IBRAH DARI DIALOG DUA RABI (PENDETA) YAHUDI

on Rabu, 16 Juni 2010

Dua Rabi Yahudi Dan Salat Jumat-Salat Subuh



Beberapa waktu yang lalu, konon terjadi percakapan yang cukup intens di antara dua orang rabi Yahudi. Mereka membicarakan tentang kemajuan umat yang sangat diwanti-wanti dalam perjalanan panjang mereka menguasai dunia: umat Islam.

Rabi pertama : “Sepertinya kita harus mulai mewaspadai gerakan umat Islam sekarang ini…”

Rabi kedua : “Memangnya kenapa?”

Rabi pertama : “Lihatlah, sekarang di masjid-masjid, setiap hari Jumat, selalu penuh dengan mereka yang menunaikan salat Jumat. Tampaknya mereka sudah mulai bersatu.”

Rabi kedua : “Hmm, tampaknya itu berlebihan. Kita sebenarnya masih bisa tenang-tenang saja.”

Rabi pertama : “Mengapa?”

Rabi kedua : “Jika umat Islam sekarang banyak pergi ke masjid pada hari Jumat untuk menunaikan salat Jumat, sebenarnya mereka kebanyakan hanya karena sekadar menggugurkan kewajiban mereka di depan banyak orang atau masyarakatnya sendiri. Mereka tidak benar-benar bersatu. Tetapi kesatuan umat Islam baru harus kita waspadai ketika masjid-masjid mereka di waktu Subuh sama penuhnya dengan salat Jumat yang mereka tunaikan. Itulah tanda-tanda bersatunya umat Islam dan kebangkitan mereka.” (sa/dgst/EM)


http://www.kajianislam.net/modules/wordpress/2010/06/16/dua-rabi-yahudi-dan-salat-jumat-salat-subuh/

Cara Mudah Mempelajari Aqidah Islam (1)

Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah (1)

Penulis: Al-Ustadz Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Bab 1. Pengantar Aqidah Ahlus Sunnah

Bab ini mencakup tujuh pembahasan:

1. Makna Aqidah
2. Urgensi Aqidah
3. Makna as-Sunnah
4. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
5. Nama Lain Ahlus Sunnah wal Jama’ah
6. Makna Salaf
7. Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf

[1] Makna Aqidah

Secara bahasa aqidah berarti mengikatkan sesuatu. Kalau dikatakan bahwa seseorang meng-i’tiqadkan sesuatu maka itu maknanya dia telah mengikatkan keyakinan itu di dalam hatinya. Yang dimaksud dengan istilah aqidah adalah segala sesuatu yang menjadi ideologi bagi seseorang. Aqidah adalah amalan hati yang berupa keimanan di dalam hati terhadap sesuatu dan pembenaran/tashdiq tentangnya. Pokok-pokok aqidah Islam biasa dikenal dengan istilah rukun Islam, yaitu mencakup: iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9).

[2] Urgensi Aqidah

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan betapa penting kedudukan aqidah:

1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Ayat ini menunjukkan bahwa aqidah yang benar merupakan asas tegaknya agama dan syarat diterimanya amalan (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini…
2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, seandainya kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)
3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Ayat ini menunjukkan bahwa fokus dakwah para rasul yang paling utama adalah untuk memperbaiki aqidah; agar umat menyembah Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 10). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini…
4. Allah ta’ala berfirman mengenai seruan para rasul kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian satupun sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59,65,73,85). Ucapan ini dikatakan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan segenap nabi ‘alaihimush sholatu was salam kepada kaumnya (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 10).

[3] Makna as-Sunnah

Secara bahasa as-Sunnah bermakna jalan atau perjalanan. Menurut istilah ahli hadits Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau sifat perilaku baik hal itu terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi ataupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul Sunnah adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak disebutkan secara tegas di dalam al-Qur’an, baik hal itu merupakan penjelas ayat ataupun bukan. Adapun menurut ulama fikih maka Sunnah diartikan sebagai perkara yang bukan wajib, yaitu apabila dikerjakan berpahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Namun yang dimaksud dengan istilah Sunnah oleh para ulama salaf adalah lebih luas cakupannya daripada itu semua. Menurut mereka Sunnah itu adalah: kesesuaian dengan al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman para sahabatnya, baik hal itu mencakup perkara aqidah maupun perkara ibadah. Lawan dari istilah Sunnah itu adalah bid’ah (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 25-26).

[4] Makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah dikenal oleh para sahabat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir firman Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- maka akan memutih berseri wajah-wajah dan akan menghitam legam wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali Imran: 106). Ibnu Abbas berkata, “Yaitu akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan akan menghitam legam wajah Ahlul Bid’ah wal Furqah.” (Tafsir Ibnu Katsir [1/390] sebagaimana dinukil dalam Mu’taqad Ahlus Sunnah, hal. 63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah itu adalah: “Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pendahulu yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa [2/375] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 32).

[5] Nama lain Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Para ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan nama yang beraneka ragam, di antaranya adalah:

1. Ahlul Hadits; penamaan ini dapat kita temukan dalam kitab-kitab aqidah salaf semacam karya Ibnu Taimiyah, ash-Shabuni dan lain-lain. Yang mereka maksud dengan ahlul hadits adalah Ahlus Sunnah itu sendiri. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kami tidaklah memaksudkan bahwa yang disebut ahli hadits itu adalah sekedar orang-orang yang rajin mendengarkannya, menulisnya, atau meriwayatkannya. Akan tetapi yang kami maksud ahlul hadits itu adalah semua orang yang lebih berhak -mendapatkan julukan itu- karena penjagaan mereka terhadapnya, pemahaman mereka tentangnya secara lahir dan batin serta berupaya untuk terus mengikutinya secara batin dan lahir, demikian pula yang kami maksud dengan ahlul qur’an.” (Majmu’ Fatawa [4/95] sebagaimana dinukil dari Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 33)
2. al-Atsariyah atau Ahlul Atsar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abi Hatim ar-Razi yang sangat terkenal, beliau rahimahullah berkata, “Salah satu karakter ahlul bid’ah adalah suka mencela ahlul atsar.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah [1/179] sebagaimana dinukil dari Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 33)
3. al-Firqah an-Najiyah. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits perpecahan umat, “Semua golongan itu di neraka kecuali satu.” Dan satu golongan/firqah yang selamat itu dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-’Ash sebagai, “Orang-orang yang beragama sebagaimana aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, sahih. Lihat hadits-hadits tentang hal ini dalam Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi karya Syaikh Salim al-Hilali, hal. 39-40, lihat juga Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 20 dan 34)
4. ath-Tha’ifah al-Manshurah. Penamaan ini diambil dari kandungan hadits tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Akan senantiasa ada sekelompok orang di antara umatku yang menang -di atas kebenaran- sampai datang kepada mereka ketetapan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan menang.” (Muttafaq ‘alaih). Dan sungguh telah salah orang yang membedakan antara ath-Tha’ifah al-Manshurah dengan al-Firqah an-Najiyah (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 35, lihat juga Limadza Ikhtartu al-manhaj as-Salafi, hal. 40-42). Bahkan, Syaikh Salim al-Hilali mengatakan, “Secara keseluruhan, maka hadits-hadits mengenai ath-Tha’ifah al-Manshurah adalah mencapai derajat mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh sekelompok ulama, di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathil Mustaqim [hal. 6], as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah [93] dan guru kami al-Albani -semoga Allah menjaganya- dalam Sholat Iedain [hal. 39-40] dan para ulama yang lain.” (Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 42)
5. as-Salafiyah atau as-Salafiyun. Yaitu penyandaran kepada kaum salaf -akan dijelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah salaf- (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 35). Apabila ditinjau dari sisi bahasa, istilah salaf itu dapat disimpulkan sebagai istilah yang mewakili sekelompok orang yang terdahulu dalam hal ilmu, keimanan, keutamaan, atau kebaikan/jasa (lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 30)

[6] Makna Salaf

Sebagaimana sudah disinggung di muka bahwa secara bahasa kata salaf itu menunjukkan kepada orang-orang yang terdahulu atau yang mendahului. Seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah, “Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salaf/pendahulu bagimu.” (HR. Muslim) (lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 30).

Adapun secara istilah, para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam memaknai istilah salaf:

1. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud salaf itu adalah para sahabat saja
2. Sebagian lagi berpendapat bahwa salaf itu mencakup sahabat dan tabi’in (murid para sahabat)
3. Sebagian lagi berpandangan bahwa salaf itu mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in) (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 36 dan Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa Shifat, hal. 54).

Pendapat yang populer yang dipegang oleh mayoritas ulama ahlus Sunnah adalah memaknakan istilah salaf dengan tiga generasi utama yang telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sebaik-baik generasi adalah di masaku, kemudian sesudahnya, dan kemudian yang berikutnya.” (Muttafaq ‘alaih). Istilah salaf ini kemudian lebih dikenal dengan ungkapan salafus shalih (pendahulu yang baik). Sehingga salafus shalih itu mencakup; para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Dan semua orang yang meniti jalan mereka -dalam beragama- dan mengikuti manhaj/metode beragama mereka disebut sebagai salafi sebagai bentuk penyandaran/penisbatan kepada mereka (lihat Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa Shifat, hal. 54).

Dengan demikian, menisbatkan diri sebagai salafi bukanlah tergolong perbuatan bid’ah. Sebab istilah salaf itu sama artinya dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Para sahabat itu adalah salaf, sementara mereka jugalah orang-orang yang pertama kali layak untuk disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Sebagaimana tidak salah apabila kita menyebut Sunni sebagai penisbatan kepada Ahlus Sunnah, maka demikian pula tidak ada salahnya apabila kita menyebut Salafi sebagai penisbatan kepada generasi salaf (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 38)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak tercela sama sekali atas orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya serta merasa mulia dengannya, bahkan wajib menerima pernyataan itu darinya, karena sesungguhnya madzhab salaf itu tidak lain dan tidak bukan adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 42)

[7] Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf

Berikut ini sebagian dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti manhaj salaf -secara umum- terlebih lagi dalam perkara aqidah, karena sebagaimana sudah disinggung di depan bahwa aqidah merupakan asas tegaknya agama dan syarat diterimanya amalan (lihat sebuah faedah yang sangat indah yang disebutkan oleh Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali dalam kitabnya Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 27).

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Allah persiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
2. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya, dan Kami akan memasukkan mereka ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
3. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap para sahabat adalah orang yang munib/kembali kepada Allah, oleh sebab itu wajib mengikuti jalannya…” (I’lam al-Muwaqqi’in [4/120] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 37)
4. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian sesudahnya, dan kemudian generasi yang berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Prof. Dr. Muhammad Khalifah at-Tamimi berkata, “Predikat baik yang dipersaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terhadap tiga generasi utama menunjukkan keutamaan mereka dan keterdahuluan mereka serta kemuliaan kedudukan mereka dan keluasan ilmu mereka terhadap syari’at Allah dan betapa kuatnya komitmen mereka dalam berpegang teguh dengan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (Mu’taqad Ahlus Sunnah, hal. 57)
5. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yahudi berpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umat ini -umat Islam- akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya terancam neraka kecuali satu.” Ada yang bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang berpegang dengan pemahamanku dan para sahabatku pada hari ini.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dihasankan Syaikh Salim al-Hilali lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 39).
6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang yang masih hidup sepeninggalku akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya …” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad, sahih. Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 39). Syaikh Salim al-Hilali menyimpulkan keterangan para ulama tentang makna Sunnah Khulafa’ur Rasyidin, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin tidak lain adalah pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum…”. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam teks hadits yang lain mengenai golongan yang selamat, “Orang-orang yang mengikuti pemahamanku dan pemahaman para sahabatku pada hari ini.” (Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 75)


http://muslim.or.id/aqidah/cara-mudah-mempelajari-aqidah-ahlus-sunnah-1.html

Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah (2)

Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah di Masyarakat (2)

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


Tulisan kali ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah”.

Contoh-contoh penyimpangan dalam nama dan sifat Allah yang tersebar di masyarakat

Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Tapi meskipun demikian, tentu semua ini harus dijauhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan mendangkalkan keyakinan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala.

Beberapa contoh penyimpangan tersebut di antaranya:

- Keyakinan sebagian dari orang-orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari al-Asma-ul husna (nama-nama Allah yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu, misalnya penyakit mata bisa disembuhkan dengan membaca nama Allah yang khusus untuk menyembuhkan penyakit mata, nama ini dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu. Demikian pula penyakit hidung, kepala, tulang dan anggota badan lainnya.

Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allah yang maha indah, di samping itu juga merupakan perbuatan bid’ah[1] yang sesat serta memalingkan manusia dari zikir dan ruqyah[2] yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

- Menjadikan nama-nama Allah sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian digantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain sebagainya.

Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat syirik”[3].

- Menulis nama-nama Allah Ta’ala pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.

Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, juga karena nama-nama Allah Ta’ala terlalu agung dan mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.

- Menjadikan al-Asma-ul husna (nama-nama Allah yang maha indah) sebagai zikir sehari-hari dengan membaca semua nama tersebut, ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang sampai ratusan kali.

Adapun makna “berdoa dengan nama-nama Allah” seperti yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat di atas, juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[4], artinya adalah menghafal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan mengamalkannya serta berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebut nama-Nya yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.

- Termasuk kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi nama seorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau ‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah) dan yang semisalnya.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah, karena manghambakan diri kepada selain Allah Ta’ala adalah perbuatan syirik.

- Juga termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertulisakan nama-nama Allah disembarang tempat ataupun di tempat sampah yang bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya, padahal Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak menjawab salam seorang sahabat ketika beliau sedang berada di WC[5], dalam rangka memuliakan nama Allah Ta’ala dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis[6].

Cara untuk menyelamatkan diri dari penyimpangan dan dosa besar ini

Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.

Kemudian dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu metode para ulama salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).

Oleh karena itulah metode Ahlus sunnah wal jama’ah digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a’lam wa ahkam wa aslam[7] (yang paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmati beliau – menggambarkan agungnya metode ini secara ringkas dalam ucapan beliau, “Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk. Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil (menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil (meyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal jama’ah mengimani bahwa Allah Ta’ala,

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Asy Syuura:11).

Maka Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan/menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak meyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah Ta’ala tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah I tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah Ta’ala Berfirman,

{سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

“Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. (QS Ash Shaaffaat: 180-182).

Maka (dalam ayat ini) Allah mansucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul r karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah Ta’ala telah menghimpun antara an nafyu (meniadakan sifat-sifat buruk) dan al itsbat (menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Ta’ala, yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh”[8].

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan metode Ahlus sunnah wal jama’ah dalam berislam agar kita terhindar dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 11 Jumadal Awal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id
[1] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.

[2] Bacaan yang dibacakan kepada orang yang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya dengan izin Allah U.

[3] HR Ahmad (4/156) dan al-Hakim (no. 7513) , dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 492).

[4] HSR al-Bukhari (no. 2585) dan Muslim (no. 2677).

[5] HR Abu Dawud (no. 16) dan at-Tirmidzi (no.90), dinyatakan hasan shahih oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.

[6] Keterangan syaikh ‘Abdurrazzak bin ‘Abdul Muhsin al-Badr dalam kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 66-69) dengan ringkas dan penyesuaian.

[7] Lihat keterangan imam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Dar-u ta’aarudhil ‘aqli wan naqli” (3/95) dan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “ash-Shawaa’iqul mursalah” (3/1134).

[8] Kitab “Al ‘Aqiidatul waasithiyyah” (hal. 6-8).


http://muslim.or.id/aqidah/penyimpangan-dalam-nama-dan-sifat-allah-di-masyarakat-2.html




Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah (1)

Penyimpangan dalam Nama dan Sifat Allah di Masyarakat (1)

Penulis: Al-Ustadz Abdullah Taslim al Buthoni, MA


Prolog

Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allah Ta’ala. Dan seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang sempurna kepada Allah Ta’ala sampai dia benar-benar memahami pembahasan ini dengan baik[1].

Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah ini akibatnya sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini akan mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang didirikan di atasnya.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya maka hendaknya dia manguatkan dan mengokohkan pondasinya, serta bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya) derajat (dalam Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan, semakin kuat pondasi tersebut maka dia akan (mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya, kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan maka (akan) mudah diperbaiki. (Adapun) jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) ditegakkan (di atasnya) serta tidak kokoh, dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh.

Orang yang mengenal (Allah Ta’ala dan agama-Nya) perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya), sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh. Allah Ta’ala berfirman,

{أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ}

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (QS At Taubah:109)”[2].

Pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala

Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu[3].

Imam Ibnu Katsir berkata, “Asal (makna) al-ilhad dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan (berbuat) menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh penggunaannya) adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan, (dinamakan demikian) karena liang lahad tersebut menyimpang dari pertengahan (lubang) kuburan ke arah kiblat”[4].

Sedangkan pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala adalah seperti yang dipaparkan oleh imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam ucapan beliau, “Hakikat al-ilhad dalam hal ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dari (pemahaman) yang benar, atau memasukkan ke dalam makna nama-nama dan sifat-sifat tersebut sesuatu yang bukan artinya, atau memalingkannya dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad (dalam masalah ini), barangsiapa yang melakukan perbuatan ini maka sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allah”[5].

Maka penyimpangan dalam hal ini adalah dengan menolak nama-nama dan sifat-sifat Allah, atau mengingkari kandungan maknanya, atau menyelewengkan maknanya dari (arti) yang benar dengan berbagai macam pentakwilan (memalingkan makna dalil tanpa alasan yang benar) yang rusak, atau menjadikan nama-nama-Nya untuk nama-nama makhluk[6].

Ancaman keras dan dosa yang sangat besar karena menyimpang dalam masalah ini

Allah Ta’ala berfirman,

{وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” (QS al-A’raaf:180).

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyampaikan dua ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dalam memahami nama-nama-Nya yang maha indah serta sifat-sifat maha sempurna yang dikandung nama-nama tersebut[7]:

- Ancaman yang pertama: bentuk perintah dalam firman-Nya (yang artinya), “tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya”[8], perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini, sebagaimana makna firman-Nya,

{ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ}

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS al-Hijr:3)[9].

- Ancaman yang kedua: dalam firman-Nya (yang artinya), “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”[10], artinya: mereka akan mendabat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut[11].

Karena keras dan besarnya ancaman Allah Ta’ala bagi orang yang melakukan perbuatan ini, maka kita wajib menjauhkan diri dari penyimpangan ini, serta menjauhi orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini[12].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنزلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ}

“Katakanlah:”Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, (mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu dan (mengharamkan perbuatan) berkata (atas nama) Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)” (QS al-A’raaf: 33).

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan besarnya keburukan dan dosa perbuatan berkata atas nama-Nya tanpa landasan ilmu yang bersumber dari petunjuk-Nya dan petunjuk rasul-Nya, yang ini termasuk berbicara tentang nama-nama dan sifat-Nya tanpa landasan ilmu yang benar, karena perbuatan ini merupakan kejahatan, sikap lancang dan melampaui batas terhadap hak Allah[13].

Bahkan dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan kerusakan perbuatan tersebut di atas perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala dengan makhluk), semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari semua perbuatan tersebut.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang diharamkan-Nya dalam empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan (dibandingkan tiga tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang nampak maupun tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar larangannya dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman (aniaya), kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari dua tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allah Ta’ala (dengan makhluk), kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya dari semua tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allah tanpa (landasan) ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama) Allah Ta’ala tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam (memahami) agama dan syariat-Nya”[14].

Di tempat lain beliau berkata, “Berkata atas (nama) Allah tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, atau menyifati-Nya dengan selain sifat-sifat yang ditetapkan-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya untuk diri-Nya, ini adalah (bentuk) penympangan dan penentangan terbesar terhadap hikmah Allah yang memiliki segala perintah dan penciptaan, dan (sekaligus) merupakan pelecehan terhadap sifat rububiyah (maha mengatur dan menguasai alam semesta) dan sifat-sifat yang khusus bagi-Nya. Kalau perbuatan tersebut di lakukan setelah mengetahui (besarnya keburukannya) maka itu merupakan penentangan (yang nyata terhadap-Nya), dan lebih buruk dari perbuatan syirik serta lebih besar dosanya di sisi Allah Ta’ala. Karena orang yang berbuat syirik tapi (dia) menetapkan sifat-sifat Allah lebih baik dari orang yang menolak dan menetang sifat-sifat kesempurnaan-Nya!”[15].

Bentuk-bentuk al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala

Al-ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah bentuknya bermacam-macam, diantaranya ada yang hukumnya sampai pada tingkat kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalam dalil-dalil syariat[16].

Macam-macam bentuk al-ilhad tersebut adalah sebagai berikut:

1- Mengingkari sebagian dari nama-nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala) dari kelompok jahmiyah dan selain mereka.

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah serta sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya yang dikandung nama-nama tersebut. Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam masalah ini.

2- Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serupa dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk).

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk adalah kebatilan dan keburukan yang besar, yang tidak mungkin ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan justru dalil-dalil tersebut menegaskan kebatilan dan kerusakan perbuatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS asy-Syuura:11).

{فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

“Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS an-Nahl:74).

3- Menetapkan bagi Allah Ta’ala nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya, sebagaimana perbuatan orang-orang Nashrani yang menamakan Allah Ta’ala dengan nama “bapak”, juga perbuatan orang-orang ahli filsafat yang menamakan-Nya dengan al-‘illatul faa’ilah (penyebab yang berbuat).

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi), karena Dia-lah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

4- Menjadikan untuk berhala nama-nama yang diambil dari nama-nama Allah Ta’ala, sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk berhala mereka al-‘uzza dari nama Allah “al-‘Aziz” (Yang Maha Mulia dan Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Yang berhak disembah semata-mata), menurut salah satu pendapat.

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya,

{وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}

“Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu” (QS al-A’raaf:180).

Sebagaimana hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allah Ta’ala semata, karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya[17].

5- Menyifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allah Ta’ala Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan:

{إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ}

“Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya” (QS Ali-‘Imraan:181).

Juga ucapan kotor mereka,

{يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ}

“Tangan Allah terbelenggu” (QS al-Maaidah:64)[18].

Bersambung insya Allah …


Artikel www.muslim.or.id

footnote:
[1] Lihat kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 17).

[2] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 175).

[3] Lihat kitab “an-Nihayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (4/450).

[4] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/357).

[5] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/30).

[6] Ibid.

[7] Lihat kitab “Adhwa-ul bayaan” (2/146).

[8] Ibid.

[9] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (13/285).

[10] Lihat kitab “Adhwa-ul bayaan” (2/146).

[11] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 309).

[12] Ibid.

[13] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 287) dan “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 34).

[14] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (1/38).

[15] Kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 100).

[16] Lihat kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 50).

[17] Keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 49-50) dengan ringkas dan penyesuaian. Lihat juga keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Bada-i’ul fawa-id” (179-180).

[18] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (179).


http://muslim.or.id/aqidah/penyimpangan-dalam-nama-dan-sifat-allah.html