Faedah Menikah di Usia Muda

on Sabtu, 12 Februari 2011

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan satu-satunya layak untuk disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Menunda-nunda menikah bisa merugi. Berikut penjelasan yang bagus dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- yang kami kutip dari Web Sahab.net (arabic).

[Faedah pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak]

Di antara faedah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)

Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.

Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”[1]

Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.

[Faedah kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini]

Faedah lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

“Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”[2] Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Rintangan pertama:

Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anaknya di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.

Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.

Rintangan kedua:

Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am: 151)

Oleh karenanya ,yang namanya menikah tidaklah membebani seorang pemuda sebagaimana anggapan bahwa menikah dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini tidaklah benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya.

Sumber: http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=698

Semoga Allah memudahkan para pemuda untuk mewujudkan hal ini dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudhorot (bahaya). Jika ingin segera menikah dan sudah merasa mampu dalam menafkahi istri, maka lobilah orang tua dengan cara yang baik. Semoga Allah mudahkan.

Diselesaikan di pagi hari, 22 Muharram 1431 H, Panggang-Gunung Kidul.

Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Tabarruk Kepada Orang Sholih

Penulis: Syaikh Nashir bin Abdirrahman Al Jadi’

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم، أما بعد:

Tidak diragukan lagi bahwa memang Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam itu pada tubuhnya dan benda-benda yang pernah beliau gunakan mengandung keberkahan. Keberkahan ini sama besarnya seperti berkahnya perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini sebagai tanda bahwa Allah memuliakan semua Nabi dan RasulNya, ‘alaihis shalatu was salaam. Oleh karena itulah para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-tabarruk (mencari keberkahan) dari tubuh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta dari benda-benda yang pernah beliau gunakan semasa hidupnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun membolehkan perbuatan tersebut dan tidak mengingkarinya. Maka para sahabat pun melakukannya. Juga generasi salaf setelah mereka, bertabarruk dengan benda-benda yang pernah beliau gunakan. Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk yang mereka lakukan sama sekali tidak mengandung sesuatu yang dapat mencacati tauhid uluhiyyah ataupun tauhid rububiyyah. Perbuatan mereka juga tidak termasuk perbuatan ghuluw yang tercela. Andaikan termasuk ghuluw, tentu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memperingatkan mereka sebagaimana beliau memperingatkan sebagian sahabat yang mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan, dan dari kata-kata yang termasuk ghuluw.

Sungguh perhatikanlah, ini merupakan pemuliaan dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terhadap ciptaan-Nya yang suci, yaitu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, pada tubuh beliau dan pada benda-benda yang pernah beliau gunakan. Karena Allah Ta’ala telah meletakkan keberkahan dan kebaikan pada semua hal itu.

Nah, jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah membolehkan para sahabat bertabarruk kepada beliau sebagaimana diterangkan di atas, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah boleh bertabarruk dengan cara yang sama diterapkan kepada orang-orang shalih selain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ? Atau dengan kata lain meng-qiyaskan orang-orang shalih dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini lah yang akan kita bahas dalam tulisan ini bi’idznillah.

Apakah Para Sahabat Ber-tabarruk Kepada Selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam?

Jika telah diketahui bahwa alasan utama bolehnya bertabarruk adalah perbuatan para sahabat Radhiallahu’ahum kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu beliau menyetujui hal tersebut, bahkan terkadang beliau memerintahkannya, maka yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah para sahabat bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Lalu apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga pernah memerintahkan atau mengajarkan bertabarruk kepada orang selain beliau?

Fakta menyatakan bahwa tidak ada satu perkataan pun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan ummatnya untuk bertabarruk kepada para sahabatnya ataupun orang-orang yang selain sahabat Nabi. Baik bertabarruk dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Demikian juga, tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari para sahabat bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, baik ketika masa Rasulullah masih hidup, apalagi ketika beliau sudah wafat. Tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat bertabarruk kepada sesama sahabat Nabi yang termasuk As Sabiquun Al Awwalun (orang-orang yang pertama kali memeluk Islam) misalnya, atau kepada Khulafa Ar Rasyidin -padahal mereka adalah sahabat Nabi yang paling mulia- , atau bertabarruk kepada sepuluh orang sahabat yang sudah dijamin surga, atau kepada yang lainnya.

Imam Asy Syatibi rahimahullah adalah salah satu dari beberapa ulama yang meneliti permasalahan ini. Setelah beliau memaparkan dalil-dalil shahih tentang ber-tabarruk kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam kitab beliau Al I’tisham (2/8-9), beliau lalu berkata:

الصحابة رضي الله عنهم بعد موته عليه الصلاة والسلام لم يقع من أحد منهم شيء من ذلك بالنسبة إلى من خلفه، إذ لم يترك النبي صلى الله عيه وسلم بعده في الأمة أفضل من أبي بكر الصديق رضي الله عنه، فهو كان خليفته، ولم يفعل به شيء من ذلك، ولا عمر رضي الله عنه، وهو كان أفضل الأمة بعده، ثم كذلك عثمان، ثم علي، ثم سائر الصحابة الذين لا أحد أفضل منهم في الأمة، ثم لم يثبت لواحد منهم من طريق صحيح معروف أن متبركا تبرك به على أحد تلك الوجوه أو نحوها ـ يقصد التبرك بالشعر والثياب وفضل الوضوء ونحو ذلك ـ، بل اقتصروا فيهم على الاقتداء بالأفعال والأقوال والسير التي اتبعوا فيها النبي صلى الله عيه وسلم ، فهو إذا إجماع منهم على ترك تلك الأشياء

“Para sahabat Radhiallahu’anhum, setelah wafatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak ada seorang pun diantara mereka yang melakukan perbuatan itu (bertabarruk) kepada orang setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal beliau sepeninggal beliau tidak ada manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu, karena beliaulah pengganti Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar Bin Khattab, padahal Umar bin Khattab adalah manusia yang paling mulia setelah Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Utsman Bin Affan, tidak pernah pula bertabarruk kepada Ali, tidak pernah pula bertabarruk salah seorang dari sahabat Nabi pun. Padahal merekalah orang-orang yang paling mulia dari seluruh ummat.

Dan tidak ketahui adanya satu riwayat pun yang shahih bahwa mereka bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan salah satu dari cara yang disebutkan -maksudnya bertabarruk dengan rambut, baju atau sisa air wudhu, atau semacamnya-. Para sahabat Nabi hanya mencukupkan diri mereka dengan meneladani perbuatan, perkataan, jalan hidup yang mereka ambil Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini semua menunjukkan bahwa para sahabat bersepakat (ijma) untuk meninggalkan perbuatan tersebut”

Apa Yang Menyebabkan Para Sahabat Meninggalkan Perbuatan Tersebut?

Kita telah mengetahui bahwa tidak terdapat kabar yang shahih bahwa para sahabat bertabarruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal mereka adalah generasi terbaik, sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syatibi rahimahullah dan para ulama yang lain[1]. Sebagai generasi terbaik, tentunya mereka bersemangat untuk mendapatkan kebaikan, keberkahan, kesembuhan. Selain itu, orang-orang yang diberkahi Allah masih banyak ketika itu, yaitu para As Sabiquunal Awwaluun, juga sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, Radhiallahu’anhum ajma’in. Ada pula para sahabat yang diutus ke luar Madinah untuk beberapa kepentingan, diantara mereka termasuk sahabat-sahabat senior. Namun, para sahabat yang berada di luar Madinah ini pun tidak dijadikan objek tabarruk, sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Jika demikian, lalu apa yang menyebabkan para sahabat bersepakat untuk tidak bertabarruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam padahal mereka melakukannya terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam?

Wallahu’alam, penyebab utamanya adalah mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak berlaku bagi selain beliau, sebagaimana kekhususan ini juga berlaku kepada para Nabi yang lain.

Allah Tabaaraka Wa Ta’ala memberikan keistimewaan kepada para Nabi dan Rasul, yang tidak diberikan kepada selain mereka. Diantara kekhususan itu adalah keberkahan yang ada di tubuh dan bekas-bekas peninggalan mereka, sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Namun tentunya jasad mereka dan sifat-sifat mereka berbeda-beda. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ{(الأنعام:124)

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS. Al An’am: 124)

Para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia terbaik yang telah dipilih dan diseleksi oleh Allah Ta’ala dari seluruh manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ{ (القصص:68

“Dan rabbRmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” (QS. Al Qashash: 68)

Keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah perkara yang masyhur dan tidak ada satu orang pun yang mengingkari. Dalam hal inilah salah satunya, Nabi dan Rasul terbedakan dengan orang shalih yang lain. Walau memang orang-orang shalih memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi di sisi Allah, namun mereka tetap tidak bisa mencapai kedudukan para Nabi dan Rasul, serta tidak mungkin mereka mengusahakannya[2]. Dan tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Nabi dan Rasul yang paling utama dan paling banyak keberkahannya.

Setelah menjelaskan ijma shahabat untuk meninggalkan tabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom (2/9) berkata:

أن يعتقدوا فيه الاختصاص، وأن مرتبة النبوة يسع فيها ذلك كله، للقطع بوجود ما التمسوا من البركة والخير، لأنه عليه الصلاة والسلام كان نورا كله… فمن التمس منه نوار وجده على أي جهة التمسه، بخلاف غيره من الأمة ـ وإن حصل له من نور الاقتداء به، والاهتداء بهديه ما شاء الله(3)ـ لا يبلغ مبلغه، على حال توازيه في مرتبته، ولا تقاربه، فصار هذا النوع مختصا به كاختصاصه بنكاح ما زاد على الأربع، وإحلال بضع الواهبة نفسها له، وعدم وجوب القسْم على الزوجات، وشبه ذلك

“Para sahabat meyakini bahwa hal tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka juga meyakini bahwa orang yang layak diperlakukan demikian adalah yang mencapai martabat nubuwwah. Karena sudah merupakan sesuatu yang pasti, bahwa pada diri mereka (para Nabi) terdapat keberkahan dan kebaikan. Karena semua bagian dari mereka adalah cahaya. Maka jika ada orang yang mencari cahaya dari diri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia akan mendapatkannya dari segala sisi. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang lain selain para Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, walaupun pada orang yang telah mendapatkan cahaya berupa hidayah untuk meneladani dan mencontoh beliau[3]. Mereka tidak bisa mencapai derajat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang kedudukannya begitu istimewa, bahkan mendekati derajat beliau pun tidak bisa. Oleh karena itu, perkara bolehnya dijadikan objek tabarruk, adalah kekhususan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana beliau memiliki kekhususan untuk menikahi wanita lebih dari empat, bolehnya menggauli wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau, tidak adanya kewajiban membagi rata dalam nafkah dan menggilir istri, dan yang lainnya”

Kemudian beliau menjelaskan hukum bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

فعلى هذا لمأخذ: لا يصح لمن بعده الاقتداء به في التبرك على أحد تلك الوجوه ونحوها، ومن اقتدى به كان اقتداؤه بدعة، كما كان الاقتداء به في الزيادة على أربع نسوة بدعة

“Dengan demikian bisa kita simpulkan, tidak benar jika seseorang mencontoh tabarruk yang dilakukan para sahabat kepada Nabi lalu diterapkan kepada selain Nabi. Jika ada yang meniru demikian, maka itu perbuatan bid’ah. Sebagaimana bid’ahnya orang yang meniru Nabi dengan menikahi lebih dari empat wanita”.

Di tempat yang lain, beliau juga menyampaikan pendapat yang beliau pegang:

وهو اطباقهم ـ أي الصحابة ـ على الترك، إذ لو كان اعتقادهم التشريع(4) لعلم به بعضهم بعده، أو عملوا به ولو في بعض الأحوال، إما وقوفا مع أصل المشروعية، وإما بناء على اعتقاد انتفاء العلة الموجبة للامتناع

“Yaitu mencontoh para sahabat dengan meninggalkan perbuatan tersebut. Karena andaikan para sahabat berkeyakinan bahwa Rasulullah membiarkan para sahabat untuk ber-tabarruk pada dirinya itu dalam rangka tasyri’, maka tentu para sahabat sudah saling mengetahui. Atau, tentu mereka akan melakukannya sesama mereka, walau hanya sesekali saja. Mereka meninggalkannya bisa jadi karena tidak menganggap itu sebagai tasyri’, atau bisa jadi karena berkeyakinan bahwa faktor yang membuat perbuatan itu dibolehkan telah hilang”[4]

Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam sebuah bantahan, yang intinya melarang ummat untuk berlebihan memuja orang shalih dan menempatkan orang shalih sederajat dengan para Nabi. Beliau berkata:

وكذلك التبرك بالآثار، فإنما كان يفعله الصحابة مع النبي صلى الله عيه وسلم ، ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم… ولا يفعله التابعون مع الصحابة، مع علو قدرهم، فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع النبي صلى الله عيه وسلم ، مثل التبرك بوضوئه، وفضلاته، وشعره، وشرب فضل شرابه وطعامه

“Demikian juga bertabarruk dengan bekas-bekas seseorang. Hal ini hanya dilakukan para sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, namun mereka tidak melakukannya kepada sesama mereka. Perbuatan ini juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat Nabi. Padahal sahabat Nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Semua ini menunjukkan bahwa bertabarruk dengan bekas-bekas seseorang hanya khusus dilakukan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu semisal bertabarruk dengan air wudhunya atau sisa airnya, dengan rambutnya, dengan air minum atau sisa makan dan minumnya”[5]

Meng-qiyaskan orang shalih dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

Setelah penjelasan-penjelasan yang telah lewat, telah jelas bagi kita bahwa pendapat sebagian ulama[6] yang meng-qiyaskan orang shalih dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga mereka membolehkan tabarrruk kepada orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, itu tidak dibenarkan. Yaitu karena beberapa poin:

ñ Ijma’ sahabat untuk meninggalkan perbuatan bertabarruk dengan jasad dan peninggalan-peninggalan orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala telah mengistimewakan para Nabinya dengan memberikan keberkahan pada jasadnya dan bekas-bekas peninggalannya. Hal ini sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka, yang merupakan makhluk suci, ‘alaihis shalatu was salaam.

Andai perbuatan tersebut disyariatkan, tentu para sahabat telah berlomba-lomba melaksanakannya bukannya malam bersepakat meninggalkannya. Karena merekalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan.

Dalam sebagian kitab syarah hadits terdapat pendapat yang berbunyi:

لا بأس بالتبرك بآثار الصالحين

“Ber-tabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang shalih hukumnya boleh”

Perkataan tersebut biasanya disebut ketika membahas tentang rambut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, atau semisalnya. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengomentari perkataan ini:

وهذا غلط ظاهر، لا يوافقهم عليه أهل العلم والحق، وذلك أنه ما ورد إلا في حق النبي صلى الله عيه وسلم ، فأبوبكر وعمر وذو النورين عثمان وعلي، وبقية العشرة المبشرين بالجنة، وبقية البدريين، وأهل بيعة الرضوان، ما فعل السلف هذا مع واحد منهم، أفيكون هذا منهم نقصا في تعظيم الخلفاء التعظيم اللائق بهم، أو أنهم لا يلتمسون ما ينفعهم. فاقتصارهم على
النبي صلى الله عيه وسلم يدل على أنه من خصائص النبي صلى الله عيه وسلم

“Perkataan ini jelas-jelas merupakan kesalahan yang sama sekali tidak disetujui oleh ahli ilmu dan pengikut kebenaran. Karena bertabarruk yang demikian hanya layak dilakukan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, 10 sahabat yang dijamin surga, peserta perang Badar, para sahabat yang ikut bai’atur ridhwan, tidak ada seorang pun generasi salaf yang melakukannya.

Apakah mereka meremehkan para khulafa ar rasyidin? Apakah mereka kurang semangat dalam mencari hal yang bermanfaat bagi mereka? Sikap mereka, dengan hanya melakukan perbuatan tersebut terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa itu kekhususan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”[7]

ñ Menguatkan poin pertama, para tabi’in pun bersikap sama dengan para sahabat dalam masalah ini. Karena tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa ada tabi’in yang bertabarruk dengan para sahabat Radhiallahu’anhum, sebagaimana telah dijelaskan. Bahkan para tabi’in pun tidak melakukannya terhadap para tabi’in senior. Padahal para tabi’in senior adalah penghulu mereka dalam ilmu dan amal[8]. Demikian juga para imam setelah mereka.

ñ Lebih menguatkan lagi, tidak ada satu dalil syar’i pun yang menunjukkan bolehnya bertabarruk pada jasad dan peninggalan-peninggalan orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Semua dalil menunjukkan perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana kekhususan beliau yang lain[9]

ñ Karena perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka sudah tentu tidak dibolehkan mengqiyaskan orang shalih kepada beliau dalam hal ini, apa pun keutamaan orang shalih tersebut. Karena kekhususan Nabi itu hanya berlaku terbatas pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Para ulama telah ber-ijma’ bahwa jika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki suatu kekhususan, maka hukum ini tidak berlaku pada orang lain. Karena kalau berlaku juga pada orang lain, tentu bukan kekhususan namanya[10].

ñ Tidak dibolehkan mengqiyaskan orang shalih kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini dalam rangka sadduz dzarii’ah, menutup jalan menuju sebuah keburukan.

Sadduz dzarii’ah adalah salah satu kaidah syar’iat yang agung dalam agama ini. Dan salah satu sebab tidak dibolehkannya qiyas dalam hal ini adalah sadduz dzarii’ah. Karena dikhawatirkan, bertabarruk kepada orang selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dapat menjerumuskan kepada berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Imam Asy Syatibi menjelaskan asalan ini:

لأن العامة لا تقتصر في ذلك على حد، بل تتجاوز فيه الحدود، وتبالغ بجهلها في التماس البركة، حتى يداخلها للمتبرك به تعظيم يخرج به عن الحد، فربما اعتقد في المتبرك به ما ليس منه

“Karena kebanyakan orang awam tidak bisa menahan diri untuk tidak melebihi batas. Bahkan karena ketidak-pahaaman mereka, mereka cenderung melebihi batas dan berlebihan dalam mencari berkah. Mereka mengagungkan orang yang ditabarruki sampai melebihi batas. Bahkan terkadang mereka berkeyakinan yang tidak layak terhadap orang shalih yang ditabarruki tersebut.”[11]

Dan terkadang perbuatan ini menjadi sebab terlalu berlebihannya orang shalih diagungkan hingga sampai mencapai level kesyirikan[12]. Dalam kasus ini bertabarruk terhadap orang shalih selain Nabi menjadi jalan (dzarii’ah) menuju kesyirikan.

Sebagaimana juga yang dipaparkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah ketika membahas masalah ini:

وفي الجملة، فهذه الأشياء فتنة للمعظَّم والمعظَّم، لما يُخشى عليه من الغلو المدخل في البدعة، وربما يترقى إلى نوع من الشرك

“Singkat kata, perbuatan-perbuatan demikian merupakan fitnah (keburukan besar) bagi orang yang melakukan tabarruk dan bagi orang shalih yang ditabarruki. Karena dikhawatirkan terjadi ghuluw yang mengantarkan kepada perbuatan bid’ah atau terkadang sampai ke derajat syirik”[13]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah membantah ulama yang membolehkan tabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan berkata:

لو أذن فيه على وجه البركة، من غير اعتقاد ذاتي، فهو سبب يوقع في التعلق على غير الله، والشريعة جاءت بسد أبواب الشرك

“Andai perbuatan ini dibolehkan sekedar meyakini pada diri orang shalih turun keberkahan, tanpa berkeyakinan itu ada pada jasad atau bekas-bekasnya, tetap saja perbuatan ini menjadi sebab terjerumusnya seseorang pada tawakkal kepada selain Allah. Dan syariat Islam datang untuk menutup jalan-jalan kesyirikan”[14]

Perbuatan ini selain merupakan keburukan besar bagi orang yang melakukan tabarruk, juga menimbulkan keburukan besar bagi orang shalih yang ditabarruki, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab barusan. Karena jika hal ini terjadi, dan orang shalih tersebut tidak sadar bahwa ia sedang tertimpa sebuah keburukan besar dengan perbuatan itu, ia pun akan merasa bangga pada dirinya. Rasa bangga meliputi dirinya sehingga ia menjadi sombong, riya[15], ia merasa dirinya suci, semua ini adalah penyakit-penyakit hati yang haram[16]. Ditambah lagi keburukan-keburukan yang lainnya, yang timbul dari perbuatan ini.

Syubhat: “Kalau diharamkan karena mencegah kesyirikan, bukankah bisa terjadi juga bila dilakukan terhadap Rasulullah?”

Tidak dibenarkan kalau ada orang yang beralasan bahwa kemungkinan timbulnya ghuluw dan kesyirikan itu pun bisa terjadi jika bertabarruk kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Pasalnya, ada dalil-dalil syariat yang mendasari dan adanya dalil yang memerintahkan bertabarruk kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara khusus[17]. Dan kita ketahui bersama bahwa para sahabat Nabi yang melakukan demikian adalah orang-orang yang tidak ghuluw dan tidak berkeyakinan syirik. Alasan lain, hal ini tidak sama seperti bila dilakukan terhadap orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana telah dijelaskan.

Diantara ulama masa kini, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, menyanggah pendapat Ibnu Hajar Al Asqalani yang membolehkan bertabarruk kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan alasan qiyas beberapa hadits tentang sahabat Nabi yang bertabarruk kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz waffaqahullah berkata:

التبرك بآثار الصالحين غير جائز، وإنما يجوز ذلك بالنبي صلى الله عيه وسلم خاصة، لما جعل الله في جسده وما ماسه من البركة، وأما غيره فلا يقاس عليه لوجهين:
أحدهما: أن الصحابة رضي الله عنهم لم يفعلوا ذلك مع غير النبي صلى الله عيه وسلم ، ولو كان خيرا لسبقونا إليه.
الوجه الثاني: سد ذريعة الشرك، لأن جواز التبرك بآثار الصالحين يفضي إلى الغلو فيهم، وعبادتهم من دون الله، فوجب المنع من ذلك

“Bertabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang shalih tidaklah dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa diqiyaskan kepada beliau, karena dua alasan:

1. Para sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Andai perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabi lah yang sudah terlebih dahulu melakukannya

2. Menutup jalan menuju kesyirikan. Karena bertabarruk kepada bekas-bekas peninggalan orang shalih selan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah. Sehingga wajib untuk dicegah.”[18]

Nah, jelaslah sudah bagi kita semua bahwa tidak boleh meng-qiyas orang shalih terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini. Sehingga tidak boleh bertabarruk kepada jasad atau bekas-bekas peninggalan orang shalih selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lebih lagi jika kepada selain mereka (kepada ahli bid’ah, ahli maksiat, pohon, batu, cincin, dll. -pent). Karena mengagungkan sesuatu atau mencari berkah pada sesuatu itu membutuhkan dalil syar’i.

Wallahu Ta’ala ‘alam.

[Diterjemahkan dari risalah yang berjudul Al Baraahin 'Ala 'Adami Jawaazit Tabarruk Bis Shaalihin, karya Syaikh Nashir bin Abdirrahman Al Jadi' hadizhahullah]

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id
[1] Diantaranya adalah Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau yang berjudul:

الحكم الجديرة بالإذاعة من قول النبي صلى الله عليه وسلم : بُعثت بين يدي الساعة

di halaman 55

[2] Sebagian orang sufi berkeyakinan lain, mereka menganggap bahwa sebagian wali itu lebih utama daripada para Nabi. Simak pembahasannya di kitab Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah tulisan Ali bin Abdil ‘Izz (493-495)

[3] Yang dimaksud Asy Syatibi adalah keberkahan yang sifatnya konotatif, yang didapatkan oleh orang-orang yang shalih karena telah mengikuti sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

[4] Al I’tisham, 2/10

[5] Al Hukmul Jadiirah, 1/55

[6] Diantaranya adalah Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 7/3, 14/44) dan Ibnu Hajar Al Asqalani (Fath Al Baari, 3/129,3/130,3/144,5/341), rahimahumallah.

[7] Majmu’ Fatawa Wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 1/103-104. Lihat juga Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, 106.

[8] Fathul Majid (106), Ad Diin Al Khaalish (2/250) karya Syaikh Shiddiq Hasan Khan

[9] Haadzihi Mafaahimuna (209) karya Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Syaikh, dengan sedikit perubahan.

[10] Af’alur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Wa Dilaalatuha ‘alal Ahkaam At Tasyri’ (227) karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqaar, dengan sedikit perubahan

[11] Al I’tisham (2/9)

[12] Murid-murid Al Hallaj menceritakan bahwa mereka ghuluw dalam bertabarruk kepada Al Hallaj. Sampai-sampai ada yang mengusap-usap air kencingnya dan membakar tahi-nya (seperti membakar dupa). Bahkan ada yang mengklaim bahwa Al Hallaj titisan Allah. Lihat kitab Al I’tisham (2/10).

[13] Al Hukmul Jadiirah (1/55)

[14] Majmu Fatawa War Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim (1/104) dengan sedikit perubahan, lihat juja Fathul Majid (106), Asy Syirku Wa Mazhaahiruhu (93) karya Syaikh Mubaarak bin Muhammad Al Maili, Ad Diin Al Khaalish (2/250)

[15] Taisiir Al ‘Aziiz Al Hamid Syarh Kitab At Tauhid (154), karya Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab

[16] Haadzihi Mafaahimuna (210)

[17] Al Kawaasyif Al Jaliyyah ‘an Ma’aani Al Washithiyyah (746) karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhamad As Salman, dengan sedikit perubahan

[18] Fathul Baari (3/130), (1/144) yang dita’liq oleh Syaikh Ibnu Baaz

Memahami Allah Maha Pemberi Rizki

Kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rizki. Rizki sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah. Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rizki).

Allah Satu-Satunya Pemberi Rizki

Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi rizki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)

Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam memberi rizki. Oleh karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah, tidak pantas Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat Fathir, Allah Ta’ala berfirman,

لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

“Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)

Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)

Seandainya Allah menahan rizki manusia, maka tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rizki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Itu memang benar, tidak mungkin ada yang dapat memberikan makan dan minum ketika Allah menahan rizki tersebut.

Allah Memberi Rizki Tanpa Ada Kesulitan

Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta segala kebutuhan pada-Nya.”[1]

Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ قَالَ لِى أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ ». وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَمِينُ اللَّهِ مَلأَى لاَ يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُذْ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِى يَمِينِهِ »

“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah, tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga, yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]

Allah Menjadikan Kaya dan Miskin dengan Adil

Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71)

Dalam ayat lain disebutkan,

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)

Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]

Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman Allah,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Beliau rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”

Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]

Dalam sebuah hadits disebutkan,

إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر

“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.

Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ

“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (36) وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ (37)

“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)

Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,

نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ

“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)

Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan,

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)

Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan. Semoga kita bisa merenungkan hal ini.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]

Sebab Bertambah dan Barokahnya Rizki

Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki menjadi barokah. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai Ahli Kitab,

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al Maidah: 66)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ القُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluark, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Sebab Berkurang dan Hilangnya Barokah Rizki

Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَالبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). Yang dimaksudkan kerusakan di sini—kata sebagian ulama– adalah kekeringan, paceklik, hilangnya barokah (rizki). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksudkan kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki) karena perbuatan hamba. Ini semua supaya mereka kembali pada Allah dengan bertaubat.” Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di laut adalah sulitnya mendapat buruan di laut. Kerusakan ini semua bisa terjadi karena dosa-dosa manusia.[7]

Yang Penting Berusaha dan Tawakkal

Keimanan yang benar rizki bukan hanya dinanti-nanti. Kita bukan menunggu ketiban rizki dari langit. Tentu saja harus ada usaha dan tawakkal, yaitu bersandar pada Allah. Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[8]

Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:

Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]

Rizki yang Paling Mulia

Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,

لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا

“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)[10]

Jika setiap kita memahami hal ini, yang Allah satu-satunya pemberi rizki dan sungguh Allah benar-benar yang terbaik bagi kita, maka tentu saja kita tidak akan menggantungkan hati pada selain Allah untuk melariskan bisnis. Allah Ta’ala sungguh benar-benar Maha Mencukupi. Allah Maha Mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya, sehingga ada yang Dia jadikan kaya dan miskin. Setiap hamba tidak perlu bersusah payah mencari solusi rizki dengan meminta dan menggantungkan hati pada selain-Nya. Tidak perlu lagi bergantung pada jimat dan penglaris. Gantilah dengan banyak memohon dan meminta kemudahan rizki dari Allah. Wallahu waliyyut taufiq. (*)

Finished on Monday, 2nd Dzulhijjah 1431 H (8/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/479

[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.

[5]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.

[7] Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 14/40.

[8] HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[9] Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, Asy Syamilah, 1/335.

[10] Bahasan dalam tulisan ini, kami kembangkan dari tulisan di web: http://www.dorar.net/enc/aqadia/1241, dengan judul: Pengaruh iman terhadap nama Allah “Ar Rozzaq”.