Koreksi Kitab Barzanji

on Jumat, 25 Februari 2011

SEPUTAR KITAB BARZANJI

Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah.

Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji.

Berikut uraiannya :

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]

KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

: مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ

Artinya : Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf.[3]

KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:

Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]

Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:

مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]

Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi nterwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu ‘anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan[13].

Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [al-Ahzâb/ 33:56]

Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:

1). Terkena doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi n dan keluarganya. Nabi n bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]

Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.

Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.

Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[2]

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.[23]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin

sumber : http://syabaabussunnah.wordpress.com

Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.

Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jailani. Al-Jailani merupakan penisbatan pada Jilan, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jilan, tempat ini disebut juga dengan Jailan dan Kilan.

Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang banyak beredar di Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya (sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.

Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain :

1. Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud - Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.

2. Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa)- Abu Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)

3. Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas- Pekalongan.

4. Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad- Wonosari Tempuran.

5. Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. Surabaya

6. Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) –M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang).




Di bawah ini buku-buku Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (asal terjemahan dari- Lujjain Al-Dani. Penulis, Ja’far Ibn Hasan Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Muhammmad (1690-1764) beliau juga menulis buku Al-Iqd Al Jawahir (al-Barjanzi) dan Qishshah Al-Mi’raj); di terbitkan di Indonesia dengan berbagai versi ;

1. Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani Fi Manaqib Abd Al Qadir - Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Semarang , Al Munawwir.

2. Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani - Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Mranggen) : Semarang, Toha Putra.

3. Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain Al-Dani –Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kajen) : Kudus, Menara.

4. Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – M.Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.

5. Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani - Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya, ‘ Istiqomah.

6. Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.

7. Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) –Abdallah Shonhaji. Semarang, Al-Munawir.

8. Lubabul Ma’ani - Abi Shaleh Mustamir (Juana, Jawa Tengah)

9. Miftahul Babil Amani -Moh. Hambali. (Semarang, Jawa Tengah)

10. An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk (Semarang, Jawa Tengah)

11. Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi. (Pekalongan, Jawa Tengah)




Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani
Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis;

1.Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.

Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul Ma'ani hal. 20]



Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak/bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum'at dan Shalat 'Id ?

2.Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam.[Lubabul ma'ani, hal. 20-21]



Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat ?

3.100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma'ani, hal. 23-24]



Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para 'aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.

4. Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut.[Lubabul Ma'ani, hal. 59]



Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
(QS. An Nur : 41)

5. Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat.[Lubabul ma'ani, hal. 58-59]



Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia ?

6. Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib [Lubabul Ma'ani, hal. 59-64]



Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja.

7. Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul Ma'ani, hal. 80-81]



Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah

8. Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani]



Bantahan :
????

9. Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat sepucuk surat dari Allah.[Lubabul ma'ani, hal. 89]



Bantahan :
???

Silahkan juga dibaca link ini :
http://www.facebook.com/anwar.barubelajar?v=app_2347471856#!/note.php?note_id=104897932886724

Wallahu a'lam.
Anwar Baru Belajar


Beberapa nasehat Beliau;

"Janganlah berbuat bid'ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid'ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir'aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)

"Ber-ittiba'lah dan jangan berbuat bid'ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa". (Al Sya'rani, al Thabaqat al Kubra hal. 129)

"Hendaklah kalian ber-ittiba' dan tidak berbuat bid'ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah pada jalan yang lurus". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)

"Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 2).

Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi bersabda : "Barangsiapa berbuat sesutu yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur'anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dlm FUTUH GHAIB risalah 36).

sumber: http://tomygnt-tomygnt.blogspot.com/2010/05/koreksi-terhadap-kitab-manaqib-syaikh.html

Shalawat Nariyah

on Kamis, 24 Februari 2011

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”

اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك

Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka

Artinya:

“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Syaikh berkata:

“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”

Beliau melanjutkan penjelasannya:

“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)

Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)

Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:

“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:

اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد

Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)

Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”

***

Penulis: Muhammad Jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

BOLEHKAH WANITA MENGENAKAN PARFUM ?

on Rabu, 23 Februari 2011

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya oleh seorang wanita:

Bolehkah aku shalat dalam keadaan memakai parfum? Jazakumullah khoiron.

Jawaban Syaikh rahimahullah:

Na’am. Shalat dalam keadaan memakai parfum itu dibolehkan, bahkan dibolehkan bagi laki-laki dan perempuan yang beriman. Akan tetapi wanita hanya boleh menggunakan parfum ketika berada di rumah di sisi suaminya. Dan tidak boleh seorang wanita menggunakan parfum ketika ia keluar ke pasar atau ke masjid. Adapun bagi laki-laki, ia dibolehkan untuk mengenakan parfum ketika berada di rumah, ketika ke pasar, atau ke masjid. Bahkan mengenakan parfum bagi pria termasuk sunnah para Rasul.

Apabila seorang wanita shalat di rumahnya dalam keadaan memakai berbagai wangian …. , maka itu baik. Seperti itu tidaklah mengapa bahkan dianjurkan mengenakannya. Akan tetapi, ketika wanita tersebut keluar rumah, maka ia tidak boleh keluar dalam keadaan mengenakan parfum yang orang-orang dapat mencium baunya. Janganlah seorang wanita keluar ke pasar atau ke masjid dalam keadaan mengenakan parfum semacam itu. Hal ini dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.

[Fatawa Nur ‘alad Darb, 7/291, cetakan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Riyadh-KSA, cetakan pertama, thn 1429 H]

***

Yang dimaksudkan hadits larangan tersebut adalah sebagai berikut:

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata,

تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات

“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf no 8107)

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata,

لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها

“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai ngompol karena takut (dengan Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Riyadh-KSA, 7th Safar 1432 H, 11/01/2011

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Memakai Celana Ketat dalam Shalat

on Minggu, 20 Februari 2011

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang yang hendak shalat untuk berhias diri sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’rof: 31). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang hendak shalat diperintahkan untuk berhias diri. Tidak seperti halnya sebagian orang yang ketika shalat malah menggunakan pakaian tidur atau pakaian kerjanya (yang penuh kotor) dan tidak berhias diri kala itu. Ingatlah bahwasanya Allah itu jamiil (indah) dan menyukai yang indah.

Para ulama menganggap bahwa batasan minimal berhias diri (saat shalat) yang dimaksudkan adalah menutup aurat[1]. Oleh karena itu, para ulama biasa menyebutkan bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah shalat. Shalat jadi tidak sah karena aurat terbuka. Konsekuensi dari pernyataan wajibnya menutup aurat yaitu yang penting tertutup meskipun pakaian yang dikenakan ketat atau membentuk lekuk tubuh, dan ketika itu shalatnya tetap sah. Demikianlah yang jadi pegangan para ulama madzhab dan ulama besar lainnya. Berikut kami nukilkan pendapat-pendapat mereka.

Madzhab Hanafi

Ibnu ‘Abidin rahimahullah dalam catatan kakinya (hasyiyah-nya) terhadap kitab Ad Darul Mukhtar mengatakan,

( ولا يضر التصاقه ) أي : بالألية مثلا

“Tidak mengapa memakai pakaian yang ketat yang menampakkan bentuk bokong, misalnya.” Dalam Syarh Al Maniyyah disebutkan,

أما لو كان غليظا لا يرى منه لون البشرة إلا أنه التصق بالعضو وتشكل بشكله فصار شكل العضو مرئيا ، فينبغي أن لا يمنع جواز الصلاة ، لحصول الستر

“Adapun jika pakaian yang dikenakan itu tebal dan tidak tampak warna kulit, namun pakaian tersebut ketat dan menampakkan bentuk anggota tubuh, maka seperti ini janganlah dilarang untuk shalat karena pakaian tersebut sudah menutupi aurat.” [2]

Madzhab Syafi’i

An Nawawi rahimahullah berkata,

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

“Jika pakaian yang dikenakan telah menutupi warna kulit dan bentuk lekuk tubuh seperti bentuk paha atau bokong dan semacamnya masih tampak, maka shalatnya tetap sah karena aurat sudah tertutup. Sedangkan Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan memiliki pendapat lain, bahwa dalam kondisi demikian shalatnya tidak sah karena menampakkan bentuk lekuk tubuh. Namun pernyataan ini jelas keliru.”[3]

Madzhab Maliki

Dalam salah kitab fiqh Maliki, Al Fawakih Ad Dawani disebutkan,

( وَيُجْزِئُ الرَّجُلَ الصَّلاةُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ) وَيُشْتَرَطُ فِيهِ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ كَوْنُهُ كَثِيفًا بِحَيْثُ لا يَصِفُ وَلا يَشِفُّ ، وَإِلا كُرِهَ وَكَوْنُهُ سَاتِرًا لِجَمِيعِ جَسَدِهِ . فَإِنْ سَتَرَ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ فَقَطْ أَوْ كَانَ مِمَّا يَصِفُ أَيْ يُحَدِّدُ الْعَوْرَةَ . . . كُرِهَتْ الصَّلاةُ فِيهِ مَعَ الإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ

“Dibolehkan bagi seseorang shalat dengan satu pakaian. Disyaratkan di dalamnya dengan maksud disunnahkan, yaitu pakaiannya hendaknya tebal, tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh, dan tidak pula tipis. Jika tidak demikian, maka hal itu dimakruhkan. Jadi hendaknya seluruh aurat tertutup. Jika aurat tertutup dengan sesuatu yang tebal saja atau menampakkan bentuk lekuk tubuh …, shalat dalam keadaan seperti itu dimakruhkan dan shalatnya hendaknya diulangi ketika itu.”[4]

Dalam perkataan ini menunjukkan bahwa shalat dalam keadaan pakaian yang ketat (yang membentuk lekuk tubuh) dianggap makruh dan bukan haram.

Madzhab Hambali

Al Bahuti rahimahullah mengatakan,

ولا يعتبر ان لا يصف حجم العضو لأنه لا يمكن التحرز عنه

“Tidak teranggap pernyataan tidak membentuk lekuk tubuh karena ini adalah suatu hal yang sulit dihindari.”[5]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وَإِنْ كَانَ يَسْتُرُ لَوْنَهَا ، وَيَصِفُ الْخِلْقَةَ ، جَازَتْ الصَّلَاةُ ؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ ، وَإِنْ كَانَ السَّاتِرُ صَفِيقًا

“Jika pakaian tersebut sudah menutupi warna kulit secara sempurna, namun menampakkan bentuk lekuk tubuh (alias ketat, pen), shalatnya tetap sah karena seperti ini sulit dihindari walaupun dengan pakaian yang sempit asalkan menutupi aurat.”[6]

Demikian pendapat para ulama madzhab.

Pendapat Ulama Besar Lainnya

Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,

الواجب من الثياب ما يستر العورة وإن كان الساتر ضيقا يحدد العورة

“Pakaian yang wajib dikenakan (ketika shalat) adalah yang menutupi aurat walaupun dengan pakaian yang sempit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh.”[7]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah berpendapat bahwa orang yang berpakaian ketat saat shalat, shalatnya tetap sah namun ia berdosa. Beliau mengatakan,

الثياب الضيقة التي تصف أعضاء الجسم وتصف جسم المرأة وعجيزتها وتقاطيع أعضائها لا يجوز لبسها ، والثياب الضيقة لا يجوز لبسها للرجال ولا للنساء ، ولكن النساء أشدّ ؛ لأن الفتنة بهن أشدّ . أما الصلاة في حد ذاتها ؛ إذا صلى الإنسان وعورته مستورة بهذا اللباس ؛ فصلاته في حد ذاتها صحيحة ؛ لوجود ستر العورة ، لكن يأثم من صلى بلباس ضيق ؛ لأنه قد يخل بشيء من شرائع الصلاة لضيق اللباس ، هذا من ناحية ، ومن ناحية ثانية : يكون مدعاة للافتتان وصرف الأنظار إليه ، ولا سيما المرأة ، فيجب عليها أن تستتر بثوب وافٍ واسعٍ ؛ يسترها ، ولا يصف شيئًا من أعضاء جسمها ، ولا يلفت الأنظار إليها ، ولا يكون ثوبًا خفيفًا أو شفافًا ، وإنما يكون ثوبًا ساترًا يستر المرأة سترًا كاملاً

“Pakaian ketat yang masih menampakkan bentuk lekuk tubuh termasuk pada wanita di mana pakaian tersebut tipis dan terpotong pada beberapa bagian, seperti ini tidak boleh dikenakan. Pakaian semacam ini tidak boleh dikenakan pada laki-laki maupun pada wanita, dan pada wanita larangannya lebih keras dikarenakan godaan pada mereka yang lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika seseorang shalat dan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut, maka shalatnya dalam keadaan seperti ini sah karena sudah menutupi aurat. Akan tetapi ia berdosa jika shalat dengan pakaian ketat semacam itu. Alasannya karena ia telah meninggalkan perkara yang disyari’atkan dalam shalat. Alasan lainnya, berpakaian semacam ini dapat memalingkan pandangan orang lain padanya, lebih-lebih lagi pada wanita. Maka hendaklah berpakaian dengan pakaian longgar dan tidak ketat. Janganlah sampai menampakkan bentuk lekuk tubuh sehingga dapat memalingkan pandangan orang lain padanya. Jangan pula memakai pakaian yang tipis. Hendaklah berpakaian yang menutupi aurat dan pada wanita berpakaian dengan menutupi auratnya secara sempurna.”[8]

Penutup

Nukilan-nukilan di atas bukan berarti kami ingin melegalkan pakaian ketat dalam shalat. Pakaian ketat sudah sepatutnya dijauhi ketika bermunajat pada Allah dalam shalat. Karena ini sama saja menafikan perintah untuk berhias diri ketika shalat. Intinya, maksud bahasan di atas adalah apakah shalat dengan pakaian ketat sah ataukah tidak?[9]

Wallahu Ta’ala a’lam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Wa billahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Finished on 6th Rabi’ul Awwal 1432 H (09/02/2011) at Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Sebagaimana yang pernah kami baca dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin lebih setuju jika istilah menutup aurat dalam shalat digunakan istilah “berhias diri (memakai ziinah)”.

[2] Hasyiyah Daril Mukhtar, Ibnu ‘Abidin, Mawqi’ Ya’sub, 1/441

[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/170

[4] Al Fawakih Ad Dawani, Mawqi’ Al Islam, 2/437

[5] Ar Rowdhul Murbi’, Al Bahuti, Mawqi’ Umil Kitab, 1/16

[6] Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikri, 1/651

[7] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Mawqi’ Ya’sub, 1/127

[8] Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, Asy Syamilah, 61/2

[9] Bahasan ini adalah faedah dari bahasan Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah dalam Fatawa Al Islam Sual wa Jawab soal no. 46529.

Selektif dalam Berinfak

Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).

Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:

Pertama

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:

Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa'di hlm. 341].

Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].

Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Memiliki siimah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Firman Allah تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ maksudnya adalah anda mengetahui kondisi mereka sebenarnya dengan tanda-tanda yang ada pada diri mereka. Apabila seseorang melihat kondisi mereka, maka dia akan menduga bahwa mereka itu berkecukupan, namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka barulah diketahui bahasanya mereka itu fakir, namun mereka muta’affif (memelihara diri dari meminta-minta)… Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang dianugerahi Allah firasat sehingga dapat mengetahui kondisi manusia dengan hanya memperhatikan wajahnya secara sekilas [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/368].

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.

Kedua

Tidak boleh memberikan sedekah kepada orang yang sanggup untuk bekerja karena Allah berfirman لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ. Oleh karena itu, harus selektif dalam memberikan sedekah, karena sedekah tidak diberikan kepada mereka yang malas bekerja kemudian mencari jalan pintas dengan meminta-minta.

Anehnya, di negara kita ini banyak orang yang justru enjoy berprofesi sebagai peminta-minta karena malas dan ajaibnya hasil yang diperoleh dari hasil mengemis itu bisa lebih besar dari penghasilan seorang karyawan atau pegawai negeri. Anggaplah mereka fakir harta, tapi mereka bukanlah fakir dari segi fisik. Artinya, mereka itu pada dasarnya sanggup untuk bekerja namun lebih memilih menjadi peminta-minta.

Alhamdulillah, kami melihat sudah ada gerakan nyata untuk mengatasi hal tersebut di daerah seperti di Yogyakarta terdapat gerakan yang menyerukan kepada masyarakat bahwa peduli kepada peminta-minta bukanlah dengan cara memberikan uang kepada mereka.

Ketiga

Pada hakekatnya peminta-minta yang sering ditemui di jalanan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang miskin karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس المسكين الذي ترده الأكلة والأكلتان ولكن المسكين الذي ليس له غنى ويستحيي أو لا يسأل الناس إلحافا

Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta manusia secara mendesak [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لا يجد غنى يغنيه ولا يفطن به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس

Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].

Keempat

Kapankah seorang bisa dikatakan meminta-minta dengan mendesak? Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seorang yang meminta-minta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi kebutuhan dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta, maka berarti dia telah meminta-minta dengan mendesak [Tafsir Ibn Katsir 1/432; Asy Syamilah] . Lebih jelas lagi nabi shallahu ‘alai wa sallam bersabda,

من سأل و له أربعون درهما فهو ملحف

Barangsiapa yang meminta-minta dan ternyata memiliki harta sebanyak 40 dirham maka dia telah meminta-minta dengan mendesak [Hasan Shahih. HR. Ibnu Khuzaimah: 2448].

Kelima

Keutamaan ta’affuf (memelihara diri dari meminta-minta) meski miskin, karena firman Allah يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan bagi mereka yang memiliki sifat ta’affuf dalam sabda beliau,

ومن استعف أعفه الله عز وجل

Barangsiapa yang bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) niscaya Allah akan menjaga kesuciannya [Hasan Shahih. HR. An Nasaa-i: 2595].

Keenam

Ayat ini merupakan dalil bahwa label fakir boleh disematkan kepada orang yang memiliki pakaian yang cukup mewah karena firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ. Hal itu tidaklah menghalangi pemberian zakat kepada mereka karena dalam ayat ini Allah telah memerintahkan untuk memberi sedekah kepada mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Ketujuh

Seseorang hendaknya memiliki sifat jeli karena Allah ta’ala menyifati orang yang tidak tahu akan kondisi orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas dengan karakter jahil sebagaimana firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ .

Kedelapan

Isyarat akan adanya firasat berdasarkan firman-Nya تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ karena siimah merupakan tanda yang hanya diketahui oleh mereka yang berfirasat kuat [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesembilan

Pujian kepada orang yang tidak minta-minta kepada manusia berdasarkan firman Allah لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا. Karakter ini merupakan salah satu poin perjanjian tatkala nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat. Sehingga ketika pecut kuda salah seorang sahabat jatuh, dia tidak meminta tolong kepada rekannya untuk mengambilkan demi mengamalkan janji baiat yang telah diucapkannya. Bagaimana hukum meminta kepada orang lain khususnya terkait harta? Meminta harta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang darurat merupakan perkara yang diharamkan kecuali kita tahu bahwa orang yang dimintai senang apabila ada yang meminta kepadanya. Jika demikian, maka tidak mengapa meminta kepada orang tersebut, bahkan meminta kepadanya dapat bernilai pahala dikarenakan hal itu termasuk perbuatan menyenangkan hati saudaranya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesepuluh

Ayat ini menjelaskan keumuman sifat ilmu yang dimiliki Allah karena segala kebaikan yang dikerjakan hamba, Allah mengetahuinya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Tangerang, 04 Shafar 1432 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Faedah Menikah di Usia Muda

on Sabtu, 12 Februari 2011

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan satu-satunya layak untuk disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Menunda-nunda menikah bisa merugi. Berikut penjelasan yang bagus dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- yang kami kutip dari Web Sahab.net (arabic).

[Faedah pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak]

Di antara faedah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)

Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.

Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”[1]

Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.

[Faedah kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini]

Faedah lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

“Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”[2] Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Rintangan pertama:

Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anaknya di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.

Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.

Rintangan kedua:

Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am: 151)

Oleh karenanya ,yang namanya menikah tidaklah membebani seorang pemuda sebagaimana anggapan bahwa menikah dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini tidaklah benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya.

Sumber: http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=698

Semoga Allah memudahkan para pemuda untuk mewujudkan hal ini dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudhorot (bahaya). Jika ingin segera menikah dan sudah merasa mampu dalam menafkahi istri, maka lobilah orang tua dengan cara yang baik. Semoga Allah mudahkan.

Diselesaikan di pagi hari, 22 Muharram 1431 H, Panggang-Gunung Kidul.

Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Tabarruk Kepada Orang Sholih

Penulis: Syaikh Nashir bin Abdirrahman Al Jadi’

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم، أما بعد:

Tidak diragukan lagi bahwa memang Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam itu pada tubuhnya dan benda-benda yang pernah beliau gunakan mengandung keberkahan. Keberkahan ini sama besarnya seperti berkahnya perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini sebagai tanda bahwa Allah memuliakan semua Nabi dan RasulNya, ‘alaihis shalatu was salaam. Oleh karena itulah para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-tabarruk (mencari keberkahan) dari tubuh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta dari benda-benda yang pernah beliau gunakan semasa hidupnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun membolehkan perbuatan tersebut dan tidak mengingkarinya. Maka para sahabat pun melakukannya. Juga generasi salaf setelah mereka, bertabarruk dengan benda-benda yang pernah beliau gunakan. Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk yang mereka lakukan sama sekali tidak mengandung sesuatu yang dapat mencacati tauhid uluhiyyah ataupun tauhid rububiyyah. Perbuatan mereka juga tidak termasuk perbuatan ghuluw yang tercela. Andaikan termasuk ghuluw, tentu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memperingatkan mereka sebagaimana beliau memperingatkan sebagian sahabat yang mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan, dan dari kata-kata yang termasuk ghuluw.

Sungguh perhatikanlah, ini merupakan pemuliaan dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terhadap ciptaan-Nya yang suci, yaitu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, pada tubuh beliau dan pada benda-benda yang pernah beliau gunakan. Karena Allah Ta’ala telah meletakkan keberkahan dan kebaikan pada semua hal itu.

Nah, jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah membolehkan para sahabat bertabarruk kepada beliau sebagaimana diterangkan di atas, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah boleh bertabarruk dengan cara yang sama diterapkan kepada orang-orang shalih selain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ? Atau dengan kata lain meng-qiyaskan orang-orang shalih dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini lah yang akan kita bahas dalam tulisan ini bi’idznillah.

Apakah Para Sahabat Ber-tabarruk Kepada Selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam?

Jika telah diketahui bahwa alasan utama bolehnya bertabarruk adalah perbuatan para sahabat Radhiallahu’ahum kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu beliau menyetujui hal tersebut, bahkan terkadang beliau memerintahkannya, maka yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah para sahabat bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Lalu apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga pernah memerintahkan atau mengajarkan bertabarruk kepada orang selain beliau?

Fakta menyatakan bahwa tidak ada satu perkataan pun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan ummatnya untuk bertabarruk kepada para sahabatnya ataupun orang-orang yang selain sahabat Nabi. Baik bertabarruk dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Demikian juga, tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari para sahabat bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, baik ketika masa Rasulullah masih hidup, apalagi ketika beliau sudah wafat. Tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat bertabarruk kepada sesama sahabat Nabi yang termasuk As Sabiquun Al Awwalun (orang-orang yang pertama kali memeluk Islam) misalnya, atau kepada Khulafa Ar Rasyidin -padahal mereka adalah sahabat Nabi yang paling mulia- , atau bertabarruk kepada sepuluh orang sahabat yang sudah dijamin surga, atau kepada yang lainnya.

Imam Asy Syatibi rahimahullah adalah salah satu dari beberapa ulama yang meneliti permasalahan ini. Setelah beliau memaparkan dalil-dalil shahih tentang ber-tabarruk kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam kitab beliau Al I’tisham (2/8-9), beliau lalu berkata:

الصحابة رضي الله عنهم بعد موته عليه الصلاة والسلام لم يقع من أحد منهم شيء من ذلك بالنسبة إلى من خلفه، إذ لم يترك النبي صلى الله عيه وسلم بعده في الأمة أفضل من أبي بكر الصديق رضي الله عنه، فهو كان خليفته، ولم يفعل به شيء من ذلك، ولا عمر رضي الله عنه، وهو كان أفضل الأمة بعده، ثم كذلك عثمان، ثم علي، ثم سائر الصحابة الذين لا أحد أفضل منهم في الأمة، ثم لم يثبت لواحد منهم من طريق صحيح معروف أن متبركا تبرك به على أحد تلك الوجوه أو نحوها ـ يقصد التبرك بالشعر والثياب وفضل الوضوء ونحو ذلك ـ، بل اقتصروا فيهم على الاقتداء بالأفعال والأقوال والسير التي اتبعوا فيها النبي صلى الله عيه وسلم ، فهو إذا إجماع منهم على ترك تلك الأشياء

“Para sahabat Radhiallahu’anhum, setelah wafatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak ada seorang pun diantara mereka yang melakukan perbuatan itu (bertabarruk) kepada orang setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal beliau sepeninggal beliau tidak ada manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu, karena beliaulah pengganti Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar Bin Khattab, padahal Umar bin Khattab adalah manusia yang paling mulia setelah Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Utsman Bin Affan, tidak pernah pula bertabarruk kepada Ali, tidak pernah pula bertabarruk salah seorang dari sahabat Nabi pun. Padahal merekalah orang-orang yang paling mulia dari seluruh ummat.

Dan tidak ketahui adanya satu riwayat pun yang shahih bahwa mereka bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan salah satu dari cara yang disebutkan -maksudnya bertabarruk dengan rambut, baju atau sisa air wudhu, atau semacamnya-. Para sahabat Nabi hanya mencukupkan diri mereka dengan meneladani perbuatan, perkataan, jalan hidup yang mereka ambil Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini semua menunjukkan bahwa para sahabat bersepakat (ijma) untuk meninggalkan perbuatan tersebut”

Apa Yang Menyebabkan Para Sahabat Meninggalkan Perbuatan Tersebut?

Kita telah mengetahui bahwa tidak terdapat kabar yang shahih bahwa para sahabat bertabarruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal mereka adalah generasi terbaik, sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syatibi rahimahullah dan para ulama yang lain[1]. Sebagai generasi terbaik, tentunya mereka bersemangat untuk mendapatkan kebaikan, keberkahan, kesembuhan. Selain itu, orang-orang yang diberkahi Allah masih banyak ketika itu, yaitu para As Sabiquunal Awwaluun, juga sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, Radhiallahu’anhum ajma’in. Ada pula para sahabat yang diutus ke luar Madinah untuk beberapa kepentingan, diantara mereka termasuk sahabat-sahabat senior. Namun, para sahabat yang berada di luar Madinah ini pun tidak dijadikan objek tabarruk, sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Jika demikian, lalu apa yang menyebabkan para sahabat bersepakat untuk tidak bertabarruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam padahal mereka melakukannya terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam?

Wallahu’alam, penyebab utamanya adalah mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak berlaku bagi selain beliau, sebagaimana kekhususan ini juga berlaku kepada para Nabi yang lain.

Allah Tabaaraka Wa Ta’ala memberikan keistimewaan kepada para Nabi dan Rasul, yang tidak diberikan kepada selain mereka. Diantara kekhususan itu adalah keberkahan yang ada di tubuh dan bekas-bekas peninggalan mereka, sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Namun tentunya jasad mereka dan sifat-sifat mereka berbeda-beda. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ{(الأنعام:124)

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS. Al An’am: 124)

Para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia terbaik yang telah dipilih dan diseleksi oleh Allah Ta’ala dari seluruh manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ{ (القصص:68

“Dan rabbRmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” (QS. Al Qashash: 68)

Keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah perkara yang masyhur dan tidak ada satu orang pun yang mengingkari. Dalam hal inilah salah satunya, Nabi dan Rasul terbedakan dengan orang shalih yang lain. Walau memang orang-orang shalih memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi di sisi Allah, namun mereka tetap tidak bisa mencapai kedudukan para Nabi dan Rasul, serta tidak mungkin mereka mengusahakannya[2]. Dan tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Nabi dan Rasul yang paling utama dan paling banyak keberkahannya.

Setelah menjelaskan ijma shahabat untuk meninggalkan tabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom (2/9) berkata:

أن يعتقدوا فيه الاختصاص، وأن مرتبة النبوة يسع فيها ذلك كله، للقطع بوجود ما التمسوا من البركة والخير، لأنه عليه الصلاة والسلام كان نورا كله… فمن التمس منه نوار وجده على أي جهة التمسه، بخلاف غيره من الأمة ـ وإن حصل له من نور الاقتداء به، والاهتداء بهديه ما شاء الله(3)ـ لا يبلغ مبلغه، على حال توازيه في مرتبته، ولا تقاربه، فصار هذا النوع مختصا به كاختصاصه بنكاح ما زاد على الأربع، وإحلال بضع الواهبة نفسها له، وعدم وجوب القسْم على الزوجات، وشبه ذلك

“Para sahabat meyakini bahwa hal tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka juga meyakini bahwa orang yang layak diperlakukan demikian adalah yang mencapai martabat nubuwwah. Karena sudah merupakan sesuatu yang pasti, bahwa pada diri mereka (para Nabi) terdapat keberkahan dan kebaikan. Karena semua bagian dari mereka adalah cahaya. Maka jika ada orang yang mencari cahaya dari diri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia akan mendapatkannya dari segala sisi. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang lain selain para Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, walaupun pada orang yang telah mendapatkan cahaya berupa hidayah untuk meneladani dan mencontoh beliau[3]. Mereka tidak bisa mencapai derajat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang kedudukannya begitu istimewa, bahkan mendekati derajat beliau pun tidak bisa. Oleh karena itu, perkara bolehnya dijadikan objek tabarruk, adalah kekhususan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana beliau memiliki kekhususan untuk menikahi wanita lebih dari empat, bolehnya menggauli wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau, tidak adanya kewajiban membagi rata dalam nafkah dan menggilir istri, dan yang lainnya”

Kemudian beliau menjelaskan hukum bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

فعلى هذا لمأخذ: لا يصح لمن بعده الاقتداء به في التبرك على أحد تلك الوجوه ونحوها، ومن اقتدى به كان اقتداؤه بدعة، كما كان الاقتداء به في الزيادة على أربع نسوة بدعة

“Dengan demikian bisa kita simpulkan, tidak benar jika seseorang mencontoh tabarruk yang dilakukan para sahabat kepada Nabi lalu diterapkan kepada selain Nabi. Jika ada yang meniru demikian, maka itu perbuatan bid’ah. Sebagaimana bid’ahnya orang yang meniru Nabi dengan menikahi lebih dari empat wanita”.

Di tempat yang lain, beliau juga menyampaikan pendapat yang beliau pegang:

وهو اطباقهم ـ أي الصحابة ـ على الترك، إذ لو كان اعتقادهم التشريع(4) لعلم به بعضهم بعده، أو عملوا به ولو في بعض الأحوال، إما وقوفا مع أصل المشروعية، وإما بناء على اعتقاد انتفاء العلة الموجبة للامتناع

“Yaitu mencontoh para sahabat dengan meninggalkan perbuatan tersebut. Karena andaikan para sahabat berkeyakinan bahwa Rasulullah membiarkan para sahabat untuk ber-tabarruk pada dirinya itu dalam rangka tasyri’, maka tentu para sahabat sudah saling mengetahui. Atau, tentu mereka akan melakukannya sesama mereka, walau hanya sesekali saja. Mereka meninggalkannya bisa jadi karena tidak menganggap itu sebagai tasyri’, atau bisa jadi karena berkeyakinan bahwa faktor yang membuat perbuatan itu dibolehkan telah hilang”[4]

Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam sebuah bantahan, yang intinya melarang ummat untuk berlebihan memuja orang shalih dan menempatkan orang shalih sederajat dengan para Nabi. Beliau berkata:

وكذلك التبرك بالآثار، فإنما كان يفعله الصحابة مع النبي صلى الله عيه وسلم ، ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم… ولا يفعله التابعون مع الصحابة، مع علو قدرهم، فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع النبي صلى الله عيه وسلم ، مثل التبرك بوضوئه، وفضلاته، وشعره، وشرب فضل شرابه وطعامه

“Demikian juga bertabarruk dengan bekas-bekas seseorang. Hal ini hanya dilakukan para sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, namun mereka tidak melakukannya kepada sesama mereka. Perbuatan ini juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat Nabi. Padahal sahabat Nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Semua ini menunjukkan bahwa bertabarruk dengan bekas-bekas seseorang hanya khusus dilakukan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu semisal bertabarruk dengan air wudhunya atau sisa airnya, dengan rambutnya, dengan air minum atau sisa makan dan minumnya”[5]

Meng-qiyaskan orang shalih dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

Setelah penjelasan-penjelasan yang telah lewat, telah jelas bagi kita bahwa pendapat sebagian ulama[6] yang meng-qiyaskan orang shalih dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga mereka membolehkan tabarrruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, itu tidak dibenarkan. Yaitu karena beberapa poin:

ñ Ijma’ sahabat untuk meninggalkan perbuatan bertabarruk dengan jasad dan peninggalan-peninggalan orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala telah mengistimewakan para Nabinya dengan memberikan keberkahan pada jasadnya dan bekas-bekas peninggalannya. Hal ini sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka, yang merupakan makhluk suci, ‘alaihis shalatu was salaam.

Andai perbuatan tersebut disyariatkan, tentu para sahabat telah berlomba-lomba melaksanakannya bukannya malam bersepakat meninggalkannya. Karena merekalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan.

Dalam sebagian kitab syarah hadits terdapat pendapat yang berbunyi:

لا بأس بالتبرك بآثار الصالحين

“Ber-tabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang shalih hukumnya boleh”

Perkataan tersebut biasanya disebut ketika membahas tentang rambut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, atau semisalnya. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengomentari perkataan ini:

وهذا غلط ظاهر، لا يوافقهم عليه أهل العلم والحق، وذلك أنه ما ورد إلا في حق النبي صلى الله عيه وسلم ، فأبوبكر وعمر وذو النورين عثمان وعلي، وبقية العشرة المبشرين بالجنة، وبقية البدريين، وأهل بيعة الرضوان، ما فعل السلف هذا مع واحد منهم، أفيكون هذا منهم نقصا في تعظيم الخلفاء التعظيم اللائق بهم، أو أنهم لا يلتمسون ما ينفعهم. فاقتصارهم على
النبي صلى الله عيه وسلم يدل على أنه من خصائص النبي صلى الله عيه وسلم

“Perkataan ini jelas-jelas merupakan kesalahan yang sama sekali tidak disetujui oleh ahli ilmu dan pengikut kebenaran. Karena bertabarruk yang demikian hanya layak dilakukan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, 10 sahabat yang dijamin surga, peserta perang Badar, para sahabat yang ikut bai’atur ridhwan, tidak ada seorang pun generasi salaf yang melakukannya.

Apakah mereka meremehkan para khulafa ar rasyidin? Apakah mereka kurang semangat dalam mencari hal yang bermanfaat bagi mereka? Sikap mereka, dengan hanya melakukan perbuatan tersebut terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa itu kekhususan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”[7]

ñ Menguatkan poin pertama, para tabi’in pun bersikap sama dengan para sahabat dalam masalah ini. Karena tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa ada tabi’in yang bertabarruk dengan para sahabat Radhiallahu’anhum, sebagaimana telah dijelaskan. Bahkan para tabi’in pun tidak melakukannya terhadap para tabi’in senior. Padahal para tabi’in senior adalah penghulu mereka dalam ilmu dan amal[8]. Demikian juga para imam setelah mereka.

ñ Lebih menguatkan lagi, tidak ada satu dalil syar’i pun yang menunjukkan bolehnya bertabarruk pada jasad dan peninggalan-peninggalan orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Semua dalil menunjukkan perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana kekhususan beliau yang lain[9]

ñ Karena perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka sudah tentu tidak dibolehkan mengqiyaskan orang shalih kepada beliau dalam hal ini, apa pun keutamaan orang shalih tersebut. Karena kekhususan Nabi itu hanya berlaku terbatas pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Para ulama telah ber-ijma’ bahwa jika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki suatu kekhususan, maka hukum ini tidak berlaku pada orang lain. Karena kalau berlaku juga pada orang lain, tentu bukan kekhususan namanya[10].

ñ Tidak dibolehkan mengqiyaskan orang shalih kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini dalam rangka sadduz dzarii’ah, menutup jalan menuju sebuah keburukan.

Sadduz dzarii’ah adalah salah satu kaidah syar’iat yang agung dalam agama ini. Dan salah satu sebab tidak dibolehkannya qiyas dalam hal ini adalah sadduz dzarii’ah. Karena dikhawatirkan, bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dapat menjerumuskan kepada berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Imam Asy Syatibi menjelaskan asalan ini:

لأن العامة لا تقتصر في ذلك على حد، بل تتجاوز فيه الحدود، وتبالغ بجهلها في التماس البركة، حتى يداخلها للمتبرك به تعظيم يخرج به عن الحد، فربما اعتقد في المتبرك به ما ليس منه

“Karena kebanyakan orang awam tidak bisa menahan diri untuk tidak melebihi batas. Bahkan karena ketidak-pahaaman mereka, mereka cenderung melebihi batas dan berlebihan dalam mencari berkah. Mereka mengagungkan orang yang ditabarruki sampai melebihi batas. Bahkan terkadang mereka berkeyakinan yang tidak layak terhadap orang shalih yang ditabarruki tersebut.”[11]

Dan terkadang perbuatan ini menjadi sebab terlalu berlebihannya orang shalih diagungkan hingga sampai mencapai level kesyirikan[12]. Dalam kasus ini bertabarruk terhadap orang shalih selain Nabi menjadi jalan (dzarii’ah) menuju kesyirikan.

Sebagaimana juga yang dipaparkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah ketika membahas masalah ini:

وفي الجملة، فهذه الأشياء فتنة للمعظَّم والمعظَّم، لما يُخشى عليه من الغلو المدخل في البدعة، وربما يترقى إلى نوع من الشرك

“Singkat kata, perbuatan-perbuatan demikian merupakan fitnah (keburukan besar) bagi orang yang melakukan tabarruk dan bagi orang shalih yang ditabarruki. Karena dikhawatirkan terjadi ghuluw yang mengantarkan kepada perbuatan bid’ah atau terkadang sampai ke derajat syirik”[13]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah membantah ulama yang membolehkan tabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan berkata:

لو أذن فيه على وجه البركة، من غير اعتقاد ذاتي، فهو سبب يوقع في التعلق على غير الله، والشريعة جاءت بسد أبواب الشرك

“Andai perbuatan ini dibolehkan sekedar meyakini pada diri orang shalih turun keberkahan, tanpa berkeyakinan itu ada pada jasad atau bekas-bekasnya, tetap saja perbuatan ini menjadi sebab terjerumusnya seseorang pada tawakkal kepada selain Allah. Dan syariat Islam datang untuk menutup jalan-jalan kesyirikan”[14]

Perbuatan ini selain merupakan keburukan besar bagi orang yang melakukan tabarruk, juga menimbulkan keburukan besar bagi orang shalih yang ditabarruki, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab barusan. Karena jika hal ini terjadi, dan orang shalih tersebut tidak sadar bahwa ia sedang tertimpa sebuah keburukan besar dengan perbuatan itu, ia pun akan merasa bangga pada dirinya. Rasa bangga meliputi dirinya sehingga ia menjadi sombong, riya[15], ia merasa dirinya suci, semua ini adalah penyakit-penyakit hati yang haram[16]. Ditambah lagi keburukan-keburukan yang lainnya, yang timbul dari perbuatan ini.

Syubhat: “Kalau diharamkan karena mencegah kesyirikan, bukankah bisa terjadi juga bila dilakukan terhadap Rasulullah?”

Tidak dibenarkan kalau ada orang yang beralasan bahwa kemungkinan timbulnya ghuluw dan kesyirikan itu pun bisa terjadi jika bertabarruk kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Pasalnya, ada dalil-dalil syariat yang mendasari dan adanya dalil yang memerintahkan bertabarruk kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara khusus[17]. Dan kita ketahui bersama bahwa para sahabat Nabi yang melakukan demikian adalah orang-orang yang tidak ghuluw dan tidak berkeyakinan syirik. Alasan lain, hal ini tidak sama seperti bila dilakukan terhadap orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana telah dijelaskan.

Diantara ulama masa kini, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, menyanggah pendapat Ibnu Hajar Al Asqalani yang membolehkan bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan alasan qiyas beberapa hadits tentang sahabat Nabi yang bertabarruk kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz waffaqahullah berkata:

التبرك بآثار الصالحين غير جائز، وإنما يجوز ذلك بالنبي صلى الله عيه وسلم خاصة، لما جعل الله في جسده وما ماسه من البركة، وأما غيره فلا يقاس عليه لوجهين:
أحدهما: أن الصحابة رضي الله عنهم لم يفعلوا ذلك مع غير النبي صلى الله عيه وسلم ، ولو كان خيرا لسبقونا إليه.
الوجه الثاني: سد ذريعة الشرك، لأن جواز التبرك بآثار الصالحين يفضي إلى الغلو فيهم، وعبادتهم من دون الله، فوجب المنع من ذلك

“Bertabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang shalih tidaklah dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa diqiyaskan kepada beliau, karena dua alasan:

1. Para sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Andai perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabi lah yang sudah terlebih dahulu melakukannya

2. Menutup jalan menuju kesyirikan. Karena bertabarruk kepada bekas-bekas peninggalan orang shalih selan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah. Sehingga wajib untuk dicegah.”[18]

Nah, jelaslah sudah bagi kita semua bahwa tidak boleh meng-qiyas orang shalih terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini. Sehingga tidak boleh bertabarruk kepada jasad atau bekas-bekas peninggalan orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lebih lagi jika kepada selain mereka (kepada ahli bid’ah, ahli maksiat, pohon, batu, cincin, dll. -pent). Karena mengagungkan sesuatu atau mencari berkah pada sesuatu itu membutuhkan dalil syar’i.

Wallahu Ta’ala ‘alam.

[Diterjemahkan dari risalah yang berjudul Al Baraahin 'Ala 'Adami Jawaazit Tabarruk Bis Shaalihin, karya Syaikh Nashir bin Abdirrahman Al Jadi' hadizhahullah]

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id
[1] Diantaranya adalah Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau yang berjudul:

الحكم الجديرة بالإذاعة من قول النبي صلى الله عليه وسلم : بُعثت بين يدي الساعة

di halaman 55

[2] Sebagian orang sufi berkeyakinan lain, mereka menganggap bahwa sebagian wali itu lebih utama daripada para Nabi. Simak pembahasannya di kitab Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah tulisan Ali bin Abdil ‘Izz (493-495)

[3] Yang dimaksud Asy Syatibi adalah keberkahan yang sifatnya konotatif, yang didapatkan oleh orang-orang yang shalih karena telah mengikuti sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

[4] Al I’tisham, 2/10

[5] Al Hukmul Jadiirah, 1/55

[6] Diantaranya adalah Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 7/3, 14/44) dan Ibnu Hajar Al Asqalani (Fath Al Baari, 3/129,3/130,3/144,5/341), rahimahumallah.

[7] Majmu’ Fatawa Wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 1/103-104. Lihat juga Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, 106.

[8] Fathul Majid (106), Ad Diin Al Khaalish (2/250) karya Syaikh Shiddiq Hasan Khan

[9] Haadzihi Mafaahimuna (209) karya Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Syaikh, dengan sedikit perubahan.

[10] Af’alur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Wa Dilaalatuha ‘alal Ahkaam At Tasyri’ (227) karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqaar, dengan sedikit perubahan

[11] Al I’tisham (2/9)

[12] Murid-murid Al Hallaj menceritakan bahwa mereka ghuluw dalam bertabarruk kepada Al Hallaj. Sampai-sampai ada yang mengusap-usap air kencingnya dan membakar tahi-nya (seperti membakar dupa). Bahkan ada yang mengklaim bahwa Al Hallaj titisan Allah. Lihat kitab Al I’tisham (2/10).

[13] Al Hukmul Jadiirah (1/55)

[14] Majmu Fatawa War Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim (1/104) dengan sedikit perubahan, lihat juja Fathul Majid (106), Asy Syirku Wa Mazhaahiruhu (93) karya Syaikh Mubaarak bin Muhammad Al Maili, Ad Diin Al Khaalish (2/250)

[15] Taisiir Al ‘Aziiz Al Hamid Syarh Kitab At Tauhid (154), karya Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab

[16] Haadzihi Mafaahimuna (210)

[17] Al Kawaasyif Al Jaliyyah ‘an Ma’aani Al Washithiyyah (746) karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhamad As Salman, dengan sedikit perubahan

[18] Fathul Baari (3/130), (1/144) yang dita’liq oleh Syaikh Ibnu Baaz

Memahami Allah Maha Pemberi Rizki

Kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rizki. Rizki sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah. Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rizki).

Allah Satu-Satunya Pemberi Rizki

Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi rizki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)

Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam memberi rizki. Oleh karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah, tidak pantas Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat Fathir, Allah Ta’ala berfirman,

لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

“Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)

Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)

Seandainya Allah menahan rizki manusia, maka tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rizki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Itu memang benar, tidak mungkin ada yang dapat memberikan makan dan minum ketika Allah menahan rizki tersebut.

Allah Memberi Rizki Tanpa Ada Kesulitan

Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta segala kebutuhan pada-Nya.”[1]

Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ قَالَ لِى أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ ». وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَمِينُ اللَّهِ مَلأَى لاَ يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُذْ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِى يَمِينِهِ »

“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah, tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga, yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]

Allah Menjadikan Kaya dan Miskin dengan Adil

Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71)

Dalam ayat lain disebutkan,

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)

Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]

Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman Allah,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Beliau rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”

Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]

Dalam sebuah hadits disebutkan,

إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر

“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.

Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ

“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (36) وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ (37)

“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)

Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,

نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ

“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)

Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan,

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)

Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan. Semoga kita bisa merenungkan hal ini.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]

Sebab Bertambah dan Barokahnya Rizki

Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki menjadi barokah. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai Ahli Kitab,

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al Maidah: 66)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ القُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluark, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Sebab Berkurang dan Hilangnya Barokah Rizki

Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَالبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). Yang dimaksudkan kerusakan di sini—kata sebagian ulama– adalah kekeringan, paceklik, hilangnya barokah (rizki). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksudkan kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki) karena perbuatan hamba. Ini semua supaya mereka kembali pada Allah dengan bertaubat.” Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di laut adalah sulitnya mendapat buruan di laut. Kerusakan ini semua bisa terjadi karena dosa-dosa manusia.[7]

Yang Penting Berusaha dan Tawakkal

Keimanan yang benar rizki bukan hanya dinanti-nanti. Kita bukan menunggu ketiban rizki dari langit. Tentu saja harus ada usaha dan tawakkal, yaitu bersandar pada Allah. Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[8]

Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:

Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]

Rizki yang Paling Mulia

Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,

لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا

“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)[10]

Jika setiap kita memahami hal ini, yang Allah satu-satunya pemberi rizki dan sungguh Allah benar-benar yang terbaik bagi kita, maka tentu saja kita tidak akan menggantungkan hati pada selain Allah untuk melariskan bisnis. Allah Ta’ala sungguh benar-benar Maha Mencukupi. Allah Maha Mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya, sehingga ada yang Dia jadikan kaya dan miskin. Setiap hamba tidak perlu bersusah payah mencari solusi rizki dengan meminta dan menggantungkan hati pada selain-Nya. Tidak perlu lagi bergantung pada jimat dan penglaris. Gantilah dengan banyak memohon dan meminta kemudahan rizki dari Allah. Wallahu waliyyut taufiq. (*)

Finished on Monday, 2nd Dzulhijjah 1431 H (8/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/479

[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.

[5]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.

[7] Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 14/40.

[8] HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[9] Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, Asy Syamilah, 1/335.

[10] Bahasan dalam tulisan ini, kami kembangkan dari tulisan di web: http://www.dorar.net/enc/aqadia/1241, dengan judul: Pengaruh iman terhadap nama Allah “Ar Rozzaq”.