Siwak

on Kamis, 22 Juli 2010

Penulis: Ibnu ‘Abidin As-Soronji


KEUTAMAAN SIWAK
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah n adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)

"Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob". [Hadits shohih riwayat Ahmad, irwaul golil no 66). [Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62]

Oleh karena itu Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda.

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

"Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu". [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70]

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ

"Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat". [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70]

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu.
:
مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لأَنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ

"Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam terganggu dengannya" [Taisir ‘alam 1/63]

Dan ternyata Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah…

رَوَى شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بِأَيِّ شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ (رواه مسلم)

Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata : "Aku bertanya kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Nabi n jika dia memasuki rumahnya ?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. [Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 72]

Atau ketika bangun malam…

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْسُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

"Dari Hudzaifah ibnul Yaman z , dia berkata : “Adalah Rosulullah jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak". [Hadits riwayat Bukhori]

Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas (السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ). Dalam hadits ini Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, fiqhul islami wa adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor (Syarhul mumti’ 1/125).

Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah.

عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قَالَ وَطَرْفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ بَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِيْ فِيْهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ

"Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah". [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim]

Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِيْقِ عَنْهُ عَلَى النَّبِيِّ وَ أَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي - وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ – فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضِمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ. فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ : (فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى) ثَلاَتًا، ثُمَّ قُضِيَ عَلَيْهِ
وَ فِي لَفْظٍ: فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَ عَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ فَقُلْتُ آخُذُهُ لَكَ ؟ فَأَشَرَ بِرَأْسِهِ : أنْ نَعَمْ

"Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik z menemui Nabi dan Nabi bersandar di dadaku. Abdurrohman z membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosulullah memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosulullah, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosulullah bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosulullah selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :

فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata :”Aku melihat Rosulullah memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata : ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosulullah mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju". [Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim]

Oleh karena itu berkata sebagian ulama : “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut." [Fiqhul islami wa adillatuhu 1/300]

DEFINISI SIWAK
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :

1. Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi.
2. Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak
3. Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. [Syarhul Mumti’ 1/118]

BOLEHKAH BERSIWAK MENGGUNAKAN SIKAT GIGI MODERN DAN PASTA GIGI?
Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam/

أدْخَلَ أضصْبِعَهُ عِنْدَ الْوُضُوْءِ وَ حَرَّكَهَا

"Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya-pent) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya". [Hadits riwayat Ahmad dalam musnadnya 1/158. Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas Radhiyallahu 'anhu dan Aisyah dan selain keduanya :”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Tolib Radhiyallahu 'anhui"] [Syarhul mumti’ 1/118-119]

Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandngan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallawau alaihi wa salam bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.

CARA BRSIWAK
Hendaklah bersiwak dengan menggosok bagian kanan gigi, setelah itu bagian yang kiri. Hal ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ

"Adalah menyenangkan Rosulullah untuk memulai dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan dalam semua keadaan" [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim]

Dan siwak termasuk dari bersuci. Namun para ulama berselisih tentang mana yang lebih afdhol, apakah memegang siwak dengan menggunakan tangan kanan atau dengan tangan kiri?.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih afdol adalah dengan tangan kanan. Karena bersiwak adalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak layak dilaksanakan dengan yang kiri.

Sebagian ulama yang lain (diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menganggap yang lebih afdol adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu lebih baik menggunakan tangan kiri.

Sebagian ulama yang lainnya (yaitu sebagian para ulama dari madzhab Maliki) memerinci. Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdol menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih-pent) seperti bersiwak ketika wudlu atau ketika akan sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.

Namun tentang masalah ini perkaranya luas (bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini. [Syarhul mumti’ 1/126-12]

BOLEHKAH SESEORANG YANG BERPUASA BERSIWAK?
Tentang masalah ini juga terjadi khilaf diantara para ulama’.
Makruh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah seseorang yang berpuasa bersiwak setelah waktu zawal (condongnya matahari) atau sejak masuk waktu sholat dhuhur hingga terbenam matahari. Dalil mereka.

1. Hadits Rosulullah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتِكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلاَ تَسْتَكُوْا بِالْعَشِيِّ

"Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah ketika pagi hari dan janganlah kalian bersiwak ketika sore hari"(setelah zawal-pent)". [Hadits riwayat Daruqutni dari hadits Ali bin Abi Tolib, namun sanadnya dho’if lihat irwaul golil no 67]

2. Hadits Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ

"Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik". [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim]

Dan bau mulut tersebut biasanya tidaklah muncul kecuali pada sore hari. Dan bau tersebut muncul dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak selayaknya untuk dihilangkan sebagaimana darahnya para syuhada’ tidak boleh dihilangkan sehingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa dimandikan.

Dan tidak dimakruhkan sama sekali secara mutlak menurut Malikiah dan Hanafiah seseorang yang berpuasa untuk bersiwak kapan saja. Dan ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berkata Imam Syaukani :"Yang benar disunnahkan orang yang berpuasa untuk bersiwak sejak awal siang hingga akhirnya (dari semenjak pagi sampai terbenam matahari –pent), dan inilah pendapat jumhur para imam". [Fiqhul Islami 1/302]

Dalilnya yaitu :
1. Hadits-hadits yang menganjurkan untuk bersiwak itu bersifat umum baik bagi orang yang tidak berpuasa maupun yang berpuasa. Dan tidak ada satu dalilpun yang shohih yang mengkhususkan bahwa tidak dianjurkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah dhuhur. Sedangkan hadits Ali Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, hadits tersebut dhoi’f maka tidak bisa dijadikan hujjah.

Syaikh Al-Albani berkata mengomentari hadits Ali yang dho’if ini :”…Dan jika engkau telah mengetahui lemahnya hadits ini maka tidak ada hujjah padanya (hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah akan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal-pent). Lagi pula hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang umum tentang disyari’atkannya siwak yang berlaku bagi orang yang berpuasa pada setiap waktu. Dan betapa baik apa yang telah diriwayatkan oleh At-Thobroni :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ غَنِمٍ قَالَ : سَأَلْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ : آتَسَوَّكُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قُلْتُ : أَيُّ النَّهَارِ ؟ قَالَ : غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً. قُلْتُ : إِنَّ النَّاسَ يَكْرَهُوْنَ عَشِيَّةً وَ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ رَسُلَ اللهِ قَالَ : لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ أَمَرَهُمْ بِالسِّوَاكِ, وَ مَا كَانَ بِالَّذِيْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يُنَتِّنُوْا أَفْوَاهَهُمْ عَمْدًا, مَا فِيْ ذَالِكَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْءٌ بَلْ فِيْهِ شَرٌّ. قَالَ الحَافِظُ فِيْ التَّلْخِيْصِ (ص 113) : إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ

"Dari Abdurrahman bin gonim berkata : “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal z : Apakah aku bersiwak padahal aku berpuasa?” Beliau menjawab :”Ya”, Aku berkata : “Di siang hari kapan?”, Beliau berkata :”Di waktu pagi dan sore”. Aku berkata :”Orang-orang membenci (bersiwak) pada sore hari. Dan mereka berkata bahwa Rosulullah n bersabda : “Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. Beliau berkata سُبْحَانَ اللهِ Rosulullah sungguh telah memerintahkan mereka untuk bersiwak dan tidaklah layak (bagi mereka) atas apa yang telah mereka telah diperintahkan oleh Rosulullah, mereka sengaja membuat mulut mereka menjadi berbau busuk. Tidak ada pada perbuatan mereka itu kebaikan sedikitpun, bahkan kejelekan yang ada pada perbuatan mereka itu.” Berkata Al-Hafiz dalam “Talkhis” hal 113 : “Sanadnya baik" [Lihat iIwaul Golil hal 1/106)]

2. Hadits

قَالَ عَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

"Berkata Amir bin Robi’ah Radhiyallahu 'anhu : Aku telah melihat Rosulullah apa yang tidak bisa aku menghitungnya yaitu beliau bersiwak dan beliau dalam keadaan berpuasa". [Hadits riwayat Abu Dawud].

Namun hadits ini dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. [Lihat Irwaul Golil no 68].

3. Sedangkan diqiaskannya bau mulut orang yang berpuasa dengan darah para syuhada’ adalah qias yang salah. Karena ‘illah dari tidak dimandikannya para syuhada’ adalah pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan luka-luka mereka berdarah dengan warna darah namun mengeluarkan bau misik. Hal ini berbeda dengan puasa, tidak ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengeluarkan bau mulut yang tidak dibersihkan dengan bau yang harum.

4. Adapun mengatakan bahwa bau mulut itu biasanya muncul pada waktu sore hari, ini tidaklah mutlaq. Bukankah terkadang bau itu muncul sebelum dhuhur, karena sebab munculnya bau ini adalah kosongnya lambung. Jika seseorang sahurnya terlalu cepat maka lambungnya akan kosong pada waktu pagi, sehingga di pagi hari mulutnya sudah bau. Seharusnya kalau ‘illah dari larangan bersiwak adalah bau mulut, maka kapan saja mulut itu bau maka tidak boleh bersiwak baik di siang hari maupun di pagi hari. Apalagi ada orang yang tidak memiliki bau mulut ketika berpuasa karena pencernaannya lambat atau karena yang lainnya (maka tentunya tidak mengapa baginya untuk bersiwak -pent). [Lihat Syarhul Mumti’ 1/121-124]

Berkata Syaikh Ali Bassam : “Tidak ada dalil pada hadits ini (yaitu hadits لَخُلُوْفُ فَمِ .... ). Sebab siwak tidaklah bisa menghilangkan bau yang timbul dari sumbernya yaitu dari lambung, berbeda dengan mulut yang bisa dibersihkan dengan siwak" [Taudihul Ahkam 1/106]

Demikianlah sekilas mengenai siwak semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Maroji’
1. Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin
2. Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani
3. Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam
4. Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili
5. Taudihul Ahkam jilid 1, karya Syaikh Ali Bassam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

TURUN SUJUD, TANGAN ATAU LUTUT DAHULU?

Pertanyaan.
Surat Pertama:
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, para shahabatnya dan semua pengikut beliau sampai akhir zaman.
Melalui surat ini saya ingin menanyakan beberapa masalah:
1. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus)?
2. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam di waktu akan sujud, tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu?
Hal tersebut kami tanyakan berkenaan saya mendapat teguran/nasehat dari salah seorang ikhwan dari salah satu organisasi yang berpusat di Bandung yang singkat kata ia berkata: “Yang perintah Rasul tidak dilaksanakan, yang dilarang Rasul dilaksanakan”. (kami I’tidal bersedekap, kami sujud tangan lebih dulu). Dan perlu diketahui, bahwa kami bukan anggota organisasi tersebut, tetapi saya ingin beragama berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah/Salafush Shalih, tidak taklid/jumud kepada salah satu organisasi/partai.
Demikian pertanyaan kami, dan kami mohon secepatnya dijawab dengan tegas, jelas dan terperinci, serta dimuat di Majalah As-Sunnah agar kami bisa mengetahuinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Shabirin, Citeureup, Bogor 16810
Kami dapatkan juga surat senada, yaitu:

Surat Kedua:
“Ada hadits: Dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila seorang dari kamu sujud, maka janganlah ia duduk seperti duduknya (berlututnya) onta, tetapi hendaklah ia meletakkan dua tangannya itu lebih dulu daripada dua lututnya”.
- Dalam Sifat Shalat Nabi karangan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau menjelaskan bahwa sujud itu dengan mendahulukan tangan (mendahulukan)kepada kedua tangan berdasarkan hadits di atas.
- Sedang dalam kitab (Tarjamah-Red) Bulughul Maram karya A. Hasan dalam keterangannya menjelaskan bahwa hadits di atas terbalik. Yang sebenarnya “hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”.
Menurut As-Sunnah yang shahih keterangan yang mana?
Ihwan H, Kampung Buaran,
Harapan Mulya, Bekasi, Jabar.

Surat Ketiga:
“Dalam Shifatu Shalatin Nabiyyi SAW, Al-Albani berpendapat bahwasanya kedua tangan diletakkan terlebih dahulu daripada kedua lutut, ketika turun untuk sujud.(HR. Ibnu Khuzaimah I/76/1, Ad-Daruquthny dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Adz-Dzhabi) dan Al-Marwazi (dalam Al-Masa-il telah meriwayatkan pula hal demikian dengan sanad yang shahih. Demikian pula pendapat Al-Auza’i, Malik, Ibnu Hazm serta Hasan Al-Bashri. Kata Abu Daud: “Itulah pendapat Ash-habul Hadits”.
Sedangkan menurut Prof. Hasby Ash Shiddiqy (Pedoman Shalat), Jumhur Ulama menyukai supaya kita meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian pula pendapat imam Syafi’i (Al-Umm I/98), Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad), Syeikh Abdurrahman Al-Jibrin (Shifatus Shalah) dan Syeikh Bin Baz (Fatawa Muhimmat Tata’alaq fi As-Shalati) dan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf (Shahih Shifah Shalah an-Nabi). Kata Ibnu Mundzir: “Demikian fatwaku”.
Akan tetapi Syeikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il As-Sulaimani Al-Ma’ribi menyatakan: “Mengingat tidak adanya riwayat yang shahih dalam masalah ini, maka ada kelapangan dalam permasalahan ini, yaitu bisa turun dengan tangan terlebih dahulu atau lutut dahulu”. (Al Fatawa Asy-Syar’iyyah). Wallahu A’lam.
Dari berbagai pendapat yang berbeda ini, manakah pendapat yang bisa kita pakai dan sesuai dengan syari’at yang shahih, mengingat beliau-beliau itu adalah para ahli hadits dan fiqh yang tidak diragukan lagi keilmuannya? Benarkah HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah (...hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya) matannya. Bahkan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf menyatakan bahwa tambahan pada riwayat Abu Hurairah tersebut sanadnya dha’if bahkan batilah, karena tambahan tersebut hanya diriwayatkan oleh Abd Al-Aziz bin Muhammad Al-Darawardy yang dianggap lemah oleh Imam Ahmad, An-Nasa’y dan Abu Hatim. Mohon dijelaskan!
Herwin Kistiandoko
JL. Asrama Ampel V/08 Ujung
SURABAYA- 60155

Jawab.
1. Tentang posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus), kami telah menjawab pertanyaan ini dan memuat masalah ini di dalam Majalah As-Sunnah pada nomor-nomor terdahulu. Silahkan lihat: Edisi 03/Tahun IV/Rubrik: Soal-Jawab/hal:4-5. Edisi 11/Tahun IV/Rubrik: Fiqih/hal:32-36.
Di dalam edisi 03 tersebut juga kami telah menukilkan perkataan para ulama bahwa perselisihan masalah posisi tangan sewaktu I’tidal adalah ijtihadi, yakni tidak nash yang tegas dalam masalah ini. Kami juga telah menukilkan sikap di dalam menghadapi perselisihan ijtihadi ini, yaitu: harus berlapang dada; tidak ada pengingkaran padanya, tetapi hendaklah ditunjukkan dalilnya, dan dipilih -dengan ikhlas- pendapat yang rajih (lebih kuat); tidak boleh dijadikan sebab permusuhan atau celaan kepada orang yang tidak sependapat.

2. Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud.
Para ulama telah berselisih tentang masalah ini, tetapi yang rajih lagi shahih adalah meletakkan kedua tangan lebih dahulu, karena dalilnya shahih, dan maknanya jelas!

DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD[1]

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

"Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian" [2]

2 .Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:

قَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ n يَفْعَلُ ذَلِكَ

"Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah I/318-319, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254, Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-Baihaqi II/100, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.

Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya".[3]

3. Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’I, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.

Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.

Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla IV/129)

DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.

1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.

• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
• Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika dia meriwayatkan sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
• Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya. [4]
Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim hanyalah menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa darinya, maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”[5].

2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.

3.Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beilau bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ كَبُرُوْكِ الْفَحْلِ

“Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan kedua lututnya, dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”.

Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

"Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya". [Hadits Dha'if]

Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100; dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh Yahya Al-Qaththan.

Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if. [6]

4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهَ n انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ

"Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya".

Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/; Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas.

• Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi, berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan) dari Hafsh di dalam isnad ini “.
• Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish I/254: “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’ bin (meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Setelah diketahui cacat hadits ini, maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi!
• Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari bapaknya di dalam Al-‘ilal I/188: “Hadits Munkar”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya (Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah yang meletakkan dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.

Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapak-ku telah bercerita kepada kami, dia berkata: A’masy telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim telah bercerita kepada kami, dari para sahabat Abdullah, yaitu: ‘Alqamah dan Al-Aswad, keduanya berkata:

حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِيْ صَلاَتِهِ أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوْعِهِ عَلَي يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

"Kami menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia turun setelah ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Dan cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Al-Lisan, dia berkata: “Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari bapaknya, dari A’masy, dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari Umar (bin Al-Khathtahb) secara mauquf (hanya sampai sahabat Umar), inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.

Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah, karena dua perkara:
a. Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah n meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, karena yang disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja. Bisa jadi yang mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya. Dengan demikian kedua riwayat itu sesuai.
b. Jika di dalam hadits itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah menambah syari’at baru –tanpa keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan tersebut, melarangnya –dengan yakin- , maka tidak boleh meninggalkan yang yakin karena persangkaan yang dusta!”

4. Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:

كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الْرُكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِوَضْعِ الْرُكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ

"Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan".

Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.

Sebagian ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim) menyatakan bahwa hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Tetapi pendapat mereka tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh (dihapuskan) adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if menasakh (menghapuskan) hadits shahih?

Hadits ini memiliki dua cacat: [7]
a. Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata: “Di dalam riwayatnya dari bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim tidaklah menegakkan hadits itu”.
b. Bapaknya, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang ditinggalkan), sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam Fathul Bari: “Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan perselisihan. Tetapi hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail dari bapaknya, sedangkan keduanya lemah”.

Syeikh Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) tersebut, menyatakan: “ Hafizh Al-Hazimi berkata: “Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) ini jauh dari kebenaran, karena dua sisi:
a. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.
b. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan, sedangkan hadits Wail perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari pada perbuatan pada saat adanya pertentangan. Ada lagi sisi ketiga, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang sesuai dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan beliau yang menyelisihi perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik, dan Ahmad, sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”. (Al-Misykah I/282)

5. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:

صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَي اْلأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

"Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya".

Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:
a. Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.
b. Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.[8]

6. "Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya".
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.

Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.[9]


SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut: [10]
1. "Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)".

Bantahan : Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.

2. Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain.

Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.

3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).

Bantahan : Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.

4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.

Bantahan : Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin dari satu perawi, yaitu seorang perawi meriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap perawi meriwayatkan teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib (kegoncangan) ini menunjukkan lemahnya hadits.

Tetapi jika salah satu dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat daripada yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih (penguatan), maka yang dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita tentang hadits yang diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.

Jika hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk hadits mudh-tharib, karena telah diketahui mana yang lebih kuat di antara riwayat yang diperselisihkan.

5. Bahwa perawi hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak..."

Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf, sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat perawi dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya dan aman dari tadlis (penyamaran).

Ibnu Turkumani berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata, sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan terpercaya oleh Nasa-i (terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.

Al-Mubarakfuri berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi II/135: “Sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah mengapa, karena Muhammad bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari hadits Ibnu Umar”.

Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar II/284.
Syeikh muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam komentarnya terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits Abu Hurairah: “Isnad hadits ini shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan, adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa yang suci-Red), dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits itu bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang (merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf tidak diikuti oleh seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan Muhammad adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H, dengan umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.

6. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan dari Muhammad bin Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.

Bantahan:
a. Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.
b. Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841), Nasa-I II/208, Tirmidz II/57-58 (Syakir). Perkataan Ad-Daruquthni itu telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu. Dan Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi, karena imam Muslim telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya di dalam Shahih Muslim, demikian juga imam Bukhari mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.

Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.

7. Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) memiliki riwayat-rawayat lain yang menguatkan, sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) tidak.

Bantahan : Sesungguhnya hadits Abu Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat shahih lain yang menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh riwayat-rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah dipaparkan di atas. [11]

8. Syeikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara umum! Dan bahwa pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal oleh ahli bahasa”.

Bantahan : “Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta adalah pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun diingkari oleh Syeikhul Islam (Ibnul Qayyim).

Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab XIV/236: “Dan lutut onta pada tangannya”.

Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah X/216: “Dan lutut onta pada tangannya”.

Ibnul Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith VII/16: “Dan setiap yang memiliki empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.

Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla IV/129: “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan (tangan)nya”.

Mengomentari perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah seorang dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”, As-Saraqasbithi berkata di dalam Gharibul Hadits II/70: "Ini adalah di dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya sama sekali sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi hendaklah dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua lututnya". [Sifat Shalat Nabi, Al-Albani]

Demikian juga hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari VII/239 dan Ahmad IV/176 : "...Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam tanah sampai mencapai lututnya". Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada tangannya. Sehingga Syeikhul Islam Ibnul Qayyim tidak memiliki pegangang dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah. Dan tempat bergantung pembahasan ini adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika telah pasti onta mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang yang shalat untuk tidak bersujud dengan meletakkan lututnya (dahulu sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan kemusykilan menjadi hilang, al-hamdulillah Yang Maha Tingi".[12]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kami ringkaskan dari kitab Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini yang berjudul “Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[2]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:28. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[3]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:41. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[4]. Yakni Hammam meriwayatkan secara mursal (dari sahabat), sedangkan Syarik secara marfu’ (dari Nabi)-Red
[5]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:31-32. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[6]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah, hal:34-35
[7]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:35-37
[8]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44
[9]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44-45
[10]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[11]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah” hal:40)
[12]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, 46-47

http://www.almanhaj.or.id/content/2755/slash/0

PERHATIAN AL-IMAM AL-ALBANI TERHADAP MASALAH REMAJA

Generasi muda memang tiang penyangga suatu bangsa. Ketika para remaja terbina dengan tekun, berjiwa sholeh, dan berkepribadian baik, maka suatu bangsa akan merasakan betapa besar kekuatan dan ketahanannya. Dan sebaliknya, bila pembinaan generasi muda terbengkalai, mereka terlupakan, maka setidaknya, masyarakat tidak dapat mengambil manfaat dari keberadaan mereka ini. Bahkan bisa menjadi sampah masyarakat yang sangat mengganggu ketentraman dan keamanaan.

Berdasarkan riwayat-riwayat dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat memperhatikan keberadaan para pemuda Islam zaman itu. Di antaranya yang sangat relevan dengan kekinian, pesan beliau agar para pemuda yang sudah mampu untuk menikah. Dan bila belum sanggup melakukannya, puasa menjadi pengganti.

Beliau juga telah mewanti-wanti agar masa remaja tidak disia-siakan. Beliau memerintahkan supaya masa keemasan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اغْتَنِمْ خَمْساً قَبْلَ خَمْسٍ ......وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ

"Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara (lainnya). (Salah satunya)… (Manfaatkan) masa remajamu sebelum dating masa tua…" [1]


Pendek kata, masa remaja adalah masa paling besar produktifitasnya. Melalui masa ini, seorang Muslim akan membangun kepribadian guna mengarungi kehidupan nyata.

Dari sinilah, para ulama ditunggu peran mereka untuk menggodok pemuda Muslim. Sehingga terbentuk generasi Islam yang berilmu, shaleh dan berkemampuan kuat untuk mengambil peran positif di tengah masyarakat.

PERHATIAN SYAIKH AL-ALBANI RAHIMAHULLAH TERHADAP MASALAH REMAJA
Syaikh al-Albâni rahimahullah (wafat tahun 1420 H), pemuka ulama hadits abad ini, juga memberikan perhatian besar terhadap para pemuda. Dikatakan oleh Syaikh DR. ‘Abdul ‘Aziz as-Sadhan bahwa banyak momen penting yang beliau lalui bersama para remaja. Di sini, akan ditampilkan bagaimana kesabaran beliau dalam meladeni kaum muda yang telah terkena virus takfir (mudah mengkafirkan orang), mematahkan syubhat-syubhat (kerancuan landasan pemikiran) mereka. Berikut ini kisahnya:

Syaikh Dr. Basim Faishal al-Jawabirah hafizhahullah mulai berkisah:
“…Saat itu aku masih belajar di jenjang SMA. Bersama beberapa pemuda, kami mengkafirkan kaum muslimin dan enggan mendirikan sholat di masjid-masjid umum. Alasan kami, karena mereka adalah masyakarat jahiliyah. Orang-orang yang menentang kami, selalu saja menyebut-nyebut nama Syaikh al-Albâni rahimahullah, satu-satunya orang yang mereka anggap sanggup berdialog dengan kami dan mampu melegakan kami dengan argumen-argumen tajamnya serta mengembalikan kami ke jalan yang lurus.

Ketika Syaikh datang ke Yordania dari Damaskus, beliau diberitahu adanya sekelompok pemuda yang seringkali mengkafirkan kaum muslimin. Lantas mengutus saudara iparnya, Nizhâm Sakkajha – kepada kami untuk menyampaikan keinginan beliau untuk berjumpa dengan kami.

Dengan tegas kami jawab: “Siapa yang ingin berjumpa dengan kami, ya harus datang, bukan kami yang datang kepadanya”.

Akan tetapi, Syaikh panutan kami dalam takfir memberitahukan bahwa al-Albâni rahimahullah termasuk ulama besar Islam, ilmunya dalam dan sudah berusia tua. Ia pun mengarahkan supaya kami lah yang mendatangi beliau.

Lantas kami pun mendatangi beliau di rumah iparnya, Nizhâm , menjelang sholat Isya. Tak berapa lama, salah seorang dari kami mengumandangkan adzan. Setelah iqamah, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata:

“Kami yang menjadi imam atau imam sholat dari kalian?”.

Syaikh kami dalam takfir berujar:

“Kami meyakini Anda seorang kafir”

Syaih al-Albâni rahimahullah menjawab: “Kami masih yakin kalian orang-orang beriman (kaum Muslimin)”.

Syaikh kami akhirnya memimpin sholat. Usai sholat, Syaikh al-Albâni rahimahullah duduk bersila melayani diskusi dengan kami sampai larut malam. Syaikh kami lah yang berdialog dengan Syaikh al-Albâni rahimahullah. Sedangkan kami dalam rentang waktu yang lama itu, sesekali berdiri, duduk lagi, merentangkan kaki dan berbaring. Anehnya, kami lihat Syaikh al-Albâni rahimahullah tetap dalam posisi awalnya, tidak berubah sedikit pun, meladeni argumen beberapa orang. Saat itu, aku benar-benar takjub dengan kesabaran dan ketahanan beliau!!

Kemudian, kami masih mengikat janji untuk berjumpa lagi dengan beliau keesokan hari. Sepulangnya kami ke rumah, kami mengumpulkan dalil-dalil yang menurut kami mendukung takfir yang selama ini kami lakukan. Syaikh al-Albâni rahimahullah hadir di salah satu rumah teman kami. Persiapan buku dan bantahan terhadap Syaikh al-Albâni rahimahullah telah kami sediakan. Pada kesempatan kedua ini, dialog berlangsung setelah sholat Isya` sampai menjelang fajar menyingsing.

Perjumpaan ketiga berlangsung di rumah Syaikh al-Albâni rahimahullah. Kami berangkat ke rumah beliau setelah Isya. Dialog pada hari ketiga ini berlangsung sampai adzan Subuh berkumandang. Kami mengemukakan banyak ayat yang memuat penetapan takfir secara eksplisit. Begitu pula, hadits-hadits yang mengandung muatan sama yang menetapkan kekufuran orang yang berbuat dosa besar. Setiap kali menghadapi argumen-argumen itu, Syaikh al-Albâni rahimahullah dapat mematahkannya dan justru ‘menyerang’ balik dengan membawakan dalil yang lain. Setelah itu, beliau mengakomodasikan dalil-dalil yang tampaknya saling bertolak belakang itu, menguatkannya dengan keterangan para ulama Salaf dan tokoh-tokoh umat Islam terkemuka di kalangan Ahlus Sunnah wal jawamah.

Begitu adzan Subuh terdengar, sebagian besar dari kami bergegas bersama Syaikh al-Albâni rahimahullah menuju masjid untuk menunaikan sholat Subuh. Kami telah merasa puas dengan jawaban Syaikh al-Albâni rahimahullah tentang kesalahan dan kepincangan pemikiran yang sebelumnya kami pegangi. Dan saat itu juga kami melepaskan pemikiran-pemikiran takfir tersebut, alhamdulillah. Hanya saja, ada beberapa gelintir dari kawan kami yang tetap menolaknya. Beberapa tahun kemudian, kami mendapati mereka murtad dari Islam. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kepada keselamatan”

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan bagi kita sekalian untuk mengambil pelajaran dari sejarah ulama Islam.

Diadaptasi dari al-Imâm al-Albâni, Durûs Wa Mawâqif Wa ‘Ibar hal
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadhân Dârut Tauhîd Riyadh Cet I, Th 1429H-2008M, hal155-158

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Hâkim dan al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albâni. Shahîhul Jâmi’ no. 1077

Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahan

SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Adapun dalil-dalil yang dijadikan alasan bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati, sebagaimana yang antum nukilkan di atas, inilah jawaban kami:

1. Dalil Pertama.

إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص

Hadits pertama itu artinya:
“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.

Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]

Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul Islam di atas: "Ini adalah hadits palsu, disebutkan oleh Al-‘Ajluni di dalam Kasyful Khafa’ I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan I/333, demikian pula Muhammad Nashib Ar-Rifa’I di dalam At-Tawashul Ila Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru’ wal Mamnu’ , hal:252, Cet:III, 1399 H, dan lainnya."

Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang bahaya menyampaikan hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:

وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". [Hadits Mutawatir].

2. Adapun hadits kedua

مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر

"Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" [HR. Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu])

Bantahan:
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya sebagai berikut: "Hadits ini tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Para imam hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah berpegang dengan hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah dalam bidang hadits.

Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang masalah tawassul), apalagi hadits ini mungkar, dha’if sanadnya, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para hafizh termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara para imam peneliti yang berpegang dengannya. Tetapi yang meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang mengumpulkan di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak riwayat hadits-hadits dha’if, munkar, bahkan maudhu’ (palsu), dan dia menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya, dan sebab pengingkarannya pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Ja’far Al-‘Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu ‘Adi di dalam kitab keduanya tentang para perawi yang dha’if (lemah), dan keduanya juga menjelaskan kelemahan hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga menjelaskan kemungkarannya." [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22]

Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul Burhani, hal:17, penerbit: Toha Putra, Semarang) disebutkan hadits itu riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar z . Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu disebutkan bahwa bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh:

a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syu’abul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits munkar.
b). Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili dari Ibnu Umar, di dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (kitab tentang para perawi dha’if), dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih.
c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi di dalam kitab Al-Kamil fii Ma’rifati Dhu’afa’il Muhadits-tsin wa ‘Ilalil Ahadits (kitab tentang para perawi dha’if dan cacat-cacat hadits)
d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib.
e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar.

Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: “Adapun hadits Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang sangat dha’if".

Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. Demikian juga Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwa’ul Ghalil no: 1128]

Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah meriwayatkan hadits "Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" : Al-Baihaqi menyatakan: "Hadits mungkar".

Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat dalam masalah ini ada kelemahan”.

Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: "Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits yang tidak shahih."

Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama: Musa bin Hilal Al-‘Abdi, seorang perawi majhul (tidak dikenal), lalu dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin Umar Al-‘Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. [Lihat Ash-Sharimul Munki; Dha’if Al-Jami’ush Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/64; dan Irwa’ul Ghalil no:1127, 1128].

Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits- hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata: “Dan hadits- hadits tentang ziarah ke qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dha’if, sedikitpun darinya tidak dijadikan sandaran di dalam agama. Oleh karena inilah hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama’ yang meriwayatkan hadits- hadits dha’if, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, dan lainnya”. [Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/123, penjelasan dari hadits no:47]

3. Adapun hadits ketiga.

مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم q لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ

"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan kecuali menziarahi-ku, maka wajib atasku menjadi syafi’ (orang yang memintakan syafa’at/kebaikan untuk orang lain) pada hari kiamat."

Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu berkata: "Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: "Seandainya engkau minta syafa’at kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima syafa’atnya untukmu".

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”.

Bantahan:
a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya dengan tawassul!
b). Demikian juga hadits ini “sanadnya lemah, matannya mungkar”. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar dan palsu, dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki, hal:49-50) Dengan demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita bahwa beliau menshahihkan hadits ini.
c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: “Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga...”, maka perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan tawasulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 25.

Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka kami akan menyebutkan artinya dan penjelasan para ulama tentang hadits ini. Hadits itu berbunyi: “Ketika Adam berbuat kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu –dengan hak Muhammad- agar Engkau mengampuniku”. Allah berfirman: “Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya.” Adam menjawab: “Wahai Rabbi! ketika Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau telah meniupkan ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di kaki-kaki ‘Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak merangkaikan kepada namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman: “Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad niscaya Aku tidak menciptakanmu. ' [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak II/615; Ibnu ‘Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, dari Isma’il Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam]

Al-Hakim berkata: “Isnadnya shahih...”, tetapi perkataannya dibantah oleh Adz-Dzahabi: “Tidak shahih, bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah dia sesungguhnya.”
Tetapi di dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini yang terdapat Abdullah bin Muslim Al-Fihri : “Khabar (hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah”.
Al-Baihaqi berkata: “Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia seorang yang dha’if.”
Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323.
Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil.
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi Abdurahman bin Zaid bin Aslam. Dalam sanad Thabarani juga terdapat perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaid VIII/253.

d). Adapun perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”, ini perlu diperiksa lagi, hadits syafa’at yang mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka itu benar. Atau yang dimaksud adalah hadits syafa’at al-uzhma yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka itu memang hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at Nabi Adam dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita semua telah tahu kelemahannya!

4. Adapun hadits pertama yang antum sebutkan, itu bukanlah do’a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi beliau. Lafazh riwayatnya sebagaimana di bawah ini:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ ادْعُ الهَت أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهُ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

"Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, (pada riwayat lain: lalu shalat dua raka’at), lalu berdoa dengan doa ini: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku. (pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia sembuh)."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no:659, Ibnu Majah, Thabarani di dalam Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76.

Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: “aku menghadap-Mu dengan NabiMu”, bisa memiliki beberapa kemungkinan makna:
a). Aku menghadapMu dengan –dzat/jasad- NabiMu
b). Aku menghadapMu dengan –jah (kedudukan)- NabiMu
c). Aku menghadapMu dengan –doa- NabiMu

Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul dengan dzat dan jah (kedudukan) Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian riwayat pada hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dha’if sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96.

Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai berikut:

a). Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau mendoakannya, dengan dalil perkataannya di dalam hadits di atas: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”.
b). Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga menasehatkan untuk bersabar, yang itu lebih utama. Yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.”
c). Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu dengan perkataannya: “Doakanlah kepadaNya”. Sedangkan beliau pasti memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk mendoakannya.
d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mu’jizat beliau dan doa beliau yang mustajab.
e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang disyari’atkan, sesuai dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunah serta perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah Nabi disyari’atkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya.

Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, hal:391-392, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli; At-Tawassul karya Al-Albani, hal: 76-83.

5. Hadits kedua yang antum sebutkan, artinya adalah: “Aku mendengar shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka. Sedangkan shalawat selain mereka diperlihatkan kepadaku.” Itu adalah jawaban beliau n , ketika ditanya: “Bagaimana pendapat anda terhadap shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak ada di hadapanmu, dan orang-orang yang akan datang setelah anda. Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?”

Bantahan
a). Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana derajatnya, sehingga tidak dapat diterima sebagai hujjah!
b). Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul dengan dzat atau jah Nabi n .

6. Kisah Bilal yang antum sebutkan, yang disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa Bilal bin Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:

يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا

"Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa".

Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.

Bantahan:
Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya?
Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut:
"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih As-Saman dari Malik Ad-Dar –dia adalah penjaga (baitul mal) Umar- , dia berkata: “Orang-orang tertimpa paceklik di zaman Umar, kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa (terkena paceklik)”. Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar...”Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di dalam Al-Futuh, bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat”.

Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas sebagai berikut:
a). Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal (sifat) ‘adalah dan kecermatannya, sehingga riwayat ini dha’if. Sedangkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih”, tidak berarti riwayat itu shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi Shalih.
b). Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam agama, yaitu bahwa disukainya shalat istisqa’ untuk mohon hujan dari langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh banyak ulama.
c). Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima, karena orang yang meminta itu tidak diketahui namanya. Adapun disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dha’ifnya oleh para ahli hadits.
d). Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanyalah permintaan doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan ini berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.”

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: “Riwayat ini -seandainya shahih sebagaimana dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada Allah) lewat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang yang meminta itu majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap agama.

Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi –atau kubur lainnya- untuk minta hujan. Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi memohon hujan kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu adalah haq. Sedangkan yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan.

Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang meminta itu adalah Bilal bin Al-Harits, maka tentang keshahihannya perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi hujjah, karena perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu A’lam”. (Fote note Fathul Bari II/495)

Adapun hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة

"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku".

Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya, bukan sebagaimana wujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu setan mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak pernah mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!

7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi tersebut, bantahan kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404):

a). Riwayat ini dha’if, karena beberapa perkara:
- Di dalam sanadnya ada perawi dha’if bernama Sa’id bin Zaid Al-Azdi.
- Juga ada perawi dha’if lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri.
- Ada perawi bernama Abu Nu’man, dia berubah hafalannya karena tua, dan tidak diketahui apakah Ad-Darimi mendengar darinya sebelum berubah hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak.
- Kisah itu hanyalah dari ‘Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya shahih bukan merupakan hujjah, karena bisa jadi hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.
b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , yaitu pembuatan lobang (pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun, maka itu tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan kedustaannya adalah bahwa di zaman kehidupan Aisyah Radhiyallahu 'anha, rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya terbuka, dan sinar matahari turun padanya”.
c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan ‘amul fatqi (tahun fatqi).
d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati! Tetapi yang terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun padanya.

8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berdoa sambil berdiri, arti doanya adalah: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas kubur habibMu. Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: “Wahai engkau, engkau minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku telah memerdekakanmu.”

Bantahan:
a). Riwayat itu bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits Nabi yang shahih, dan bukan ijma’ , maka tidak dapat diterima sebagai hujjah. Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat! Apalagi yang tidak jelas kebenarannya!
b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?!
c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru –yang tanpa kelihatan orangnya- itu tidak diketahui siapa dia, mungkin sekali dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah masalah ghaib, yang kita tidak dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab dab As-Sunnah.
d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-orang yang minta tolong kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada di hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki sebagian ilmu agama, melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits yang diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabi’i, dan tidak juga perkataan imam yang diridhai (ulama yang terpercaya-Red). Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di antara mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah menyerupai para penyembah berhala”. (Al-Istighatsah, hal:375)

9. a) Riwayat Iam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a.
b) Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”.
c) Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.

Bantahan:
a). Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu diambil dan dipercayai! Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut ditulis oleh orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil riwayat itu? Kebenaran kisah-kisah itu harus dibuktikan dengan dua hal, pertama: adanya sanad, dan kedua: sanadnyapun harus shahih!
b). Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat diterima hujjah dalam masalah agama. Karena hujjah dalam agama adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’.

10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: “Abu Razin berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku melewati (kubur) orang-orang yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika aku melewati mereka? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah terdahulu (meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti (akan meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu”. Abu Razin bertanya: “Apakah mereka mendengar?” Beliau menjawab: “Mereka mendengar, tetapi tidak mampu menjawab –yaitu jawaban yang dapat didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka para malaikat sejumlah mereka menjawab (salam)mu?

Bantahan:
a). Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 5225
b). Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta!

11. Hadits ‘Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut:

قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ

"Aku (‘Aisyah) berkata: “Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu (meninggal) dari kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu"

Bantahan:
a). Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
b). Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak adalah perkara yang diperselisihkan para ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar. [Lihat Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38, rubrik:Aqidah]
c). Kalau ada yang mengatakan: “Ketika berziarah apa gunanya memberi salam kepada orang-orang yang telah mati, jika mereka tidak mendengar?”. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa untuk mereka, dan merupakan perkara ta’abbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang kita harus taat, walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika kita shalat menjadi makmum, maka di akhir shalat kita mengucapkan salam dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak mendengar. Dan hal itu umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii Adami Sama’il Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
d). Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan mereka. Wallahu A’lam.

Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada penanya khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.

KESIMPULAN:
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.
2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Wallahu A’lam bish Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

TAWASSUL DENGAN ORANG MATI

Pertanyaan.
Ada beberapa wasilah yang saya ketahui, yaitu wasilah dengan amal shalih, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan wasilah dengan minta didoakan kepada (Allah, oleh-Red) orang lain yang masih hidup. Namun saya mendengar ada yang berwasilah dengan orang yang sudah meninggal dunia. Mereka beralasan dengan hadits:

1. إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
2. مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر
3. مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم q لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ

Selain tersebut di atas, orang juga berdalil dengan:

1. Do’a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat hajat,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيْكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِ الرَّحْمَةِ يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي لِتَقْضِيَ (رواه الترمذي و النساء و ابن ماجه و الحاكم فِي الْمستدرك) وفِي لفظ آخر: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيْكَ نَبِيِ الرَّحْمَةِ يا مُحَمَّدُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلىَ رَبِّكَ فِي حَاجَتِي لِيَقْضِيَهَا لِي اَللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ

2. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

أَسْمَعُ صَلاَةَ أَهْلِ مَحَبَّتِي وَ أَعْرِفُهُمْ و تعرض على صلاة أَسْمَعُ صَلاَةَ أَهْلِ غَيْرِهِمْ عرضا حِيْنَمَا قِيْلَ لَهُ أَرَأَيْتَ صَلاَةَ الْمُصَلِّيْنَ عَلَيْكَ مِمَّنْ غَابَ عَنْكَ وَ مَنْ يَأْتِ بَعْدَكَ, مَا حَالُهُمَا عِنْدَكَ

3. Dishahihkan dalam Haditsnya Imam Malik bahwasanya Bilal bin Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:

يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا

Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة

4. Diceritakan dari shahabat Abil Jauza’ Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: “Penduduk Madinah mengalami paceklik, kemudian mereka mengadu kepada Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Hai penduduk Madinah, kalian lihatlah kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, buatlah jendela di atasnya sehingga antara kuburan dan langit tidak ada penghalang” Kemudian penduduk Madinah melaksanakannya, tidak beberapa lama kemudian hujanpun turun. Sehingga tahun tersebut disebut dengan ‘aamul fathi [HR. Ad-Darami dalam Shahihnya]

5. Tersebut dalam kitab Al Mawahib Al-Laduniyah karya Imam Qasthalani: “Ada seorang Arab mendatangi kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berdiri ia berdo’a:

اَللَّهُمَّ إِنَّكّ أَمَرْتَ بِعِتْقِ الْعَبْدِ وَهَذَا حَبِيْبُكَ وَ أَنَا عَبْدُكَ فَأَعْتِقْنِي مِنَ النَّارِ عَلَى قَبْرِ حَبِيْبِكَ. فَهَتَفَ هَاتِفٌ يَا هَذَا تَسْأَلُ الْعِتْقِ لَكَ وَحْدَكَ, هَلاَّ تَسْأَلُ الْعِتْقَ لِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ , اِذْهَبْ فَقَدْ أَعْتَقْتُكَ

6. Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Khairaat Al-Hisaan, di dalam manakib Abi Hanifah An-Nu’maan pasal 25: “Sesungguhnya Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a. Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”. Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.

7. Diceritakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

قَالَ أَبُوْ رَزِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ طَرِيْقِيْ عَلَى الْمَوْتَى فَهَلْ لِي كَلاَمٌ أَتَكَلَّمُ بِهِ إِذَا مَرَرْتُ عَلَيْهِمْ قَالَ: قُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ ونَحْنُ لَكُمْ تَبِعٌ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ. قَالَ أَبُو رَزِيْنَ: هَلْ يَسْمَعُوْنَ؟ قَالَ: يَسْمَعُوْنَ وَلاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ أَنْ يُجِيْبُوْا أَيْ جَوَابًا يَسْمَعُهُ الْحَيُّ قَالَ ياَ أَبَا رَزِيْنَ أَلاَ تَرْضَى أَنْ تَرُدَّ عَلَيْكَ بِعَدَدِهِمْ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ ؟

8. Hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha

قَالَتْ: قُلْتُ كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَعْنِي إِذَا زَارَتِ الْقُبُوْرَ؟ قَالَ : قُوْلِي السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدَّارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ وَ الْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ

Dari hadits tersebut diatas kitab dapat mengetahui bahwa orang yang sudah mati bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup.


Jawaban.
Sebelum menjawab permasalahan ini, kami ingin menyampaikan dua point penting sebagai berikut.

1. Bahwa sumber agama Islam ini adalah Al-Qur’an/Al-Kitab dan Al-Hadits/As-Sunnah yang shahih. Tidaklah setiap orang yang membawakan sebuah hadits, lantas diterima! Tetapi perlu diteliti tentang kebenaran hadits tesebut, shahih atau tidak. Dan siapa saja yang berbicara mengenai agama Islam tanpa meruju’ kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, berarti telah berbicara atas nama agama Allah tanpa ilmu, yang hal itu merupakan dosa besar, bahkan lebih berbahaya daripada syirik! Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُونَ

"Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui". [Al-A'raaf 7:33]

2. Barangsiapa menginginkan berada di atas keselamatan dan jalan yang lurus, maka dia harus berpegang teguh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih. Dalil-dalil tentang hal ini banyak sekali, baik dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah.

Adapun tentang pertanyaan antum, yang berkaitan dengan masalah tawassul dan wasilah, maka sebelum kami menjawabnya, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang makna kata-kata tersebut.

ARTI WASILAH SECARA BAHASA
Wasilah secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: qurbah (perbuatan untuk mendekatkan diri); perantara; apa yang dapat menghantarkan dan mendekatkan kepada sesuatu; berharap; permintaan; kedudukan dekat raja; dan derajat. Lihat makna-makna ini di dalam kamus-kamus bahasa Arab, seperti: An-Nihayah, Al-Qamus, Mu’jamul Maqayis, dan lainnya.

ARTI WASILAH DI DALAM AL-QUR’AN
Perkataan wasilah disebutkan dua kali di dalam Al-Qur’an.

Pertama: di dalam firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan".[Al Maaidah 5:35]

Imamnya para mufassirin, Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata tentang makna “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan carilah qurbah (apa yang mendekatkan diri) kepadaNya dengan mengamalkan apa yang menjadikanNya ridha”. Ar-Raghib Al-Ash-fahani berkata di dalam Mufradatnya tentang makna firman Allah “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan hakekat wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah: menjaga jalanNya dengan beramal dan beribadah”.

Imam Ibnu Katsir menukilkan dari Ibnu Abbas tentang makna wasilah pada ayat itu adalah: qurbah (apa yang mendekatkan diri kepada Allah). Demikian juga Ibnu Katsir menukilkan pendapat Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lainnya. Ibnu Katsir juga menukilkan perkataan Qatadah tentang ayat tersebut, yaitu: “Hendaklah kamu mendekatkan diri kepada Allah dengan metaatiNya dan beramal dengan apa-apa yang menjadi keridhaanNya.”

Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan padanya di antara mufassirin...wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk menghantarkan mencapai tujuan"

Ayat kedua pada firman Allah.

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti" [Al Israa' 17:57]

Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud, telah menyatakan sebab turunnya ayat ini yang menjelaskan maknanya, dia berkata: “Ayat ini turun mengenai sekelompok orang Arab yang beribadah/menyembah sekelompok jin, kemudian jin-jin itu masuk Islam, sedangkan manusia yang menyembah mereka tidak mengetahui”. [HSR. Muslim, Syarh Muslim 8/245; Bukhari semacamnya, Fathul Bari 8/320-321]

Ibnu Hajar berkata: “Yakni manusia yang menyembah jin terus menyembah jin, sedangkan jin tidak meridhainya, bahkan mereka masuk Islam. Jin itulah yang mencari wasilah (sarana/jalan) kepada Rabb mereka. Inilah yang dipegangi dalam penafsiran ayat ini.” [Fathul Bari 10/12-13]

Syeikh Al-Albani berkata: “Inilah jelas, bahwa yang dimaksudkan wasilah adalah apa yang dapat medekatkan diri kepada Allah, oleh karena itulah Allah berfirman: “mereka mencari”, yaitu mereka mencari apa yang dapat medekatkan diri kepada Allah Ta’ala, yaitu amalan-amalan yang shalih.”
Dan amalan itu menjadi shalih dan diterima di sisi Allah, jika memenuhi dua syarat –sebagaimana telah maklum-, yaitu: pelakunya meniatkan untuk mencari wajah Allah semata, dan kedua: sesuai dengan apa yang Allah syari’atkan di dalam kitabNya atau dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Jika kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak menjadi amalan shalih dan diterima oleh Allah.

ARTI TAWASSUL
Sedangkan tawassul adalah melakukan wasilah, yaitu melakukan apa yang dapat medekatkan diri kepada sesuatu. Tetapi istilah tawassul sering dimaksudkan dengan arti: berdoa kepada Allah dengan perantara.

TAWASSUL MASYRU’.
Tawassul ada yang diajarkan oleh agama, yang disebut dengan istilah tawassul masyru’ (tawassul yang disyari’atkan), sehingga dapat diamalkan. Ada juga yang tidak diajarkan oleh agama, sehingga tidak boleh diamalkan, karena tawassul termasuk ibadah, sedangkan ibadah haruslah berdasarkan tuntunan. Tawassul yang tidak ada tuntunannya ini disebut tawassul mamnu’ (tawassul yang terlarang).

Adapun jenis-jenis tawassul masyru’ -secara ringkas- adalah:
1. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara nama Allah atau sifatNya.

وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

"Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu" [Al A'raaf 7:180]

2. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara amalan shalih yang dilakukan oleh orang yang berdoa.

رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ

"Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):"Berimanlah kamu kepada Rabbmu"; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakt". [Al Imraan 3:193]

3. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara doa orang shalih yang masih hidup.

عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِِ ادْعُ الهَت أَنْ يَسْقِيَنَا فَتَغَيَّمَتِ السَّمَاءُ وَمُطِرْنَا حَتَّى مَا كَادَ الرَّجُلُ يَصِلُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَلَمْ تَزَلْ تُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ ادْعُ الهَا أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا فَقَدْ غَرِقْنَا فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَجَعَلَ السَّحَابُ يَتَقَطَّعُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ وَلاَ يُمْطِرُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ

"Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berkhotbah pada hari jum’at, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hujan kepada kami”. Maka langitpun mendung, dan kami mendapatkan hujan, sehingga hampir-hampir lelaki tadi tidak sampai ke rumahnya. Terus-menerus hujan turun sampai jum’at berikutnya. Maka lelaki itu, atau lainnya, berdiri lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia memalingkankan hujan dari kami, karena kami telah kebanjiran”. Maka Rasulallah n berdoa: “Wahai Allah jadikanlah hujan sekitar kami, jangan kepada kami. Maka mulailah awan menyingkir di sekitar kota Madinah, dan tidak menghujani penduduk Madinah" [HSR. Bukhari]

TAWASSUL MAMNU’
Setelah menyebutkan ketiga jenis tawassul masyru’ di atas Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Adapun tawassul- tawassul selain ini, maka terjadi perselisihan. Sedangkan yang kami yakini dan kami jadikan agama kepada Allah adalah bahwa hal itu tidak boleh, tidak disyari’atkan. Karena tidak ada dalil padanya yang dapat menegakkan hujjah, dan telah diingkari oleh para ulama peneliti pada generasi-generasi Islam yang silih berganti. Walaupun sebagian ulama telah membolehkan sebagian (jenis) tawassul, imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, sedangkan imam Syaukani membolehkan bertawassul dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dengan lainnya, dari para nabi dan orang-orang shalih, tetapi kami –sebagaimana kebiasaan kami di dalam seluruh perkara-perkara yang diperselisihkan- hanyalah mengikuti dalil yang ada, kami tidak fanatik pada manusia, kami tidak cenderung kepada seorangpun kecuali karena kebenaran yang kami lihat dan kami yakini. Sedangkan dalam masalah tawassul, kami melihat bahwa kebenaran bersama orang-orang yang melarang bertawassul dengan makhluk.

Dan kami tidak melihat dalil shahih yang dapat dipegangi bagi orang-orang yang membolehkannya. Dan kami menuntut mereka untuk membawakan nash shahih dan nyata dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang bertawassul dengan makhluk, tetapi sangat jauh mereka mendapati sesuatu yang menguatkan pendapat mereka, atau menyokong dakwaan mereka, kecuali kesamaran-kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan, yang kami akan membantahnya setelah ini." [Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Al-Albani, hal: 46-47]

Tawassul- tawassul yang terlarang itu seperti: tawassul dengan kehormatan, kemuliaan, hak, kedudukan makhluk atau orang yang telah mati, baik dari kalangan nabi, orang shalih atau lainnya.

Bersambung ke artikel "Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya".

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]