RABB, MAHA MEMILIKI RUBUBIYYAH

on Selasa, 13 Juli 2010

Penulis: Al-Ustadz Ahmas Faiz 'Asifuddin


Salah satu nama Allah yang sangat indah adalah nama Rabb [1]. Artinya, Yang Maha Memiliki sifat Rububiyah.

Banyak hadits yang membuktikan bahwa Rabb adalah salah satu nama Allah [2] Di antaranya hadits ‘Amr bin ‘Abasah bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنْ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ. رواه الترمذي

"Saat paling dekatnya ar-Rabb terhadap hamba-Nya ialah pada kedalaman malam (bagian) yang terakhir. Maka apabila kamu mampu, hendaknya kamu menjadi orang yang menyebut Allah pada saat itu". [3]

Berkait dengan hal ini adalah hadits marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dibawakan oleh Ibnu 'Abbas. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ. رواه مسلم

"Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang untuk membaca Al-Qur`ân pada saat ruku’ atau sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah di dalamnya (nama) ar-Rabb k . Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena (saat itu) sangat layak doamu dikabulkan".[4]

Rabb itu sendiri artinya, Maha Mencipta, Maha Memiliki, Maha Mengatur semua urusan dan Maha Murabbi (mentarbiyah, membina, memelihara) segenap makhluk-Nya [5]. Sifat yang dimiliki dari nama Rabb adalah sifat Rububiyah. Artinya Allah bersifat mencipta, memiliki, mengatur serta mentarbiyah dan memelihara segenap makhlukNya.

Ketika menafsirkan kata رب العالمين pada surah al-Fâtihah, Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (1307 -1376 H) menguraikan penjelasannya sebagai berikut:

"Ar-Rabbu berarti Murabbi (pembina, pemelihara dan pendidik) seluruh alam semesta, dengan cara menciptakan mereka, menyediakan berbagai peralatan bagi mereka dan memberikan berbagai kenikmatan besar buat mereka yang bilamana nikmat ini hilang, maka tidak mungkin mereka dapat bertahan hidup. Karenanya, nikmat apa saja yang mereka peroleh, tidak lain hanyalah berasal dari Allah".

Sementara itu tarbiyah (pemeliharaan dan pendidikan) Allah terhadap makhluk-Nya ada dua macam, yaitu tarbiyah umum dan tarbiyah khusus.

Tarbiyah umum, ialah pembinaan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh Allah terhadap segenap makhluk-Nya; dengan cara menciptakan, memberikan rizki, dan membimbing mereka (termasuk bimbingan secara naluri, Pen.) menuju segala apa yang maslahat bagi mereka hingga dapat bertahan hidup di dunia.

Sedangkan tarbiyah khusus ialah, tarbiyah yang diberikan secara khusus kepada para wali-Nya. Allah membina, mentarbiyah serta memelihara mereka dengan keimanan. Memberikan taufiq kepada mereka untuk beriman. Menjadikan mereka terus meningkat kesempurnaan dirinya dan menyingkirkan segala penghambat serta penghalang yang dapat menghalangi mereka dari keimanan.

Jadi, pada hakikatnya, tarbiyah khusus dari Allah ialah tarbiyah dalam bentuk taufik menuju segala kebaikan dan dalam bentuk pemeliharaan dari segala kejelekan.[6]

Dengan demikian, sesungguhnya nama ar-Rabb mengandung makna yang sangat besar. Karena berlangsungnya seluruh kehidupan makhluk, perkembangannya dan serba keteraturannya, tidaklah terlepas dari sifat Rububiyah Allah; sifat yang berasal dari nama Rabb. Begitu pula hamba-hamba Allah yang bertakwa, mereka tidak menjadi orang-orang yang bertakwa kecuali karena bimbingan, taufiq serta tarbiyah khusus Allah. Allah Azza wa Jalla telah mentarbiyah, membina serta memelihara mereka secara khusus. Dan ini erat sekali kaitannya dengan nama Allah; ar-Rabb.

Maka, jika seseorang benar-benar menghayati makna Rabb sebagai salah satu nama Allah yang Husna (sangat indah), tentu dia akan dapat lebih sempurna dalam mengagungkan, menghormati, menyintai dan mensyukuri segala nikmat Allah k . Diapun akan malu jika tidak taat kepada Allah atau jika bermaksiat kepada-Nya.

Begitu agungnya nama ar-Rabb, sehingga penyebutan nama Rabb dalam doa, menjadi salah satu faktor penting bagi dikabulkannya doa. Sebagaimana terindikasikan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :(يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ). ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ . رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin apa yang telah Allah perintahkan kepada para rasul-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (kepada para rasul yang artinya): 'Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shaalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan' –Qs al-Mu’minûn/23 ayat 51- dan Allah juga berfirman (kepada kaum Mukminin yang artinya): 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah oleh kalian dari makanan yang baik-baik yang Kami berikan sebagai rizki kepada kalian' –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut tentang seseorang yang lama berada dalam bepergian, rambutnya acak-acakan, kakinya berdebu, selalu menjulurkan kedua tangannya ke langit (memohon kepada Allah, seraya menyeru:),'Ya Rabb, Ya Rabb,' tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dibesakan dengan makanan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?" [7]

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (736-795 H) menjelaskan bahwa bagian akhir dari hadits di atas memberikan isyarat tentang adab-adab berdoa dan tentang faktor-faktor yang menyebabkan dikabulkannya doa. Beliau menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan dikabulkannya doa dalam hadits ini ada empat.

Selanjutnya beliau menyebutkan satu persatu faktor itu hingga akhirnya beliau menyebutkan faktor terakhir, yaitu: Keempat: Merintih kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengulang-ulang penyebutan Rububiyah Allah (maksudnya, mengulang-ulang seruannya kepada Allah dengan menyebut nama: Rabb. Yaitu seruan: Ya Rabb, Ya Rabb). Ini merupakan salah satu faktor terbesar bagi harapan dikabulkannya doa.

Barangsiapa merenungkan doa-doa yang tersebut di dalam Al-Qur`aan, nisacaya ia akan mendapati bahwa pada umumnya doa-doa tersebut dibuka dengan nama: Rabb. Misalnya doa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [al-Baqarah/2:201].

Juga dalam firman-Nya:

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya". [al-Baqarah/2:286].

Juga dalam frman-Nya:

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." [Ali Imran/3:8].

Dan masih banyak contoh lain dalam Al-Qur`ân.[8]

Jadi, berdoa kepada Allah dengan menyebut nama Rabb merupakan salah satu faktor terbesar bagi dikabulkannya doa. Dengan demikian, nama Rabb memiliki makna yang sangat penting. Setiap muslim wajib dan perlu memahami, menghayati serta menjalankan konsekuensi dari nama yang agung ini.

Berkait dengan Rububiyah Allah yang mengandung arti tarbiyah khusus Allah kepada para wali (hamba kesayangan)-Nya, Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Tampaknya dari makna inilah rahasia, mengapa kebanyakan doa para nabi selalu dengan lafal Rabb. Sebab isi permohonan mereka semua masuk dalam Rububiyah Allah yang khusus (artinya, selalu memohon supaya mereka mendapat pemeliharaan khusus dari Allah yang berupa pertolongan dan keselamatan dunia serta akhirat, Pen.). Maka firman Allah : رب العالمين menunjukkan betapa Allah Maha Esa dalam mencipta, mengatur, dan memberi nikmat. Juga menunjukkan betapa Maha Sempurna kekayaan Allah, sekaligus betapa membutuhkannya seluruh alam semesta kepada Allah, dilihat dari segala sisi manapun."

Dari sekelumit penjelasan makna Rabb di atas, hendaknya kaum muslimin semakin memahami betapa agung Allah Azza wa Jalla, Rabb Pencipta yang merupakan sesembahan satu-satunya yang behak disembah. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Tidak ada Pencipta kecuali Dia saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam menciptakan maupun dalam hak peribadatan.

Maka, hendaknya manusia hanya beribadah kepada-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Tidak memohon rizki dan tidak mencari solusi kecuali hanya kepada-Nya semata. Sebab Dia-lah Rabb seru sekalian alam.

Marâji`:
1. Al-Qawâ’id al-Mutslâ fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husna, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimiin. Tahqîq wa Takhrîj: Asyraf bin Abdul Maqshûd bin 'Abdur-Rahîm, Maktabah as-Sunnah, Cet. I 1411 H/1990 M.
2. Îqâzh al-Himam; al-Muntaqâ` min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam Ibnu Rajab, karya Syaikh Saliim bin ‘Id al-Hilâli, Dâr Ibni al-Jauzi, Cet. VII, Muharam 1425 H.
3. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, Cet. III, 1417 H/1996 M.
4. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Mâ’arif, Riyadh, Cet. I dari penerbitan yang baru, 1420 H/2000 M.
5. Syarh al-'Aqîdah al-Wâsithiyah, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah al-Mâ’arif, Cet. VI, Th. 1413 H/1993 M.
6. Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, I’dad: Fahd bin Nâshir bin Ibrâhim as-Sulaimân, Dâr ats-Tsurayya lin-Nasyr, Cet. III, Th. 1417 H/1997 M.
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, Syaikh 'Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ fi Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husna, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, hlm. 19.
[2]. Lihat al-Qawa’id al-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihi al-Husna, hlm. 21 pada catatan kaki.
[3]. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Kitab ad-Da’awat, Bab: Du’a adh-Dhaif, no. 3579, III/45.
[4]. HR Muslim. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Kitab ash-Shalati, Bab: an-Nahyi ‘an Qira’ati al-Qur`ân fir-Ruku’ was-Sujud, IV/419, no. hadits 1074, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.
[5]. Lihat Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, hlm. 51. Lihat pula Syarh al-'Aqîdah al-Wâsithiyah, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, hlm. 19.
[6]. Lihat Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, pada penafsiran surat al-Fatihah, ayat hamdalah. Diterjemahkan secara bebas.
[7]. HR Muslim, Kitab az-Zakâh, Bab: Qabûl ash-Shadaqah min al-Kasbi ath-Thayyib wa Tarbiyatuhâ. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, VII/101-102, no. hadits 2343.
[8]. Lihat Îqâzh al-Himam; al-Muntaqâ` min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam
[9]. Lihat Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, pada bagian akhir dari tafsir رب العالمين surat al-Fâtihah.

HADITS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERJAGA

Penulis: Al-Ustadz Kholid Syamhudi


Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, dan memerintahkan manusia untuk menaati dan mencontoh perilaku beliau. Allah berfirman:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya". [al-Hasyr/59:7].

Untuk itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menunaikan semua tugasnya. Sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada ummatnya agar berpegang dengan peninggalan beliau, yaitu berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dua hal ini sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari Kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ

"Aku tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnahku". [HR al-Hakim, dan dishahïhkan Syaikh al-Albani dalam Shahïh al-Jami' ash-Shaghïr, no. 2937]

Dari sini jelaslah, bahwasanya hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari'at, baik dalam hal aqidah, hukum fikih, dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjadi sumber pedoman seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridha'an Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, dengan kedudukannya ini, maka hadits-hadits tersebut menjadi sumber dan asas syari'at yang kekal dan selalu terjaga keotentikannya.

Syaikh `Abdul-Muhsin al-'Abbad [1] berkata,"Sesungguhnya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam . Dia bersama Al-Qur'an yang mulia merupakan asas agama Islam dan menjadi sumber hukumnya. Keduanya saling berhubungan sebagaimana kaitan syahadat La ilaha illa Allah dengan syahadat Muhammad Rasulullah. Barang siapa yang tidak beriman kepada Sunnah, berarti tidak beriman kepada Al-Qur'an" [2].

Keterkaitan antara keduanya sebagai sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari'at, sebab as-Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur'an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya, as-Sunnah sabagai wujud dalam penerapan Al-Qur'an melalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firman-Nya:

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". [al-Qalam/68:4].

Demikianlah, ketika Ummul-Mukminin 'Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

"Akhlak beliau adalah Al-Qur'an". [HR Ahmad, no. 23460, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' ash-Shaghir, no 4811]

ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA MENJAGA SUNNAH RASULNYA
Eratnya hubungan Al-Qur'an dan as-Sunnah ini tidak dapat dipisahkan dalam memahami Islam secara benar dan dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ironisnya, kedudukan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh Islam berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan ada yang berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari Sunnah sebagai sumber hukum. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin keontetikannya, dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara Al-Qur'an. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". [Hijr/15:9].

Ayat mulia ini yang merupakan nash tentang penjagaan Al-Qur'an, di dalamnya juga terkandung maksud penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan". [an-Nahl/16:44]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia, Sehingga, jika penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Al-Qur'an tidak terjaga dan terpelihara (mahfuzh), tentunya tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan Al-Qur'an, padahal Allah berfirman:

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". [an-Najm/53:3-4] [3].

Dengan demikian, jelaslah bahwasanya janji Allah untuk memelihara adz-Dzikr tidak hanya terbatas pada Al-Qur'an saja, tetapi juga menjaga syari'at dan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan penjagaan bersifat lebih umum dari sekedar Al-Qur'an atau as-Sunnah saja [4]

Ibnu Hazm dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan, tidak ada perbedaan di kalngan para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari'at, bahwasanya semua wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah adz-Dzikrul-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pasti. Dan semua yang dijamin oleh Allah pemeliharaannya, maka ia terjaga, tidak akan hilang, dan tidak akan terubah sedikit pun, tanpa ada penjelasan tentang kebatilannya.

Kemudian beliau membantah yang menganggap pengertian adz-Dzikr dalam ayat di atas hanyalah Al-Qur'an saja.

Beliau berkata: "Anggapan ini adalah dusta yang tidak berdasarkan bukti, dan pengkhususan kata adz-Dzikr tanpa dalil. Kata adz-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah yang merupakan wahyu penjelas bagi Al-Qur'an. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan". [an-Nahl/16:44]

Dengan demikian, maka sungguh merupakan kebenaran bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia. Dalam Al-Qur'an banyak terdapat perintah yang mujmal (global), seperti shalat, zakat, haji, dan selainnya yang kita tidak mengetahui yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan dengan lafadz Al-Qur'an itu kecuali dengan penjelasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap yang global tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari Sunnah, maka manusia tidak dapat mengambil manfaat dari nash Al-Qur'an, lalu hilanglah banyak syari'at yang diwajibkan kepada kita, dan kita tidak mengetahui kebenaran yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki".[5]

Demikian juga pemeliharaan Al-Qur'an tidak sempurna, kecuali dengan menjaga dan memilihara Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena makna kandungan Al-Qur'an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu Sunnah yang shahih, atau menyimpangkan dan menakwilkan keluar dari maksudnya, serta memahaminya diluar ketentuan syari'at, adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan Al-Qur'an".[6]

PENJAGAAN ALLAH TERHADAP SUNNAH
Jelaslah, seluruh yang disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang agama, semuanya ialah wahyu dan adz-Dzikr. Semua terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan dalam pemeliharaan Allah. Semua kandungan Al-Qur'an terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Demikian juga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan penjelas Al-Qur'an , pengkhusus lafazh-lafazh umumnya dan pembatas lafazh-lafazh mutlaknya, ia terjaga dan terpelihara.

Dapat disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan as-Sunnah tetap terpelihara dan terjaga.

1. Tha'ifah Al-Manshurah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari Kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

"Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran; orang-orang yang menghina mereka tidak merugikan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [HR Muslim no. 354]).

Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenangkannya, maka tentunya akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaful-ummah dan ulama muhadditsin pada setiap zaman dan tempat.

2. Perhatian Salafush-Shalih Terhadap Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyiapkan pembela Sunnah. Yaitu dengan menciptakan generasi Salafush-Shalih dan setelah mereka, yang telah memberikan perhatian besar kepada Sunnah. Perhatian Salaf umat ini terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada pada setiap zaman. Mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan, serta beragam sarana dalam memperhatikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam masalah ilmu maupun amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada manusia.

Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya dengan menghafal dan tatsabut (melakukan klarifikasi), sehingga salah seorang dari kalangan mereka bepergian hanya untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan. Yakni untuk mengecek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga, mereka menulisnya dalam lembaran shahifah, kemudian menyebarkannya di antara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiah.

Demikian pula para Tabi'in, mereka memberikan perhatian terhadap Sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk, di antaranya:
- perhatian dalam menghafalnya.
- bertanya tentang sanad.
- mencari pengetahuan mengenI keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal; hingga kemudian ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat Islam.
- tadwin (kodifikasi) Sunnah Rasulullah n yang dimulai dari lembaran shahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi [7], dan demikian juga orang-orang setelah mereka.

3. Ulama-Ulama Muhaditsin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan taufik kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, menyebarkannya, menuliskannya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna, tiada bandingannya terhadap Sunnah dalam sejarah dunia.

Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan, sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits, maka akan mereka jelaskan.

Ibnu Hiban dalam mensifati ulama muhadditsin, ia menyatakan, hingga jika salah seorang mereka ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah, tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya. Dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan.[8]

Manshur bin 'Ammar as-Sulami al-Khurasani dalam mensifati ahlu hadits menyatakan:
"Allah Subhanahu wa Ta'ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan Al-Qur'an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus".

Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid'ah orang-orang mulhid, dan kedustaan para pendusta.

Seandainya engkau melihat mereka, pada malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.

Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu.

Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.[9]

Demikianlah, mereka manjadi penjaga Sunnah Rasulullah n sepanjang masa.

4. Rihlah Fi Thalabi Al-Hadits
Di antara perhatian dan usaha para ulama dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan bepergian, melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits (rihlah fï thalabi al-hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan tingkat kesulitan sedemikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya. Demikian juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi secara sangat detail dan mendalam, sebab seorang muhaddits yang pergi ke suatu negeri lalu mengenal ulama di negeri itu, ia akan berbicara dan bertanya kepadanya. Demikian juga, rihlah telah dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat, sehingga umat terlepas dari musibah dan penyimpangan agama. Maka sangat pantas bila Ibrahimm bin A'dham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan rihlahnya ash-habul-hadits.[10]

5. Kaidah Ilmu Jarh Wa Ta'dil Dan Mushthalah.
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan kaidah ilmu musthalah dan ilmu al-jarh wa ta'dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini untuk memerangi bid'ah, dan untuk menjaga agama Islam ini dari para pendusta, serta dari penyimpangan dan penakwilan orang-orang jahil.

Imam al-Haakim di muqaddimah kitab Ma'rifat 'Ulumul-Hadits, ia menyatakan: "Sungguh, aku melihat bid'ah pada zaman kita ini telah banyak; dan pengetahuan manusia terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab ringan yang mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits."[11]

Demikian juga para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) untuk mengetahui kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi'in. Para ulama semakin memperluas metodologi ini, setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu "al-Jarh wa Ta'dil".[12]

Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat untuk memilah-milah di antara hadits-hadits yang shahih, yang lemah dan yang palsu. Ini semua merupakan wujud penjagaan Allah terhadap Sunnah.

Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Sunnah Rasul-Nya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji:
1. As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, Musthafa as-Siba'i, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1405 H, halaman 156.
2. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, Dr. al Murtadha az-Zein Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
3. Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, al-Hakim Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah an-Naisaburi, Tahqïq: Dr. as-Sayyid Mu'azhzham Husain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1397H.
4. Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, as-Suyuthi, Penerbit al-Jami'ah al-Islamiyah Madinah, Cetakan Kelima, Tahun 1415H.
5. Dirasat fi al-Jarh wa Ta'dil, Dr. Muhammad Dhiya`ur-Rahman al-A'zhami, Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, Madinah, Cetakan Keempat, Tahun 1419H.
6. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah, Cetakan Kedua, Tahun 1419H.
7. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Islamic Sceintific Research Academy, New Delhi, India, Cetakan Pertama, Tahun 1411 H, halaman 7-8.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Seorang ulama besar kota Madinah dan pengajar hadits di Masjid Nabawi hingga sekarang ini.
[2]. Lihat prakata beliau dalam kitab Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, hlm. 3.
[3]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 7-8.
[4]. As-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri' al-Islami, hlm. 156.
[5]. Pernyataan Ibnu Hazm ini dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri' al-Islami, hlm. 156-158.
[6]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 8.
[7]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 38.
[8]. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, hlm. 7
[9]. Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wï'i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, hlm. 6-7.
[10]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 44 dan 50.
[11]. Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, hlm. 1.
[12]. Dirasat fï al-Jarh wa Ta'dil, hlm. 20

CACAT PENGANUT IDEOLOGI INGKAR SUNNAH

Penulis: Al-Ustadz Ashim bin Musthafa


Umat Islam, sejak awal, telah satu kata bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (Sunnah) merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam. Berfungsi sebagai sumber hukum bagi agama yang hanif ini. Meski demikian, ada sebagian pihak yang mengalihkan pemahaman mengenai hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan melakukan pengingkaran terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan melancarkan keraguan terhadapnya.

Gerakan pengingkaran terhadap Sunnah ini kian gencar menebarkan racun subhatnya terhadap Sunnah. Penyebutan kelompok gerakan ini sangat menarik. Mereka menamakan diri al-Qur`âniyyûn. Nama yang dinisbatkan kepada Al-Qur`ânul-Karim, padahal Al-Qur`ân berlepas diri dari pemikiran anti hadits ini.

Ciri yang menonjol aqidah golongan al-Qur`âniyyûn ini, ialah mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit pun.[1]

Sehingga, mereka pun mencampakkan hadits-hadits seraya berkata: "Kami tidak mengamalkan aqidah dan hukum-hukum kecuali yang terdapat dalam Al-Qur`ân saja".

PENGINGKARAN TERHADAP HADITS, PROPAGANDA USANG
Ajakan untuk mencampakkan Sunnah, bukanlah produk masa kini. Akan tetapi, telah ditukangi pertama kali oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka menyalakan api fitnah ini. Menyulut keragu-raguan tentang kesucian Sunnah.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan isnad shahîh dari hadits 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata :

كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

"Sebelumnya, aku menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku ingin menghafalnya. Kemudian kaum Quraisy melarangku. Mereka berkata (dengan nada pengingkaran, Pen.): 'Apakah engkau menulis semua yang engkau dengar darinya, padahal Rasulullah adalah manusia biasa, berbicara dalam keadaan marah dan senang [2]. Aku mengekang diri dan kemudian, aku ceritakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan jari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjuk ke mulut seraya bersabda : Tulis saja. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari diriku kecuali kebenaran".

Keberadaan para penentang Sunnah, memang sudah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyinggung orang-orang yang menyebut diri sebagai Qur`aniyyun itu. Berita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan salah satu kebenaran kenabian beliau. Karena, apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beritakan telah menjadi fakta yang nyata terjadi di tengah umat speninggal beliau.

Diriwayatkan oleh ad-Daarimi, at-Tirmidzi dan Ahmad, dari al-Miqdaam bin Ma'dikarib al-Kindi Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah mengharamkan banyak hal pada hari terjadinya perang Khaibar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيُوشِكُ بِالرَّجُلِ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ

"Hampir-hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihias; disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: 'Di antara kami dan engkau ada Kitab Allah Azza wa Jalla. Apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya'. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ". [HR Ibnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni].

Perhatikan argumentasi kaum Qur'aniyyun dalam hteks hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diatas, begitu mirip dengata pernyataan para penganut Ingkar Sunnah di atas.

INNAHUM QAUM YAJHALUN!
Kaum Qur'aniyyun, mereka ialah kaum yang tidak memahami hakikat yang sebenarnya !. Demikianlah keadaan mereka. Ini bukan penilaian tanpa dasar.

Untuk mendukung pembenaran sikap dalam mengingkari Sunnah, mereka berdalih bahwasanya Al-Qur`ân tidak melupakan apapun. Dasar argumentasi mereka, yaitu denan mengambil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam al-Kitab". [al-An'aam/6:38].

Dalil di atas memang tidak disangsikan keabsahannya. Namun, mereka menempatkannya dalil tersebut tidak sesuai pada tempatnya. Mereka mengambil dan memahaminya secara sepotong. Padahal pemahaman terhadap suatu ayat Al-Qur'an harus ditbangun dengan semua ayat yang masih dan saling berkait. Tidak dengan cara sepotong-sepotong. Begitu juga, pemhaman terhadap ayat harus ditopang dengna husnun niyyah (kebaikan niat) dan husnul fahmi (pemahaman yang benar).

Para, kaum Qur'aniyyun hendaklah kembali kepada pemahaman yang benar, bahwasanya hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"...dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu …. " [al-Baqarah/2: 231]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

"Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya". [3]

Apakah dapat dibenarkan oleh logika akal sehat dan kaca mata keimanan, manakala seorang muslim hanya mengamalkan sebagian wahyu Allah semata? Sementara itu, pada kondisi lain, ia enggan atau menolak mengamalkan bagian wahyu yang lain?

Hendaknya kaum Qur`aniyyun menyadari bahwa sebagaimana Malaikat Jibril turun kepada Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa al Qur`an, ia juga membawa wahyu berupa Sunnah yang mengandung penjelasan. Terkadang membawa keterangan yang memuat hukum tersendiri, di luar yang disinggung oleh al Qur`an.

Seandainya benar-benar orang-orang yang mengikuti ajaran al Qur`an, niscaya mereka akan menjadi orang-orang yang bersegera menerima dan mengamalkan kandungan asSunnah, lantara al Qur`an memuat perintah-perintah tentang wajibnya menaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjalankan perintah-perintahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka". [An Nisa/4: 80]

ANTARA PENULISAN AL QUR`AN DAN TADWIIN KODIFIKASI HADITS.
Di antara syubhat yang mereka tebar: "Sesungguhnya as Sunnah tidak tertulis di masa Nabi".

Statemen mereka ini, tentu sarat kebatilan dan tertolak. Karena ada sebagian sahabat telah menulis hadits. Contohnya sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin 'Amr di atas. Beliau juga memerintahkan untuk menulis hadits bagi Abu Syah. Adapun tentang penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak muncul dari perintah Rasulullah sendiri, karena banyak faktor yang melatarbelakanginya. Seperti, sebagian orang memandang hafalannya lebih kuat dan paten ketimbang tulisan jika menyibukkan diri untuk mempelajari dan mengajarkannya secara tanpa buku, melalui hafalan di luar kepala.

Syubhat lain yang mereka lontarkan : "Sesungguhnya hadits-hadits belum terbukukan di masa-masa awal generasi Sahabat".

Anggapan demikian ini pun tertolak. Sebab, al Qur`an juga belum terbukukan di masa-masa awal. Apakah dengan itu, seorang berakal boleh mengatakan jika para sahabat tidak memperhatikan al Qur`an"?!. Apakah boleh dikatakan bahwa keaslian al Qur`an diragukan?!

Demi Allah tidak!. Karena kekuatan hafalan mereka waktu itu sangat memadai. Dengan kualitas hafalan mereka yang bagus, al Qur`an dan as Sunnah terpelihara hingga tidak hilang dan tetap terjaga. Selain itu, lantaran banyaknya jumlah orang yang sudah menghafal dari kalangan sahabat.

Para sahabat menaruh perhatian besar pada pemeliharaan as Sunnah. Misalnya seorang sahabat bernama Jaabir bin 'Abdillah al Anshaari Radhiyallahu 'anhu rela menempuh perjalanan sebulan untuk mencari sebuah hadits dari 'Abdullah bin Unais. Begitu pula Abu Ayyub al Anshaari Radhiyallahu 'anh, ia pergi menemui 'Uqbah bin 'Amir al Juhani Radhiyallahu 'anhu untuk memperoleh satu hadits saja. Demikianlah, kebiasaan ini terus berlanjut hingga generasi Tabi'in. Mereka mengambil hadits-hadits dari para sahabat, dan demikian seterusnya. Upaya penggalian hadits ini dikenal dengan ar rihlatu fii thalabil hadîts.

Sunnah itu kemudian berpindah secara bersambung dari generasi kepada genarasi berikutnya.Dan akhirnya sampai ke tangan kaum muslimin pada masa sekarang ini, dan seterusnya berkat kemudahan yang diberikan Allah dan kemurahan-Nya kepada umat Islam. Pada setiap kurun, Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih ulama yang mengemban hadits-hadits Rasulullah dan menyampaikannya ke generasi berikutnya. Para ulama ini, juga melakukan penyeleksian hadits-hadits secara ketat. Hadits-hadits pun terjaga dan terbebas dari intervensi luar yang hendak mengotorinya.

CELAAN TERHADAP PARA PENGINGKAR SUNNAH
Penegasan wajibnya taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tak bisa dipungkiri. Yakni menjadi sesuatu yang harus dan pasti. Disamping banyak dalil al Qur`an dan Hadits yang menyinggungnya, tjuga elah terjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan ulama dalam masalah ini. Sejak generasi sahabat sampai generasi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga pengingkaran terhadap hadits-hadits nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lain merupakan jinaayah (kejahatan) besar terhadap wahyu dan umat Islam.

Cukuplah bagi mereka ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya.

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih" [An-Nuur/24: 63]

Maksudnya, hendaknya orang yang menyelisihi syariah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu waspada dan takut. Takut akan ditimba cobaan pada hati mereka berupa kekufuran, nifaq atau bid'ah. Atau akan ditimpa siksa yang pedih di dunia ini dengan mati terbunuh, terkena hukum pidana atau dipenjara.[4]

Adapun dampak buruk yang akan diterimanya di akhirat, tertera jelas dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". [an-Nisaa/4 :14]

Atas dasar ini, orang yang melakukan penentangan dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia terancam dengan dua siksa, dunia dan akhirat. disamping dianggap sesat dengan kesesatan yang nyata. Dan termasuk durhaka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ialah mengingkari sunnahnya.

"Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". [al Ahzaab/33:36]

Para ulama dahulu dan sekarang telah mengingatkan betapa besar bahaya gerakan yang mengatasnamakan pengagungan al Qur`an ini.

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : Kalau ada seseorang yang berkata, 'kami tidak ingin mengambil kecuali hal-hal yang tedapat dalam al Qur`an saja, maka orang ini telah kafir berdasarkan ijma para ulama umat Islam. Dan ia tidak wajib mengerjakan (shalat) kecuali satu sholat saja setelah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan satu sholat saja di waktu fajar ".[5] [lihat Al Ihkâm : 2/208].

Asy Syâthibi rahimahullah berkata : 'Membatasi diri hanya dengan al Qur`an adalah pandangan orang yang yang berilmu lagi keluar daroi jalan sunnah. Sebab mereka ini bertumpu pada pernyataan bahwa al Qur`an memuat semua keterangan, sehingga mereka membuang hukum-hukum yang berasal dari Sunnah. Pemikiran itu mengakibatkan mereka terlepas dari ikatan al jamaah dan menafsirkan al Qur`an tidak sebagaimana tujuan Allah menurunkan al Qur`an" [6]

Imam as Suyuuthi berkata: Barang siapa mengingkari keabsahan hadits-hadits Nabi, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang telah dimaklumi sebagai hujjah dalam masalah-masalah ushuul, maka ia telah kufur dan keluar dari lingkaran Islam". [Lihat Miftâhul Jannah 3]

TIDAK HANYA MEREKA SAJA
Pengingkaran terhadap hadits tidak hanya dimiliki golongan yang berlabel Qur`aniyyun, atau Aliran Kitab Suci saja. Hakikat pengingkaran juga dilakukan oleh kaum rasionalis, ketika mereka menganggap suatu hadits tidak rasional. Begitu juga, pemikiran semacam ini menghinggapi kalangan Khawaarij yang mengingkari hadits tentang syafaat bagi pelaku dosa besar. Terkadang juga menghinggapi para pengikut madzhab yang fanatik atau orang-orang yang kurang memahami seluk-beluk ilmu hadits. Dan tidak menutup kemungkinan ada di antara kita – sadar atau tidak- mengingkari as-Sunnah, ketika menyaksikan seorang muslim konsisten untuk meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Untuk melakukan bantahan terhadap kerancuan para pengingkar sunnah. Di antaranya, ada beberapa kitab yang bisa menjadi pegangan. Diantaranya sebagai berikut :

1. Dirasaat Fil Hadiitsin Nabawi karya Muhammad al A'zhami
2. Al Anwaar al Kaasyifah karya al Mu'allimi al Yamaani
3. Hujjiyyatus Sunnah karya 'Abdul Ghani 'Abdul Khaaliq
4. Difaa' 'Anis Sunnah karya Muhammad Abu Syahbah
5. As Sunnah al Muftara 'Alaiha karya al Bahnasawi,
6. Mauqiful Jamaa'atil Islaamiyyati Minal Hadiitsin Nabawi karya Muhammad bin Ismaa'iil as Salafi
7. Zawaabigh Fi Wajhis Sunnati Qadiiman Wa Hadiitsan karya Shalaah Maqbuul [7].

Semoga Allah Ta'ala melindungi kita sekalian dan kaum muslimin pada umumnya dari segala fitnah, syubhat dan kekeliruan. Hasbunallah Wa Ni'mal Wakiil

Marâji' :
- Huqûqun Nabiyyi 'Alâ Ummatihi Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah Dr. Muhammad bin Khalîfah at Tamîmi Adhwâus Salaf I 1418 1997.
- al Muwafaqât Abu Ishâq asy Syâthibi tahqîq Masyhûr bin Hasan Alu Salmân Dâr Ibnil Qayyim II 1427 2006.
- Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi.
- Majallah at Tauhîd Makalah Dhalaalaatul Qur`aaniyyin Wa Fataawal Mu'aashiriin Jamaal Sa'd Haatim Edisi 428 Th 36 Sya'baan 1428 H

Semoga Allah Ta'ala melindungi kita dan kaum muslimin dari segala fitnah, syubhat dan kekeliruan. Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Di beberapa situs, Kelompok Ingkarus Sunnah banyak mempunyai dalih –yang dibuat-buat dan dipaksakan - yang mereka lontarkan untuk menumbangkan as Sunnah. Seperti, bahwa mengagungkan hadits-hadits Rasulullah merupakan tindakan yang menyerupai kultus individu kaum Nashrani yang berlebihan dalam menghormati (Nabi) Isa alaihis salaam?!.
Atau mereka mengatakan : "hadits-hadits adalah biografi dan sejarah seorang manusia yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai rasul terakhir?!.
Ungkapan seperti ini hanyalah alasan yang diada-adakan, mengandung unsur kebodohan, kerancuan berpikir dan penyelewengan dalil.Nas`alullahal 'aafiyah.
[2]. Perhatikan kemiripannya dengan perkataan Qur'aniyyun di Indonesia dalam situsnya. Mereka menulis : Hadits dan sunnah adalah biografi Muhammad Rasul Allah. Sekedar cerita kehidupan seorang anak manusia yang dipilih Allah menjadi rasul dan nabi yang terakhir dari-Nya'.
Dalam pernyataan mereka ada kemiripan dengan ucapan kaum Musyrikin Quraisy. Maa asybahal yauma bil baarihah!
[3]. Penggalan hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[4]. Tafsiir Ibni Katsîr (6/101)
[5]. Qs. Al Israa/17 : 77
[6]. Al Muwafaqaat: 4/325-326. Silahkan lihat pemaparan Imam asy Syaathibi rahimahullah tentang kedudukan as Sunnah hal. 314-339
[7]. Lihat catatan kaki pentahqîq al Muwafaqaat (4/326

SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU

Penulis: Al-Ustadz Abu Isma'il Muslim Al-Atsari

Sesungguhnya agama Islam telah sempurna, nyata, terang lagi jelas, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa. Dan Islam, adalah agama yang berlandaskan wahyu Allah Ta’ala, bukan berlandaskan akal fikiran maupun perasaan manusia. Barang siapa mengikuti wahyu, maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Maka berpegang teguhlah kepada yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus". [az-Zukhruf/43:43].

Wahyu Allah merupakan kebenaran mutlak, tidak ada kedustaan dan kesalahan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan akal dan fikiran manusia yang tidak ada jaminan kebenaran mutlak, bahkan fikiran seseorang itu sering berubah-ubah. Demikian juga fikiran manusia yang satu dengan lainnya, juga sering berbeda. Oleh karena itulah manusia itu sering berselisih.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kebenaran mutlak pada wahyu-Nya:

"Kebatilan tidak datang kepadanya (Al-Qur`ân) baik dari depan maupun dari belakangnya. (Al-Qur`ân) diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji". [Fushshilat/41:42].

Dengan tegas Allah menyatakan, bahwa di dalam Kitab-Nya tidak terkandung kebatilan, baik saat diturunkan maupun sesudahnya. Kebatilan dalam arti kedustaan ataupun kesia-siaan.

MAKNA AS-SUNNAH[1]
As-Sunnah, secara bahasa artinya ialah jalan atau ajaran, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah, as-Sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut.

1. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ushûl Fiqh.
Al-Aamidi rahimahullah berkata: "Dalil-dalil syari'at yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , yang tidak dibaca, bukan merupakan mu'jizat, dan tidak termasuk mu'jizat [2]. Dan Sunnah ini mencakup perkataan-perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan, dan taqrîr-taqrîr (ketetapan-ketetapan) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam".[3]

Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, "sumber aqidah dan hukum Islam ialah Al-Kitab dan as-Sunnah", "kita wajib berpegang kepada Al-Kitab dan as-Sunnah", dan semacamnya.

2. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.
Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrîr (ketetapan)beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi'tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi`tsah. Sehingga arti as-Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.

3. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Fiqih.
Yaitu perkara yang pelakunya terpuji dan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya tidak tercela dan tidak mendapatkan dosa. Istilah Sunnah menurut ahli fiqih ini semakna dengan mustahab, mandûb, tathawwu’, nafilah, muragh-ghab fîhi, dan semacamnya.

Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, "hukum shalat rawaatib adalah Sunnah, bukan wajib", "pendapat yang râjih (kuat), hukum shalat berjama'ah di masjid bagi laki-laki adalah wajib 'ain, bukan sunnah", dan semacamnya.

4. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Aqidah Atau Ulama Salaf.
Yaitu bermakna jalan dan ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diikuti oleh para sahabatnya. Sunnah di sini kebalikan dari bid’ah. Oleh karena itu, banyak ulama pada zaman dahulu menulis kitab-kitab aqidah, dan mereka menamakannya dengan as-Sunnah. Misalnya, "as-Sunnah" karya 'Abdullah bin Imam Ahmad, "as-Sunnah" karya al-Khallâl, dan lain-lain.

Adapun makna as-Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu as-Sunnah menurut istilah ahli ushûl fiqh.

SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU
Allah azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti wahyu yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui perantaraan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salalm. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". [al-A'râf/7:3].

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selainnya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.[4]

Allah juga telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya al-Kitab (Al-Qur`ân). Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa al-Kitab (Al-Qur`ân) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu". [al-Baqarah/2:231].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: "Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu", yaitu Dia mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, "dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah", yaitu As-Sunnah, "Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu", yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram. [5]

Dalam ayat lain Allah berfirman:

"Dan Allah telah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu". [an-Nisâ`/4:113].

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata: “Allah menyebutkan al-Kitab, yaitu Al-Qur`ân, dan menyebutkan al-Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur`ân berkata,'Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."[8]

Bukti nyata bahwa maksud dari al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah as-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sementara Allah Ta'âla berfirman:

"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui". [al-Ahzâb/33:34].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: "Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta'ala kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan as-Sunnah".[7]

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi al-Kitab dan yang semisalnya, yaitu as-Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama wajib diikuti. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

"Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya. Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata: 'Kamu wajib berpegang dengan Al-Qur`ân ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia! Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!'. Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid, kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barang siapa bertamu kepada suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya"[9].

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ

"Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: 'Di antara kami dan kamu ada kitab Allah k . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya'. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah n seperti apa yang diharamkan oleh Allah". [HRIbnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni].

Penulis kitab 'Aunul-Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud mengatakan: "(Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ) 'aku diberi al-Kitab', yaitu Al-Qur`ân, 'dan (diberi) yang semisalnya', yaitu wahyu batin yang tidak dibaca, atau penjelasan wahyu zhahir, dengan menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambah, mengurangi, atau hukum-hukum, nasihat-nasihat, atau perumpamaan-perumpamaan, yang menyerupai Al-Qur`ân dalam masalah kewajiban yang diamalkan, atau dalam hal kedudukannya".

Al-Baihaqi berkata: "Hadits ini memungkinkan dua makna. Pertama, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi wahyu batin yang tidak dibaca, seperti diberi wahyu zhahir yang dibaca. Kedua, maknanya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi al-Kitab yang merupakan wahyu yang dibaca, dan diberi penjelasan semisalnya. Yaitu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diizinkan menjelaskan yang ada di dalam al-Kitab, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambahkan, sehingga beliau mensyari'atkan sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Kitab. Maka jadilah hal itu, di dalam kewajiban berhukum dan keharusan mengamalkannya seperti wahyu yang zhahir yang dibaca".[10]

Dengan demikian, Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berasal dari Allah Ta'ala sebagaimanan Al-Qur`ân. Hassân bin 'Athiyah rahimahullah berkata:

كاَنَ جِبْرِيْلُ يَنْزِلُ عَلَى النَّبِيِّ بِالسُّنَّةِ كَمَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ بِالْقُرْآنِ

"Dahulu, Malaikat Jibrîl turun kepada Nabi n dengan membawa as-Sunnah, sebagaimana ia turun membawa Al-Qur`ân".[11]

KEDUDUKAN AS-SUNNAH SAMA DENGAN AL-QUR`ÂN DALAM HUJJAH
Setelah mengetahui bahwasanya wahyu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ada dua, selain Al-Qur`ân atau al-Kitab, yang merupakan wahyu zhahir yang dibaca, juga as-Sunnah yang merupakan wahyu batin yang dibaca, sehingga kedudukan keduanya ini satu derajat dalam hal hujjah dan sumber aqidah dan hukum, karena keduanya sama sebagai wahyu Allah Ta'ala.

Oleh karena itu, termasuk perkara yang pantas untuk diperingatkan, yakni pendapat sebagian ahli ushuul fiqih yang menyatakan bahwa kedudukan as-Sunnah berada di bawah Al-Qur`ân dalam pengambilan sumber hukum. Sehingga pendapat ini memunculkan prinsip yang tidak benar pada sebagian umat Islam; misalnya hadits yang shahîh, jika bertentangan dengan Al-Qur`ân maka hadits itu berarti hadits lemah dan ditolak. Kemudian mereka menggunakan akal fikirannya sendiri, atau bahkan kebodohannya untuk menghukumi sesuatu hadits bertentangan dengan ayat Al-Qur`ân. Dari sinilah, kemudian timbul berbagai penyimpangan.

Oleh karena itu, kami ingatkan bahwasanya as-Sunnah juga merupakan wahyu Allah, sehingga tidak akan bertentangan dengan Al-Qur`ân. Jika ada hadits yang telah memenuhi syarat shahîh, tetapi menurut akal, seolah-olah hadits itu bertentangan dengan Al-Qur`ân, maka hendaklah kita mendahulukan naql (wahyu) daripada akal. Demikian ini merupakan prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama'ah.

Imam Abul-Muzhaffar as-Sam'ani rahimahullah berkata: "Ketahuilah bahwasanya madzhab (jalan) Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (menyetakan), akal tidaklah mewajibkan sesuatu kepada seorangpun, tidak menghilangkan sesuatu darinya, tidak ada peran bai akal dalam menghalalkan dan mengharamkan, menganggap baik dan menganggap buruk. Seandainya tidak ada penjelasan dari agama, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib atas diri seseorang, dan mereka tidak terkena pahala atau siksa".

Imam Abul-Muzhaffar as-Sam'ani rahimahullah juga berkata: "Ahlus Sunnah mengatakan, prinsip dalam beragama adalah ittiba` (mengikuti dalil wahyu), sedangkan akal mengikutinya. Seandainya prinsip agama itu berlandaskan akal, maka sesungguhnya manusia tidak membutuhkan wahyu dan nabi-nabi. Demikian juga makna larangan dan perintah (dari Allah lewat perantaraan para nabi) menjadi sia-sia. Dan setiap orang akan berbicara sesuai yang ia kehendaki". [13]

Syaikh 'Abdul-Ghani 'Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: "As-Sunnah dengan al-Kitab berada pada satu derajat. Dari kedua sumber ini diambillah sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) dalam menentuankan hukum-hukum syari'at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: 'Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa al-Kitab (Al-Qur`ân) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah; dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu'jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah, dilihat pada sisi ini, keutamaannya berada di bawah Al-Qur`ân.

Syaikh 'Abdul-Ghani 'Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: "As-Sunnah dengan Al-Kitab berada pada satu derajat dari sisi keduanya digunakan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) terhadap hukum-hukum syari'at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa Al-Kitab (Al-Qur'an) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah, dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu'jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah di bawah Al-Qur'an di dalam keutamaan pada sisi-sisi ini.

Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan as-Sunnah di bawah Al-Qur`ân dalam penggunaan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga seandainya terjadi pertentangan, maka As-Sunnah disia-siakan, dan hanya Al-Qur`ân yang diamalkan.

Sesungguhnya kedudukan Sunnah itu sederajat dengan al-Kitab (Al-Qur`ân) dalam pengambilannya sebagai hujjah. Dijadikannya al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu dari Allah…, dan dalam masalah ini, as-Sunnah sama dengan Al-Qur`ân, karena as-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur`ân. Sehingga wajib menyatakan, dalam hal i'tibar, as-Sunnah tidak di berada belakang Al-Qur`ân"[14]

Oleh karena itu, Al-Qur`ân dan as-Sunnah merupakan dua perkara yang saling menyatu, tidak terpisah, dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

"Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya" [15].

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa as-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur`ân. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

MARÂJI':
1. Al-Qur'ân Terjemah Departemen Agama.
2. At-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, karya Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali.
3. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, karya Syaikh 'Abdus-Salâm bin Barjas bin Nâshir Âlu 'Abdul-Karîm .
4. I’lamul-Muwaqqi’in, karya Imam Ibnul-Qayyim, Penerbit Darul-Hadits, Kairo, Tahun 1422H/2002H.
5. Manhaj Imam Syafi'i t fî Its-bâtil 'Aqîdah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin 'Abdul-Wahhâb al-'Aqîl, Penerbit Adh-waus-Salaf.
6. Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, karya Dr. Muhammad bin Mathar Az-Zahrâni, Penerbit Dârul- Khudhairi, Cetakan Kedua, Tahun 1419 H / 1998 M.
7. Tafsîr Al-Qur`ânil-'Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr.
8. Kitab-Kitab Hadits, dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, hlm. 29-34.
[2]. Yaitu bukan Al-Qur`ân, karena Al-Qur`ân dibaca pada waktu shalat dan merupakan mu'jizat, di mana Allah menantang orang yang meragukannya untuk membuat satu surat semisal Al-Qur'ân. Namun ini tidak berarti di dalam As-Sunnah tidak ada perkara luar biasa yang membuktikan kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan Allah, Pen.
[3]. Taqrîr, artinya pengakuan. Maksudnya perbuatan atau perkataan sahabat yang tidak diingkari oleh Nabi n .
[4]. I’lâmul-Muwaqqi’in, 2/46.
Tafsîr Al-Qur`ânul 'Azhîm, surat al-Baqarah/2 ayat 231.
[5]. Tafsîr Al-Qur`ânil 'Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[6]. Ar-Risâlah, hlm. 32-33.
[7]. Tafsîr Al-Qur`ânil 'Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[8]. Orang kafir yang ada perjanjian keamanan dengan kaum muslimin.
[9]. HR Abu Dawud, no. 4604. Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[10]. 'Aunul-Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud. Lihat penjelasan hadits no.4604.
[110] Riwayat ad-Dârimi, no. 549. Al-Khathîb dalam al-Kifâyah, hlm. 48, dan lain-lain. Dinukil dari Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 22-23.
[12]. Yang dimaksudkan ialah baik dan buruk, yang karenanya mendapatkan pahala atau siksa, Pen.
[13]. Al-Hujjah fî Bayânil-Mahajjah, Juz. 1, hlm. 315. Dinukil dari Manhaj Imam Syafi't t fî Its-bâtil- 'Aqîdah, Juz. 1, hlm. 57-58.
[14]. Sebuah pembahasan dalam kitab Hujjiyyatus-Sunnah, hlm. 485-494. Dinukil dari Dharuuraat Ihtimaam bis-Sunnah Nabawwiyah, hlm. 24.
[15]. Hadits Shahiih li ghairihi. HR Maalik, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam at-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, hlm. 12-13.

SOAL JAWAB: SEMBELIHAN HEWAN

DAGING IMPORT

Oleh: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Kami mengimpor daging mentah tanpa tulang dari negeri asing (non muslim, Red) dan daging ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kita karena harganya murah. Bolehkah kita mengkonsumsi daging tersebut? Tolong beri kami penjelasan! Jazakumullah khairan.

Jawaban
Daging yang diimpor dari selain negeri kaum muslimin, ada dua jenis.

Pertama : Daging-daging itu berasal dari negeri Ahli Kitab, maksudnya negeri yang penduduknya beragama Nasrani atau Yahudi, dan yang melakukan penyembelihan adalah salah seorang Ahli Kitab dengan penyembelihan yang sesuai syariat.

Daging jenis ini halal dikonsumsi oleh kaum muslimin berdasarkan ijma’ karena firman Allah Azza wa Jalla :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ

"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka". [Al Maidah : 5]

Kata tha’amuhum, maksudnya adalah sembelihan mereka berdasarkan ijma' ulama. Karena selain sembelihan, seperti biji-bijian, buah-buahan dan lain sebagainya halal, baik berasal dari Ahli Kitab ataupun yang lainnya.

Kedua : Daging yang diimpor dari negeri bukan negeri Ahli Kitab, seperti negeri komunis, negeri paganis (penyembah patung).

Daging-daging ini tidak boleh dikonsumsi oleh kaum muslimin, selama penyembelihannya tidak dilakukan oleh seorang Muslim atau seorang Ahlu Kitab (dengan cara penyembelihan yang sesuai syariat, Red). Jika penyembelihnya diragukan agamanya, atau metode penyembelihannya diragukan, apakah dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat atau tidak, maka seorang muslim diperintahkan untuk berhati-hati dan meninggalkan yang syubhat (samar). Sedangkan (daging-daging) yang tidak mengandung syubhat sudah bisa mencukupi (mudah didapat).

Makanan itu sangat berbahaya, jika makanan itu keji (haram); karena akan memberikan makanan dengan makanan yang buruk. Dan daging-daging sembelihan itu memiliki kepekaan (kesensitifan) yang besar. Oleh karena itu, disyaratkan pada daging-daging sembelihan itu berasal dari orang yang berhak melakukan penyembelihan, yaitu orang Muslim atau Ahli Kitab, dan cara penyembelihannya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.

Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, berarti daging itu merupakan bangkai, sedangkan bangkai itu (hukumnya) haram.

Kesimpulannya : Daging-daging yang ditanyakan ini, jika diimpor dari negeri Ahli Kitab dan disembelih sesuai dengan tuntunan syariat, maka daging ini boleh dikonsumsi. Sedangkan jika disembelih tidak sesuai dengan tuntunan syariat, seperti dengan menggunakan sengatan listrik atau semacamnya, maka (demikian) ini haram.

Jika urusan itu masih samar pada Anda, maka tinggalkan daging-daging itu dan beralihlah kepada yang tidak mengandung syubhat. Wallahu a’lam.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/320-321]

SEMBELIHAN ORANG YANG TIDAK SHALAT

Pertanyaan.
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Kami membeli daging dari para jagal, dan kami tidak mengetahui apakah mereka melakukan shalat ataukah tidak. Namun kami cenderung menyangka, mereka tidak shalat, karena kami tidak melihat mereka di masjid-masjid yang berdekatan dengan mereka, sedangkan kami pernah menanyakan kepada mereka tentang orang yang melakukan penyembelihan itu, dan mereka menjawab : "Kami yang menyembelih".
Bolehkah membeli daging dari mereka, setelah mengira bahwa mereka tidak shalat? Berilah fatwa kepada kami. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.

Jawaban.
Daging yang dijual di pasar-pasar kaum Muslimin dari hewan- hewan yang disembelih di negara-negara Islam hukum asalnya halal, al-hamdulillah. Dan tidak perlu ditanyakan tentangnya, selama belum jelas atau tidak terbukti bahwa daging itu berasal dari sembelihan yang tidak sesuai syariat.

Nabi n pernah ditanya tentang satu kaum yang baru masuk Islam, mereka mendatangkan daging ke pasar-pasar kaum Muslimin, dan tidak diketahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelih ataukah tidak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan jawaban :

سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

"Hendaklah kalian membaca bismillah dan makanlah". [HR Bukhari, 6/226, dari 'Aisyah].

Maksudnya, bacaan basmalah ketika hendak makan. Sehingga keraguan yang ada pada benak para penanya tidak memiliki tempat untuk menjadikan daging-daging itu haram, wallahu a’lam.

Sedangkan kondisi orang-orang yang dipertanyakan yang meremehkan shalat berjamaah, tidak memastikan hasil sembelihan mereka menjadi haram. Karena meninggalkan shalat berjamaah, meskipun itu merupakan perbuatan haram (berdosa), namun perbuatan itu tidak mengeluarkan dari Islam, dan pelakunya tidak dianggap kafir.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/324]

PEREMPUAN MENYEMBELIH

Pertanyaan.
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Bolehkah seorang wanita melakukan penyembelihan binatang, ataukah ini khusus dilakukan oleh kaum lelaki?

Jawaban.
Seorang wanita boleh melakukan penyembelihan dan tidak ada beda antara wanita dan lelaki dalam masalah ini. Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seorang perempuan sedang menggembalakan kambing, kemudian seekor serigala menyerang salah satu kambingnya. Kemudian wanita ini mendapatkan kambing yang diserang serigala masih dalam keadaan hidup, lalu dia menyembelihnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hukum memakan dagingnya, (dan) beliau mengizinkannya. Ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan, bahwa daging hasil sembelihan seorang wanita itu boleh dikonsumsi dan sama dengan sembelihan kaum lelaki.

Dan Allah berfirman :

إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ

"Kecuali apa yang kamu sembelih". [al Maidah : 3].

Ini mencakup orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan; atau Ahli Kitab laki-laki, ataupun Ahli Kitab perempuan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ

"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka". [al Maidah : 5].

Sama saja, baik yang melakukan penyembelihan itu kaum lelaki mereka ataupun wanita; bagitu juga kaum muslimin. Wallahu a'lam.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/325]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]


SOAL JAWAB: SUAMI TAK PEDULI MERTUANYA

Redaksi Yth
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saya memiliki persoalan berkaitan dengan suami. Sebagai menantu, ia nampak tidak berperilaku baik kepada orang tua saya selaku mertuanya. Misal, ketika orang tua saya meminta tolong atau memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, ia enggan melaksanakannya.

Alasannya, taat kepada mertua tidak wajib. Kewajiban taat hanya kepada orang tua. Dengan argumentasi ini pula, terkadang ia lebih mengutamakan berkunjung ke rumah orang tuanya sendiri, daripada menangani urusan rumah tangga, padahal tidak ada kepentingan mendesak di rumah orang tuanya tersebut.

Masalah lain, bila ia dinasihati, misalnya agar lebih rajin beribadah sunnah, ia menolak. Karena, menurutnya, lelaki adalah qawwam keluarga, yang mengatur keluarga. Mohon nasihat.
Akh di S.

Jawab.
Kami ikut prihatin dengan persoalan yang sedang Ukhti hadapi. Satu persoalan yang memang duluar dugaan. Karena, bagaimana mungkin seorang menantu menolak membantu mertua dengan alasan demikian. Anggapan tidak ada kewajiban taat kepada mertua merupakan tindakan yang sangat naif. Dari kasus ini, hendaklah menjadi sarana bagi kita –juga para pembaca- untuk instrospeksi diri dan bersikaplah dengan dasar takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ada beberapa hal yang perlu disampaikan berkenaan dengan hubungan menantu dengna mertua,sebagai berikut :

1. Kewajiban ketaatan seorang anak kepada orang tua sangat ditegaskan dalam ajaran Islam. Ketaatan ini menempati urutan kedua setelah kewajiban bertauhid kepada Allah Ta'ala. Dan ketaatan ini harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan syariat. Tidak boleh patuh dan taat kepada makhluk, termasuk kepada orang tua dalam perkara-perkara yang dilarang Allah Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

"Kewajiban taat (kepada makhluk) hanya dalam perkara-perkara yang ma'ruf (baik-baik)". [HR al- Bukhâri].

2. Seorang muslim, bukanlah makhluk individu. Tetapi ia juga merupakan makhluk sosial. Artinya, ia memiliki dan memerlukan lingkungan untuk berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, sebagai anggota masyarakat, tetangga, pegawai, pembeli, pedagang dan lain-lain. Dia mempunyai kewajiban kepada orang lain, meskipun keterkaitannya berbeda-beda.

Begitu juga yang berhubungan dengan sesama anggota keluarga, pasti memiliki keterikatan yang saling memerlukan. Baik yang bersifat material, moril atau kebutuhan lainnya. Semua ikatan ini akan dapat menguatkan rasa saling menghargai, menghormati, dan sangat mungkin mempererat tali persaudaraan.

3. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moral, dan untuk perbaikan akhlak manusia. Baik akhlak kepada Rabbul-'Alamin, sesama manusia, dan juga kepada orang tua.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita agar berbuat ihsân kepada sesama dalam firman-Nya:

"Dan berbuat baiklah (ihsân) kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…" [an-Nisâ`/4:36].

Apa yang dimaksud berbuat ihsaan kepada sesama? Syaikh al-Jazaairi dalam tafsirnya (1/224) menjelaskan, yaitu badzlul ma'ruf wa kafful adzâ` (menyampaikan kebaikan dan menyingkirkan keburukan). Tentu, konsep yang terkandung dalam dua tindakan tersebut memiliki arti sangat luas.

Secara khusus, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan untuk bertutur kata baik kepada sesama:

"…Dan ucapkanlah kata-kata baik kepada manusia…" [al-Baqarah/2:83].

Sebagian ulama tafsir menyatakan, kandungan ayat di atas berlaku umum, kepada orang kafir sekalipun. Orang kafir –dengan syarat-syarat tertentu- juga berhak diperlakukan secara ihsân oleh seorang muslim.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

"Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik". [HR at-Tirmidzi].

4. Bercermin pada permasalahan di atas, maka kewajiban seorang muslim untuk berbuat baik menjadi bertambah ketika ia masuk ke dalam keluarga besar orang lain melalui akad pernikahan. Sebuah keluarga yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apapun, begitu terjadi akad pernikahan, maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupannya. Sehingga menumbuhkan konsekwensi adanya kewajiban yang sebelumnya tidak mengikatnya, karena telah menjadi bagian darinya.

Disinilah, sebagai anggota baru dalam suatu keluarga besar, kita memiliki keterikatan berinteraksi dan akan saling membutuhkan. Karena salah satu tujuan dari pernikahan ialah untuk menjalin kekerabatan dengan keluarga lain. Dari hubungan ini maka tak pelak, tuntutan untuk saling membantu mutlak diperlukan dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat, tak terkecuali dengan mertua.

5. Dalam konteks ini pula, bukankah Islam telah mengajarkan supaya yang muda menghormati orang yang lebih tua? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ليس منا من لم ير حم صغير نا ويو قر كبير نا

"Bukan termasuk kami orang yang tidak merahmati yang lebih kecil dan menghormati yang lebih besar."[HR at-Tirmidzi. Ash Shahihah : 2196]

Oleh karena itu, semestinya setiap muslim memahami anjuran Islam ini secara menyeluruh. Ada hak yang harus ditunaikan bagi sesama muslim. Termasuk kepada mertua, yang tentu menjadi kerabat kita. Dan kerabat memiliki hak yang semestinya lebih diutamakan. Sehingga jika seorang menantu merasa enggan membantu mertua, hendaklah ia menyadari ketimpangannya dalam memahami syari'at Islam yang mengajarkan kebaikan kepada sesama dan kaum kerabat. Bahkan jika menelusuri peran mertua, sebagai orang tua pasti memiliki jasa yang tidak sedikit. Kalaupun menantu seakan mendapat beban karena diminta untuk membantunya, maka pertolongan yang diberikan menantu tersebut masuk dalam perbuatan yang baik.

6. Walaupun bagaimana mertua adalah orang yang wajib dihormati, selain lebih tua, ia juga adalah orang tua istri yang tidak dapat dipungkiri adalah bagian yang tidak dapat lepas dari suami. Apalagi mereka itu orang yang memberikan amanah pemeliharaan dan pergaulan baik istri kepada seorang suami ketika akad pernikahan. Menghormati mertua lebih besar lagi dibanding orang lain selain orang tua sendiri dapat dilihat dari posisi pasangan suami istri yang seharusnya menyatu.

Kebahagiaan istri merupakan kebahagiaan suami juga. demikian juga sebaliknya sebab istri adalah pakaian suami, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya.

هن لبا س لكم وأنتم لبا س لهن

"Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka" [al Baqarah/2 : 187]

Semestinya sang suami menghormati mertuanya sebagaimana menghormati orang tuanya sendiri walaupun kedudukannya tentu dibawah orang tua sendiri. Namun, tidak boleh meremehkan dengan menyatakan tidak ada kewajiban taat kepada mertua. Ingatlah, istri dapat akan berbahagi bila orang tuanya dihormati dan dihargai serta ditempatkan pada posisinya yang benar.

Kebahagian istri akan memiliki dampak sangat positif dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat. Demikian juga hubungan kepada orang tua jangan sampai melalaikan tugas dan kewajiban terhadap keluarga.

Menghadapi sikap suami yang demikian, kewajiban Ukhti sebagai istri tetaplah bersabar. Berilah ia pengertian secara baik-baik dan jangan bosan untuk tetap memberi nasihat.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah, rahmat dan inayah-Nya kepada setiap rumah tangga kaum muslimin. Hingga tiap-tiap rumah sarat dengan cahaya hidayah, yang tidak hanya akan dirasakan oleh keluarga bersangkutan, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat sekitar.

Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

BERCERMIN KEPADA NABI IBRAHIM DALAM MENJAMU TAMU

Saling berkunjung sesama kerabat, teman maupun sejawat merupakan kebiasaan yang tak bisa dihindari. Keinginan berkunjung dan dikunjungi selalu ada harapan. Demikianlah, suatu saat kita akan kedatangan tamu, baik diundang maupun tidak. Bahkan pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangat gencar.

Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati tamu. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus untuk menyambutnya, akan tetapi, juga dengan perbuatan yang menyenangkan. Misalnya dengan memberikan jamuan, meski hanya sekedarnya.

Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu, juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala dan balasan dari Allah pada hari Kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya" [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti dikutip oleh Ibnu Katsîr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan dhiyaafah (jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Hal ini berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsîr, 7/420].

Saking besarnya hak tamu, ada tarhîb bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya. kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يُضِيْفُ

"Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu". [HR Ahmad. Lihat ash-Shahîhah, no. 2434].

MENJAMU TAMU, MERUPAKAN SUNNAH NABI IBRAHIM
Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad n diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrâhiim Khalîlur Rahmân Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

كان أول من ضيف الضيف ابراهيم

"Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrâhîm. [Lihat ash-Shahîhah, 725].

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, "Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrâhîm yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah ini (surat adz-Dzâriyât, Pen.) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau". [1]

Memang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya, dititahkan untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif," dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-Nahl/16:123].

BAGAIMANA NABI IBRAAHIIM ALAIHISSALAM MENJAMU TAMU?
Berikut ini, pemaparan singkat yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan: "Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu", dan mari kita perhatikan satu-persatu.

1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.

2. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: "Apakah kalian mau hidangan dari kami?"

3. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu.
Dikatakan oleh Syaikh as-Sa'di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrâhîm Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.

4. Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi Ibrâhîm q kepada tamu-tamunya.

5. Menyediakan stok bahan di dalam rumah, sehingga beliau tidak perlu membeli di pasar atau di tetangga.

6. Nabi Ibrâhîm alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan memanggil, -misalnya- "kemarilah, wahai para tamu". Cara ini untuk lebih meringankan para tamu.

7. Nabi Ibrâhîm melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk perbuatan yang tidak etis.

8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrâhîm menawarkannya dengan lembut: "Sudikah kalian menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?" Beliau Alaihissalam tidak menggunakan nada perintah, seperti: "Ayo, makan". Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.

Intinya, tuan rumah seharusnya memuliakan tamu, yaitu dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi Ibrâhîm Alaihissalam dengan sifat mukramûn (memperoleh kemuliaan).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrâhîm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman," Ibrâhîm menjawab: "Salamun" (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrâhîm berkata: "Silahkan kamu makan". [adz-Dzâriyât/51:24-27].

Demikianlah yang diajarkan oleh Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissalam kepada umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Alaihissalam pantas menjadi teladan bagi umat manusia. Allah memuji dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar ternasuk orang-orang yang shalih". [an-Nahl/16:120-122]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif," dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-Nahl/16:123].

TIDAK MEMAKSAKAN DIRI DALAM MEMBERI JAMUAN KEPADA TAMU
Menjadi tuan rumah, memang seharusnya memberikan istimewa pelayanan kepada tamunya. Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak sepantasnya dilakukan di luar batas kemampuannya. Sehingga sebagai tuan rumah tidak merasa berat atau memaksakan diri. Hingga mengusahakan ragam hidangan yang mungkin saja anggota keluarga belum pernah menikmatinya. Atau menikmatinya hanya saat momen-momen tertentu saja dan tidak sering.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang seseorang melakukan perbuatan yang dapat merepotkan diri sendiri. Melalui pemberitaan dari salah seorang sahabat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang takalluf dalam masalah ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَيَتَكّلَّفَنَّ أَحَدٌ لِضَيْفِهِ مَا لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ

"Janganlah seseorang memaksakan diri (untuk melayani) tamunya dengan sesuatu yang tidak ia sanggupi". [Riwayat Abu Nu'aim, al Khathiib dan ad-Dailami. Lihat juga ash-Shahîhah, no. 2440)]

Pengertian takalluf sederhananya mengandung unsur pemaksaan diri dan pengusahaan di luar batas kemampuan.

Imam al-Hâkim meriwayatkan dari A'masy dari Syaqîq, ia berkata: Saya dan temanku mendatangi Salmân Radhiyallahu 'anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada kami sembari berkata :

لَولاَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ التَّكَلُّفِ لََتَكّلْتُ لَكُمْ

"Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya".

Dikatakan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Kami pernah bersama 'Umar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: "Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri". [HR al-Bukhâri, no. 6749].[3]

AWAS KEDUSTAAN DALAM PENYAMBUTAN!
Dalam point ini, perlu kiranya disampaikan sebuah tanbîh (catatan) bagi para tuan rumah yang sedang menjamu tamu-tamunya. Terutama kaum ibu. Karena terkadang, muncul gejala kedustaan saat menjamu tamu.

Misalnya, manakala tamu menyaksikan berbagai menu dan makanan tersaji di meja, kemudian sang tamu berkomentar –misalnya- "wah repot amat nih," maka tuan rumah meresponnya dengan berkata: "wah tak repot," padahal, tuan rumah benar-benar mengalami kerepotan dalam mempersiapkan sajian tersebut, bahkan sampai harus pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan, kalang-kabut dalam mempersiapkannya, dan lain-lain.

Atau ketika menyaksikan tamu bergegas mohon pamit padahal belum lama duduk, tuan rumah (ada yang) berkata: "Wah, belum dibuatkan minuman, kok sudah mau pulang?" Perkataan atau ungkapan sejenis ini, jika hanya sebatas buah bibir saja, maka perkataan tersebut sudah termasuk dalam kategori berbuat dusta.

Memang betul, tidak semua tuan rumah melakukan sebagaimana perbuatan ini. Namun, lantaran berkembangnya gejala basa-basi di sebagian daerah, permasalahan ini perlu untuk diperhatikan. Wallahu a'lam. (Abu Minhal)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. At-Taisîr, 889.
[2]. Dinukil dari Tafsîr Ibnu Katsîr (7/421), dan lihat juga Tafsîr as-Sa'di, hlm. 889-890.
[3]. Ash Shahîhah 5/570 pada pembahasan an nahyu 'an at-takalluf lidh-dhaif (larangan berbuat memaksakan diri untuk tamu).

Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa

Penulis: Al-Ustadz 'Ashim bin Musthofa


ادعو ربكم تضرعا وخفيه انه لايحب المعتدين

"Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".[al-A'râf/7:55]

PENJELASAN AYAT [1]
Perintah Untuk Berdoa
Seorang muslim membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala setiap saat. Penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala mutlak harus dikerjakan. Berdoa merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh seorang hamba untuk membuktikan kebutuhannya kepada Allah, dan sebagai bukti ketundukan dirinya kepada Rabbul-'Alamiin (Dzat Yang Maha Menguasai alam semesta).

Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dan beribadah dengannya [2]. Karena doa termasuk ibadah, maka wajib disertai dengan keikhlasan.

Tentang ادعوا ربكم, Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah menjelaskan: "Wahai manusia, berdoalah kepada Allah saja. Murnikan doa kepada-Nya. Tidak menyeru kepada sesembahan-sesembahan selain-Nya dan berhala-berhala"[3]
.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dialah Yang hidup kekal, tiada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia; maka berdoalah kepada-Nya dengan memurnikan ibadah kepada-Nya". [Ghâfir/40:65].

Lebih jelas lagi larangan berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, ditunjukkan pula oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka …." [ar-Ra'd/13:14].

Adab Berdoa, Dengan Suara Lirih Dan Perlahan
Ayat di atas juga mengajarkan cara bagi seorang muslim saat berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga doa yang dilantunkannya dikabulkan [4]. Apakah dengan mengeraskan suara sebagimana kebiasaan di masyarakat yang kita lihat pada saat ini?

Ternyata tidak dengan suara keras. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala menunjukkan cara berdoa itu, ialah dengan menyertakan dua sifat yang mengiringi perintah untuk berdoa kepada-Nya. Dua sifat itu, ialah tadharru' dan khuf-yah.

Pengertian tadharru', yaitu mengandung unsur khusyu', tadzallul (kerendahan diri dan kehinaan diri) dan istikânah (ketundukan diri) [5]. Adapun pengertian khuf-yah, ialah mengeluarkan suara dalam berdoa secara perlahan dan lirih, tidak mengeraskan maupun meneriakkannya. Doa itu dilakukan dengan suara lembut dan hati ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tujuan berdoa secara perlahan dan lirih, supaya seorang yang berdoa terjauhkan dan selamat dari riya`, dan demikian ini dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah. Begitu pula Nabi Zakariyya, beliau dipuji lantaran dalam berdoa dengan cara demikian, perlahan, lirih dan lembut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Rabb kamu kepada hamba-Nya, Zakariyya. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut". [Maryam/19:2-3].[6]

Oleh karena itu, ketika ada seorang yang berdoa dengan suara keras, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur sahabat yang berbuat demikian. Disebutkan dalam Shahîhain, dari sahabat yang bernama Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Orang-orang mengangkat suara tatkala berdoa, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا

"Wahai manusia. Tenangkanlah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang bisu atau yang tidak ada. Sesungguhnya Dzat yang kalian seru Maha Mendengar lagi Maha Dekat".[7]

Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:

"Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" [al-A'râf/7:205]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah, seorang Tabi'i, ia berkata: "Dahulu, kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka". Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A'râf/7 ayat 55 dan pujian terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.

Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa. Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya: (1) Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang lirih, (2) Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah. (3) Sebagai pertanda sikap khusyu` dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa, (4) Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada suara-suara yang keras lagi riuh-rendah. (5) Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan. Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara keras, maka akan lebih cepat merasa penat. (6) Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.[8]

Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa

انه لايحب المعتدين

Di bagian akhir ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat i'tidâ`.

Al-i'tidâ`, berasal dari kata al-'udwân. Maknanya, melewati batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi. Atau menurut Imam al-Qurthubi rahimahullah, yaitu mujâwazatul-haddi (melampaui batas) wa murtakibul-hazhar (melakukan pelanggaran). [9] (7/202).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim".[al-Baqarah/2:229].

Larangan berbuat melampaui batas, sebenarnya berlaku umum, mencakup seluruh perbuatan dalam semua aspek, tidak khusus hanya dalam berdoa. Namun, karena larangan itu datang setelah perintah untuk berdoa, sehingga menunjukkan dengan jelas dan secara khusus berbicara tentang perbuatan melampaui batas dalam berdoa.

Penggalan ayat di atas mengandung pengertian, bahwa doa yang memuat unsur berlebihan dan melampaui batas tidak disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diridhai-Nya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan munculnya gejala melampaui batas dalam berdoa pada diri umat Islam. Pemberitaan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, juga merupakan peringatan berkaitan perbuatan tersebut. Kaum muslimin supaya berhati-hati dan waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang tersebut. Peringatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini termasuk bagian dari kesempurnaan dan kepedulian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, sekaligus sebagai salah satu tanda kenabian.

Dari 'Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

"Sungguh akan muncul kaum dari umat ini yang akan berbuat melampaui batas dalam berdoa dan bersuci". [10]

Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali komitmen dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kesimpulannya, ayat di atas memuat dua unsur penting. Pertama, unsur yang dicintai Allah, yaitu berdoa kepada-Nya dengan penuh tadharru' dan suara yang lembut. Kedua, unsur yang dibenci dan tidak disukai Allah, dan diperingatkan supaya tidak dilakukan, yakni berbuat i'tida` dalam berdoa, dan demikian pula dengan pelakunya.[11]

Contoh-Contoh I'tida` (Melampaui Batas Dalam Berdoa)
Sikap melampaui batas dalam berdoa tidak hanya satu macam saja, namun banyak dan bahayanya juga bertingkat-tingkat, tergantung jenis perbuatannya.

Syaikh 'Abdur-Razzâq mengingatkan bahaya melampaui batas dalam berdoa. Beliau berkata: "Bagaimana mungkin doa orang yang berbuat melampui pedoman-pedoman syariat dan tidak mengindahkan batasan yang sudah ditetapkan itu bisa diharapkan untuk dikabulkan. Doa yang mengandung perbuatan melampaui batas tidak disukai Allah dan tidak diridhai-Nya. (Maka) bagaimana seseorang bisa berharap doanya dikabulkan dan diterima Allah?"[12]

Berikut ini beberapa contoh i'tida' dalam doa.
1. Jenis yang paling parah, yaitu berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak ada i'tida' yang lebih besar dan paling parah daripada orang yang memperuntukkan doa kepada selain Allah atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya dalam berdoa. Fatalnya kekeliruan i'tida` ini disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru tuhan-tuhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka". [al Ahqâf/46:5].

2. Memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti memohon pertolongan untuk melakukan perbuatan haram dan mengerjakan kemaksiatan.

3. Memohon kepada Allah sesuatu yang tidak dikabulkan oleh Allah karena bertentangan dengan sifat hikmah-Nya. Atau meminta sesuatu yang mestinya ditempuh dengan sebab-sebab, namun ia enggan untuk melaksanakannya. Misal, permintaan agar dapat memperoleh anak tanpa menikah, menghilangkan sifat-sifat manusia, yang membutuhkan makanan dan minuman serta oksigen, ingin tahu ilmu gaib, dan sebagainya.

4. Memohon derajat dan martabat yang tidak layak, sementara sunnatullah tidak memungkinkannya dapat meraihnya. Seperti meminta menjadi malaikat, menjadi nabi dan rasul. Atau memohon supaya menjadi muda kembali setelah memasuki usia tua.

5. Berdoa kepada Allah tidak dengan tadharru'.

6. Berdoa yang mengandung laknat bagi kaum mukminin.
Sebagian ulama Salaf menjelaskan makna orang-orang yang melampaui batas pada ayat di atas, bahwasanya mereka ialah orang-orang yang melaknat kaum mukminin pada kondisi yang tidak diperbolehkan, seraya berseru: "Ya Allah, hinakan mereka. Ya Allah, laknatlah mereka"[13]

7. Berdoa dengan meninggikan danmengeraskan suara sehingga bertentangan dengan etika, adab dan sopan santun.

PELAJARAN DARI AYAT
- Kewajiban berdoa hanya kepada Allah, karena berdoa termasuk ibadah.
- Penjelasan mengenai adab berdoa, yaitu dengan bertadharru'.
- Adab dalam berdoa, yaitu melantunkannya dengan suara lirih.
- Larangan berbuat i'tida` (melampui batas) dalam berdoa.
- I'tida` dapat mempengaruhi doa seseorang tidak dikabulkan.
- Penetapan sifat mahabbah Allah.

Wallahu a'lam

Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma' Mâlik Fahd Madinah.
2. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001M.
4. Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdil-Muhsin al-'Abbâd, Dar Ibni 'Affân, Cetakan I, Tahun 1422-2001.
5. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
6. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Pembahasan ayat ini banyak mengutip keterangan dari kitab Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, karya Syaikh Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdul-Muhsin al 'Abbâd, Volume I dan IV, disertai beberapa tambahan dari sejumlah kitab tafsir.
[2]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199.
[3]. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, 8/261.
[4]. Al-Aisâr, 1/388.
[5]. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (3/428), al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân (7/199), al-Aisâr (1/388).
[6]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199. Lihat pula at-Taisîr, hlm. 296.
[7]. HR al-Bukhâri, no. 4205 dan Muslim, no. 2704.
[8]. Fiqhu-Ad'iyah, 1/80-81.
[9]. Al-Jâmi'u li Ahkâmil-Qur`ân, 7/202.
[10]. HR Ahmad, Abu Dâwud dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh al Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 87.
[11]. Lihat al-Fatâwâ, 15/23-24.
[12]. Fiqhul-Ad'iyah, 2/75.
[13]. Ma'âlimut-Tanzîl, 2/166.