Menggerakkan Telunjuk Waktu Tasyahud

on Senin, 12 Juli 2010

Terdapat riwayat dari Nabi saw bahwa beliau shallallahu 'alaihi wassalam memberikan isyarat dengan jari telunjuk serta menggerakkannya saat tasyahud didalam shalat.

A. Para ulama berbeda pendapat didalam permasalahan ini :

1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat mengangkat jari telunjuk pada kata nafï (peniadaan) saat dua kalimat syahadat, yaitu saat mengucapkan “Laa” dan meletakkannya (jari telunjuk) itu kembali ke semula pada kata itsbat (peneguhan), yaitu pada kata “Illa”

2. Para ulama Syafi’i berpendapat mengangkat jari telunjuk saat mengucapkan “Illallah”

3. Para ulama Maliki berpendapat menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri hingga selesai shalat.

4. Para ulama Hambali berpendapat memberikan isyarat dengan telunjuknya setiap kali menyebutkan nama Allah dan tidak menggerakkannya.

Syeikh al Albani mengatakan bahwa pembatasan dan bentuk-bentuk seperti itu tidaklah ada landasannya sama sekali didalam sunnah. Dan yang paling dekat dengan sunnah adalah madzhab Hambali seandainya mereka tidak membatasi gerakannya saat menyebutkan nama Allah. (Tammam al Minnah, hal 223)

Adapun dalil-dalil dari sunnah didalam permasalahan ini adalah :

1. Dari Abdullah bin Zubeir berkata, "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak kaki kirinya diantara pahanya dan betisnya, serta menghamparkan telapak kaki kanannya, sambil meletakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya, dan beliau letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya, lalu beliau memberi isyarat dengan telunjuknya."HR. Muslim (579), didalam an Nasai (1270) dan Abu Daud (989) “Memberi isyarat dengan jarinya ketika berdo'a, tanpa menggerakkannya."

Tambahan “tanpa menggerakkannya” dilemahkan oleh Ibnul Qoyyim didalam kitabnya “Zadul Ma’ad” (1/238) dan dilemahkan pula oleh al Albani didalam kitab “Tamam al Minnah” (hal. 218)

2. Dari Wa'il bin Hujr mengabarkan kepadanya, dia berkata; "Aku melihat cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam. Aku melihat beliau shallallahu 'alaihi wassalam berdiri untuk shalat, kemudian takbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Lantas beliau shallallahu 'alaihi wassalam meletakkan tangan kanannya di atas telapak kirinya, juga di atas pergelangan tangannya, dan meletakkannya di atas lengannya. Ketika hendak ruku' beliau shallallahu 'alaihi wassalam mengangkat kedua tangannya sama seperti tadi (sejajar dengan kedua telinganya).

Beliau shallallahu 'alaihi wassalam meletakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian mengangkat kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya, sejajar dengan kedua telinganya, kemudian sujud dan meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya, kemudian duduk di atas kaki kiri. Beliau juga meletakkan telapak tangan kiri diantara paha dan lutut kiri. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wassalam meletakkan ujung lengan kanan di atas paha kanan. Kemudian ia menggenggam dua jarinya serta membentuk lingkaran, lantas mengangkat jarinya. Aku melihat beliau shallallahu 'alaihi wassalam menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya." HR. an Nasai (889) dan dishahihkan oleh Ibnu Majah (1/354), Ibnu Hibban (5/170), al Albani didalam kitab “Irwa al Ghalil” (367)

Syeikh Ibnu Al-Utsaimin berdalil dengan hadits ini “Menggerak-gerakkannya dan berdoa dengannya” bahwa menggerak-gerakkan telunjuk didalam tasyahud pada seluruh kalimat doa. Dia—semoga Allah merahmatinya—mengatakan didalam “asy Syarh al Mumti” sunnah menunjukkan bahwa memberikan isyarat dengannya (telunjuk) adalah pada saat berdoa karena lafazh haditsnya “menggerak-gerakkan dan berdoa dengannya”. Maka setiap kali anda berdoa gerakkanlah sebagai isyarat akan keinggian Allah Ta'ala. Untuk itu, ketika kita mengucapkan :

“Assalaamualaika Ayyuhan Nabiyyu—di sini memberikan isyarat karena as salam bermakna doa—Assalaamu ‘Alainaa—memberikan isyarat—Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad—memberikan isyarat—Allahumma Barik ‘Ala Muhammad—memberikan isyarat—A’udzu billah Min ‘Adzaabi Jahannam—memberikan isyarat—Wa Min ‘Adzaabil Qobr—memberikan isyarat—Wa Min Fitnatil Mahyaa wal Mamaat—memberikan isyarat—Wa Min Fitnatil Masih ad Dajjal—memberikan isyarat—dan setiap anda berdoa berikanlah isyarat sebagai isyarat kepada ketinggian Allah Ta'ala, dan inilah yang paling dekat dengan sunnah.

B. Bagian dari sunnah adalah tatkala memberikan isyarat hendaklah melihat kepada telunjuk.

Imam Nawawi mengatakan bahwa sunnah adalah pandangan matanya tidaklah melewati isyaratnya (telunjuknya), terdapat hadits shahih didalam sunan Abu Daud memberikan isyarat sambil menghadapkan ke arah kiblat dan dengan isyarat itu dia meniatkan tauhid dan keikhlasan.” (Syarh Muslim 5/81)

Hadits yang ditunjukkan Imam Nawawi diatas adalah hadits Abdullah bin az Zubeir dengan lafazh dalam Abu Daud (989) “"…pandangan mata beliau tidak melampaui dari isyarat (telunjuk) beliau…" dishahihkan oleh al Albani didalam Shahih Abu Daud.

C. Dan bagian dari sunnah juga adalah memberikan isyarat ke arah kiblat.

Dari 'Abdullah bin 'Umar dia melihat seorang laki-laki menggerak-gerakkan kerikil dengan tangannya saat shalat. Setelah selesai, Abdullah berkata kepadanya; "Janganlah kamu menggerak-gerakkan kerikil saat shalat, sesungguhnya itu perbuatan setan. Berbuatlah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam." la berkata; "Bagaimana cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam melakukannya?" Aku menjawab; "Beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, lalu menunjukkan jari telunjuknya ke kiblat dan mengarahkan pandangan ke jari tersebut-atau ke sekitarnya." Kemudian ia berkata, "Begitulah cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam melakukannya." HR. An Nasa’i (1160), diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1/355), Ibnu Hibban (5/273) dan dishahihkan oleh al Albani didalam shahih an Nasa’i.

D. Melengkungkan jari ketika memberikan isyarat, ini terdapat didalam Hadits Numair al Khuza’i didalam sunan Abu Daud (991) dan an Nasa’i (1274) namun hadits ini lemah, lihat kitab “Tamam al Minnah (222)”—(Fatawa al Islam Sual wa Jawab, No. 7570)

Wallahu A’lam

Orang Muslim Berserikat Dalam Hal Rumput, Air dan Api

Didalam riwayat Abu Daud disebutkan telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi saw, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi saw tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api."

Sedang didalam riwayat Ibnu Majah disebutkan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir."

Didalam riwayat Ahmad telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi saw, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi saw tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api."

Syeikh al Albani didalam kitabnya “Shahih at Targhib wa at Tarhib” menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud diatas adalah shahih. At Tabrizi didalam kitabnya “Miskat al Mashabih” menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah diatas adalah shahih. Imam ash Shan’ani mengatakan bahwa para perawi yang ada didalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad bisa dipercaya.

Wallahu A’lam

Hukum Melepas Tali Pocong Jenazah

wahai saudaraku, mungkin kita sering melihat tatacara penguburan seorang muslim, sering kita melihat bahwa si mayat sebelum dikubur terlebih dahulu dibuka tali pocongnya. apakah hal tersebut ada tuntunanya dari Rasulullah atau ada haditsnya?

Karena di beberapa tempat sering orang beralasan bahwa bila tali pocongnya tidak dibuka bisa menyebabkan si mayat menjadi hantu pocong. Apakah benar seperti itu dasar pendalilannya?

Mari kita simak pembahasan tentang hukum melepas Tali pocong jenazah berikut ini. agar kita mengetahui secara pasti tatacara penguburan jenazah yang benar berkaitan dengan tali pocong jenazah.

Apabila yang dimaksud adalah melepaskan tali ikatan kain kafan setelah dikuburkan maka sesungguhnya hal itu tidaklah ada masalah bahkan dianjurkan oleh sebagian besar ulama.

Diriwayatkan dari Imam Ibnu Syaibah didalam kitab “al Mushannif” dari adh Dhahak bahwa dia mewasiatkan agar dilepaskan ikatannya dan ditampakkan wajahnya dari kafannya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Ahmad memerintahkan agar melepaskan ikatan kafan dan sebagian fuqaha madzhab Hambali juga menganjurkannya.

Al-Imam Ibnu Qudamah didalam “Al Mughni” mengatakan bahwa melepaskan ikatan tali kepala dan kedua kakinya adalah dianjurkan. Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika memasukkan Nu’aim bin Mas’ud kedalam kubur beliau melepaskan ikatan dengan mulutnya.” Riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Samurah bin Jundub juga seperti itu.

Hadits yang digunakan sebagai dalil oleh Ibnu Qudamah yang diiwayatkan Imam al Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah itu dilemahkan oleh al Albani didalam kitab “adh Dhaifah”
Al Bahuti didalam “Kasaf al Qanna” dan ar Ruhaibaniy didalam “Mathalib Ulin Nuha” tentan pelepasan ikatan (kafan) itu dengan apa yang diriwayatkan oleh al Atsram dari Ibnu Mas’ud berkata,”Apabila kalian memasukan mayit kedalam lahad maka lepaslah ikatannya.” (Markaz al Fatwa No. 57585)

Dengan demikian membuka tali-tali ikatan kain kafan yang ada di kepala atau di kedua kaki adalah dianjurkan akan tetapi tidak dianjurkan membuka wajah si mayit karena hal ini tidaklah ada dasar hukumnya kecuali jika orang yang meninggal itu adalah seorang yang sedang dalam keadaan ihram berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa; Seorang laki-laki jatuh dari onta lalu patah lehernya dan meninggal. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Mandikanlah ia dengan air yang dicampur dengan daun bidara, kemudian kafani dengan kedua kain ihramnya, dan jangan tutupi kepalanya, karena Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat dalam keadaan membaca Talbiyah (sedang mengerjakan haji)."

Didalam riwayat an Nasai disebutkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; terdapat seorang laki-laki yang meninggal, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mandikanlah ia dengan air serta daun bidara dan kafani dia dalam pakaiannya, dan jangan kalian tutupi wajah dan kepalanya, karena ia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah."

Adapun anggapan orang-orang apabila ikatan-ikatan tali kafan tidak dilepaskan maka mayat itu akan bangun lagi atau menjadi pocong adalah anggapan kurafat yang tidak memiliki dasar hukum didalam agama bahkan bertentangan dengan aqidah islam.

Wallahu A’lam

Shalahuddin Al-Ayyubi: Macan Perang Salib

Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya hanya nama julukan dari Yusuf bin Najmuddin. Shalahuddin merupakan nama gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Beliau sendiri dilahirkan pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah Kurdi di utara Iraq.

Sejak kecil Shalahuddin sudah mengenal kerasnya kehidupan. Pada usia 14 tahun, Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Karenan memang pemberani, pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran.

Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.

Shalahuddin terkenal sebagai penguasayang menunaikan kebenaran—bahkan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Tepat pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Belom cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).

Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damaskus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut.

Perang Salib

Namun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses.”

Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.

Berita jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Prancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’.

Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.

Setahun kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang berarti. Padahal beliau adalah seorang pemimpin. Tapi hal baik yang ditinggalkan oleh orang baik selalu akan menjadi bagian kehidupan selamanya. Kontribusinya buat Islam sungguh tidak pernah bisa diukur dengan apapun di dunia ini.

Parcel untuk Musuh

Banyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.

Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.

Shalahuddin juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan salat fardu dan gemar salat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya.

Shalahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidka nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan.

Pernah juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya tamu-tamunya.

Ia juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.” (sa/ind/berbagaisumber)

sumber: http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/shalahuddin-al-ayyubi-macan-perang-salib.htm

Senjata-Senjata Yang Dimiliki Oleh Rasulullah

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki sembilan pedang: Ma'thur yang diwariskan oleh ayahnya, dan itu adalah pedang pertama yang pernah dimiliki oleh beliau. Dia juga memiliki al-'Idb dan Dhu al-Fiqar, yang tidak pernah jauh darinya. Dhu al-Fiqar memiliki gagang melingkari tangannya, dan dasar yang terbuat dari perak. Beliau juga memiliki al-Qal'i, al-Battar, al-Hatf, ar-Rawb, al-Mikhdam, dan al-Qadib, yang juga memiliki bahan dasar terbuat dari perak. Nabi Shallallahu'alahi wassalam memperoleh Dhu al-Fiqar selama perang Badar.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki tujuh buah baju besi: Dhat al-Fudul, yang kemudian ditukarkan dengan tiga puluh sa’ selai (makanan) kepada abu Abu-Shahm, seorang Yahudi, untuk makanan keluarganya. Dhat al-Fudul terbuat dari besi. Nabi juga memiliki Dhat al-Wishah, Dhat al-Hawashi, as-Sa'diyyah, Fiddah, al-Batra ', dan al-Khirniq.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam dimiliki enam busur panah: az-Zawra ', ar-Rauha', as-Safra ', al-Bayda', al-Katum—yang rusak selama pertempuran Uhud, dan diambil oleh Qatadah bin an-Nu'man—dan as-Saddad.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki bergetar disebut al-Kafur, dan tali untuk itu terbuat dari kulit kecokelatan, serta cincin melingkar tiga perak, gesper, dan ujung terbuat dari perak. Kita harus menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada riwayat otentik bahwa Nabi pernah memakai tali pinggangnya.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam juga memiliki beberapa perisai: az-Zalluq, dan perisai yang dinamai al-Futaq. al-Futaq diberikan kepadanya sebagai hadiah, dan awalnya terdapat gambar patung di atasnya. Rasul sering meletakkan tangannya pada gambar patung itu hingga kemudian gambar itu menjadi pudar tak terlihat.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki lima tombak: al-Muthwi, al-Muthni, an-Nab'ah, tombak besar yang dinami al-Bayda ', dan tombak pendek bernama Anazah. Tombak ini selalu dibawa ketika hari raya Id, digunakan sebagai sutrah. Kadang-kadang, Nabi berjalan sambil memegang 'Anazah.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki helm yang terbuat dari besi yang disebut al-Muwashah - yang dihiasi dengan tembaga - dan helm yang lain, disebut-Sabugh, atau Dhu sebagai-Sabugh.

Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki tiga jubah panjang (jubbas) yang terus dipakai selama pertempuran. Salah satunya terbuat dari brokat halus berwarna hijau (sundus). Nabi Shallallahu'alahi wassalam memiliki bendera hitam, disebut al-'Uqab. Abu Dawud dalam salah satu hadis yang dikumpulkan dalam kitab 'Sunan,' dari seorang sahabat yang mengatakan: "Aku melihat bendera Nabi." Nabi juga memiliki tongkat yang disebut al-'Arjun, dan al-Mamshuq. (sa/sunnahonline)

sumber: http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/senjata-senjata-yang-dimiliki-oleh-rasulullah.htm

Warna-Warna Kesukaan Rasulullah

Selama ini mungkin kita hanya mengetahui bahwa Rasulullah atau Islam identik dengan warna hijau. Sebenarnya apa warna-warna favorit Rasulullah Muhammad shallahu 'alaihi wassalam?

Annas bin Malik Radliyallahu'anhu mengatakan, “Warna yang paling disukai oleh Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam adalah hijau.” Namun selain itu Rasul juga ternyata menyukai warna putih. Ada juga keterangan bahwa Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wassalam pernah memakai pakaian berwarna hitam, merah hati, abu-abu dan warna campuran.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin berkata : " Yang amat disukai oleh Nabi shallahu 'alaihi wassalam ialah warna putih."

Ibnu Hajjar dalam Tanbih Al Akhbar mengatakan: "Pada hari raya kami disuruh memakai pakaian berwarna hijau karena warna hijau lebih utama. Adapun warna hijau adalah afdhal daripada warna lainnya, sesudah putih."

Ibnu Ady meriwayatkan dari Jabir Radliyallahu'anhu yang berkata: "Aku pernah melihat Nabi shallahu 'alaihi wassalam memakai serban hitam yang dipakainya pada hari raya..."

Al Baihaqi meriwayatkan hadis dari Jabir Radliyallahu'anhu katanya : "Pernah Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam berpakaian yang bercorak merah pada dua hari raya dan pada hari Jumat."

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radliyallahu'anhuma. dia berkata : "Pernah Nabi shallahu 'alaihi wassalam keluar dengan kepala yang dibalut sehelai kain yang berwarna abu-abu."

Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari Anas Radliyallahu'anhu, beliau pernah melihat : "Nabi shallahu 'alaihi wassalam menutup kepalanya dengan kain biasa yang bercorak-corak warnanya."


sumber: http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/warna-warna-kesukaan-rasulullah-saw.htm

Di Mana Air Matamu?

Penulis: Al-Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).

Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).

Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

Artikel www.muslim.or.id

Mengenal Para Ulama Pembaharu Dalam Islam

Penulis: Al-Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”

“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”[1].

Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah[2].

Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah[3].

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “…orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya[4].

Dalam hal ini, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[5].

Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam Ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.

Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut beserta sekelumit dari biografi mereka.

1- ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz bin Marwan bin Hakam al-Qurasyi al-Umawi al-Madani

Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mu’minin, imam tabi’in yang mulia, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.

Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab[6].

Beliau diserupakan dalam keadilan dan kelurusan akhlak dengan kakek beliau Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dalam sifat zuhud dengan Hasan al-Bashri, dan dalam ketinggian ilmu dengan imam az-Zuhri[7].

Imam asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan, “al-Khulafa’ ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Ta’ala) ada lima orang: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz”[8].

Para ulama Ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam[9].

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah imam asy-Syafi’i[10].

2- Imam asy-Syafi’i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin al-‘Abbas bin ‘Utsman al-Muththalibi al-Qurasyi al-Makki.

Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ahli fikih yang ternama, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [11].

Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau dengan mengatakan, “Kematian imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah” [12].

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Kedudukan) Imam Syafi’i (di zamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia”[13].

Para ulama Ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam[14].

Imam Ahmad berkata, “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah imam asy-Syafi’i[15].

Imam Ibnu Hajar berkata: “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah)”[16].

3- Hasan al-Bashri, Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri

Beliau adalah Imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H[17].

Beliau pernah disusukan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia[18].

Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah seorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah”[19].

Beliau termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah)[20].

4- Muhammab bin Sirin, Abu Bakr al-Anshari al-Bashri

Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat pada tahun 110 H[21].

Imam Abu ‘Awanah al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorang pun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah”[22].

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah)[23].

5- Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihab az-Zuhri al-Qurasyi al-Madani

Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghafal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hafalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H [24].

Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz memuji beliau dengan mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun (di jaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada az-Zuhri”[25].

Imam Ayyub as-Sakhtiyani, “Aku belum pernah melihat (seorang pun) yang lebih berilmu dari pada beliau” [26].

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah)[27].

6- Yahya bin Ma’in, Abu Zakaria al-Bagdadi

Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghafal hadits yang utama, dan gurunya para ulama Ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H[28].

Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau dengan mengatakan, “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dengan beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[29].

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah)[30].

7- Imam an-Nasa’i, Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan

Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam, penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H[31].

Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau dengan mengatakan, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya”[32].

Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”[33].

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah)[34].

Catatan penting

- Banyak para imam besar Ahlus sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di jamannya, padahal mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Hal ini disebabkan masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka[35].

- Termasuk para imam Ahlus sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah imam syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi (wafat 1206 H)[36]. Dalam hal ini syaikh yang Mulia ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Termasuk di antara para imam (Ahlus sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah Ta’ala) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah dan penyeru kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali at-Tamimi al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya” [37].

- Demikian pula yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam Ahlus sunnah yang ternama: syaikh yang mulia Muhammad Nashiruddin al-Albani dan syiakh yang mulia ‘Abdul ‘aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 24 Rabi’ul Tsani 1431 H

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Abu Dawud (no. 4291), al-Hakim (no. 8592), dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 6527), Dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar (dinukil dalam kitab “’Aunul Ma’buud” 11/267) dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (no. 599).

[2] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/260).

[3] Ibid.

[4] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/264).

[5] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (10/46).

[6] Lihat kitab “Tahdziibul kamaal” (21/432) dan “Tadzkirotul huffazh (1/118).

[7] Lihat kitab “Tadzkiratul huffazh” (1/119).

[8] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Tadzkiratul huffazh” (1/119).

[9] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/260).

[10] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (10/46).

[11] Lihat kitab “Tahdziibul kamaal” (24/355), “siyaru a’laamin nubalaa’” (10/5) dan “Tadzkirotul huffazh (1/361).

[12] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (10/46).

[13] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (24/372).

[14] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/260).

[15] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (10/46).

[16] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 467).

[17] Lihat kitab “Tadzkiratul huffaz” (1/71) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).

[18] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/104).

[19] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Tadzkiratul huffaz (1/71).

[20] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

[21] Lihat kitab “siyaru a’laamin nubalaa” (4/606), “Tadzkiratul huffaz” (1/77) dan “Taqriibut tahdziib” (hal.160).

[22] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/610). Dalam sebuah hadits shahih Rasululah r bersabda: “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”. Lihat “Ash Shahihah” (no. 1733).

[23] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

[24] Lihat kitab “Tadzkiratul huffaz” (1/108) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 506).

[25] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Tadzkiratul huffaz” (1/109).

[26] Ibid.

[27] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

[28] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (11/71) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 597).

[29] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (11/80).

[30] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

[31] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/125) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 80).

[32] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/133).

[33] Ibid (14/131).

[34] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (11/266).

[35] Ibid (11/263).

[36] Lihat kitab “’Aqidatusy syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab as-Salafiyyah” (1/18).

[37] Ibid (1/19-20).