Siapakah Wahhabi?

on Sabtu, 29 Januari 2011

Dakwah salafiyyah yang berusaha mengajak umat ini kepada tauhid dan sunnah dicap sebagai Wahhabiyah. Julukan seperti ini diberikan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan dakwah kepada tauhidullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya dengan maksud untuk menjauhkan umat darinya.

Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi

Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu[1]. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?

Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Di Najd dan sekitarnya:

o Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq.

o Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

o Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal. 90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)

2. Di dunia secara umum:

Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid)

Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) -sebelum keruntuhannya-. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.[2] Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat.

Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu.

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi

1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi[3], ingkar terhadap Hadits nabi[4], merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.

Bantahan:

o Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

o Beliau berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat -semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau-, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

o Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)

o Adapun tentang syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata -dalam suratnya kepada penduduk Qashim-: “Aku beriman dengan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait

Bantahan:

o Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)

o Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

o Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah[5]. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.

Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan -dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah-: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”

Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan ajaran Khawarij.

o Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya[6].

o Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadapq kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata -dalam suratnya untuk penduduk Qashim-: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah subhanahu wata’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]

Bantahan:

o Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)

5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]

Bantahan:

o Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan -dalamq suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi-: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku -alhamdulillah- adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

o Beliau juga berkata -dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani-:”Perhatikanlah -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatimu- apa yang ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal -semoga Allah subhanahu wata’ala meridhai mereka-, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

o Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah subhanahu wata’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah subhanahu wata’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah subhanahu wata’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)

6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)

Bantahan:

o Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.” (Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)

7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan![9]

Jawaban:

o Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atauq pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.

o Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,[10] di antaranya adalah:

Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman[11] dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.[12]

Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]

Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.[14] Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,[15] Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16] Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.

Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.[18]

Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.

8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Jawaban:

Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah subhanahu wata’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata -dalam suratnya kepada penduduk Qashim-: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah subhanahu wata’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah subhanahu wata’ala.”[19]

Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya -sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah-.[20] Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)

Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

o Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi

o Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.

o Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.

o Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

o ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

o Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.

Di Jazirah Arabia[21]

Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.

Di Dunia Islam[22]

Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah subhanahu wata’ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.

Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau

Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.[23]

1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).

Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:

Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana

Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya

2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:

Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan

Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia

Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama

Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai

3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir). Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”

5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau -ketika dicap sebagai Wahhabi- berkata:

Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi

Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi

Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku

Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi

6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”

7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala-, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”

9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.

Penutup

Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Diambil dari: http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=337
[1] Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.

[2] Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.

[3] Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

[4] Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.

[5] Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah.

[6] Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.

[7] Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.

[8] Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.

[9] Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.

[10] Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

[11] Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.

[12] Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.

[13] Hafizh negeri Hijaz di masanya.

[14] Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.

[15] Ulama besar Madinah di masanya.

[16] Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

[17] Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.

[18] Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.

[19] Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119

[20] Ibid, hal. 76.

[21] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.

[22] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.

[23] Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=558#more-558

Wirid-wirid Setelah Shalat Lima Waktu

on Jumat, 28 Januari 2011

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 1/I/IX/1432 H


Para pembaca semoga Allah menanamkan dalam hati kita kecintaan kepada kebaikan dan kebenaran. Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan genting sekalipun seperti dalam keadaan perang. Sebagaimana firman-Nya:

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’: 103)

Ayat tersebut terkait dengan kondisi perang, maka dalam kondisi aman tentu lebih memungkinkan untuk melaksanakan dzikir.

Para pembaca rahimakumullah, seorang muslim yang berdzikir setelah shalat hendaknya mencukupkan dengan dzikir-dzikir yang telah disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukan dengan dzikir yang tidak dicontohkan oleh beliau, yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dzikir-dzikir yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:

1. Mengucapkan istighfar 3 kali:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”

Lalu mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan) dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)

2. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR. Muslim no. 594)

4. Mengucapkan Tasbih, Tahmid dan Takbir:

سُبحان الله

(Maha suci Allah) 33 kali,

الحمد لله

(Segala puji hanya milik Allah) 33 kali,

الله أكبر

(Allah Maha besar) 33 kali,

dan digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

“Barangsiapa    bertasbih   (mengucapkan سُبحان الله) 33 kali, bertahmid (mengucapkan الحمد لله) 33 kali, dan bertakbir (mengucapkan الله أكبر) 33 kali, itu semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

((Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu)),

Niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR.Muslim no. 597)

Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-Tirmidzi no. 3486)

5. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Dibaca 10 kali setelah Shalat Maghrib dan Shubuh.

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh dalam keadaan melipat kedua kakinya sebelum berbicara

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai (timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan -red).” (HR. At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)

6. Membaca Ayat Kursi:

Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

من قرأ آية الكرسي في دبر كل صلاة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة الا ان يموت نوع آخر في دبر الصلوات

“Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

7. Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas:

Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 1-4)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Naas: 1-6)

Catatan: Tiga surat tersebut dibaca 3 kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca 1 kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`.

Keutamaannya adalah sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam: “Tiga surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala kejelekan.” (Lihat Sunan Abu Daud no. 5094)

Wallahu a’lam bisshowab.

http://www.buletin-alilmu.com/wirid-wirid-setelah-shalat-lima-waktu

AKIBAT YANG AKAN DIRASAKAN OLEH PELAKU RIBA

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 2/I/IX/1432 H


Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:

“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]

Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]

Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut?

Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):

“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]

Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.

Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]

Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya?

Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:

Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.

Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan:

“Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]

Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]

Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba

Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]

Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]

Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Para pembaca, cukuplah hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا

“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari perbuatan riba dan seluruh amalan yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=561#more-561

Dukun, Tukang Ramal, dan Zodiak

Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta untuk mengabarkan sesuatu, kemudian ia membenarkan perkataannya maka tidak diterima shalatnya 40 hari”[1]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia telah kufur dengan Al Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam”[2]

Syaikh Muhammad Al Yamani Al Wushobiy mendefinisikan tukang ramal (‘arraaf), yaitu seseorang yang memberitahukan letak barang yang hilang atau dicuri dan selainnya yang tersembunyi keberadaannya bagi manusia. Maka sebagian manusia mendatangi tukang ramal tersebut dan ia memberitahukan tentang sihir, barang yang hilang, barang yang dicuri, maupun identitas pencuri atau penyihir, atau informasi sejenis yang tidak diketahui. Berbeda dengan dukun (kaahin, populer dengan sebutan “paranormal” dalam bahasa Indonesia -pen) yaitu seseorang yang memberitahukan kepada manusia perkara ghaib, yang belum pernah terjadi, seperti Mahdi Amin[3], kalangan dukun dan sejenisnya, begitu pula orang yang memberitahukan perkara batin dalam diri manusia (biasanya dengan memberitahukan sifat-sifat rahasia, karakter, atau watak orang tersebut yang hanya diketahui dirinya pribadi –pen).[4]

Sedangkan zodiak ialah diagram yang digunakan oleh ahli astrologi untuk menggambarkan posisi planet dan bintang. Diagram tersebut dibagi menjadi 12 bagian, masing-masingnya memiliki nama dan simbol. Zodiak digunakan untuk memperkirakan pengaruh kedudukan planet terhadap nasib atau kehidupan seseorang.”[5]

Inilah beberapa pembahasan yang diambil dari berbagai penjelasan para ulama, yang insya Allah akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca. Semoga Allah mudahkan.

Hukum Mendatangi Tukang Ramal

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata, “Zhahir hadits (yang kami sebutkan di atas –pen) ialah barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak. Adapun hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi menjadi beberapa jenis:

Jenis Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal,… dst. (yang telah disebutkan di atas –pen). Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada tukang ramal menunjukkan keharamannya, karena tidaklah hukuman atas suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.

Jenis Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran, karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur’an di mana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml : 65).

Jenis Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan maksud untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak termasuk dalam hadits di atas. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad[6], “Apa yang aku sembunyikan darimu?” Ibnu Shayyad menjawab, “Asap”, maka Nabi menjawab, “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.”[7]

Jenis Keempat: bertanya dengan maksud untuk menampakkan kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian mengujinya dalam rangka menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka hal ini dianjurkan, bahkan hukumnya terkadang menjadi wajib. Karena menjelaskan batilnya perkataan dukun tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib.

Maka larangan bertanya kepada tukang ramal tidaklah berlaku mutlak, akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar’i yang telah disebutkan.”[8]

Bagaimana Cara Tukang Ramal Mengetahui Hal-Hal Ghaib?

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Dukun tidaklah mengetahui perkara ghaib kecuali menggunakan jin, yaitu dengan cara beribadah kepada jin tersebut dengan ibadah yang mengandung kesyirikan. Kemudian jin menggunakan kesempatan untuk memalingkan manusia dari ibadah kepada Allah, dan hal tersebut dilakukan agar jin mau mengabarkan hal-hal ghaib.

Adapun jin dapat mengetahui perkara ghaib, yang terkadang benar, dengan cara mencuri rahasia langit. Yaitu jin saling menumpuk satu sama lain hingga mendengar wahyu Allah Jalla wa ‘Ala, dari langit. Maka dilemparilah jin dengan panah api sebelum jin tersebut memperoleh rahasia langit dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi terkadang panah api tersebut dilemparkan setelah jin memperoleh rahasia langit. Maka jin kemudian membawa rahasia tersebut kepada dukun, akan tetapi diubah dengan kedustaan, atau ditambah dengan 100 kedustaan. Dukun kemudian mengagungkan jin karenanya, dan pengagungan tersebut ialah bentuk ibadah manusia atas jin.

Adapun sebelum diutusnya Nabi ‘alaihish shalatu wa sallam banyak rahasia langit yang beredar, akan tetapi pasca pengutusan Nabi alahish shalatu wa sallam langit dijaga dengan lebih ketat, karena Al Qur’an dan wahyu telah turun, maka rahasia langit dijaga agar tidak ada yang menyerupai wahyu dan nubuwwah. Hingga wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam rahasia langit kembali beredar akan tetapi hanya sedikit dibandingkan sebelum diutusnya Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi rahasia langit terbagi menjadi tiga :

1. Sebelum pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit banyak beredar

2. Setelah pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: jin tidak mendapat rahasia langit kecuali sangat jarang terjadi, itu pun bukan merupakan wahyu dari Allah Jalla wa ‘Alla

3. Setelah wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit kembali beredar, akan tetapi tidak sebanyak sebelumnya, karena langit dijaga ketat dengan panah api. Allah Jalla wa ‘Ala menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat Al Qur’an, mengenai bintang-bintang dan panah api yang dilemparkan kepada jin, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Kecuali syaithan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS. Al Hijr : 18)[9]

Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib

Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni rahimahullah membagi perkara ghaib menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama, ghaib muthlaq, yang tidak diketahui oleh seluruh makhluq. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu” (QS. Al Jin : 26)

Kedua, ghaib muqayyad yang tidak diketahui kecuali oleh sebagian makhluk dari kalangan malaikat, jin, manusia dan yang menyaksikannya. Maka hal ini menjadi ghaib bagi sebagian makhluk, namun tidak ghaib bagi yang menyaksikannya. [10]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullahu ta’ala menjelaskan, “Sesungguhnya hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahui perkara ghaib, maka barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara ghaib maka ia telah menjadi sekutu bagi Allah, baik berupa perdukunan, ramalan, dan sejenisnya. Atau barangsiapa yang membenarkan perkataan tersebut maka ia telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam kekhususan-Nya, dan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya.[11]

Hukum Mempercayai Zodiak

Zodiak atau sering diistilahkan dengan astrologi (ilmu ta’tsir), merupakan bagian dari ilmu nujum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala kembali menjelaskan berkaitan dengan ilmu ta’tsir ini, “Ilmu ta’tsir (astrologi) terbagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh atas seseorang, dalam arti bahwa bintang-bintang tersebut mampu menciptakan kejadian dan musibah. Maka hal tersebut merupakan kesyirikan akbar, karena barangsiapa yang menyerukan bahwa selain Allah ada pencipta lain, maka ia melakukan syirik akbar. Hal tersebut juga menjadikan pencipta (yaitu Allah Ta’ala) tunduk pada salah satu makhluq-Nya (yaitu bintang-bintang).

Kedua, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab bagi sesuatu yang belum terjadi, dan hal tersebut ditunjukkan melalui pergerakannya, peralihannya, atau pergantian tertentu dari bintang. Misalnya perkataan ‘Karena bintang ini bergerak seperti ini, maka itu artinya orang ini hidupnya akan sial’, atau ‘Karena orang ini lahir saat bintang berada dalam posisi ini, maka ia akan menjadi orang yang bahagia’. Maka hal semacam ini termasuk menjadikan ilmu perbintangan sebagai sarana untuk meramal perkara ghaib, dan perbuatan ini termasuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’” (QS. An Naml : 65)

Ketiga, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab terjadinya kebaikan atau keburukan. Yaitu dengan menyandarkan segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat pergerakan bintang, dan hal tersebut dilakukan hanya jika sesuatu tersebut telah terjadi. Maka perbuatan semacam ini tergolong syirik ashghar.[12]

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yhouga Ariesta

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Muslim [2230] tanpa lafadz “..kemudian ia membenarkan perkataannya..” Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullahu ta’ala menjelaskan makna “tidak diterima shalatnya” dengan “tidak diberi pahala shalatnya”. Sehingga shalat tetap wajib bagi orang tersebut. Wallahu a’lam. (lihat Al Mulakhash fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 213 cet. Darul Ashimah)

[2] HR. Al Hakam [I/8] dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al Albani dalam Al Irwa’ [2006]

[3] Nama seorang dukun dari Iran

[4] Al Qoulul Mufid fi Adillati At Tauhid hal. 142, cet. Dar Ibn Hazm

[5] Zodiac, Google Dictionary, http://google.com/dictionary

[6] Ibnu Shayyad, namanya Shaafi, sebagian pendapat mengatakan namanya Abdullah bin Shayyad, atau Shaa’id. Ia adalah seorang Yahudi penduduk Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia bahkan seorang Anshar. Ia masih kecil saat kedatangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ke Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia kemudian masuk Islam. Dikatakan bahwa Ibnu Shayyad ialah Dajjal, ia terkadang mampu meramal, sebagian orang kemudian membenarkannya dan sebagian yang lain mendustakannya. Maka beritanya segera tersebar, dan orang-orang menyangka ia adalah Dajjal. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam kemudian menemui Ibnu Shayyad untuk mengklarifikasi kebenaran hal tersebut (lihat HR. Bukhari 1355) Ibnu Shayyad tetap hidup setelah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam wafat, namun keberadaannya tidak diketahui setelah itu. Para ulama, semisal Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/328, menjalaskan bahwa Ibnu Shayyad ialah salah satu diantara Dajjal, akan tetapi bukanlah Dajjal akbar. Wallahu a’lam. (Man Huwa Ibnu Shayyad?, Syaikh Muhammad Shalih Munajjid, www.islam-qa.com)

[7] HR. Bukhari [1355] dan Muslim [2931]

[8] Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, I/332, cet. Darul Aqidah

[9] At Tamhid fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 318-319. Syaikh Shalih bin Abdul ‘Azis Alu Syaikh, cet. Darut Tauhid

[10] Majmu’ Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni, 16/110

[11] Al Qoulus Sadiid fi Maqashid At Tauhid hal. 80, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy, cet. Darul Aqidah

[12] Al Qoulul Mufid, II/3

sumber: http://muslim.or.id/aqidah/dukun-tukang-ramal-dan-zodiak.html

Bahaya Orang yang Enggan Melunasi Hutangnya

on Rabu, 26 Januari 2011

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
duit1Risalah kali ini adalah lanjutan dari risalah sebelumnya. Pada risalah sebelumnya, kami telah menjelaskan mengenai keutamaan orang yang memberi pinjaman, keutamaan memberi tenggang waktu pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan sebagian atau keseluruhan hutangnya. Pada risalah kali ini agar terjadi keseimbangan pembahasan, kami akan menjelaskan beberapa hal mengenai bahaya orang yang enggan melunasi hutangnya. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (mencuri hasil rampasan perang sebelum dibagikan), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.

Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung karena hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)

Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, lalu dia berniat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.

Masih Ada Hutang, Enggan Disholati

Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)

Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat

Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”
Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa yang engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)

Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:
[1] Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.
[2] Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.
[3] Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya.
Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata (membuat janji) akan mendustakan janji tersebut. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)
Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.

Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?
Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.”

Inilah do’a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).

tawakkalBerbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya

Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400)

Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Buah dari Tawakkal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang bertawakkal.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)

Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain Allah, maka sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan mencukupinya.” Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Karena yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika seseorang bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pun membalasnya dengan mencukupinya, yaitu memudahkan urusannya. Allah yang akan memudahkan urusannya dan tidak menyandarkan pada selain-Nya. Inilah sebesar-besarnya buah tawakkal.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal: 64)

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ

“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (QS. Al Anfal: 62)

Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah Allah akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-Nya. Oleh karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh ‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya,

إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)

Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam,

أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (54) مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (55) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (56)

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud: 54-56)

Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,

وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was salaam,

قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ (195) إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (196) وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (197)

“Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.” (QS. Al A’rof: 195-197)

Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka tidak mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka. Apa kuncinya? Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang bertawakkal pada Allah, pasti Allah akan mencukupinya.

Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron: 159)

Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-orang yang dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.

Buah tawakkal yang ketiga, orang yang bertawakkal akan mudah mengerjakan hal yang bermanfaat tanpa ada rasa takut dan gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang yang berjihad di medan perang melawan orang-orang kafir, mereka melakukan hal ini karena mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka dengan tawakkal inilah yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat itu. Musuh-musuh dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat tawakkal. Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah. Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena sebab tawakkal.

Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu dan melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya orang yang bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal bermanfaat semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan menolong setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat ketika dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya tidak bermalas-malasan.

Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum, merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat ini yang mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di ujung timur dan barat melalui jihad mereka. Mereka pun membuka hati melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54). Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang mencela ketika mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka benar-benar menyandarkan dirinya pada Allah dan mereka tidak berpaling pada yang lain, baik ketika itu manusia ridho atau pun tidak. Yang senantiasa mereka cari adalah ridho Allah. Dalam hadits disebutkan,

من التمس رضا الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى عنه الناس ، ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس

“Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka (tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia pun akan ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan akan membuat manusia pun murka.”[1]

Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat keimanan. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)

Pelajaran Penting

Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan usaha (sebab). Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun tidak menyandarkan hatinya pada Allah karena segala sesuatu di tangan Allah. Dan tidak tepat pula jika seseorang hanya bersandar pada Allah, namun tidak ada usaha yang ia lakukan.

Ada sebuah kisah yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah melihat sekelompok orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang bertawakkal, namun mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya pada mereka, “Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian adalah muta-akkalun (artinya, orang yang hanya menanti diberi makan).” Yaitu mereka itu sebenarnya hanyalah orang yang hanya butuh pada uluran tangan orang lain dan bukan orang yang bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal harusnya melakukan usaha.

‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,

لقد علمتم أن السماء لا تمطر ذهبا ولا فضة

“Kalian telah mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas atau hujan perak.” Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang hanya duduk untuk ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki. Mereka sebenarnya orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan orang lain. Lantas ‘Umar pun menghardik mereka. Lalu mengatakan perkataan di atas.

Demikian penjelasan singkat mengenai buah tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Reference: Majmu’atu Rosail Da’wiyyah wa Manhajiyyah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 270, 280-283, terbitan Al Mirots An Nabawi.

Riyadh KSA, 11 Shafar 1432 H (15/01/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi no. 2414, Ibnu Hibban 1/510, dari hadits ‘Aisyah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.

SUMBER: http://muslim.or.id/aqidah/buah-dari-tawakkal.html

Bupati Lombok Timur: Kita Harus Menerapkan Sistem Islam

"Lombok Timur memiliki 215 desa lumbung padi. Andaikata zakat pertanian 10% ditunaikan saat panen, maka kita memiliki 500 ton padi untuk menanggulangi kemiskinan," tutur Bupati Lombok Timur (Lotim), Sukiman Azmy, saat membuka Pelatihan Fundraising dan Ekonomi Produktif di Gedung Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) Selong, Lombok Timur, Senin (24/01).

Pelatihan yang digelar Bazda Lotim itu diikuti Pengurus Bazda Kabupaten Lotim dan 54 pimpinan Panti Asuhan serta 15 Direktur BMT (Baitul Maal wat Tamwil) se-Kabupaten Lotim. Bertindak sebagai fasilitator adalah Tim LAZIS Dewan Da'wah yang terdiri Direktur Eksekutif Ade Salamun, Ketua Dewan Da'wah Kabupaten Klaten Rifa'i Saleh Haryono, Konsultan Bisnis Zein Musta"in, dan Manager Komunikasi Nurbowo.

Sukiman Azmy menandaskan, Islam memberikan sistem yang mestinya diterapkan oleh pemeluknya. Misalnya sistem zakat, infak, sedekah, dalam penanggulangan kemiskinan. Demikian juga sistem ekonomi syariat dalam memberdayakan pengusaha kecil seperti yang dipraktikkan melalui BMT.

"Masalahnya, mau atau tidak kita menerapkan sistem Islam itu," kata mantan perwira menengah Angkatan Darat itu.

Dalam kesempatan tersebut, Bupati Lotim berjanji akan mencairkan dana bantuan tahap pertama untuk Panti Asuhan sebesar Rp 2,6 Milyar. "Sebenarnya, saya mengajukan anggaran Rp 5 Milyar untuk membangun asrama panti asuhan berkapasitas 1000 anak yatim. Sebab, sesuai amanat kontsitusi, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, bukan oleh yayasan," ungkap Sukiman Azmy.

Namun, ia melanjutkan, DPRD menyetujui dana itu dibagikan kepada panti asuhan yang sudah ada. "Insya Allah Maret atau April dana tersebut akan cair," ujar Bupati disambut gembira para pengelola panti.

Sesuai harapan Bupati agar dana tersebut tidak habis begitu saja, Rifa'i Saleh mengusulkan agar distribusi dana panti melalui BMT. "Parkir dana panti akan membantu likuiditas BMT. Sebaliknya, BMT akan membuat dana panti produktif sehingga dapat berkembang," jelas Rifa'i.

Agar BMT Lotim lebih berdaya, LAZIS Dewan Da'wah siap membantu memagangkan pengurus BMT Lotim di BMT yang terhitung sudah sukses di Jawa. Hal ini disambut gembira Ketua Bazda Lotim, Tuan Guru Nashrullah. "Insya Allah kami akan persiapkan untuk itu," katanya.

Bupati Lotim juga merisaukan kondisi masjid-masjid di Pulau Seribu Masjid, termasuk di Kabupaten Lotim. "Gampang membangun masjid yang megah-megah di sini. Tapi setelah itu, siapa yang memakmurkannya?" gugat Bupati.

Untuk itu, disepakati bahwa LAZIS Dewan Da'wah akan mengusulkan penempatan da'i dari mahasiswa semester akhir Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) M Natsir Jakarta, di masjid-masjid di Lombok Timur.

"Kami bersyukur kalau program itu bisa segera terlaksana," sambut Bupati Lotim. (bowo)
SUMBER: http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/bupati-lombok-timur-kita-harus-menerapkan-sistem-islam.htm

KAPAN YA BUPATI KABUPATEN ROKAN HILIR IKUT MENERAPKAN SYARIAT ISLAM DALAM TATANAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHANNYA ???

Laporan: Jumlah Muslim Dunia akan Naik Dua Kali Lipat dalam 20 Tahun

Sebuah laporan terbaru memperkirakan bahwa jumlah umat Islam di seluruh dunia akan tumbuh 35 persen selama 20 tahun ke depan dua kali lipat dari jumlah non-Muslim, tetapi bahwa tingkat pertumbuhan yang cepat itu akan cepat mati.

Dengan lebih banyak muslim wanita yang mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, orang-orang bermigrasi ke kota-kota dan meningkatkan standar hidup mereka, laporan itu mengatakan, angka kelahiran di negara-negara mayoritas Muslim akan hadir lebih dekat menyerupai pola di negara-negara lain.

Namun prediksi bahwa Eropa akan menjadi mayoritas Muslim "Eurabia" tidak berdasar, menurut laporan oleh Pew Research Center's Forum on Religion and Public Life, kelompok riset non-partisan. Muslim di Eropa terdiri hanya 6 persen penduduk pada tahun 2010 dan akan tumbuh 8 persen pada 2030, kata laporan itu.

Di AS, laporan ditemukan sekitar 2,6 juta Muslim di tahun 2010, jumlah ini diproyeksikan meningkat menjadi 6,2 juta dalam 20 tahun ke depan. (Angka 2,6 juta jauh lebih rendah daripada angka yang diklaim oleh beberapa kelompok Muslim Amerika tetapi tidak keluar dari jalur dengan beberapa studi sebelumnya.)

Laporan ini juga menemukan bahwa Muslim pemuda lebih menonjol - tingginya persentase umat Islam di seluruh dunia pada usia remaja dan usia 20-an - telah mencapai puncaknya. Tren Itu bisa mempengaruhi politik di negara-negara dengan populasi muda bergolak.

Secara global, umat Islam kini mencapai 23,4 persen dari populasi, dan jika kecenderungan ini terus berlangsung, akan ada 26,4 persen pada 2030 dari total penduduk dunia yang diproyeksikan sebesar 8,3 miliar pada tahun 2030, naik dari 23,4% dari populasi dunia pada tahun 2010 dan diperkirakan akan berjumlah sebesar 6,9 miliar.

Pada tahun 2030, Pakistan akan memiliki penduduk Muslim terbesar, melebihi Indonesia, dan Nigeria serta akan melampaui Mesir. (fq/nyk)

sumber: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/laporan-jumlah-muslim-dunia-akan-naik-dua-kali-lipat-dalam-20-tahun.htm

Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan

on Selasa, 25 Januari 2011

Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menjadikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang justru menimbulkan kerusakan.

Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat yang tepat.

Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dalam syarhnya terhadap Al-Arba’in An-Nawawiyah:

Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terhadap orang yang dinasehati.

Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam “Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At-Ta’yiir” (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):

“Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebutan seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini terkadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada yang benar.

Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi sebagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebaikan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.

Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh wa ta’dil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para rawi dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan antara kedua hal tersebut.

Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bidang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap ucapannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tidak ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pula disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah orang yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini dingkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka menegakkan hujah syar’iyah dan dalil yang diperhitungkan.

Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud menampakkan kebenaran yang Allah ta’ala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah ta’ala. Semua mereka mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun yang mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pengikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.

Adalah Asy-Syafi’i rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-haq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan ucapan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.

Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan al-haq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.

Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisihannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupun setelah matinya.

Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaannya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim itu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sama saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.

Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.

Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia melakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan membantah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.

Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama tersebut dan bukan pula menjelekkan mereka.

Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah, meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersangkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela Allah ta’ala dalam kitabnya dan disiapkan ancaman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar dalam agama ini. Adapun ahlul bida’ dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama padahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.

Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama itu sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.

Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk menghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi dengan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.

Bagaimana maksud ini bisa diketahui?

Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Siapa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum muslimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditempuh oleh imam para ulama.

Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahkan ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka terhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh Allah ta’ala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) dengan hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dusta dan dosa yang nyata.” [An-Nisa’: 112]

Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tanda-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak bersikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelum ia pantas memegangnya.

Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.

Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan menasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.”

Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu celaan, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyian, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.

Para ulama salaf tidak suka melakukan amar ma’ruf atau nahyu munkar di depan hadapan manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah tanda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebarkan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yang orang itu jatuh padanya[1].

Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidaklah punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dari kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmin, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa menyebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.

Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudaranya dan menjauhkannya dari aib itu.

Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah menampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinnya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.

Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan dan ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu daya dan muslihat.

Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan kejelekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya, atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelilinginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseorang tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang itu dalam kemasan agamis.

Lalu apa obat untuk penyakit ini?

Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertakwa.”

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjang[2].

Diringkas dari kitab tersebut oleh:

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits - Ma’bar, Yaman

Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-dan-celaan/#more-495

Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]

[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, dan tipu daya:

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ

“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” [Yusuf: 21]

Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-A’raf: 128]

Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu a’lam.