebagaimana menurut pengakuan setan sendiri. Allah l menceritakan dalam firman-Nya:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ )

"Iblis berkata, "Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka." [Al-Hijr/15:39-40].

Dalam ayat yang lain:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

"Iblis menjawab, "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka." [Shâd/38:82-83].

Dan dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku (yang mukhlis) tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat". [Al-Hijr/15:42].

2. Iman.
Dalam sebagian riwayat hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang kita bahas di atas, ada disebutkan dengan lafazh berikut.

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ فَيَقُولُ اللَّهُ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَإِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَبِرُسُلِهِ.

"Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya (kepadanya),"Siapa yang menciptakan langit?" Ia menjawab,"Alah Subhanahu wa Ta'ala ," lalu setan bertanya lagi,"Siapa yang menciptakan bumi?" Ia menjawab,"Allah," hingga setan bertanya,"Siapa yang menciptakan Allah? Maka apabila salah seorang dari kalian merasakan suatu (was-was) seperti ini, hendaklah dia mengucapkan,"Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya".[8]

Dan dalam riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha dengan lafazh:

((... فَلْيَقْرَأْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُذْهِبُ عَنْهُ)).
"… maka bacalah "Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya," karena hal itu akan menghilangkannya (was-was tersebut)".[9]

3. Berlindung Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu di atas:

((... فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ))

"… jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan/memutuskan (was-was tersebut)".

Dan hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-A'râf/7:200].

Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pula dengan lafazh:

فَإِذَا قَالُوا ذَلِكَ، فَقُولُوا: اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، ثُمَّ لِيَتْفُلْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ مِنْ الشَّيْطَانِ.

"Jika mereka mengucapkan hal itu (kalimat-kalimat was-was), maka ucapkanlah "Allah itu Maha Esa, Allah itu tempat bergantung, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan," kemudian meludahlah ke kiri (3x) dan berlindunglah kepada Allah" [10]

4. Dzikrullah.
Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya". [Al-A'râf/7:201].

Nas'alullaha at taufiq.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Di antaranya di dalam kitab "Al Ghusl", bab "Al-Junub Yakhruju wa Yamsyi fis-Sûq wa Ghairihi", hadits no. 285 (1/466 – Fathul-Bari).
[2]. Anjungan di serambi Masjid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat tinggal kaum fakir yang tak punya rumah.
[3]. Lihat Al-Ishabah (4/316 – dst.).
[4]. Lihat firman Allah dalam Qs Al-Baqarah/2 ayat 34 dan Al-A'râf/7 ayat 11-18.
[5]. Lihat firman Allah Qs Al-A'râf/7 ayat 19-25.
[6]. Risalah Maqami' Asy-Syaithan, oleh Syaikh Salim Al-Hilali, Dâr Ibnil-Jauzi, Cetakan III, Tahun 1412H/1991M, hlm. 10-14.
[7]. Lihat risalah Maqami' Asy-Syaithan, hlm. 29-31.
[8]. HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya (2/331) dan (5/214) dengan lafazh: " …aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam" (dengan bentuk tunggal). Lihat pula Shahih Muslim, kitab "Al Iman", bab "Bayan al Waswasati fil- Iman wa ma Yaquluhu man Wajadaha", hadits no. 134 (2/132 – Syarah Shahih Muslim).
[9]. HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6/257). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jami’ (no. 1542).
[10]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab "As-Sunnah", bab "Fil-Jahmiyyah", hadits no. 4722. Derajatnya dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahihul-Jami’ (no. 8182).


http://www.almanhaj.or.id/content/2717/slash/0

NABI MAUPUN WALI ADALAH MANUSIA BIASA, TIDAK BERHAK DISEMBAH!

Penulis: Al-Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari



Muhammad adalah 'abduhu wa rasuluhu. Pensifatan dari Allah bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan sebutan yang paling bagus. 'Abduhu (yang hambaNya) selain menunjukkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang benar-benar tunduk, juga mengandung makna, beliau adalah manusia biasa seperti kita sebagai makhluk yang tidak boleh disembah. Adapun rasuluhu (utusanNya) menunjukkan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang memiliki keistimewaan, sehingga beliau tidak boleh disepelekan.
_______________________________________________


Islam mengajarkan bahwa ketaatan yang dilakukan manusia, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Manusia hanya memiliki apa yang diamalkannya sewaktu di dunia. Allah Ta’ala berfirman :

"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya)". [Fushilat/41:46].


"Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna". [an Najm/53: 38-41]

Oleh karena itulah barangsiapa yang berbuat kebaikan, walaupun seberat debu, maka dia akan melihat balasannya. Allah Ta’ala berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya". [al Zalzalah/99 : 7-8]

Demikian juga pada hari kiamat, harta benda dan anak-anak tidak akan bermanfaat, kecuali bagi orang yang ketika hidupnya menggunakan hartanya untuk mentaati Allah dan membimbing anak-anaknya berbakti kepada Allah Azza wa Jalla.

"Pada hari (kiamat) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". [asy Syua'ara/26: 88-89]

Setelah kita mengetahui hakikat ini, bahwa setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Allah Ta’ala, maka janganlah seseorang bergantung kepada manusia yang lain. Karena sesungguhnya seluruh manusia itu tidak akan dapat memberikan manfaat dan madhorot, kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan. Begitu pula dengan para rasul, manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.

Berikut sebagian contoh kejadian para rasul yang membuktikan hal tersebut.

Nabi Nuh Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolong anaknya yang diterjang banjir besar di hadapan beliau sendiri. Kemudian beliau mengadu kepada Allah tentang kejadian tersebut, namun ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan oleh keinginan beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan Nuh berseru kepada Rabb-nya sambil berkata: "Ya Rabb-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janjiMu itu benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya". Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". [Huud/11:45-47]

Nabi Ibrohim Alaihissallam
Permohonan ampun untuk bapaknya ditolak, karena bapaknya mati dalam kekafiran. Allah berfirman:

"Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun". [at Taubat/9:114].

Nabi Luth Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolak siksa Allah dari isterinya. Sehingga Allah menjadikan isteri beliau sebagai contoh bagi orang-orang kafir. Allah berfirman:

"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)". [at Tahriim/66:10].

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagaimana para nabi lainnya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau seorang hamba Allah. Beliau tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) maupun hak uluhiyah (diibadahi, disembah) sedikitpun. Akan tetapi pada zaman ini banyak orang yang melewati batas dalam memperlakukan diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa memberikan pertolongan jika umat berdoa kepadanya. Anggapan ini merupakan perbuatan yang menyimpang.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah mengumumkan, bahwa beliau sama sekali tidak dapat mendatangkan manfa'at dan tidak pula dapat menolak kemudharatan bagi diri sendiri, kecuali yang dikehendaki Allah. Maka bagaimana bagi orang lain? Allah berfirman:

"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al A'raaf/7:188].

Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada para kerabatnya, bahwa beliau tidak mampu menolak siksa Allah yang menimpa mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau? Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{َ قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Ketika turun firman Allah {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat} –QS asy Syua'raa/26 ayat 214- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkata,'Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semacamnya- belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththolib, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun'.” [HR Bukhari, no. 2753; Muslim, no. 206; dan lainnya]

Selain penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hilanglah berbagai syubhat (kesamaran) pada orang-orang yang menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla. Berikut kami sebutkan di antara peristiwa-peristiwa tersebut.

PELAJARAN DARI KEMATIAN ABU THALIB
Dalam peristiwa kematian pamannya tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu memberikan petunjuk kepada Abu Thalib, walaupun beliau menginginkan hal itu. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:

عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

"Dari Sa’id bin Musayyab, dari bapaknya (Musayyab bin Hazn), dia berkata: Tatkala (tanda) kematian datang kepada Abu Thalib, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah berada di dekatnya. Lalu beliau berkata: "Wahai pamanku, katakanlah Laa ilaaha illa Allah, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah!" Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali,"Apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?" Rasulullah n terus-menerus menawarkan itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang diucapkan Abi Thalib kepada mereka, bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Laa ilaaha illa Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang darimu," maka Allah menurunkan (ayatNya) “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” –QS at Taubat/9 ayat 113- Dan Allah menurunkan (ayatNya) tentang Abu Thalib “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya”. –QS al Qashash/28 ayat 56". [Hadits shahih riwayat Bukhari, no. 4772; Muslim, no. 24]


Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, waktu itu Abu Thalib menjawab dengan perkataan:

لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ

"Seandainya suku Quraisy tidak akan mencelaku, yaitu mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya yang mendorongnya (Abu Thalib) mengatakan itu hanyalah kegelisahan (menghadapi kematian),” sungguh aku telah menyenangkanmu dengan kalimat itu". [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 25].

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Dan di antara hikmah ar Rabb (Sang Penguasa, Allah) Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada Abu Thalib menuju agama Islam, agar Dia menjelaskan kepada hamba-hambaNya bahwa (petunjuk menuju Isalm) itu hanya hak Allah, Dia-lah Yang Berkuasa, siapa saja selainNya tidak berkuasa. Jika Nabi n -yang merupakan makhlukNya yang paling utama- memiliki sesuatu (hak, kekuasaan) memberi hidayah hati, menghilangkan kesusahan-kesusahan, mengampuni dosa-dosa, menyelamatkan dari siksa, dan semacamnya, maka manusia yang paling berhak dan paling utama mendapatkannya adalah pamannya, yang dahulu melindunginya, menolongnya, dan membelanya. Maka Maha Suci (Allah) yang hikmahNya mengagumkan akal-akal (manusia), dan telah membimbing hamba-hambaNya menuju apa yang menunjukkan kepada mereka terhadap ma’rifah (pengenalan) dan tauhid (pengesaan) kepadaNya, dan mengikhlasakan serta memurnikan seluruh amal hanya untukNya”.[1]

PELAJARAN DARI QUNUT NAZILAH

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ dari raka’at yang akhir dari shalat Subuh, beliau mengucapkan: “Wahai Allah laknatlah Si Fulan, Si Fulan, dan Si Fulan,” setelah beliau mengatakan “Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakal hamdu," kemudian Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. -QS Ali Imran/3:128." [HR Bukhari, no. 4069]

Dalam riwayat lain disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan kecelakaan kepada Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin Hisyam, lalu turun (ayat): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. –QS Ali Imran/3:128.” [HR Bukhari, no. 4070].

Syaikh Shalih al Fauzan berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu menolak gangguan musyrikin dari diri beliau dan dari para sahabat beliau, bahkan beliau berlindung kepada Rabb-nya, al Qadir (Yang Maha Kuasa), al Malik (Yang Memiliki). Ini termasuk perkara yang menunjukkan kebatilan terhadap apa yang diyakini oleh penyembah kubur tentang para wali dan orang-orang shalih (yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, Pen)”.[2]

PELAJARAN DARI PERANG UHUD
Tentang sifat manusia sebagai makhluk yang terdapat pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ditunjukkan oleh musibah yang dialami dalam kehidupan beliau, seperti di dalam peperangan Uhud. Imam Muslim meriwayatkan:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

"Dari Anas: "Sesungguhnya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan: 'Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?' Maka Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu". -QS Ali Imran/3 ayat 128. [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1791].

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Terjadinya sakit dan ujian kepada para nabi –semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada mereka- adalah agar mereka mendapatkan pahala yang besar, dan agar umat mereka mengetahui apa yang telah menimpa mereka dan umat itu meneladani mereka”.

Al Qadhi rahimahulllah berkata: “Dan agar diketahui, sesungguhnya mereka (para nabi itu) termasuk manusia, ujian-ujian dunia juga menimpa mereka, dan apa yang mengenai tubuh-tubuh manusia juga mengenai tubuh mereka; agar diyakini, mereka adalah makhluk, yang dikuasai (oleh Allah). Dan agar umat tidak tersesat dengan mu’jizat-mu’jizat yang muncul lewat tangan mereka, dan setan mengaburkan dari perkara para nabi sebagaimana yang telah dia kaburkan terhadap orang-orang Nashrani dan lainnya”. [3]

Dengan keterangan yang ringkas ini, semoga jelas bagi kita tentang kedudukan Nabi yang mulia. Sehingga kita menempatkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana layaknya. Alhamdulillah. Dan setelah mengetahui ini semua, lalu bagaimanakah dengan keadaan orang-orang pada masa sekarang ini, yang memohon dan meminta pertolongan kepada para nabi atau wali atau orang shalih atau kubur mereka? Sungguh tidak tidak diragukan lagi, perbuatan itu hanyalah sia-sia, dan bahkan termasuk perbuatan musyrik.

Semoga Allah selalu menjaga kita dari perbuatan musyrik, dan segala perkara yang mengantarkan kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm. 191-192.
[2]. Al Mulakhas fii Syarh Kitab at Tauhid, hlm. 108.
[3]. Dinukil dari Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm. 166-167.


http://www.almanhaj.or.id/content/2709/slash/0

JIKA SESEORANG TERTIMPA PAILIT

Penulis: Al-Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin


SIAPAKAH YANG DISEBUT PAILIT ITU?
Pailit, dalam bahasa Arabnya disebut muflis) المفلس) berasal dari kata iflas (الإفلاس) yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tidak memiliki uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut istilah syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.

Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

"Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka".[1]

Adapun makna muflis yang kedua -banyak bicarakan oleh para ahli fikih- yaitu orang yang jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di tangannya). Dinamakan demikian, karena dia menjadi orang yang hanya memiliki fulus (uang pecahan atau recehan) setelah sebelumnya memiliki dirham dan dinar. Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi memiliki harta selain yang paling rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dari membelanjakan hartanya, kecuali uang pecahan (receh) yang disebut fulus untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Karena orang-orang dahulu tidaklah menggunakannya, kecuali untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Atau orang yang kondisinya berubah menjadi tidak memiliki uang sepeser pun [2]. Dan makna inilah yang dimaksudkan oleh para sahabat dalam hadits di atas ketika mereka ditanya tentang hakikat muflis, maka mereka mengabarkan tentang kenyataan di dunia. Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengabarkan, bahwa muflis di akhirat itu lebih parah keadaannya.[3]

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa iflas (pailit) dalam syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama. Bila jumlah hutang seseorang melebihi jumlah harta yang ada padanya, sehingga hartanya tidak bisa untuk menutup hutang-hutangnya tersebut. Kedua. Bila seseorang tidak memiliki harta sama sekali.[4]

Berikut ini kami sampaikan beberapa hukum seputar muflis. Wallahul Muwaffiq.

HAJR TERHADAP MUFLIS
Jika seorang menjadi muflis (pailit) karena banyaknya hutang, sementara harta yang ada di tangannya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya yang sudah jatuh tempo, maka apakah boleh menetapkan hajr الْحَجْرُ) ) kepadanya? Yakni menghentikan atau mempersempit pengeluaran harta muflis yang masih ada di tangannya.

Dalam hal ini terdapat beberapa hukum yang berkaitan dengan hajr terhadap muflis.
1. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali bila jumlah hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang ia miliki.

Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya, atau lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tidak boleh melakukan hajr terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya maupun dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila hutang-hutangnya lebih besar dari harta yang ia miliki, yang dengannya para pemilik harta (pemberi hutang) boleh mengambil dari harta muflis yang ada sesuai prosentase masing-masing. Yakni mereka bersekutu dalam pembagian harta muflis yang masih ada.

Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan :

أُصِيبَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ: ((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ .

"Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang tertimpa musibah (kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga ia banyak berhutang. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka orang-orang pun bersedekah untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih hutang: “Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), dan tidak ada lagi selain itu". [5]

Demikian pula dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya [6].

2. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali atas permintaan para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika di antara mereka terjadi perselisihan dalam hal tuntutan hajr [7], maka boleh dilakukan hajr terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang menuntutnya dengan syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis lebih banyak dari jumlah harta muflis.

Sebagaimana dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu di atas. Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para pemilik harta (pemberi hutang). Jika mereka tidak menuntut hajr, maka hal itu menunjukkan bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.

3. Apabila hakim menjatuhkan hajr kepada muflis, maka hak para pemilik harta (pemberi hutang) berubah dari keterikatannya dengan dzimmah (tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung dengan hartanya.

Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak orang yang menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan bagi pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya hak mereka.

4. Dianjurkan bagi hakim untuk menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap muflis agar khalayak tidak bermuamalah (harta) secara bebas dengannya.

5. Hakim harus menjual harta benda muflis yang ada, kemudian hasilnya dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi hutang) menurut prosentase yang mereka pinjamkan kepada muflis.

Dalam hal ini dianjurkan untuk bersegera melakukannya, dan sebisa mungkin dengan tetap memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr dalam cara menjual harta bendanya. Seperti mendahulukan penjualan sesuatu yang cepat rusak, semisal makanan atau yang serupa. Kemudian barang-barang yang bisa diangkut atau harta bergerak, misalnya kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau semisalnya. Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr dan para pemilik hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut. Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk memenuhi hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok dan tempat tinggal dengan standar yang layak, tidak terlalu kurang tapi juga tidak berlebihan.

6. Jika harta benda muflis telah dibagikan kepada para pemilik hak (pemberi hutang) sesuai prosentase haknya masing-masing, maka para pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis, jika masih tersisa hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan kesusahannya.

Hal itu demi mengamalkan firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Seperti juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam Shahih Muslim dan lainnya.[8]


BILA SESEORANG MENDAPATI DENGAN JELAS BARANG YANG IA HUTANGKAN PADA SI MUFLIS MASIH UTUH, MAKA BAGAIMANA HUKUMNYA?
Bila kondisinya demikian, maka ia paling berhak terhadap barangnya dari para pemilik hak yang lain, karena barang tersebut pada asalnya adalah miliknya sebelum ia jual kepada si muflis dengan hutang. Dan pada asalnya, ia tidak ridha barang tersebut keluar dari tangannya, kecuali dengan dibayar harganya. Dan jual beli itu dianggap sah bila dipenuhi syarat pembayaran harganya. Sehingga ketika si muflis tidak bisa membayarnya, maka si pemilik barang itu berhak menggagalkan jual-belinya selama barangnya masih ada. Tetapi, jika barangnya sudah lenyap, maka ia tidak bisa lagi membatalkan jual-belinya, sehingga hukumnya menjadi seperti hutang-hutang yang lain.

Dalil dalam perihal ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

"Barangsiapa mendapati barangnya dengan jelas pada seseorang yang pailit, maka ia lebih berhak (dengan barang itu) daripada (penagih hutang) yang lainnya". [9]

Diriwayatkan pula oleh Muslim dengan lafadz berikut :

إِذَا وَجَدَ عِنْدَهُ الْمَتَاعَ وَلَمْ يُفَرِّقْهُ؛ أَنَّهُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي بَاعَهُ

"Bila seseorang mendapati barang (jualan)nya pada orang (yang pailit) itu dalam keadaan belum dia (yang pailit) pisah-pisahkan, bahwa barang tersebut adalah untuk pemiliknya yang menjualnya".

Demikian menurut pendapat jumhur dalam masalah ini. Jumhur ulama juga berpendapat, bila pembeli telah membayar sebagian harga barang milik penjual, maka penjual tidaklah lebih berhak terhadap sisa harga yang belum dibayar oleh pembeli (saat pailit), dan si penjual sama kedudukan haknya dengan para penagih hutang yang lain. Demikian pula jika si pembeli tersebut meninggal dunia sebelum membayar harga barang si penjual, meskipun barang tersebut masih ada [10]. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعاً فَأَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَهُ وَ لَمْ يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئاً فَوَجَدَ مَتَاعَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Siapa saja menjual barang (kepada seseorang), lalu orang yang membelinya jatuh pailit, sementara dia belum menerima harga barangnya sedikitpun, kemudian dia mendapati barang tersebut masih utuh, maka dia lebih berhak dengan barang itu. Tetapi jika si pembeli meninggal dunia, maka pemilik barang bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang yang lain (terhadap barang tersebut)".[11]

Dalam salah satu riwayat Abu Daud terdapat lafadz :

فَإِنْ كَانَ قَبَضَ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئاً فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Tetapi jika dia (penjual) telah mengambil sebagian harganya, maka dia bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang lainnya". [12]

APAKAH BOLEH MEMENJARAKAN SESEORANG JIKA TELAH JELAS IA MENJADI MUFLIS?
Jika telah jelas seseorang menjadi muflis (jatuh pailit), maka tidak boleh memenjarakannya. Karena hal itu menyelisihi ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Juga menyelisihi apa yang tersirat (mafhum mukhalafah) dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَيُّ الْوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

"Menunda-nunda pembayaran (hutang) oleh orang yang mampu adalah suatu kezhaliman, yang menghalalkan harga dirinya dan menghukumnya".[13]

Maksud menghalalkan harga dirinya, yakni menyiarkannya dengan mengucapkan kepadanya “kamu telah menunda-nunda hutangmu kepadaku (padahal kamu mampu membayar)”, atau bersikap keras kepadanya dan menghukumnya, yakni memenjarakannya sampai dia mau membayar hutang-hutangnya yang telah berlalu masa tangguhnya.[14]

Ini berbeda dengan muflis (orang pailit), yaitu orang yang mengalami kesukaran karena hartanya yang ada tidak cukup untuk membayar seluruh hutangnya. Dengan kata lain, dia tidak disebut sebagai ‘orang yang mampu’. Sedangkan dalam hadits hukum tersebut, ialah bagi orang yang mampu membayar, tetapi dia menunda-nunda.

Adapun jika belum jelas, apakah dia muflis (pailit) ataukah mampu membayar? Maka sebisa mungkin wajib meneliti keadaannya. Jika telah jelas bahwa dia mampu, maka harus dipenjara sampai dia mau membayar sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Namun jika ternyata betul-betul muflis (pailit) dan tidak sanggup melunasi seluruh hutangnya, maka tidak boleh memenjarakannya. Dan harta muflis yang tersisa menjadi hak bersama bagi para pemberi hutang dan dibagikan sesuai prosentase kepemilikan mereka dalam harta si muflis. Selebihnya hendaknya mereka memberi tangguh sampai si muflis memperoleh kelapangan untuk melunasinya. [15]

Demikian beberapa hukum mengenai orang muflis (pailit) yang bisa kami sampaikan. Wallahu a’lam bi ash Shawab.

Maraji` :
1. Fathul Bari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
2. Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa al Imam Malik.
3. Nailul Authar, oleh al Imam asy Syaukani.
4. Al Mughni, oleh al ‘Allamah Ibnu Qudamah al Maqdisi.
5. Bidayatul Mujtahid, oleh al Qadhi Ibnu Rusyd al Qurthubi.
6. Al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i, oleh Dr. Musthafa al Khin, Dr. Mushthafa al Bugha dan Ali asy Syaraihi.
7. Irwa’ al Ghalil, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani; At Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyyah li al ‘Alamah Shiddiq Hasan Khan, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
________
Footnotes.
[1]. HR Muslim no. 2581, at Tirmizi no. 2418 dan Ahmad (2/303, 334, 371), dari Abu Hurairah z .
[2]. Fathul Bari (5/76) dan Nailul Authar (5/241). Lihat juga Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa’ al Imam Malik (3/417).
[3]. Al Mughni (4/265)
[4]. Bidayatul Mujtahid (4/1451).
[5]. HR Muslim no. 1556, Abu Dawud no. 3469, at Tirmidzi no. 655, an Nasa-i no. 4530 dan Ibnu Majah no. 2356.
[6]. Diriwayatkan oleh al Baihaqi di dalam as Sunan al Kubra, Kitab at Taflis, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (6/48), al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab al Ahkam (4/101) dan ad Daruquthni dalam as Sunan, Kitab al Aqdhiyah dan al Ahkam, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (4/231) dari hadits az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya Ka’ab bin Malik z secara muttashil; dan diriwayatkan secara mursal (tanpa disebutkan Ka’ab bin Malik) oleh al Baihaqi (6/48), Abdur Razzaq dalam al Mushannaf, Kitab al Buyu’, Bab al Muflis wa al Mahjur ‘alaihi (8/268), serta al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab Ma’rifat ash Shahbah (3/272). Namun yang paling benar bahwa hadits ini diriwayatkan dari az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab secara mursal (tanpa menyebutkan ayahnya). Lihat Irwa’ al Ghalil (5/260-262, hadits no. 1435) dan Nailul Authar (5/244-245).
[7]. Yakni sebagian menuntut hajr dan sebagian lagi tidak.
[8]. Lihat keenam poin tersebut dalam al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i (3/599-600), dan lihat kelanjutan pembahasannya tentang hak pembelanjaan harta si muflis setelah dikenai hajr.
[9]. HR al Bukhari no. 2402 –Fathul Bari- dan Muslim no. 1559.
[10]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhatun Nadiyyah li al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (3/194), oleh Syaikh al Albani. Dan lihat kembali pembahasan “Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang” As Sunnah Edisi Khusus (7 dan 8) Th. IX/1426H/2005M.
[11]. HR Malik no. 1357 dan Abu Dawud 3520, dari hadits Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harits bin Hisyam secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dengan beberapa jalur periwayatan pendukungnya. Lihat Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1442 dan 1443.
[12]. Abu Dawud no. 3521. Lihat Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1444.
[13]. HR Ahmad (4/388-389), Abu Dawud no. 3628), an Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427 dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di dalam Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1434.
[14]. Tasfir kalimat-kalimat ini, diantaranya disebutkan oleh Sufyan ats Tsauri seperti dinukil oleh al Bukhari dalam judul Bab “Li Shahibil Haqqi Maqal” (5/75). Disebutkan pula oleh Ibnul Mubarak (Sunan al Baihaqi, 6/51) dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
[15]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah (3/195-196).


http://www.almanhaj.or.id/content/2714/slash/0