Sufi Adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah, bukan Ahlussunnah

on Jumat, 05 Februari 2010

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak

Barangsiapa menelaah hakikat shufiyah khususnya dalam masalah akidah, niscaya akan mendapati betapa kentalnya hubungan shufiyah dengan akidah Asy’ariyah. Di antara buktinya adalah pemikiran tokoh-tokoh mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Sebelum kita membahas bukti hubungan mereka, mari kita sedikit mengulas siapakah Asy’ariyah?

Sekelumit tentang Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu sebelum beliau rujuk kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena beliau rahimahullahu mengalami tiga fase dalam kehidupannya:
1. Dibina oleh ayah tiri beliau di atas pendidikan Mu’tazilah
2. Mengkritisi pemikiran-pemikiran ayah tirinya dalam masa pemahaman yang dikenal sekarang dengan paham Asy’ariyah1
3. Rujuk kepada pemahaman ahlul hadits dan menulis buku yang berjudul Al-Ibanah, yang menunjukkan beliau di atas akidah Ahlus Sunnah.
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Abul Hasan memiliki tiga keadaan:
Pertama: Keadaan di atas manhaj Mu’tazilah yang dia telah rujuk darinya.
Kedua: Menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang khabariyah: seperti wajah, dua tangan, kaki, betis, dan lainnya.
Ketiga: Menetapkan semua sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa takyif (membayangkan gambaran tertentu dalam pikiran) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk), mengikuti jalan salaf. Inilah jalan beliau dalam kitabnya Al-Ibanah, kitab terakhir yang beliau tulis.” (lihat muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah)
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa pemahaman yang banyak dianut shufiyah sekarang bukanlah paham Abul Hasan Asy’ari rahimahullahu. Karena beliau telah bertaubat darinya dan rujuk kepada madzhab Ahlus Sunnah.

Penjelasan singkat tentang akidah Asy’ariyah sehingga tidak termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jamaah
1. Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis kekufuran dengan sebab amalan kekafiran jasmani seseorang.
2. Mereka Jabriyah2 dalam masalah takdir.
3. Mereka tidak menetapkan ‘illat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Tidak menetapkan sifat fi’liyah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala (seperti istiwa’/naik di atas Arsy, nuzul/turun ke dunia pada sepertiga malam yang akhir, dan lainnya).
5. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali Al-Juwaini mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas makhluk-Nya.
6. Tidak menetapkan sifat ma’ani (seperti ilmu, hayat, dll) kecuali tujuh atau lebih. Pijakan mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak mereka tetapkan seperti Ahlus Sunnah.
7. Memaknai kalimat tauhid sebatas tauhid rububiyah saja. Mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
8. Akhir dari pendapat mereka tentang kalamullah: Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana pendapat Mu’tazilah.
9. Memperlebar masalah karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin terjadi pada diri para wali.
10. Menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dilihat tidak dari arah tertentu. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat).
11. Menyatakan bahwa akal tidak bisa menetapkan baik-buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu. (Disadur dari kitab Takidat Musallamat As-Salafiyah hal. 35-36)

Ulama yang menyatakan Asy’ariyah bukan Ahlus Sunnah
1. Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu
Ibnu Khuzaimah rahimahullahu ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi: “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?”
Ibnu Khuzaimah berkata: “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.”
Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh (guru/pembesar) Asy’ariyah.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”(Kitab Istiqamah)
2. Ibnu Qudamah rahimahullahu
Beliau rahimahullahu berkata: “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah (kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red.) dan Asy’ariyah.”
3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullahu
Beliau berkata: “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya: “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?”
Beliau menjawab: “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.”
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30)

Hubungan Shufiyah dengan Asy’ariyah
Di antara bukti sangat kuatnya akidah Asy’ariyah pada pengikut shufiyah adalah banyaknya tokoh shufiyah yang mendakwahkan pemahaman dan akidah Asy’ariyah.
Di masa sekarang ini, bisa disebut nama Muhammad bin Alwi Al-Maliki, penulis buku Mafahim Yajib An Tushahhah. Dia termasuk dai kuburi shufi asy’ari (yang mengajak manusia mengagungkan kuburan secara berlebihan, beraliran sufi, dan berakidah Asy’ariyah). Inilah sebagian ucapannya:
1. Masalah akidah
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 93): “Tidak diragukan lagi bahwa ruh-ruh (orang yang telah meninggal) punya pergerakan dan kebebasan yang memungkinkan menjawab orang yang menyerunya serta memberi pertolongan orang yang meminta tolong kepadanya. Persis sama dengan orang yang hidup, bahkan melebihinya.”
Cukuplah dalam membantah kesesatan ini, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ. إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu. Kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu, dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha mengetahui.” (Fathir: 13-14)
2. Masalah manhaj
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 120): “Asy’ariyah adalah para imam pembawa petunjuk di antara sekian ulama muslimin.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 20-21)

Di antara bukti kuat adanya pengaruh kuat Asy’ariyah terhadap shufiyah adalah guru-guru, lembaga-lembaga, dan pondok-pondok shufiyah yang mengajarkan pemahaman Asy’ariyah terkhusus dalam masalah akidah seperti:
1. Hanya menetapkan sifat 13 atau 20
2. Menafikan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya (sehingga menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di mana-mana).
3. Hanya memaknakan kalimat syahadat sebatas tauhid rububiyah (Allah sebagai Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizki alam semesta)
Di antara bukti yang lain akan kuatnya paham Asy’ariyah pada kaum shufiyah adalah bahwa organisasi dan kelompok3 yang notabene beraliran shufiyah menjadikan pemikiran Asy’ariyah sebagai pemikiran organisasinya.

1 Yang sebenarnya mengadopsi pemahaman Kullabiyah. (ed.)
2 Yang menetapkan bahwa makhluk tidak punya kehendak dalam menjalankan hidup ini. (ed.)
3 Salah satu dari kelompok shufiyah masa kini adalah Jamaah Tabligh. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan: “Jamaah Tabligh adalah shufiyah masa kini. Adapun Ikhwanul Muslimin sangat nampak hubungan mereka dengan shufiyah karena pendirinya, Hasan Al-Banna, adalah seorang pengikut thariqat shufi Al-Hashafiyyah.”
Untuk merinci lebih lanjut tentang kedua kelompok ini, alhamdulillah, pembaca bisa merujuk kepada Majalah Asy Syariah edisi 07 dan edisi 20.

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=899

Amalan dan Pemahaman Sufi yang Menyelisihi Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abburrahman Mubarak

Selain dalam masalah akidah, shufiyah juga menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan para ulama madzhab Syafi’i dalam perkara-perkara lainnya.

Masalah tidak sampainya kiriman bacaan Al-Qur’an
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berpendapat tidak sampainya kiriman pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang telah mati. Sedangkan shufiyah justru paling getol melakukannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Umm: “Akan sampai kepada mayit amalan orang lain dan amalan tiga perkara: haji yang dilakukan orang lain mewakili dirinya, shadaqah atas namanya atau yang mengqadha amalannya, dan doa. Adapun yang selain itu berupa shalat dan puasa adalah bagi pelakunya, tidak untuk si mayit.”
Demikian juga Ibnu Katsir rahimahullahu –beliau termasuk ulama bermadzhab Syafi’i– ketika menafsirkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Beliau berkata: “Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang yang mengikutinya mengambil istinbath (kesimpulan hukum dari sutau dalil) bahwa hadiah pahala bacaan Al-Qur’an tidaklah sampai kepada orang mati, karena hal itu bukan amal perbuatan mereka. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak pernah menganjurkannya….” (Tafsir Ibnu Katsir) [Lihat Mukhalafah hal. 169]

Masalah taklid
Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sangat mencerca taklid, sedangkan shufiyah mendidik murid-murid mereka untuk taklid. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Kaum muslimin ijma’, barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata juga: “Semua yang aku ucapkan namun menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Adapun shufiyah, mengajari umat untuk taklid kepada guru mereka. Alangkah jauhnya dari ajaran beliau. Kenyataan menunjukkan mereka terjatuh dalam bid’ah ini.
Al-Ghazali memisalkan seorang murid dengan gurunya seperti seorang buta yang dituntun di pinggir sungai. Sang murid harus menyerahkan segala urusannya kepada sang guru. Al-Ghazali juga berkata: “Manfaat dari kesalahan guru lebih banyak daripada kebenaran seorang murid.”
Al-Kurdi Ash-Shufi berkata: “Di antara adab, yakni adab bersama guru, adalah tidak menyanggah apa yang dilakukan gurunya walau zhahirnya adalah haram. Tidak boleh murid berkata: ‘Mengapa sang guru melakukan itu?’ Karena barangsiapa yang berkata kepada gurunya: ‘Mengapa?’, dia tidak akan sukses (bahagia).”
Demikianlah pendidikan dan tarbiyah shufiyah, tidak saling mengingkari kemungkaran yang mereka lakukan. (Mukhalafah hal. 129-135)

Pengagungan As-Sunnah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban setiap mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah seseorang yang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau rahimahullahu pernah berkata: “Semua hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, maka aku berpendapat dengannya walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata begini dan begini.” Si penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu gemetar dan memerah wajahnya lalu berkata: “Wahai, bumi mana yang akan menyanggaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya??!”
Adapun shufiyah, betapa banyak mereka menolak hadits karena perasaan dan hawa nafsu belaka.
Di antara hadits yang ditolak shufiyah adalah:
1. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, di mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” Ketika orang tadi berpaling, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203)
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berziarah ke makam ibunya dan beliau menangis hingga membuat menangis (orang-orang) yang di sekitarnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku minta izin kepada Rabbku untuk berziarah ke kuburan ibuku. Dia mengizinkanku. Dan aku memintakan ampun baginya, tapi aku tidak diberi-Nya izin.” (HR. Muslim)
3. Hadits tentang kisah meninggalnya Abu Thalib. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mereka menolak hadits-hadits ini tanpa hujjah. Padahal para imam madzhab Syafi’i seperti Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Al-Baihaqi, dan Ibnu Katsir rahimahumullah telah menjelaskan dengan gamblang dari hadits ini bahwa dua orangtua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal tidak di atas Islam. (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 104-116)

Masalah ilmu kalam (filsafat)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu memiliki sikap yang keras terhadap ahlul kalam. Beliau pernah berkata: “Hukumku atas ahlul kalam adalah dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, kemudian diletakkan di atas unta, lalu diarak keliling kabilah. Diserukan kepada mereka: ‘Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu mempelajari ilmu kalam’.”
Kita telah mengetahui bahwa shufiyah sangat erat dan terpengaruh oleh firqah Asy’ariyah, padahal mereka termasuk kelompok ahlul kalam.

Demikianlah beberapa masalah yang bisa kami paparkan dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan dengan tulisan ini bisa memberikan sedikit wawasan ilmu bagi yang membacanya, sehingga bisa meyakini bahwa paham Shufiyah banyak sekali penyimpangannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bahwasanya kaum shufiyah sejatinya bukanlah pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=902

Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Bukan Tafsir Sufi

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu merupakan salah seorang tokoh Ahlus Sunnah yang dikenal memiliki keilmuan agama di berbagai bidang, termasuk pula dalam ilmu tafsir. Beliau merupakan salah satu rujukan pada zamannya, yang menjadi tempat bertanya kaum muslimin dalam penafsiran Al-Qur’an.
Ahmad bin Muhammad Asy-Syafi’i berkata: “Aku mendengar ayahku dan pamanku berkata: Adalah Sufyan bin Uyainah rahimahullahu, jika ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang tafsir dan fatwa, maka beliau menoleh kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan berkata: ‘Bertanyalah kalian kepada orang ini’.” (Siyar A’lam An-Nubala’, Adz-Dzahabi, 10/17)
Yunus bin Abdil A’la berkata: “Dahulu aku duduk bersama para ahli tafsir dan berdialog dengan mereka. Lalu jika Al-Imam Asy-Syafi’i mulai menafsirkan, seakan-akan beliau menyaksikan ayat itu diturunkan.” (Tarikh Madinah Dimasyq, 51/362)
Abu Hassan Az-Ziyadi berkata: “Aku dahulu bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang beberapa makna dalam Al-Qur’an. Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mampu dari beliau dalam menyebutkan makna-makna Al-Qur’an dan ungkapan yang disertai maknanya, serta menguatkannya dengan syair atau bahasa Arab.” (Tarikh Dimasyq, 51/362)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Dahulu nafas para ahli hadits ada di tangan Abu Hanifah hingga kami melihat Asy-Syafi’i. Beliau adalah manusia yang paling mengerti tentang Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau tidak merasa cukup dengan sedikit menuntut ilmu hadits.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/99)
Muhammad bin Fudhail Al-Bazzar menyampaikan dari ayahnya bahwa dia bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu tatkala melihat Al-Imam Ahmad duduk dengan seorang pemuda: “Wahai Abu Abdillah, engkau meninggalkan majelis Ibnu Uyainah, padahal dia memiliki riwayat Az-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Ziyad bin ‘Alaqah dan kalangan tabi’in lainnya, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui tentang (keutamaan) mereka?”
Jawab Al-Imam Ahmad: “Diam kamu. Jika engkau tertinggal mendapatkan hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi), engkau bisa mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Itu tidak membahayakan agamamu, tidak pula akal dan pemahamanmu. Namun jika engkau tertinggal oleh pemikiran pemuda ini, saya khawatir engkau tidak lagi menemukannya hingga hari kiamat! Aku tidak pernah melihat orang yang paling mengerti tentang Kitabullah dari pemuda Quraisy ini.”
Aku bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.” (Hilyatul Auliya’, 9/100)
Ini pula yang dikatakan oleh Al-Mubarrid: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Al-Imam Asy-Syafi’i, karena sesungguhnya beliau orang yang paling ahli dalam bidang syair, sastra, dan paling mengerti tentang Al-Qur’an.” (Tawali At-Ta'sis, Ibnu Hajar hal. 104)

Kedudukan Al-Qur'an menurut Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman, petunjuk, dan pembimbing. Barangsiapa senantiasa menggali ilmunya maka dia akan memiliki kedudukan yang tinggi, sesuai kadar ilmu Al-Qur’an yang dimilikinya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya merupakan rahmat dan hujjah. Berilmu bagi orang yang mengetahuinya dan jahil bagi yang tidak mengetahuinya. Tidak berilmu orang yang jahil terhadapnya, dan tidak jahil orang yang mengilmuinya. Sedangkan manusia bertingkat-tingkat dalam keilmuan. Kedudukan mereka dalam ilmu sesuai tingkatan mereka dalam mengilmuinya (Al-Qur’an).” (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i hal. 19)
Beliau rahimahullahu juga menjelaskan bahwa kebahagiaan serta kemenangan hidup di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh dengan memahami hukum-hukum yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya. Beliau rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang menjangkau ilmu tentang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, baik secara nash maupun secara istinbath (mengambil kesimpulan dari suatu dalil), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepadanya untuk berkata serta mengamalkan apa yang telah diilmuinya, maka dia akan meraih kemenangan dalam agama dan dunianya. Akan hilang darinya berbagai keraguan. Cahaya hikmah akan senantiasa menerangi hatinya dan dia akan mendapatkan kepemimpinan di dalam agama.” (Ar-Risalah hal. 19)

Perbedaaan tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan tafsir kelompok Shufiyah
Sebagian orang menyangka bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sejalan dengan pemikiran Shufiyah. Hal ini disebabkan karena banyaknya ahli tasawwuf yang menisbahkan dirinya sebagai penganut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i serta mengikuti ajaran-ajaran beliau. Padahal tidak demikian keadaannya. Bahkan prinsip-prinsip yang diajarkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu senantiasa sejalan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah secara umum. Khususnya dalam bidang ilmu tafsir, Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu sangat jauh dari berbagai prinsip Shufiyah dalam penafsiran Al-Qur’an.
Dalam ushul tafsir, Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu menegaskan bahwa dalam memahami Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat-Nya dengan beberapa cara:
- Ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan secara nash, seperti beberapa perkara wajib, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan mengharamkan atas mereka perbuatan keji, yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan zina, minum khamr, memakan bangkai, darah, dan daging babi, serta menjelaskan kepada mereka kewajiban berwudhu dan yang lainnya.
- Ada pula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kewajiban sesuatu melalui kitab-Nya dan menjelaskan caranya melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bilangan shalat, zakat, dan waktu-waktunya, serta yang lainnya.
- Apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa sesuatu yang tidak disebutkan nash-nya dalam Al-Qur’an, di mana Allah l telah mewajibkan dalam kitab-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapkan hukumnya. Maka barangsiapa yang menerima hukum dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia menerima ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Adapula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam menemukan jawabannya dan menguji ketaatan hamba tersebut dengan berijtihad, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas mereka. (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 21-22)
Prinsip-prinsip yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ini sangat bertentangan dengan apa yang menjadi prinsip kaum Shufiyah. Di kalangan Shufiyah, ilmu tidak diambil dengan cara mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena mereka menganggap bahwa mengambil ilmu secara langsung dari keduanya adalah kekeliruan. Seperti apa yang diucapkan oleh Abul Fadhl Al-Ahmadi: “Jangan kalian memastikan kebenaran dari apa yang kalian ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah, meskipun secara hakiki itu adalah kebenaran.” (Al-Mashadir Al-’Ammah lit Talaqqi ‘inda Ash-Shufiyah, karya Shadiq Salim, hal. 186)
Namun salah satu cara mereka dalam mengambil ilmu adalah dengan kasyaf shufi. Yaitu kemampuan untuk dapat melihat berbagai hal dengan cara menembus alam ghaib, sehingga seakan-akan dia melihatnya dengan mata kepalanya. Ilmu kasyaf ini –menurut mereka– jauh lebih afdhal dari sekadar mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Ghazali menukil dari Al-Junaid bahwa dia berkata: “Aku lebih suka bagi seorang murid pemula untuk tidak menyibukkan hatinya dengan tiga hal: mencari nafkah, menuntut ilmu hadits, dan menikah. Aku lebih suka bagi seorang shufi untuk tidak menulis dan membaca, karena cara itu lebih fokus untuk mencapai harapannya.” (Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali, 4/239)
Ad-Darani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits, atau menikah, atau mencari nafkah, maka sungguh dia telah condong kepada dunia.” (Ihya’ Ulumiddin, 1/61)
Oleh karenanya, di kalangan Shufiyah, orang yang paling bodoh sekalipun bisa menjadi seorang syaikh yang dihormati. Asy-Sya’rani tatkala menyebut salah seorang gurunya berkata: “Di antara mereka adalah syaikh dan ustadz saya: Sidi Ali Al-Khawwash Al-Baralsi –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai dan merahmatinya–, beliau adalah seorang yang ummi, tidak bisa menulis dan membaca. Dia berbicara tentang makna-makna Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah yang mulia, dengan perkataan yang sangat berharga yang membuat para ulama tercengang1….” (Thabaqat Asy-Sya’rani, 2/150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 184)
Subhanallah! Kaum Shufiyah berusaha memalingkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Padahal seorang muslim tidak mungkin dapat memahami agamanya kecuali dengan cara belajar dan mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَالْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطه وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَ يُوقه
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar dan kesabaran diperoleh dengan belajar sabar. Barangsiapa yang mencari kebaikan maka ia akan diberi dan barangsiapa yang menjaga diri dari kejahatan maka ia akan dipelihara.” (HR. Al-Khathib dalam Tarikh-nya 9/127, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, karya Al-Albani, 1/342)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
لَقَدْ ضَلَّ مَنْ تَرَكَ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِقَوْلِ مَنْ بَعَدَهُ
“Sungguh telah sesat orang yang meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ucapan orang setelahnya.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih, Al-Khathib Al-Baghdadi, 1/386)
Perbedaan yang sangat mencolok antara Al-Imam Asy-Syafi’i dengan kaum Shufiyah inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaum Shufiyah dalam menafsirkan ayat tidak bersandar kepada kaidah-kaidah yang diterapkan para ulama dalam menafsirkan, juga tidak bersandar kepada kaidah-kaidah ilmu musthalah hadits. Mereka selalu bersandar kepada apa yang disebut dengan ilmu kasyaf tersebut, ilmu ladunni2, mimpi-mimpi, atau perasaan, yang dengannya mereka mengaku –padahal mereka para pendusta– bahwa mereka mendapatkan penafsiran langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.
Asy-Sya’rani berkata tentang salah seorang syaikh sufi asal Mesir yang bernama Ahmad Az-Zawawi: “Dia (Az-Zawawi) pernah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya cara kami adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau duduk bersama kami dalam keadaan sadar (bukan mimpi). Kami menemaninya sama seperti para sahabat. Kami juga bertanya kepadanya tentang urusan agama kami dan bertanya tentang hadits-hadits yang dilemahkan oleh para hafizh. Lalu kami mengamalkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya’.” (Lawaqih Al-Anwar Al-Qudsiyyah, lembaran 157, Al-Mashadir Al-’Ammah, hal. 236)
Dengan pengakuan dusta bahwa mereka dapat bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar, mereka pun menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan cara “mendengar langsung” dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Al-Ibriz bahwa Al-Lamthi bertanya kepada syaikhnya yang bernama Ad-Dabbagh tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Maka Ad-Dabbagh menjawab: “Aku tidak menafsirkan ayat ini kepada kalian kecuali dengan apa yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemarin beliau menyebutkan tafsirnya kepada kami …. –lalu ia menyebutkan tafsirannya.” (Al-Ibriz hal. 150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 237)
Demikian pula Ash-Shayadi mengaku bahwa dia telah dibaiat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa membaca surah Al-Ikhlas jika masuk rumah. (Bawariqul Haqa’iq, hal. 307, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 238)
Ash-Shayadi Ar-Rifa’i juga mengaku bahwa Khadhir menafsirkan kepadanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (Yasin: 68)
Khadhir berkata kepadanya: “Penafsiran ayat ini adalah, barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya dan Kami tinggikan kedudukannya di sisi Kami, Kami jadikan dia di kalangan makhluk terbalik (amalannya).” (Bawariqul Haqaiq, hal. 147)
Adapun dalam periwayatan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, As-Sahrawardi mengaku dalam kitabnya As-Sirr Al-Maktum bahwa Khadhir telah memberitakan kepadanya 300 hadits yang dia dengar secara langsung dari lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyful Khudr, lembaran 8, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 261)
Dari sebagian kecil apa yang telah kami paparkan ini, nampaklah bahwa Thariqat Shufiyah memiliki ajaran-ajaran yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah diajarkan oleh para ulamanya, termasuk di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Oleh karenanya, penisbahan sebagian kaum Shufi kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, baik dalam masalah fiqih maupun akidah, adalah penisbahan yang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sendiri berlepas diri dari mereka.
Wallahul muwaffiq.

1 Seperti itu pula sufi masa kini (Jamaah Tabligh), ed.
2 Setali tiga uang dengan ilmu kasyaf, yakni “ilmu” yang didapat “langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala” tanpa proses belajar. Menurut keyakinan sufi, “ilmu” ini tertanam dalam hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan), inspirasi, dan sejenisnya. Dengan mujahadah, “pembersihan dan pensucian hati” melalui amalan atau zikir tertentu akan terpancar “nur” dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia alam ghaib. Diyakini, mereka bahkan bisa “berkomunikasi langsung” dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasul, dan ruh-ruh lainnya, termasuk Nabi Khidhir. Menurut kibulan orang-orang sufi, ilmu laduni hanya bisa diraih oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat (pengikut sufi menyebutnya dengan wali, habib, gus, dan sejenisnya), meski lahiriahnya mereka adalah orang-orang yang justru menyelisihi syariat. Berkedok ilmu laduni ini, orang-orang sufi, selain melakukan pembodohan terhadap umat, juga berupaya menjauhkan umat untuk mempelajari ilmu naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah), bahkan berujung dengan menafikannya.

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=903

Al-Imam Asy-Syafi’i dan Qashidah Al-Burdah

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Ilmu dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menyertai hamba-Nya. Kasih sayang-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan mereka dan kebijaksanaan-Nya selalu mengiringi langkah mereka. Namun kelalaianlah yang telah menjadikan manusia itu lupa akan semuanya. Bukan hanya sekadar lupa –di mana itu lebih ringan–, namun lupa diiringi dengan penentangan terhadap kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta melanggar segala perintah dan larangan-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala mereka balas dengan berbuat keji dan berbuat zalim, padahal kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu.

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-A’raf: 156)
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus kepada mereka para nabi dan rasul, untuk membimbing mereka ke jalan wahyu-Nya serta mengarahkan mereka kepada jalan yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Membimbing mereka ke jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka tidak berakhir dengan habisnya masa kenabian dan kerasulan yang ditutup dengan Nabi kita Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membangkitkan pada setiap generasi, ulama yang memiliki tugas untuk melangsungkan tugas para rasul di tengah umat ini. Termasuk dalam sederetan ulama tersebut adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.

Siapakah beliau?
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lua’i bin Ghalib, Abu Abdullah Al-Qurasyi Asy-Syafi’i Al-Makki.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyhur di kalangan kaum muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah, di daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup Al-Imam Asy-Syafi’i dalam bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika Al-Imam Ahmad rahimahullahu duduk bersamanya. Lalu datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan majelis Ibnu ‘Uyainah –guru Al-Imam Asy-Syafi’i– lantas duduk bersama orang A’rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya: “Diam kamu. Jika luput darimu hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi) maka kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal orang ini (Al-Imam Asy-Syafi’i), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku tidak melihat seorang pun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemuda ini (Al-Imam Asy-Syafi’i).”
Beliau, Al-Imam Ahmad rahimahullahu, berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- niscaya kita tidak akan bisa memahami hadits.” Dalam sebuah riwayat beliau berkata: “Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’i) adalah orang yang paling faqih tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri, seorang imam dalam Manaqib Asy-Syafi’i berkata: “Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: ‘Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke Asy-Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang banyak hal, saya dapati beliau adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir bahwasanya dia (Asy-Syafi’i) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-makna Al-Qur’an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah (belajar khusus) kepadanya’.”
Dawud berkata: “Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih) menyesali apa yang luput dari ilmunya (Asy-Syafi’i).”
Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela hadits), disebabkan kemasyhuran beliau dalam membela sunnah dan semangat beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (Lihat Muqaddimah Ar-Risalah hal. 6, tahqiq Ahmad Syakir dan Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah, 1/20)
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata: “Saya tercengang ketika melihat kitab Ar-Risalah, karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih, dan penasihat. Maka saya banyak berdoa untuknya.”

Akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam menetapkan akidah berjalan di atas jalan as-salafush shalih dari umat ini. Hal ini terlihat dalam beberapa kaidah di bawah ini.
1. Konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendahulukan keduanya daripada akal.
Mengambil apa yang datang di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan prinsip beliau. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah, karena keduanya merupakan sumber pengambilan akidah Islamiyyah. Tentunya, seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan adat-istiadat, ajaran nenek moyang, takhayul, khurafat, hasil olah akal, perasaan, siyasah (politik), istihsan (anggapan baik), atau lebih mendahulukan taklid daripada keduanya. Tidak ada petunjuk dan kemaslahatan melainkan dengan berpegang teguh pada keduanya. Inilah sesungguhnya sikap orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Di atas prinsip inilah, salaf (pendahulu) umat ini berjalan. Mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala apa yang datang dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berbicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara. Mereka pun diam pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu termasuk dari sederetan imam-imam salaf umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُولِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ
“Saya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/2 dan 6/354)

2. Menetapkan akidah dengan hadits-hadits ahad
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi setelah mereka dari kalangan tabi’in dan salaf umat ini telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan hadits ahad, baik mereka mengatakan hadits ahad memberikan manfaat ilmu atau zhan (praduga). Tidak ada yang menyelisihi mereka dalam masalah ini kecuali sebagian kelompok yang tidak teranggap, seperti Mu’tazilah atau Rafidhah. (lihat Al-Ihkam karya Al-Amidi 2/64, Irsyadul Fuhul hal. 48-49)
Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu berkata: “Beramal dengan hadits ahad merupakan pendapat seluruh tabi’in dan ulama fiqih generasi setelah mereka, di seluruh negeri kaum muslimin, pada setiap masa. Tidak ada satu pun riwayat adanya pengingkaran dan penentangan dari mereka.” (Lihat Al-Kifayah 72)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu telah membela madzhab salaf dalam hal wajibnya beramal dengan hadits-hadits ahad dalam seluruh perkara agama, termasuk di dalamnya akidah. Tidak pernah ada riwayat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu membedakan antara permasalahan akidah dengan selainnya.
Bahkan diriwayatkan dari beliau, ketika disampaikan hadits tentang kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, beliau ditanya oleh Sa’id bin Asad: “Apa yang engkau katakan tentang hadits ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala)?” Beliau berkata kepadaku: “Wahai Ibnu Asad, coba putuskan, aku ini orang hidup atau telah mati? Setiap hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku akan mengatakannya, walaupun belum sampai kepadaku.” (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Baihaqi rahimahullahu, 1/421)
Beliau juga telah membantah para pengingkar hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah dan beliau memaparkan dalil-dalilnya.

3. Mengagungkan pemahaman salaf (para sahabat) dan mengikuti mereka
Sungguh pemahaman sahabat di kalangan ulama salaf memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Para sahabat, merupakan qudwah (teladan) mereka baik dalam urusan agama ataupun dunia. Mereka seperti yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang meniti jalan, maka hendaklah dia meniti jalan orang yang telah meninggal dunia karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari godaan. Mereka adalah sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah umat yang paling utama, paling dalam ilmunya, dan paling tidak membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agamanya. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikuti langkah-langkah mereka. Berpeganglah semampu kalian dengan akhlak dan agama mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/97 dan Dar’ud Ta’arudh 5/69)
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai sekalian ahli Qur’an, luruslah kalian dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Maka, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika kalian lurus niscaya kalian telah melangkah jauh ke depan. Namun jika kalian menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam kitab Minhajus Sunnah, 5/81)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Prinsip sunnah (akidah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah dilalui oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan Al-Ilm 2/97 dan Minhajus Sunnah 6/81)

4. Menjauhi pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan ahli kalam serta mencela mereka.
Sikap beliau terhadap para pengekor hawa nafsu sangat jelas. Ini terbukti melalui ucapan-ucapan beliau dan amalan beliau. Beliau berkata: “Saya tidak pernah melihat orang yang paling suka bersaksi dusta/palsu selain Syi’ah Rafidhah.” (Adab Asy-Syafi’i hal. 187, Al-Manaqib karya Al-Baihaqi 1/468, dan Sunan Al-Kubra 10/208)
Beliau juga mengkafirkan orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah, red.). (Al-Manaqib, Al-Baihaqi, 1/407)
Bahkan sikapnya terlihat tatkala beliau meninggalkan Baghdad menuju Mesir, karena munculnya Mu’tazilah di sana yang kemudian menguasai undang-undang negara.
Ar-Rabi’ berkata: “Aku menyaksikan Al-Imam Asy-Syafi’i turun dari tangga, sementara kaum yang berada di majelis tersebut berbicara tentang ilmu kalam (filsafat). Beliau berkata: ‘Kalian duduk bersama kami dengan baik atau kalian pergi dariku’.”
Bahkan beliau mengatakan: “Hukumanku terhadap ahli kalam (filsafat) adalah dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, serta diletakkan di atas unta lalu dikelilingkan di kabilah-kabilah, sambil dikatakan: ‘Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu belajar ilmu kalam’.” (Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah 1/218 dan Ibnu Abdul Bar di dalam Al-Intiqa hal. 80)

Qashidah Burdah dan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i
Setelah kita menyelami akidah Al-Imam Asy-Syafi’i dan prinsip beliau dalam beragama, maka segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dalam agama, kesesatan dalam berakidah, jelas bukan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i dan beliau berlepas diri dari semuanya. Mari kita melirik sejenak kepada sebuah untaian bait-bait sya’ir yang terdapat di dalam Al-Burdah yang dijadikan sebagai sajian bacaan yang dilantunkan dalam acara-acara “Islami”, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Di dalam burdah tersebut terdapat pujian-pujian yang berlebihan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau setara dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dalam salah satu baitnya, beliau diangkat melebihi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan sebuah kekufuran yang nyata dan kesyirikan yang jelas, bahkan mencakup tiga jenis kesyirikan sekaligus yaitu syirik dalam uluhiyah, syirik dalam rububiyah, serta syirik dalam asma’ dan sifat. Di antara bait-bait syair yang dibawakan oleh Al-Bushiri di dalam Al-Burdah adalah:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai makhluk yang paling dermawan kepada siapakah aku berlindung
kalau bukan pada dirimu ketika terjadi malapetaka yang menyeluruh

Kalimat ini merupakan kesyirikan dalam hal tauhid uluhiyah, yaitu meminta perlindungan dari berbagai marabahaya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita telah mengetahui bahwa meminta perlindungan adalah sebuah ibadah, dan ibadah itu tidak boleh diberikan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh.” (Al-Falaq: 1)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (An-Nas: 1)
Apakah malapetaka yang dimaksud?
Gempa, badai, angin topan, petir yang menyambar, gunung meletus, ombak yang menggunung di lautan, tanah longsor, wabah, dan sebagainya, semuanya termasuk kategori malapetaka. Akankah engkau meminta penyelesaiannya kepada Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mampukah setelah beliau meninggal untuk berbuat? Sedangkan di masa hidupnya beliau mengatakan:

لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا

“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” (Al-Jin: 21)
Dalam bait lainnya:
فَإِنَّ مِنْ جُودِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُومِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
maka di antara kedermawananmu adanya dunia dan akhirat
dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul mahfudz dan qalam (pena penulis takdir, red.)

Pada bait ini terdapat bentuk kesyirikan dalam hal tauhid rububiyah. Dikatakan bahwa dunia dan akhirat merupakan pemberian Nabi kita, padahal beliau adalah manusia biasa yang tentunya tidak akan pantas menyandang kerububiyahan.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah yang Esa’.” (Al-Kahfi: 110)
Jika dunia dan akhirat ada karena kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu apalagi yang disisakan oleh Bushiri untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Dan dalam bait ini juga terdapat syirik dalam masalah tauhid asma’ dan sifat, yaitu masalah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara gaib yang kemudian disandangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau sendiri diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ

Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (Al-An’am: 50)

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (Ali ‘Imran: 179)
Masalah ghaib adalah ilmu yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada seorang hamba setinggi apapun derajatnya yang berhak menyandangnya.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)

Kenapa ucapan syirik seperti ini terjadi?
Itulah akibat sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang akan menjatuhkan pelakunya pada kebinasaan dunia dan akhirat. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu membuat judul dalam karya beliau Kitab At-Tauhid: “Bab: Sebab kekufuran bani Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah ghuluw dalam menyikapi orang shalih.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Jangan kalian menyanjungku sebagaimana orang Nasrani menyanjung putra Maryam, aku adalah seorang hamba maka katakanlah: ‘Hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya’.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ
“Berhati-hati kalian dari sikap ghuluw karena ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Telah binasa orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.”
Wallahu alam bish-shawab.

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=905

Sufi Menyelisihi Akidah Al-Imam Asy-Syafi’i

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abburrahman Mubarak

Satu kebohongan jika mereka mengklaim sebagai pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah Imam Ahlus Sunnah yang teguh dan kokoh di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Penulis Mukhalafatus Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidaklah mengambil dari beliau kecuali dalam perkara fiqih dan ibadah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Namun mereka tidak mengikuti jalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.” (Mukhalafatush Shufiyah hal. 19)
Kami akan sebutkan beberapa penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.

Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah rububiyah
Banyak sekali keyakinan shufiyah dalam masalah rububiyah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menyimpang dari pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Di antaranya:
1. Shufiyah mengaku wali mereka tahu ilmu ghaib
Ilmu ghaib adalah perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ؛ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ إِلاَّ اللهُ، وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا تَكْسِبُ غَدًا وَلَا تَدْرِي بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْـمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ الله،ُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ
“Lima kunci perkara ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah, tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang akan diperbuatnya esok hari dan tidak pula tahu di mana jiwa itu akan mati kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari hal. 4697)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Telah ditutup ilmu tentang kapan hari kiamat dari Nabi-Nya. Sedangkan selain malaikat yang didekatkan dan nabi-nabi yang terpilih, ilmunya lebih sedikit dari mereka ….” (Al-Umm) [Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 96-100]

2. Shufiyah meyakini wali-wali mereka bisa mencipta dan mengatur alam
Penciptaan adalah khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Namun Jufri Al-Khadrami, seorang tokoh ekstrem shufi saat ini, menyatakan bahwa seorang wali punya kemampuan menciptakan anak di rahim seorang ibu tanpa ada bapak. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Bahkan dia berani menyatakan bahwa wali-walinya punya kemampuan menghilangkan musibah orang yang ber-istighatsah (meminta tolong dihilangkan musibah) kepadanya. Dengan lancang ia bahkan berkata: “Pengaturan yang dilakukan wali bahkan sampai di surga dan neraka.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 32-33)

Penyelisihan shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shufiyah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah:
1. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menetapkan semua sifat yang terdapat dalam nash/dalil
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan keadaan Dajjal:
إِنَّهُ أَعْوَرُ وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, dan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang terbunuh di medan perang, dia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa kepadanya.1
Bagaimana dengan shufiyah?
Shufiyah telah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i dan salafus shalih. Mereka melakukan tahrif (penyelewengan makna) dan takwil. Mereka tidaklah menetapkan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali tujuh saja. (Mukhalafatush Shufiyah hal. 37-38 secara ringkas)

Shufiyah mengingkari Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas
Di antara keyakinan Ahlus Sunah wal Jamaah adalah meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas arsy-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia naik di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, ketika dia hendak membebaskan budaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan: “Di mana Allah?” Hamba sahaya tadi menjawab: “Allah di atas.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi berkata: “Engkau utusan Allah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bebaskanlah, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:
Ibnul Qayim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan sanadnya bahwa beliau rahimahullahu berkata, “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam zhihar2. Beliau rahimahullahu berkata: “Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya punya seorang budak perempuan yang menggembala kambing. Ketika saya mendatanginya, ternyata seekor kambing telah hilang. Ketika saya bertanya kepadanya, dia menjawab bahwa kambing itu dimakan serigala. Saya pun marah kepadanya. Saya adalah seorang bani Adam (yang bisa berbuat khilaf, red.) sehingga saya menempeleng wajahnya. Saya punya kewajiban membebaskan budak. Apakah saya boleh membebaskannya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada budak tersebut: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi menjawab: “Engkau Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata: “Bebaskanlah dia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Nama sahabat tadi (sebenarnya) Mu’awiyah bin Al-Hakam (bukan Umar bin Al-Hakam sebagaimana dalam riwayat, red.), demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.”
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin. Beliau rahimahullahu menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas sebagai tanda keimanan.
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini dan juga meninggalkan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Sebagian mereka menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana-mana. Sebagian mereka bahkan ada yang mengingkari pertanyaan: di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk yang terbaik, telah menguji keimanan seorang hamba sahaya dengan pertanyaan semacam ini. (Lihat pembahasan lebih detail pada Mukhalafatush Shufiyah hal. 41-53)

Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah Uluhiyah

1. Shufiyah menyeru kepada kesyirikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnul Qayyim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan sanadnya, beliau berkata: “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya, dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya, adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya.Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata: “Orang-orang shufiyah berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa kepada nabi. Juga kepada wali mereka yang masih hidup ataupun yang telah mati. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hilangkanlah musibah yang menimpa kami. Tolonglah kami. Engkaulah tempat menyandarkan diri.’ Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang berdoa kepada selain-Nya dan menganggapnya sebagai sebuah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus:106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Doa adalah ibadah seperti halnya shalat. Tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun kepada rasul atau wali. Berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik besar yang menggugurkan amal dan mengekalkan pelakunya di neraka. (Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah)

2. Shufiyah mengajarkan sihir
Sihir adalah satu perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan kepadanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang yang tujuh, yakni meyakini bahwa bintang-bintang bisa berbuat apa yang dimintai darinya, maka dia kafir. Jika cara itu menyebabkan kafir dan dia meyakini kebolehan melakukannya, maka kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka bukan hanya pelaku, bahkan sumber dan penyebar sihir di umat ini. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menyebutkan di antara sebab-sebab tersebarnya sihir adalah:
1. Menyebarnya kebodohan
2. Permusuhan di antara kaum muslimin dan selain mereka
3. Berkuasanya orang-orang kafir atas kaum muslimin
4. Menyebarnya kelompok sesat dan merusak.

Beliau juga menegaskan, shufiyah termasuk sumber sihir. Beliau terangkan bahwa sumber sihir di alam ini adalah:
1. Yahudi
2. Rafidhah dan Batiniyah
3. Shufiyah
4. Ahlul Kalam (Filsafat)
5. Buku-buku yang ditulis tentang masalah sihir
Di antara bukti yang menunjukkan shufiyah adalah orang-orang yang banyak andil dalam penyebaran sihir, adalah buku-buku sihir yang ditulis oleh tokoh-tokoh shufiyah. Di antaranya:
1. Buku Syamsul Ma’arif Al-Kubra
Penulisnya adalah Ahmad Al-Buni. Di akhir bukunya, dia menerangkan sanad-sanad ilmu sihirnya yang dinisbatkan kepada banyak tokoh shufi ekstrem.
2. Buku Rahmah fi Thibb wal Hikmah
Penulis buku ini, Mahdi bin Ibrahim Ash-Shabiri, adalah seorang tokoh shufi ekstrem.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Di antara khurafat yang paling hina dalam buku ini adalah yang disebutkan penulisnya dalam judul masalah obat kebutaan: diambil darah haid wanita yang belum pernah didatangi pria (masih gadis, red.), lalu dicampur dengan mani, digunakan sebagai celak mata, ini akan menghilangkan gangguan pada mata.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Al-Imam berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini kecuali orang yang dungu dan hilang akalnya.”
Asy-Syaikh juga berkata: “Buku-buku shufi ekstrem dipenuhi sihir dan tanjim (astrologi, red.).” (Lihat Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati Alamatis Sihri hal. 54-67)

3. Shufiyah membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلٌ الصَّالِحٌ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu jika mati dari mereka seorang yang shalih, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Bagaimana dengan shufiyah?!
Tidak samar lagi, kaum shufiyah adalah orang-orang yang paling getol membangun dan menyeru untuk membangun kuburan. Membangun kubah-kubah di atas kuburan, terutama kuburan orang yang mereka anggap sebagai wali.

1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 2826) dan Muslim (no. 1890) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2 Zhihar yaitu menyerupakan istri dengan ibu kandung, seperti ucapan: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku."

SUMBER: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=901

Mengenal Lebih Dekat Al-Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I

Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc

Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.

Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam –dalam setiap generasinya– lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.

Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi'i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, 1/44)

Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi'i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ’Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.1 Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail –saat itu– adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.2 (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi'i 1/102)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji –saat itu sebagai Mufti Makkah– kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun –dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini– Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu disebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi'i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi'i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).3

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.4 Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.5 Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”6
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.7 Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i –jika menyebut Syi’ah Rafidhah– seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.8
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.

1 Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.
2 Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi'i di mata pembesar umat.
3 Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.
4 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.
5 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.
6 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.
7 Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma' wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy'ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.
8 Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.

sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=895