Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan

on Selasa, 25 Januari 2011

Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menjadikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang justru menimbulkan kerusakan.

Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat yang tepat.

Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dalam syarhnya terhadap Al-Arba’in An-Nawawiyah:

Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terhadap orang yang dinasehati.

Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam “Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At-Ta’yiir” (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):

“Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebutan seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini terkadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada yang benar.

Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi sebagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebaikan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.

Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh wa ta’dil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para rawi dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan antara kedua hal tersebut.

Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bidang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap ucapannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tidak ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pula disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah orang yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini dingkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka menegakkan hujah syar’iyah dan dalil yang diperhitungkan.

Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud menampakkan kebenaran yang Allah ta’ala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah ta’ala. Semua mereka mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun yang mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pengikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.

Adalah Asy-Syafi’i rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-haq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan ucapan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.

Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan al-haq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.

Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisihannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupun setelah matinya.

Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaannya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim itu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sama saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.

Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.

Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia melakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan membantah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.

Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama tersebut dan bukan pula menjelekkan mereka.

Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah, meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersangkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan ini masuk dalam perkara yang dicela Allah ta’ala dalam kitabnya dan disiapkan ancaman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar dalam agama ini. Adapun ahlul bida’ dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama padahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.

Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama itu sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.

Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk menghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi dengan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.

Bagaimana maksud ini bisa diketahui?

Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Siapa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum muslimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditempuh oleh imam para ulama.

Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahkan ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka terhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh Allah ta’ala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) dengan hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dusta dan dosa yang nyata.” [An-Nisa’: 112]

Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tanda-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak bersikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelum ia pantas memegangnya.

Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.

Al-Fudhail rahimahullah berkata: “Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan menasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.”

Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu celaan, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyian, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.

Para ulama salaf tidak suka melakukan amar ma’ruf atau nahyu munkar di depan hadapan manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah tanda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebarkan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yang orang itu jatuh padanya[1].

Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidaklah punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dari kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmin, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa menyebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.

Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudaranya dan menjauhkannya dari aib itu.

Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah menampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinnya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.

Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan dan ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu daya dan muslihat.

Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan kejelekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya, atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelilinginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseorang tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang itu dalam kemasan agamis.

Lalu apa obat untuk penyakit ini?

Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah ta’ala, meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertakwa.”

Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjang[2].

Diringkas dari kitab tersebut oleh:

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits - Ma’bar, Yaman

Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-dan-celaan/#more-495

Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]

[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, dan tipu daya:

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ

“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir).” [Yusuf: 21]

Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-A’raf: 128]

Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu a’lam.

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-Orang Kafir

Penulis :Asy Syaikh Soleh Al Fauzan


Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.
Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR IDENTIK DENGAN AGAMA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

SETIAP UMAT BERAGAMA MEMILIKI HARI RAYA
Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48). Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:
فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْداً وَإِنَّ هَذَا لَعِيْدُناَ
“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:
وَلاَ تَدْخُلُوْا عَلىَ الْمُشْرِكيْنَ فِيْ كَناَئِسِهِمْ وَمَعاَبِدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْـزِلُ عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

DOSAKAH BILA MELAKUKAN HAL ITU DALAM RANGKA MUDAHANAH (BASA BASI)?
Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)
Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya): “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

ORANG-ORANG KAFIR BERGEMBIRA BILA KAUM MUSLIMIN IKUT BERPARTISIPASI DALAM HARI RAYA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

BOLEHKAH SEORANG MUSLIM IKUT MERAYAKAN TAHUN BARU DAN HARI KASIH SAYANG (VALENTINE’S DAY)?
Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.
Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257). Wallahu A’lam.

(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=89)

Meraih Kebahagiaan Hidup

Buletin Islam AL-ILMU Edisi: 5 / II / IX / 1432

Para pembaca yang berbahagia, tidak diragukan lagi bahwa setiap insan pasti mendambakan (pada dirinya) kebahagiaan hidup atau kehidupan yang baik.

Namun pandangan masing-masing orang tentang kebahagiaan hidup itu berbeda-beda. Sebagian orang ada yang memandang bahwa ukuran kebahagiaan adalah keberhasilan dalam meraih dunia dengan segala kelezatan hidupnya. Padahal tidaklah demikian hakikatnya.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” [Ali ‘Imran: 14]

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” [Ar-Ra’d: 26]

Inilah segolongan manusia yang sempit akal dan pandangannya. Mereka merasa heran dan kagum dengan kehidupan dunia dan mencukupkan semangat dirinya terhadap kehidupan dunia. Keadaan mereka yang seperti ini disebabkan oleh:

1. Tidak ada pada dirinya keimanan kepada akhirat.

2. Atau beriman kepada akhirat namun tersibukkan dirinya dengan urusan dunia.

Sehingga kehidupannya adalah kehidupan yang rugi dan celaka, walaupun ia diberikan kemudahan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala untuk meraih harta, perhiasan dan berbagai kelezatan dunia, namun hakikatnya dia sedang mengalami istidraj (keleluasaan) dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian ia akan mengalami kerugian yang abadi.

Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” [At-Taubah: 55]

Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan tentang ayat di atas: “Janganlah kamu tertipu terhadap harta benda dan anak-anak (yang Allah berikan kepada) orang kafir di kehidupan dunia, hanya saja Allah menghendaki yang demikian, agar Dia mengadzab mereka di akhirat kelak.” Inilah yang dinamakan dengan istidraj. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” [Al Mu’minun: 55-56]

Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Hadid: 20]

Mencari dunia terkait dengan kebutuhan hidup adalah sesuatu yang mulia jika dilakukan dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah. Karena dunia adalah ladang beramal untuk kehidupan di akhirat. Hanya saja, sikap yang tercela adalah menjadikan semangatnya yang tinggi untuk meraih dunia. Sehingga tidaklah ia mengarahkan pandangannya kecuali kepada dunia. Tidak peduli darimana ia mendapatkan harta dengan cara yang halal ataukah haram? Dialah sahabat dunia, yang telah menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan semangat yang tinggi untuk mendapatkannya, dengan persangkaan bahwa dengannya akan tercapai kebahagiaan hidup.

Adapula yang memandang bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan iman dan amal shalih dengan tetap mencari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia ini. Mereka mengatakan dalam doanya: “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungilah kami dari adzab neraka.” Mereka menggabungkan dalam doa mereka agar Allah memberikan kepada mereka kebaikan di dunia dan akhirat. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97]

Barangsiapa yang beramal shalih baik dari kalangan laki-laki atau perempuan dalam keadaan iman, maka Allah akan memberikan kepadanya kebahagiaaan hidup. Di dunia ia merasakan kebahagiaan hidup diatas iman, hatinya tenang, lapang dan senang. Mereka hidup dalam keadaan berzikir kepada Allah, merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian di akhirat, Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan memasukkan mereka ke dalam surga dan merasakan kelezatan di dalamnya, merasakan kenikmatan abadi yang tidak akan pernah terputus selama-lamanya. Tidak merasakan di dalamnya rasa sakit, takut kepada musuh, tidak ada perasaan gelisah yang menghantuinya, tidak ada dalam hatinya penyakit-penyakit hati, tidak akan pernah merasakan kematian dan sebagainya. Demikianlah ahlul jannah (penduduk surga), mereka merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki.

Ibnu Taimiyah berkata: “Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan kedamaian, akan tercapai dengan dua hal: ilmu yang bermanfaat, dan amalan shalih.” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/169)

Apabila engkau ingin merasakan kebahagiaan hidup, maka wajib bagimu untuk beramal shalih selama hidupmu. Carilah dunia yang akan membantumu untuk memperoleh akhirat. Carilah dunia secukupnya sekedar membantumu taat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Tips Meraih Ketenangan Hati

Melihat realita yang ada, beberapa orang yang notabene merupakan orang-orang yang terbilang sukses dalam dunianya dan memiliki kedudukan di mata publik, mereka menjadi pasien rohani di beberapa pondok pesantren. Kerasnya roda kehidupan dan jauhnya diri dari norma Islam yang benar, telah membuat hati mereka kering, sesak, risau, dan selalu didera rasa takut. Mereka tidak merasakan ketenangan hati dan seakan seperti terkucilkan dari pergaulan, sehingga membuat mereka stress, dan bahkan sampai membawa kepada perbuatan yang dilarang oleh agama yaitu bunuh diri. Demikianlah, wahai pembaca, kenyataan yang cukup memilukan. Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah ini, kami nukilkan disini beberapa tips yang sangat mudah untuk diamalkan dalam meraih ketenangan hati. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam kitabnya “Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah”:

“Sesungguhnya kelapangan, ketenangan dan kegembiraan hati serta jauhnya hati dari perasaan sedih serta gundah gulana merupakan diantara sebab yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih kebahagian hidup.”

“Sedangkan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup adalah keimanan dan amalan shalih. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97] (Lihat Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah, hal. 4)

Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan kabar gembira dan janji mulia kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih berupa kebahagiaan hidup. Di dunia berupa ketenangan hati dan ketentraman jiwa serta anugerah dalam bentuk rezeki yang halal dari arah yang tidak disangka-sangka. Di akhirat dia akan mendapatkan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, dan belum pernah terdengar oleh telinga serta belum pernah terbetik dalam hati seorang hamba, yaitu kenikmatan surga.

Dua hal pokok yaitu iman dan amalan shalih merupakan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup. Karena seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, akan membuahkan amalan yang shalih, yang akan memperbaiki hati, akhlak, dan kehidupannya di dunia dan di akhirat.

Beberapa hal yang perlu diamalkan dalam meraih ketenangan hati, disamping yang telah disebutkan di atas, adalah:

1. Memperbanyak dzikir kepada Allah.

2. Menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah karuniakan dengan lisannya.

3. Mengambil pelajaran dari kondisi orang yang di bawahnya dalam hal kenikmatan.

4. Berbuat baik kepada sesama makhluk dengan ucapan, perbuatan dan segala macam kebaikan.

5. Berkonsentrasi dalam melakukan amalan yang dilakukan pada hari ini dan jangan terlalu memikirkan (risau) terhadap waktu yang akan datang serta tidak boleh bersedih dari waktu yang telah berlalu.

6. Berusaha untuk menolak sebab-sebab yang mendatangkan kesedihan, gundah-gulana dan yang semacamnya dengan cara melupakan segala pengalaman pahit yang pernah terjadi.

7. Banyak berdoa kepada Allah agar diringankan segalal beban dunia dan diperbaiki segala urusan.

8. Menyandarkan hati hanya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.

Untuk lebih rincinya, silakan membaca kitab Al-Wasail Al-Mufidah lil Hayat As-Saidah karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/meraih-kebahagiaan-hidup

Singa-singa Padang Pasir di Perang Nahawand

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 3/I/IX/1432 H


Mereka adalah sosok pejuang pencari kemuliaan. Harapan yang lahir dari kejernihan iman, menjadikan mereka sebagai ksatria-ksatria tangguh dalam kancah jihad fi sabilillah. Terik panas gurun pasir, lembah gersang lagi tandus, pegunungan yang terjal, serta ancaman maut menghadang tidaklah menyurutkan langkah tegap mereka. Tentunya amalan yang selaras dengan ajaran agama, bukan tindakan teror khawarij yang membabi buta. Keinginan mereka tak lebih dari dua hal, hidup mulia dengan tegaknya Islam dimuka bumi atau gugur meraih syahid. Kemuliaan, keberanian, serta ketangguhan yang mereka miliki menjadikan mereka layak menyandang gelar “Singa-Singa Padang Pasir”.

SEKILAS TENTANG PERANG NAHAWAND

Perang ini merupakan peperangan berskala besar yang berlangsung pada tahun 21 H. Berbagai kisah heroik dan menakjubkan mewarnai jalannya pertempuran. Sebuah gambaran jihad fi sabilillah dimasa khalifah Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Nahawand, sebuah kota besar yang terletak di Al-Hadhbah - Iran pada masa sekarang. Karena itulah peperangan ini dikenal dengan Perang Nahawand.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN

Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil menaklukkan negeri Syam (Romawi) hingga Baitul Maqdis. Penaklukan ini terus berlanjut dengan dikuasainya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga Istana Putih (kerajaan Persia) di Madain jatuh ditangan kaum muslimin.

Singa-Singa Padang Pasir terus merangsek memasuki wilayah teritorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai. Fenomena tragis ini menyulut kemarahan Yazdigird, raja Persia kala itu. Diapun melayangkan surat provokasi kepada para pimpinan wilayah disekitar Nahawand, memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin.

Upaya ini berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap dengan persenjataannya. Detasemen gabungan artileri-kavaleri ini dibawah komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.

Merekapun bersepakat menyatukan kekuatan dan memobilisasi pasukan untuk menyerang kota Basrah dan Kufah. Rencana penyerangan pasukan Persia itu sampai kepada Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu di kota Madinah. Segera Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul di masjid. Beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya hari ini adalah penentu bagi hari esok. Aku akan memberikan sebuah instruksi kepada kalian, maka dengarlah dan penuhilah! Jangan kalian saling berselisih sehingga kekuatan kalian menjadi sirna! Aku berkeinginan keras untuk maju bersama tentara-tentara yang berada di depanku hingga sampai di suatu tempat antara kota Basrah dan Kufah. Lantas aku akan himbau kaum muslimin untuk berangkat sebagai satuan tempur, hingga Allah memberi kemenangan kepada kita.”

Setelah mendengar gagasan-gagasan dari beberapa pemuka kaum muslimin, Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk mendahului menyerbu wilayah Persia, dan mengangkat seorang dari pasukan yang berada di Iraq sebagai panglima perang. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan mengangkat seorang panglima perang yang akan menjadi ujung tombak di saat bertemu musuh esok hari.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “An-Nu’man bin Muqarrin”. “Dia memang pantas untuk hal itu,” sahut mereka.

PERSIAPAN PASUKAN ISLAM

Rencana penyerangan pasukan Persia merupakan ancaman besar bagi daerah kaum muslimin, terkhusus kota Basrah dan Kufah. Hal ini membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sebelum pasukan Persia datang menyerbu.

Umar radhiyallahu ‘anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu agar berangkat dari Kufah bersama pasukannya. Demikian pula instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu agar berangkat bersama pasukannya dari Basrah.

Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat yang telah disepakati, lengkaplah jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 personil. Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemimpin Arab. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah An-Nu’man bin Muqarrin.

Sebagai langkah awal, An-Nu’man mengutus Thulaihah, ‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan intelijen di depan pasukan, untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah Al-Asadi berhasil membunuh beberapa petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan data akurat tentang kekuatan musuh.

Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nahawand.

JALANNYA PEPERANGAN

An-Nu’man bin Muqarrin bersama pasukan Islam bergerak maju menuju Nahawand. Pasukan lini depan dipimpin oleh Nu’aim bin Muqarrin, pasukan penyerang di bawah komando Al-Qa’qa’ bin ‘Amr, sayap kiri dan kanan dipegang Hudzaifah bin Al-Yaman dan Suwaid bin Muqarrin. Adapun pertahanan belakang diatur oleh Mujasyi’ bin Mas’ud.

Di saat kedua pasukan berhadapan, An-Nu’man berikut pasukan Islam bertakbir tiga kali hingga mengguncang barisan musuh dan membuat mereka sangat ketakutan, kemudian An-Nu’man menginstruksikan agar pasukan Islam meletakkan perbekalan mereka dan segera mendirikan tenda-tenda.

Di saat persiapan sudah matang, instruksi telah diberikan kepada tiap pimpinan regu, peperanganpun tak terelakkan lagi. Pasukan Islam serempak menyerbu barisan pasukan Persia.

Pada hari-hari itu begitu tampak bukti keimanan, ketangguhan, dan keberanian pasukan Islam. Perbandingan jumlah pasukan yang tak seimbang itu tidaklah menyurutkan langkah milisi militan Islam, hingga pasukan Persia melarikan diri berlindung ke dalam benteng. Pengepungan segera dilakukan dengan sangat ketat dari segala penjuru. Sementara pasukan Persia leluasa keluar menyerang dan masuk berlindung ke benteng sekehendak mereka.

MAJELIS MUSYAWARAH MILITER

Tatkala pengepungan berjalan beberapa hari tanpa ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara menghadapi musuh selanjutnya. ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.

Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini. Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya, agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari mundur ke belakang.

Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam, niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara keseluruhan. Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menentukan akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.

PELAKSANAAN HASIL MUSYAWARAH

Dengan perintah dari An-Nu’man, Al-Qa’qa’ bin ‘Amr berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia menyerang, Al-Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur.

Akhirnya pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang). Musuh terus melancarkan serangan dan memasang sejumlah manjanik (ketapel pelontar ukuran besar), menghujani pasukan Islam dengan batu-batu, hingga banyak tentara Islam yang terluka.

Sebagian tentara Islam mendatangi An-Nu’man, mereka berkata: “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh.” An-Nu’man menjawab: “Pelan-pelan…!”

Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan shalat dhuhur. Setelahnya An-Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang.

Beliau memberikan instruksi, jika terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka seluruh pasukan maju bergerak menyerbu. Beliau berkata: “Apabila aku terbunuh, maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh, maka Fulan sebagai penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah Al-Mughirah).”

Setelah itu, beliau memanjatkan doa di hadapan pasukannya: “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu, tolonglah hamba-hamba-Mu, dan jadikanlah An-Nu’man sebagai syahid pertama pada hari ini, diatas kemuliaan agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.” Tentara-tentara Islampun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.

BERKOBARNYA API PEPERANGAN

Siang itu, An-Nu’man dengan suara lantang bertakbir sekali dan mengibarkan panji perang, maka pasukan mulai bersiap-siap. Takbir kedua dikumandangkan dan pasukan semakin bersiap diri. Di saat takbir ketiga, maka dengan sigap seluruh prajurit serentak menyerbu memborbardir pasukan Persia, layaknya banjir besar yang tak terbendung. Pekikan takbir menggema pada setiap prajurit Islam yang maju menyerbu.

Kedua pasukan bertemu, tak pelak pedang-pedang pun beradu, debu-debu beterbangan, lemparan tombak tak dapat dihindari, dan begitu banyak jasad tentara Persia bergelimpangan, membuat suasana semakin membara. Tiap-tiap tentara Islam bertempur dengan gigih mempertaruhkan nyawa.

Sungguh, cahaya iman telah memasuki sanubari. Masing-masing regu mempunyai andil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, musuh begitu terkejut mendapat serangan balik dari pasukan pemukul reaksi cepat garda Islam. Amukan singa-singa padang pasir benar-benar terjadi. Sementara panji perang yang dipancangkan An-Nu’man berkibar-kibar di atas kudanya, maju menyibak garis pertahanan pasukan Persia.

Permukaan bumi yang licin bersimbah darah membuat banyak kuda tergelincir karenanya. Bahkan kuda An-Nu’man tergelincir jatuh membuat dirinya terlempar. Ketika itulah, salah satu anak panah musuh menembus lambung beliau hingga ia meninggal karenanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Selanjutnya panji perang diserahkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu. Perang terus berlanjut. Menjelang malam pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar pasukan Islam. Akhirnya, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Al-Qa’qa’ bin ‘Amr di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang terbunuh kala itu lebih dari 100.000 personil.

Akhirnya, kaum muslimin kembali meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda. Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak tentu arahnya.

Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia terbaik di muka bumi ini.

Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala tatkala mereka beriman dengan keimanan yang hakiki. Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya itu, keteguhan diatas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan satu hal yang mutlak disamping perjuangan yang sarat dengan pengorbanan.

Wallahu a’lam.

Manhaj Al-Firqah An-Najiyah

Mengenal Jalan Hidup Golongan yang Selamat
(Manhaj Al-Firqah An-Najiyah)

Para pembaca semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Judul di atas sangat terkait dengan apa yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang akan terjadi perselisihan yang banyak setelah meninggalnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sabdanya:

“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, red) dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka).” (HR. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam An-Naar (Neraka) dan satu golongan di dalam Al-Jannah (Surga), yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar menggolongkannya sebagai hadits hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5219)

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa golongan yang selamat itu hanya satu yaitu golongan yang berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah khulafaur rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Bahkan disebutkan dalam riwayat yang lain, yaitu golongan yang meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Adapun apa yang sering didengungkan bahwa perselisihan umat itu adalah rahmat berdasarkan sebuah hadits:

ﭐخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Hadits tersebut setelah diteliti oleh para ulama ternyata tidak didapati dari mana sumbernya. Bukan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula perkataan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran, karena tergolong hadits dha’if (lemah) bahkan mungkar.

Dari sisi kandungan, hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu dan melarang dari berpecah-belah.

Para pembaca rahimakumullah, bagaimanakah ciri-ciri dan jalan hidup yang ditempuh oleh golongan yang selamat itu? Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti pemaparan tentang manhaj (jalan hidup) yang ditempuh oleh satu-satunya golongan yang selamat tersebut, sehingga kita bisa meniti jejak mereka.

MANHAJ (JALAN HIDUP) GOLONGAN YANG SELAMAT

Yaitu yang terkandung Al-Qur’anul Karim yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau jelaskan kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam hadits-hadits yang shahih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh dengan keduanya:

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) dengan keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’)

“Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya/tuntunannya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya.” (An-Nisaa’: 59)

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, red) sebagai hakim (penentu keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Aku mengira mereka akan binasa. Aku sampaikan (kepada mereka) sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang mereka menimpalinya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad dan Ibnu ‘Abdil Barr)

Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia terjatuh kepada kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad)

Imam Malik berkata, “Tak seorang pun sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang ucapannya selalu diambil dan diterima).”

Mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdo’a dan memohon pertolongan baik pada masa sulit maupun lapang, menyembelih kurban, ber-nadzar, tawakkal, berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan berbagai bentuk ibadah lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar. Menjauhi dan membasmi berbagai bentuk kesyirikan dengan segala bentuknya yang banyak ditemui di negara-negara Islam, sebab hal itu merupakan konsekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin mencapai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak membendung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal-hal di atas merupakan teladan dari para rasul dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad-Dani dengan sanad yang shahih.“)

Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat para imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih, dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.

Mereka mengingkari cara-cara bid’ah dalam hal agama yang jauh dari sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan mengingkari sekte-sekte sesat yang memecah belah umat.

Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Al-Jannah (Surga) dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala dan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumNya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.

Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya, baik secara pribadi, kelompok maupun secara pemerintahan. Sebagai realisasi dari firmanNya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Berjihad di jalan Allah wajib bagi setiap muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya. Jihad dapat dilakukan dengan:

Pertama, jihad dengan lisan dan tulisan: Mengajak umat Islam dan umat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda:

“Tidaklah terjadi Hari Kiamat hingga kelompok-kelompok dari umatku mengikuti orang-orang musyrik, dan kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala.” (Hadits shahih, riwayat Abu Dawud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim)

Kedua, jihad dengan harta: Menginfakkan harta untuk penyebaran dan peluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada umat Islam yang masih lemah imannya agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa makanan, pakaian, atau keperluan lain yang dibutuhkan.

Ketiga, jihad dengan jiwa: Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah (Laa ilaaha illallah) tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina.

Dalam hubungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:

“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu.” (HR. Abu Dawud, hadits shahih)

Tentunya, jihad dengan jiwa ini haruslah di bawah komando pemerintah. Tidak bisa dilakukan secara individu atau kelompok tertentu.

Demikianlah di antara jalan hidup golongan yang selamat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita termasuk dari mereka, dengan suatu harapan mendapatkan keselamatan dari Allah, baik dalam kehidupan dunia, maupun kehidupan akhirat kelak. Amin.

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/mengenal-jalan-hidup-golongan-yang-selamat-manhaj-al-firqah-an-najiyah

Pecandu Berat Video Porno

Assalamu'alaykum

Ustadz, saya adalah pecandu berat video porno, saya sudah mencoba untuk berhenti tapi tidak bisa ustadz, apakah ada cara yang efektif untuk berhenti dari kebiasaan buruk tersebut?
wassa'amu'alaykum
NA

Jawaban

Waalaikumussalam

Kebiasaan menonton film porno adalah penyakit yang harus segera diobati untuk menghindari dirinya dari dosa yang lebih besar lagi dikarenakan kemaksiatan yang ada di dalamnya.

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 30-31)

Sebagaimana tabiat sebuah kemaksiatan ketika ia tidak segera ditanggulangi maka ia akan mendorong si pelakunya untuk melakukan kemaksiatan lainnya yang lebih besar. Tidak jarang perzinahan terjadi dikarenakan pengaruh film-film yang menampakkan aurat dan syahwat (porno)

Untuk itu menghilangkan kebiasaan buruk itu adalah suatu kewajiban dan diantara hal-hal yang bisa dilakukan adalah :

1. Menyadari besarnya dosa perbuatan itu dihadapan Allah Ta'ala.

Hendaklah dirinya menyadari dosa dari perbuatan itu dan sesungguhnya ia bisa tergolong dosa besar manakala dianggap enteng oleh pelakunya atau dilakukan berulang-ulang (kecanduan). Karena itu para ulama mengatakan,”Janganlah seseorang melihat pada kecilnya dosa akan tetapi lihatlah kepada siapa dia bermaksiat.”

Ketika dosa itu tidak segera ditanggulangi maka ia akan semakin membuat hitam hatinya dan pada akhirnya akan menutupinya hingga cahaya hidayah dan keimanan sulit menembusnya.

2. Meningkatkan keimanan dengan amal-amal shaleh.

Keimananlah yang menggerakkan seseorang melakukan berbagai perintah Allah ta'ala dan menjauhi larangan-Nya meskipun itu semua dirasakan berat dan membutuhkan pengorbanan. Sebaliknya lemahnya iman atau ketiadaan iman didalam diri seseorang menjadikannya ringan melakukan berbagai kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan kepada Allah Ta'ala.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina, seorang mukmin tidak disebut sebagai mukmin saat ia mencuri'."

Untuk itu diperlukan berbagai amal shaleh, seperti : komitmen dengan shalat lima waktu berjamaah di masjid, membaca al Qur’an, memperbanyak dzikrullah dan ibadah-ibadah lainnya.

3. Mencari lingkungan yang baik.

Sedikit banyaknya lingkungan tempat seseorang berinteraksi juga memberikan pengaruh terhadap prilakunya, sebagaimana disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari ari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang laki-laki itu bergantung dengan agama teman gaulnya, maka hendaklah salah seorang melihat siapa yang menjadi teman gaulnya."

Hendaklah dirinya berupaya untuk berkawan dengan orang-orang shaleh di semua lingkungan interaksinya, baik di rumah, kantor maupun tempat-tempat lainnya agar dirinya terpengaruh oleh keshalehan mereka sehingga dapat menghilangkan kebiasaan buruknya itu.

4. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat.

Diantara yang sering kali mencelakakan manusia adalah waktu luang atau kosong karena pada saat itulah kebanyakan setan masuk dan menggoda manusia dengan berbagai was-wasnya yang dihembus-hembuskannya untuk melakukan berbagai pelanggaran dan maksiat.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang."

Termasuk diantara waktu yang sering juga menjerumuskan manusia dengan berbagai kemaksiatan adalah setelah tertunaikannya suatu pekerjaan. Karena itu Allah ta'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan pekerjaan bermanfaat lainnya setelah dirinya menyelesaikan pekerjaan bermanfaat sebelumnya, sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب

Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Asy Syarh [94] : 7–8)

Menjadi keharusan bagi seorang yang memiliki kebiasaan menonton film porno untuk mengisi waktu-waktu luangnya dengan berbagai pekerjaan bermanafaat baik dengan amal-amal akherat, seperti : membaca al Qur’an, berdzikir, mendengarkan kaset-kaset ceramah (pengajian) atau pun dengan amal-amal duniawi, seperti : membaca buku yang bermanfaat dan lainnya.

5. Memperbanyak doa.

Senjata yang paling ampuh dan tidak bisa dilupakan adalah senantiasa berdoa kepada Allah dan meminta pertolongan-Nya agar dirinya mampu menghentikan perbuatan buruk itu. Karena tidaklah ada daya dan kekuatan seorang manusia tanpa dukungan dan kekuatan dari Sang Maha Perkasa, Allah Ta'ala.

Hendaklah dirinya berdoa kepada Allah pada waktu-waktu yang terbaik untuk berdoa, seperti : ketika sujud, hujan besar, antara adzan dan iqamah, disaat safar, berpuasa dan lainnya.

Semoga Allah Ta'ala memberikan kemudahan kepada anda untuk dapat menghindari perbuatan buruk tersebut dan menggantinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik.

Wallahu A’lam

sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/pecandu-berat-video-porno.html

Tanya Jawab: Apakah Boleh Pengucapan Lafal "Syaidina"?

Assalamualaikum ustadz...

Apakah benar bahwa ketika kita melakukan tahiyat akhir, pengucapan syaidina harusnya tidak boleh dilafalkan? memang apa arti sebenarnya dari syaidina?
syukron khatsir ustadz!
-
Jawaban

Wa'alaikumussalam
Yang paling afdhal dalam permasalahan ini adalah mengikuti lafazh-lafazh yang ma’tsurat. Tak satu pun darinya menyebutkan lafazh as Siyadah sebagaimana hal itu dinukil Ibnu Hajar —rahimahullah— yang mengatakan, ”al Qadhi ‘Iyadh menegaskan didalam satu bab tentang Sifat Shalawat Atas Nabi shalallahu alaihi wa sallam di dalam kitab Asy Syifa’ yang di dalamnya disebutkan beberapa atsar yang marfu’ dari kelompok sahabat dan tabi’in namun tak satu pun lafazh-lafazh dari seorang dari mereka menyebutkan lafazh “Sayyidina.” (Markaz al Fatwa No. 969)

Wallahu A’lam
sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/penggucapan-lafal.html

Harus Saling Rela dalam Setiap Transaksi Jual-Beli

Semua jenis harta bisa kita perjualbelikan, asalkan syarat-syarat jual beli terpenuhi.

Syarat paling penting yang harus ada dalam sebuah transaksi adalah adanya kerelaan di antara orang-orang yang mengadakan transaksi, artinya tidak ada pihak-pihak yang dipaksa ataupun merasa terpaksa dengan transaksi yang dilakukan.

Dalil hal ini adalah firman Allah,

إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela." (QS. An-Nisa':29)

عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».

Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Yang namanya jual beli itu hanyalah jika didasari asas saling rela.” (HR. Ibnu Majah, no. 2269; dinilai sahih oleh Al-Albani)

أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

"Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Sesungguhnya, harta seorang muslim itu tidak halal untuk diambil kecuali dengan sepenuh kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad, no. 21237; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Orang yang mengadakan transaksi jual beli, karena dipaksa atau merasa terpaksa, tentu tidak memiliki kerelaan hati sepenuhnya.

Demikian pula, sepenuh kerelaan hati tidak dijumpai pada diri orang yang memberikan sesuatu kepada kita karena malu, sungkan, dan pekewuh dengan kita. Oleh karena itu, ketika kita kebetulan lewat di depan orang yang sedang makan lalu dengan basa-basi dia memberikan tawaran kepada kita untuk makan maka janganlah kita terima tawaran orang tersebut. Alasannya, karena harta orang lain--makanan itu termasuk harta--itu halal kita komsumsi jika orang tersebut memberikannya kepada kita dengan kerelaan hati, sedangkan orang yang basa-basi bukanlah orang yang dengan sepenuh kerelaan hati memberikan hartanya kepada kita.

Kembali ke pokok masalah, tiga dalil di atas, yaitu satu ayat Alquran dan dua hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa kerelaan hati untuk mengadakan transaksi adalah syarat sahnya transaksi.

Oleh karena itu, jika ada preman kampung yang memaksa kita untuk menjual salah satu barang yang kita miliki sehingga akhirnya kita menjual barang tersebut kepadanya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat “saling rela”. Artinya, barang tersebut masih menjadi milik kita dan uang yang kita terima masih merupakan uang milik si preman.

Demikian juga, ketika ada seseorang yang menjual barang miliknya kepada guru ngajinya yang sangat dia segani karena malu dan sungkan untuk menolak permintaan sang guru yang ingin membeli barang miliknya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak ada kerelaan hati.

Jadi, tidak disyaratkan bahwa salah satu pelaku transaksi berterus terang bahwa dia tidak rela. Adanya indikator keadaan, yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan merasa terpaksa atau merasa sungkan dan malu, sudah cukup bagi kita untuk tidak melakukan transaksi dengannya.

Patut diketahui, bahwa jual beli dengan orang yang dipaksa adalah sah, jika pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan. Misalnya: Ada orang yang berutang dengan menggunakan agunan atau jaminan. Setelah utang tersebut jatuh tempo, ternyata orang tersebut belum mampu melunasi utangnya, namun dia pun tidak mau menjual barang agunan yang telah diserahkan sehingga hasil penjualan barang agunan tersebut bisa digunakan untuk melunasi utangnya yang ada. Dalam kondisi semacam ini, pemilik uang bisa melaporkan kasus yang terjadi kepada aparat yang berwenang, lalu pihak aparat memaksa orang yang berutang untuk menjual barang agunannya. Transaksi jual beli dengan orang yang terpaksa, dalam kondisi ini, hukumnya sah karena pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan oleh hukum syariat.

Jadi, ketika pelunasan utang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak bisa melunasi utangnya ketika itu, pemegang agunan--alias pihak yang mengutangi--tidak berhak untuk langsung menjual barang agunan yang dia pegang. Kewenangan untuk menjual barang agunan tetap berada pada pemilik barang--alias pihak yang berutang--.

Catatan penting tentang kerelaan hati adalah: kerelaan hati bukanlah segalanya agar sebuah transaksi itu sah. Kerelaan hati bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk melegalkan berbagai transaksi yang dilarang oleh syariat. Transaksi riba adalah haram, meski nasabah riba dengan sepenuh kerelaan hati memberikan tambahan, alias memberikan riba. Sebagaimana transaksi menjual kemaluan (baca: pelacuran dan perzinaan) adalah transaksi yang haram, meski kedua belah pihak dengan penuh kerelaan hati melakukannya.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Tak Ada Gading yang Tak Retak

Kata pepatah tak ada gading yang tak retak, tidak ada satupun yang sempurna. Tentunya, kecuali Allah yang Mahasempurna.

Memang demikianlah setiap orang mesti pernah berbuat salah tanpa kecuali, baik orang biasa atau para nabi sekalipun. Hal ini dijelaskan Rasulullah,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap bani Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya yang salah adalah yang bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Al-Shoghir, no. 4391).

Sampai-sampai Rasulullah bersabda,

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Seandainya seluruh hamba tidak berbuat dosa (sama sekali), tentulah Allah menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa, kemudian Allah mengampuni mereka dan Ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Al-Haakim dan dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Al-Shahihah, no. 917).

Oleh karena itu, kita perlu solusi tepat untuk selamat.

Solusinya

Solusinya hanya satu, yaitu dengan bertaubat yang sungguh-sungguh dan memenuhi syaratnya. Sebab, taubat menjadi salah satu sebab pengampunan Allah.

Syarat Taubat

Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yaitu:

1. Islam, tidak sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab taubatnya orang kafir adalah masuk Islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 18).

2. Ikhlas. Tidak sah taubat seseorang kecuali dengan ikhlas dengan cara menujukan taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah, ampunan dan penghapusan dosanya. Rasulullah bersabda,

إٍِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ اللهِ

“Sesungguhnya, Allah tidak menerima satu amalan, kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya.” (HR, Al-Nasaa’i dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no. 1856). Sehingga, seorang yang bertaubat atau meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil atas hartanya atau takut dicela orang atau tidak mampu melakukannya tidak dikatakan bertaubat secara syar’i menurut kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, kata taubat dalam al-Quran mendapat tambahan kata ‘kepada Allah’, seperti firman Allah,

إِن تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan).” (QS. at-Tahriim: 4).

3. Mengakui dosanya. Tidak sah taubat kecuali setelah mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan dari akibat jelek dosa yang ia lakukan, sebagaimana disampaikan Rasulullah kepada ‘Aisyah dalam kisah Ifku,

أَمَّا بَعْدُ يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ كَذَا وَكَذَا فَإِنْ كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِ أَلْمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Amma ba’du, wahai ‘Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita tersebut), maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa tersebut, maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena seorang hamba bila mengakui dosanya, kemudian bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Al-Bukhari).

4. Menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Penyesalan memberikan tekad, kemauan dan pengetahuan kepada pelakunya bahwa kemaksiatan yang dilakukannya tersebut akan menjadi penghalang dari Rabb-nya, lalu ia bersegera mencari keselamatan dan tidak ada jalan keselamatan dari adzab Allah kecuali berlindung kepada-Nya, sehingga muncullah taubat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak terwujud taubat kecuali dari penyesalan, sebab tidak menyesali perbuatannya adalah dalil keridhaan terhadap kemaksiatan tersebut, seperti disabdakan Rasulullah,

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalam adalah taubat.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir, no. 6678).

5. Berlepas dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut apabila kemaksiatannya adalah pelanggaran larangan Allah dan bila kemaksiatannya berupa meninggalkan kewajiban, maka cara meninggalkan perbuatan dosanya adalah dengan melaksanakannya. Ini termasuk syarat terpenting taubat. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali Imran: 135).

Al-Fudhail bin Iyaadh menyatakan istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta (Fathul Bari, 11/99).

6. Berazam dan bertekad tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang.

7. Taubat dilakukan pada masa diterimanya taubat. Apa bila bertaubat pada masa ditolaknya seluruh taubat manusia, maka tidak berguna taubatnya. Masa tertolaknya taubat ini di tinjau dari dua sisi:

a. Dari pelaku itu sendiri, maka waktu taubatnya sebelum kematian. Apabila bertaubat setelah sakaratul maut, maka taubatnya tidak diterima. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 18).

Hal inipun disampaikan Rasulullah dalam sabdanya,

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ

“Sesungguhnya, Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum sakaratul maut.” (HR. Al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir, no. 1899). Oleh karena itu, Allah tidak menerima taubat Fir’aun ketika tenggelam, seperti dikisahkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus: 90-92).

b. Dari manusia secara umum. Rasulullah menyatakan,

الْهِجْرَةُ لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Hijrah tidak terputus sampai terputusnya taubat dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.” (Diriwayatkan Abu Daud, no. 2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99) dan dishahihkan dalam Shahih Al-Jami’, no. 7469).

Dan sabda beliau,

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Sesungguhnya, Allah Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759).

Apabila matahari telah terbit dari barat, maka taubat seorang hamba tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), "Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabb-mu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah,’Tunggulah olehmu sesungguhnya kamipun menunggu(pula).’" (QS. Al-An’aam: 158).

8. Khusus yang berhubungan dengan orang lain, maka ada tambahan berlepas dari hak saudaranya, apabila itu berupa harta atau sejenisnya, maka mengembalikannya kepadanya dan bila berupa hukuman menuduh (zina), maka memudahkan hukuman atau memohon maaf darinya dan bila berupa ghibah, maka memohon dihalalkan dari ghibah tersebut.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Adapun bila dosa tersebut antara kamu dengan manusia, apabila berupa harta, harus menunaikannya kepada pemiliknya dan tidak diterima taubtanya kecuali dengan menunaikannya. Contohnya kamu mencuri harta dari seseorang lalu kamu bertaubat dari hal itu, maka kamu harus menyerahkan hasil curian tersebut kepada pemiliknya. Juga contoh lain, kamu mangkir dari hak seseorang, seperti kamu punya tanggungan utang lalu mangkir darinya, kemudian kamu bertaubat, maka kamu harus pergi kepada orang yang bersangkutan dan memberikan pengakuan dihadapannya sehingga ia mengambil haknya. Apabila orang tersebut telah meninggal dunia, maka kamu berikan kepada ahli warisnya. Apabila tidak tahu atau ia menghilang darimu dan kamu tidak mengetahui keberadaannya, maka bersedekahlah dengan harta tersebut atas namanya agar bebas dari (kewajiban) tersebut dan Allahlah yang mengetahui dan menyampaikannya kepadanya. Apabila kemaksiatan yang kamu lakukan terhadap orang lain berupa pemukulan atau sejenisnya, maka datangilah ia dan mudahkanlah ia untuk membalas memukul kamu seperti kamu memukulnya. Apa bila yang dipukul punggung, maka punggung yang dipukul dan bila kepala atau bagian tubuh lainnya, maka hendaklah ia membalasnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah (yang artinya), “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syuura: 40). Dan firman-Nya (yang artinya), “Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS. Al-Baqarah: 194).

Apabila berupa perkataan (menyakitinya dengan perkataan), seperti kamu mencela, menjelek-jeleknya dan mencacinya dihadapan orang banyak, maka kamu harus mendatanginya dan meminta maaf darinya dengan apa saja yang telah kamu berdua sepakati, sampai-sampai seandainya ia tidak memaafkan kamu kecuali dengan sejumlah uang, maka berilah.

Sedang yang keempat adalah apabila hak orang lain tersebut berupa ghibah, yaitu kamu pernah membicarakannya tanpa sepengetahuannya dan kamu menjelek-jelekkannya dihadapan orang banyak ketika ia tidak ada. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan ia harus mendatanginya dengan menyatakan, “Wahai fulan saya pernah merumpi (meng-ghibah-i) kamu dihadapan orang, maka saya mohon kamu memaafkan saya dan menghalalkannya.” Sebagian ulama menyatakan tidak menemuinya, namun harus diperinci permasalahannya. Apabila orang tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah tersebut, maka harus menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak mengetahuinya, maka jangan berangkat menemuinya namun cukup memintakan ampunan untuknya dan menyampaikan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang kamu pernah gunakan dalam meng-ghibah-nya, karena kebaikan-kebaikan menghapus kejelekan. Inilah pendapat yang rajih (Syarhu Riyadh Ash-Shalihin, 1/77).

Sedangkan Syeikh Salim bin ‘Id Al-Hilali memberikan syarat, bila tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi. Beliau berkata, “Apabila dosa itu berupa ghibah, maka ia meminta dihalalkan (dimaafkan) selama tidak mebnimbulkan mafsadat lain akibat dari permintaan maaf itu sendiri. Apabila menimbulkan maka yang wajib baginya adalah mencukupkan dengan mendoakan kebaikan untuknya.” (Al-Taubat Al-Nashuh, hal 30).

Mudah-mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Hukum Multi Level Marketing

Penulis : Al-Fadhilah Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

Pengantar

Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar radhiyallahu’anhu:

“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)

Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.

Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.

Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah, Saudi Arabia, mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:

“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusahaan pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.[1]

Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusahaan berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad samsarah[2]-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.

Sepanjang yang kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang digabarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.

Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam

Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)

Telah sampai pertanyaan-pertanyaan yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta[3] tentang aktifitas perusahaan-perusahaan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM)[4] seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).

JAWAB:

Alhamdullilah,

Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:

Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk. Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu, sandaran perusahaan-perusahaan ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan ini hanya sekedar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.

Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:

Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl[5] dan riba nasi’ah[6]. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya), sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).

Kedua, ia termasuk gharar[8] yang diharamkan menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.

Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan firman (Allah) Ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]

Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]

Dan beliau juga bersabda,

“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya (khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan transaksiny.”[Muttafaqun’Alaihi]

Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], maka itu tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya[10]. Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua transaksi adalah jelas.

Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at. (Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,

“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahih]

Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,

“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun’Alaih]

Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.

Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusahaan yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.

Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.

[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq]

Dikutip dari majalah An-Nashihah volume 14, hal. 12-14

1] Qimar adalah seseorang mengeluarkan biaya dalam sebuah transaksi yang ada kemungkinan dia beruntung dan ada kemungkinan dua merugi (Penerjemah)

[2] Yaitu jasa sebagai perantara atau makelar

[3] Yaitu komisi khusus bidang riset ilmah dan fatwa. Beranggotakan ulama-ulama terkemuka di Saudi Arabia bahkan menjadi rujukan kaum muslimin di berbagai belahan bumi. (Penerjemah)

[4] Kadang disebut dengan istilah Pyramid Scheme, network marketing atau multi level marketing (MLM). (Penerjemah)

[5] Riba fadhl adalah penambahan pada salah satu dari dua barang ribawy (yaitu barang yang berlaku pada hukum riba) yang sejenis dengan transaksi yang kontan (Penerjemah)

[6] Riba nasi’ah adalah transaksi antara dua jenis barang ribawy yang sama sebab ribanya dengan tidak secara kontan. (Penerjemah)

[7] Maksudnya menurut nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama. (Penerjemah)

[8] Gharar adalah apa yang belum diketahui akan diperoleh atau tidak, dari sisi hakikat dan kadarnya. (Penerjemah)

[9] Maksudnya jasa sebagai perantara atau makelar. (Penerjemah)

[10] Pengguna barang tersebut adalah anggota MLM, hal ini dikenal dengan istilah user 100%. (editor)

Dari milis artikel_salafy@yahoogroups.com

Bahaya Mengejek Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Lisan merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang amat berharga, dan satu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa islam adalah agama yang kaffah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai Orang-Orang yang beriman masuklah ke dalam islam secara kaffah/menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia adalah musuh (kalian) yang nyata”. (QS : Al Baqoroh [2] : 208).

Seorang sahabat yang mulia sekaligus merupakan ahli tafsir dari kalangan sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Yang dimaksud Kaffah (dalam ayat di atas) adalah masuklah kalian ke dalam ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam secara menyeluruh”[1]. Jika hal ini telah kita fahami maka lihatlah betapa islam begitu memberikan perhatian yang besar terhadap lisan melalui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata kata-kata yang baik atau ia diam”[2].

Al Imam An Nawawiy Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan, “Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas adalah jika seseorang hendak berbicara dan hal yang akan dibicarakannya itu adalah kebaikan yang ia akan diberi pahala atasnya baik itu hal yang wajib atau sunnah, maka hendaklah ia berbicara. Namun jika tidak demikian maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak berbicara baik hal yang akan dibicarakan itu adalah suatu perkara yang haram, makruh atau mubah yang berada di antara kedua ujung (antara halal dan haram). Maka berdasarkan hal ini, perkataan yang hukumnya mubah dianjurkan untuk meninggalkannya agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram atau makruh”[3]. Namun sebagaimana dikatakan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah, perkataan yang baik itu ada dua macam perkataan yang baik jika [1] ditinjau semata-mata perkataan tersebut semisal dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an dan [2] perkataan yang baik jika ditinjau dari apa yang diinginkan darinya semisal perkataan yang hukum asalnya mubah namun hal yang diinginkan dari perkataan tersebut adalah memberikan rasa gembira kepada teman duduk[4].

Mengejek, Mengolok-olok Perkara yang Merupakan Bagian dari Islam

Jika demikian perhatian islam dalam masalah lisan maka bagaimanakah hukum islam mengenai orang yang mengaku islam namun mengolok-ngolok salah satu ajaran Islam?? Semisal perkataan seseorang kepada saudaranya yang memelihara jenggot dengan sebutan si kambing, mengejek saudarinya yang menggunakan cadar dengan sebutan ninja, atau mengejek seorang muslimah yang memakai jilbab yang benar dengan mengatakan “Kemana-mana kok pakai baju sholat/mukenah” dan lain sebagainya.

Mengenai masalah ini hendaklah kita menilik pada Al Qur’an dan As Sunnah. Kita dapat menyaksikan dalam sebuah ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” “Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman”. (QS : At Taubah [9] : 65-66).

Ayat yang mulia di atas memiliki sababun nuzul, sebagaimana yang diriwayatkan melalui jalannya Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma[5], “Ada seseorang yang berkata dengan nada mencemooh pada saat perang Tabuk, “Aku tidak pernah melihat orang yang perutnya lebih besar (rakus terhadap makanan[6]), lebih suka berbohong serta pengecut ketika bertemu musuh dalam perang dari pada ahli qiro’ah kami (yang dia maksudkan adalah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan para sahabatnya rodhiyallahu ‘anhum[7])”. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, “Engkau telah berdusta bahkan engkau adalah orang munafik, sungguh akan aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam”. Maka Auf pun pergi untuk menemui Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam namun ternyata Al Qur’an telah mendahuluinya. Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya kami melihat orang tersebut terseret-seret sambil memegang pelana unta Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan batu-batu melukainya seraya mengatakan, “Wahai Rosulullah sesungguhnya hal itu kami lakukan hanya untuk berbincang-bincang sekedar bergurau di perjalanan dan kami tidaklah bermaksud mengejek atau mengolok-olok”. Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam membacakan firman Allah (yang artinya), “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” (QS : At Taubah [9] : 65). Dan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam tidaklah menghiraukan orang tersebut dan tidak berkata lagi padanya”[8].

Maka lihatlah kaum muslimin sekalian jika sebagian sahabat yang ikut perang bersama Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam melawan bangsa romawi saja dianggap kafir karena mengucapkan satu kalimat semisal di atas dengan tujuan hanya sekedar berbincang-bincang dan bergurau di perjalanan tanpa maksud mengolok-olok maka jelaslah bahwa orang-orang yang melontarkan kata-kata kekufuran karena takut hartanya berkurang atau kehormatannya atau basa-basi lebih besar dosanya dari pada orang yang melontarkan kata-kata tersebut dengan tujuan sebagaimana dalam hadits di atas[9].

Berdasarkan ayat dan hadits di atas para ulama diantaranya Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin ijma’/sepakat menetapkan kafirnya orang yang mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah Subahanahu wa Ta’ala (sedangkan ia tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari agama Allah) sama saja apakah hal tersebut dalam bentuk merendahkan ,hanya sekedar main-main/gurauan, basa-basi dengan orang kafir atau selain mereka, ketika bertengkar dengan seseorang, ketika marah, atau selain hal tersebut”[10].

Sebagian ulama membagi masalah mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah dengan 2 jenis:

[1]. Pengolok-olokan terang-terangan, sebagaimana sababun nuzul surat At Taubah 65-66 di atas, semisal dengan itu orang yang mengejek tindakan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, orang yang mengerjakan sholat karena mereka mengerjakan sholat, orang yang memilhara jenggotnya dan seterusnya.

[2]. Pengolok-olokan yang tidak terang-terangan, seperti menjulurkan lidah, atau bibir, dengan isyarat tangan ketika disampaikan/dibacakan Al Qur’an dan Hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam, ketika amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan, maka hal ini pun termasuk kekufuran[11].

Merujuk Fatwa Ulama

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? Semoga Allah memberi kepahaman padamu.”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)

Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.

Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.

Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelekan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq.[12]

Penutup

Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kekafiran[13], maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.

”Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az Zumar 39: 53)

Penulis: Aditya Budiman

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Tanwirul Muqbas min Tafsir Ibni Abbas hal. 32, Asy Syamilah.

[2] HR. Bukhori no. 6475, Muslim no. 47.

[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh Al Imam An Nawawiy rohimahullah dengan tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun Syiha hal. 209/II, , terbitan Dar Ma’rifah Beirut, Lebanon.

[4] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 200 terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.

[5] Juga diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah. (ed)

[6] Lihat Al Quolul Mufid oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 273/II terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[7] Idem.

[8] HR. Ibnu Jarir Ath Thobari dalam tafsirnya no. 16911 hal. 331/XIV, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsrinya no. 10538 hal. 475/XXXV. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir mengatakan riwayat dari jalur Ibnu Umar ini shohih sebagaimana dalam tahqiq beliau untuk tafsir Ath Thobari.

[9] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 73, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA.

[10] Lihat Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah oleh Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah, hal. 96-97, terbitan Makatabah Mulk Fahd Al Wathoniyah. [Akh tolong dicek ke kitab aslinya ana agak ragu dengan terjemahan ana, jazakumullah khoir]

[11] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 74.

[12] Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62 (ed)

[13] Mohon dibedakan antara hukum masalah dan hukum perorangan. Sudah dijelaskan bahwa perbuatan mengolok-olok ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu kekufuran. Namun bagaimanakah mengenai hukum perorangan? Jawabannya, ini mesti dilihat dari kondisi setiap orang dan kita tidak bisa hukumi mereka itu kafir. Karena barangkali ada penghalang atau syarat yang belum terpenuhi sehingga ia tidak dinyatakan kafir. Wallahu a’lam. (ed)

sumber: http://muslim.or.id/aqidah/bahaya-mengejek-ajaran-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam.html