SALAH PAHAM DENGAN ISTILAH SALAFI

on Sabtu, 01 Mei 2010

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah -beliau adalah guru besar Aqidah di Universitas Islam Madinah- menerangkan di dalam kitabnya ‘Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid Asma’ wa Shifat’ [halaman 53-54] bahwa para ulama memiliki pandangan yang beragam tentang makna istilah salafush shalih. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan salafush shalih adalah para sahabat radhiyallahu’anhum saja. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud salafush shalih adalah sahabat dan tabi’in. Dan ada pula yang mengatakan bahwa salafush shalih meliupti sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Beliau juga menyatakan [halaman 54] bahwa pendapat yang benar lagi populer ialah pendapat jumhur ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah yaitu yang menyatakan bahwa salafush shalih itu mencakup tiga generasi yang diutamakan dan telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian sesudah mereka, kemudian sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga istilah salafush shalih itu mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Syaikh at-Tamimi mengatakan, “Dan setiap orang yang meniti jalan mereka dan berjalan di atas metode/manhaj mereka maka dia disebut salafi, sebagai penisbatan kepada mereka.” (Mu’taqad, hal. 54).

Beliau juga memaparkan [halaman 54] bahwa salafiyah adalah manhaj yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta generasi yang diutamakan sesudah beliau. Nabi telah memberitakan bahwa manhaj salaf ini akan tetap ada hingga datangnya hari kiamat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan senantiasa ada segolongan manusia di antara umatku yang selalu menang di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sementara mereka tetap dalam keadaan menang.” (HR. Muslim)

Kemudian, Syaikh at-Tamimi juga menegaskan [halaman 55] bahwa perkara yang dibenarkan apabila seorang menyandarkan diri kepada manhaj salaf ini selama dia konsisten menetapi syarat-syarat dan kaidah-kaidahnya. Maka siapa pun yang menjaga keselamatan aqidah dan amalnya sehingga sesuai dengan pemahaman tiga generasi yang utama tersebut, maka dia adalah orang yang bermanhaj salaf.

Di tempat yang lain [halaman 63] beliau mengatakan, “Terkadang para ulama menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai pengganti istilah salaf.”

Dari pemaparan ringkas di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa istilah salaf atau salafi sebenarnya adalah istilah yang sudah sangat terkenal dalam pembicaraan para ulama. Mereka itu tidak lain adalah para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka sungguh sebuah penipuan yang amat jelas apabila ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafi adalah istilah yang diada-adakan, tidak ada sumbernya dalam al-Kitab maupun as-Sunnah, apalagi sampai mengatakan bahwa istilah itu tidak perlu dihiraukan.

Dengarkanlah ucapan seorang tokoh pergerakan yang patut untuk kita cermati, “Salafiyah bukanlah istilah teknik untuk suatu jamaah, melainkan bentuk pemahaman terhadap Islam dalam menghadapi berbagai faham lain dari berbagai kelompok yang menyimpang. Pemahaman ini ada sejak awal sejarah Islam. Pada dasarnya seluruh du’at harus menjalani manhaj salaf ridhwanullahi ‘alaihim, bergerak dengannya baik secara pemahaman, amalan, maupun aqidah. Salafiyah bukan sebuah jama’ah dari jama’ah-jama’ah, dan bukan merupakan satu hizb dari berbagai hizb yang ada.” (Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, penerjemah Hawari Aulia, di bawah judul ‘Tuduhan dan Jawabannya’). Alangkah benar apa yang diucapkannya, maka marilah kita ikuti para ulama salaf, tidak hanya dalam hal aqidah namun juga dalam hal dakwah dan siyasah, sadarlah wahai saudaraku…

Termasuk kekeliruan pula apabila ada orang yang mengatakan bahwa salaf sekarang sudah tidak ada karena mereka sudah meninggal dengan maksud menjauhkan umat dari manhaj salaf. Memang, salafush shalih -dalam artian tiga generasi terbaik- sudah berlalu, namun sebagaimana sudah dijelaskan di muka oleh Syaikh at-Tamimi bahwa manhaj mereka masih tetap hidup.

Aduhai, alangkah banyak gaya-gaya hizbiyah yang ditampilkan oleh manusia pada masa sekarang ini demi menjauhkan umat dari para ulama dan pemahaman mereka! Maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari tipu daya mereka… Janganlah tertipu oleh silat lidah mereka yang lincah, tutur kata yang manis namun di dalamnya ternyata berbisa… Ikutilah para ulama Sunnah dan para penimba ilmu yang mengikuti jalan mereka! Semoga Allah menjadikan kita salafi yang sejati. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

http://muslim.or.id/manhaj/salah-paham-dengan-istilah-salafi.html

Hati Yang Keras

Penulis: Asy Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta'ala


Ikhwany fillah,
Berikut ini adalah saduran fawaid dari dars Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta'ala- yang kedua.
Fawaid ini dinukil dari dars Tafsir As-Sa'dy yang beliau sampaikan terkait dengan ayat dalam surat Al-Baqarah ayat ke 74;

"Kemudian kalbu-kalbu kalian mengeras setelah itu, hingga dia seperti batu atau lebih keras (dari itu). Sesungguhnya diantara batu itu sungguh ada yang memancarkan aliran air dari padanya, dan diantara batu itu juga sungguh ada yang terbelah lalu keluar air darinya, dan diantara batu itu sungguh ada yang jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lalai dari apa yang kalian lakukan." (Al-Baqarah: 74)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta'ala- berkata:
"Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwa benda nyata yang paling keras adalah batu dan benda maknawi yang paling keras adalah kalbu (dalam bahasa kita: hati) yaitu kalbu yang keras. Yaitu kalbu yang sangat lalai, dari sisi tidak lagi tersentuh oleh wejangan, ibrah dan nasehat.
Dalam ayat ini dipermisalkan kalbu yang keras dengan sebuah batu. Kalbu yang keras adalah kalbu yang tidak bisa dilunakkan dengan dzikrullah, dzikrullah tidak lagi bermanfaat baginya, sehingga dia tetap seperti batu keras yang jika terkena air hujan air itu akanberpaling darinya dan batu itu tidak mau menampung sedikitpun dari air tersebut.

Allah Ta'ala berfirman;

"Apakah belum datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk kalbu-kalbu mereka mengingat Allah dan (tunduk) kepada kebenaran yang turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelumnya, lalu berlalulah masa yang panjang lalu kalbu mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq". (Al-Hadid: 16)
Ayat ini menunjukkan bahwa kerasnya kalbu itu terjadi secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.
Ayat ini (Al-Baqarah: 74) menunjukkan bahwa kalbu yang tetap mengeras itu lebih bahaya dari sebuah batu, kerena batu terkadang bisa diambil manfaatnya berupa terpancar darinya aliran sungai, atau ada yang bisa diambil manfaatnya berupa manfaat yang besar. Akan tetapi kalbu yang keras hilanglah darinya manfaat dan jadilah dharar dan kejelekannya itu sangat berbahaya bagi pemiliknya.
Dalam ayat ini ada seruan dan himbauan untuk berusaha memperbaiki kondisi kalbu ini. Sebagian ulama salaf berkata: 'Perhatikan kalbumu pada tiga keadaan, jika engkau temukan maka itulah jika tidak maka tiada kalbu baginya: pertama ketika membaca Al-Qur'an, kedua ketika mengingat kematian, ketiga ketika mengingat neraka'. Maka perhatikan kalbu ketika berada pada tiga keadaan ini bergetar tersentuh atau tidak?"
Demikian nukilan dari fawaid yang diambil dari dars tafsir yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Al-Imam –hafzhahullah ta'ala-, yang beliau sampaikan pada tanggal 04 Agustus 2009 di Darul Hadits Ma'bar-Yaman. Wallahu A'lam bi shawab.
Kemudian beliau memberikan nasehat kepada santri beliau setelah dars tafsir ini, beliau berkata:
"Bahwa nasehat itu obat bagi para penuntut ilmu. Jika Allah ta'ala menghendaki kebaikan pada seseorang maka Allah ta'ala mudahkan baginya dengan adanya orang yang mengarahkannya dan menasehatinya sehingga dia tidak terjatuh pada banyak kesalahan. Adapun penuntut ilmu yang tidak peduli dengan nasehat maka dia tidak aman dari uqubah dari Allah ta'ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Salamah bin Akwa' yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, "Bahwa ada seorang laki-laki makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya, maka Rasulullah berkata padanya: 'Makanlah dengan tangan kananmu!', dia berkata: 'Aku tidak bisa', Rasulullah berkata: 'Kamu tidak bisa', tiada yang menghalanginya untuk makan dengan tangan kanan kecuali sifat kibr (sombong) yang ada padanya, maka dia tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya".
Maka barang siapa tidak mau menerima nasehat bahwa Allah ta'ala berfirman demikian, atau Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda demikian, atau bahwa adab syar'i adalah demikian maka dia tidak aman dari makar Allah ta'ala dan dari hukuman Allah ta'ala.
Demikia nukilan nasehat ini semoga menjadi pengingat bagi kita untuk mengkoreksi diri. Wallahu a'lam bi shawab.

Dikirim via email oleh 'Umar Al-Indunisy (Ma'bar / Yaman)

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1731

Balasan Bagi Suatu Kezaliman

Penulis: Asy Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta'ala



بسم الله الرحمن الرحيم

قال الإمام البخاري رحمه الله تعالى

بَاب قَوْلِهِ {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ}
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ قَالَ ثُمَّ قَرَأَ {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ}

Bab firman Allah Ta'ala: "Demikianlah adzab Rabbmu jika Dia mengadzab penduduk suatu negeri yang zhalim. Sesungguhnya adzabNya sangatlah pedih dan menyakitkan." (Yunus: 102)

Dari Abu Musa Al-Asy'ary berkata Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Sesungguhnya Allah akan menangguhkan orang yang zhalim sampai jika Allah mengadzabnya Allah tidak melepaskannya, kemudian beliau membaca –ayat- :" Demikianlah adzab Rabbmu jika Dia mengadzab penduduk suatu negeri yang zhalim. Sesungguhnya adzabNya sangatlah pedih dan menyakitkan."

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata mensyarah hadits ini:

Ini adalah hadits yang sangat agung, membangunkan kalbu-kalbu yang lalai, menggerakkan jiwa dan mengusik perasaan, karena hadits ini menjelaskan akan apa yang diberikan oleh maksiat dan dosa kepada pelakunya. Sebagian 'ulama berkata: "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan adzab setiap umat agar umat ini takut akan sergapan adzabNya, terkaman adzabNya dan pedihnya adzab Allah Ta'ala".

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam menjelaskan kepada kita sunnah dari sunnah-sunnah Allah Ta'ala yang mana Allah Ta'ala memperlakukan makhlukNya dengan sunnah-sunnah itu. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam berkata: "Sesungguhnya Allah akan menangguhkan orang yang zhalim".

Ini adalah sunnah dari sunnah-sunnah Allah Ta'ala, menangguhkan orang yang zhalim dan mengulur baginya waktu sehingga si zhalim tersebut selalu dan senantiasa berbuat zhalim. Allah Ta'ala mengawasinya, mengawasi gerak-geriknya, mengawasi keinginannya dan niatnya, lalu setelah itu Allah Ta'ala mengadzabnya dengan adzab yang begitu keras dan berlipat ganda, lalu apakah kau lihat ada yang tersisa bagi mereka??!!

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam berkata: "Sesungguhnya Allah Ta'ala akan menangguhkan", maksudnya mengulur atau menunda. Allah Ta'ala berfirman,

وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لأََِنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
"Janganlah orang-orang yang kafir itu menyangka bahwa penangguhan Kami terhadap diri mereka itu lebih baik bagi diri-diri mereka, hanya saja Kami menangguhkan mereka agar bertambah dosa mereka dan bagi mereka adzab yang menghinakan." (Ali-'Imran: 178)

Firman Allah Ta'ala: "hanya saja Kami menangguhkan mereka agar bertambah dosa mereka", artinya dari sisi disaat mereka makin parah kejahatan dan kerusakan mereka, sehingga mereka berhak untuk mendapatkan adzab yang tidak ada kesudahan dan keselamatan setelahnya.

Penangguhan dari Allah Ta'ala –yang seperti ini- merupakan bentuk penghinaan dan tipu daya Allah Ta'ala bagi para pelaku maksiat. Diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dari hadits 'Uqbah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ لَهُ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
"Jika engkau melihat Allah Ta'ala memberikan kepada seorang hamba -berbagai macam kenikmatan- yang disukai –hamba tersebut- sedang hamba tersebut dalam kondisi senantiasa berbuat maksiat, maka sesungguhnya hal itu adalah pengulur-uluran dari Allah Ta'ala terhadapnya."

Penangguhan yang disebutkan dalam hadits maksudnya adalah Allah Ta'ala memanjangkan kesempatan pelaku maksiat tersebut, memberinya kesehatan, keamanan, harta, dan sebagainya sedang dia dalam keadaan senantiasa berbuat maksiat. Maka orang yang tidak mengerti sunnah Allah Ta'ala terkait dengan orang yang seperti ini, maka akan bertambah kejelekannya dan kejahatannya, lalu dengan congkaknya dia mengatakan: "Inilah aku, hidup dalam kenikmatan dan kemudahan, hartaku selalu bertambah, dalam keadaan demikian maksiat tidak mengakibatkan bagiku adzab dari Allah Ta'ala". Maka Allah Ta'ala sebenarnya mengawasi akan apa yang dia perbuat. Tidaklah ada orang yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan Allah ta'ala berfirman terkait dengan orang-orang yang beriman, "Sesungguhnya dia (orang yang beriman) tidak merasa aman dari adzab Allah Ta'ala".

Hadits ini adalah hadits yang agung, hadits yang menggetarkan dan meluluhkan kalbu. Karena tidaklah seorangpun manusia yang hidup dalam kehidupan ini, dia itu jauh dan terbebas dari perbuatan zhalim –meski sedikit dia pernah melakukan yang namanya kezhaliman-. Dan Allah Ta'ala Maha Tahu dengan adzab apa akan menghukum kita jika kita terus-menerus lalai dan melakukan kezhaliman, jika kita tidak mau taubat, tidak mau tunduk kembali kepada Allah Ta'ala dari kezhaliman.

Janganlah engkau mengira bahwa hadits ini membicarakan orang lain selain kita, sedangkan kita menganggap diri kita malaikat yang selamat dari kezhaliman. Tidak! Kita ini juga memiliki kezhaliman sesuai dengan sikap peremehan yang ada pada kita. Terkadang kita terjatuh pada sikap peremehan (terhadap suatu maksiat), terjatuh pada kekurangan dan kesalahan, terkadang kita memiliki muamalah yang jelek dan terkadang menyakiti dan mengganggu orang lain. Maka kita memohon kepada Allah Ta'ala kelembutanNya dan kekokohan dariNya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda (yang maknanya): ""Sesungguhnya Allah akan menangguhkan orang yang zhalim sampai jika Allah mengadzabnya Allah tidak melepaskannya". Perhatikan bagaimananya jadinya penangguhan ini?! Bagaimana penangguhan ini menjadi sebab tambahan adzab, tambahan kerasnya siksaan. Kemudian Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam membaca ayat,

{وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ}
"Demikianlah adzab Rabbmu jika Dia mengadzab penduduk suatu negeri yang zhalim. Sesungguhnya adzabNya sangatlah pedih dan menyakitkan." (Yunus: 102)


Hukuman Allah Ta'ala terhadap para pelaku kesalahan dan maksiat ada dua macam. Yaitu hukuman secara syari'at dan hukuman secara taqdir kauni.
Adapun hukuman secara syari'at ada empat macam; yaitu:
1. Hukuman bunuh (mati), dan ini diperuntukkan bagi orang yang murtad, orang yang berzina dan dia muhshan, orang yang melakukan liwath (homosex) dan orang-orang yang perbuatannya semisal dengan itu.
2. Hukuman potong, dan ini diperuntukan bagi orang yang mencuri.
3. Hukuman cambuk, dan ini diperuntukkan bagi para pemabuk, orang yang menuduh –tanpa bukti- orang lain berzina dan orang yang sedang di ta'zir (hukuman untuk memberi pelajaran).
4. Kafarat
Hukuman secara syari'at ini jika ditegakkan kepada orang yang berhak tersebut dengan tepat sesuai tuntutan sehingga tidak memerlukan adanya hukuman secara taqdir kauni maka tidak akan turun hukuman secara taqdir kauni. Akan tetapi jika hukuman secara syari'at ini belum juga dipandang cukup sesuai tuntutan, tidak menyadarkan si pelaku kezhaliman dan tidak memberikan dampak positif bagi pelaku kezhaliman tersebut serta pelaku kezhaliman tersebut tidak mau berhenti dan kembali kepada peraturan syari'at maka akan turun hukuman secara taqdir kauni. Dan itu adalah hukuman atau adzab yang didatangkan oleh Allah Ta'ala dengan perintahNya "Kun" maka datanglah hukuman tersebut. Dan hukuman secara syari'at ini Allah Ta'ala tetapkan supaya jangan turun hukuman secara taqdir kauni.

Namun jika manusia tidak mau menegakkan hukuman secara syari'at, si pencuri tetap mencuri, si pezina tetap berzina, orang yang murtad dari islam tetap murtad, si tukang sihir tetap melakukan aksi sihirnya, orang yang zhalim tetap berbuat zhalim dan sebagainya, -artinya tidak tertegakkan hukuman secara syari'at- dari sini akan datang dan turun hukuman secara taqdir kauni.
Dan hukuman secara taqdir kauny itu lebih dahsyat, lebih menyakitkan dan lebih pedih dibanding hukuman secara syari'at. Karena hukuman secara syari'at hanya akan mengena orang yang bersalah saja, adapun hukuman secara taqdir kauni maka terkadang akan menyapu rata seluruh penduduk suatu daerah atau suatu negeri, hanya disebabkan oleh satu orang zhalim saja. Kezhalimannya menyebar dan merata kejelekannya, tiada yang melarang dan dia juga tidak berhenti dari kezhaliman, maka di sini terkadang datang hukuman secara kauni dan akan menghantam semua yang ada.
Tahukah seperti apa hukuman secara taqdir kauni?! Sebagaimana yang engkau ketahui, hukuman secara taqdir kauni itu berupa banjir, angin kencang, ditenggelamkan dalam air, kebakaran, tertimbun tanah, paceklik, wabah penyakit, gempa (dan lain sebagainya yang wallahu a'lam kurang lebihnya dalam bentuk bencana alam).
Ketika datang hukuman yang jenis kedua ini (yang berupa bencana alam) siapa yang mampu menanggungnya?!! Siapa yang mampu menghadapinya?!!

Sebagian orang menyangka, jika dia tidak terkena hukuman secara syari'at lalu merasa congkak dan sombong bahwa dia selamat tidak terkena apa-apa, maka hal seperti ini akan menyebabkan datangnya adzab yang lebih menyakitkan pada dirinya dan pada orang lain. Akan menyebabkan adzab tersebut mengenai makhluk-makhluk Allah Ta'ala yang tidak bersalah dari kalangan anak-anak kecil, binatang dan tumbuhan.

Maka seperti yang kalian dengar, bahwa hukuman secara taqdir kauni itu hukuman yang akan mengenai kalbu, badan dan harta. Hukuman secara taqdir kauni ini tidak ada batasnya. Dan kebanyakan dari jenis hukuman ini akan menimpa pelaku kehzaliman itu sendiri, mengenai orang-orang disekitarnya dan orang yang membantunya.

Kalau begitu, hadits yang ada di hadapan kita ini mengajak dan menyeru kita semuanya untuk segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.

Dan terkait para pelaku maksiat dan kezhaliman. Ketetapan Allah Ta'ala yang berlaku untuk mereka adalah;
Pertama: diantara mereka ada yang dihukum oleh Allah Ta'ala pada awal maksiat itu terjadi, dia melakukan satu kemaksiatan lalu Allah Ta'ala menghukumnya. Dan ini seperti yang terjadi pada kedua bapak, yaitu pertama bapak kita Adam 'alihi salam, kedua adalah Iblis. Adapun Iblis sebagaimana kita ketahui dihukum oleh Allah Ta'ala dengan dijauhkan dari rahmatNya setelah dia enggan untuk sujud. Adapun bapak kita Adam 'Alaihi salam Allah Ta'ala keluarkan beliau dari surgaNya disebabkan oleh satu suap dari apa yang diharamkan oleh Allah Ta'ala. Hukuman yang ada ini adalah hukuman yang disebabkan oleh satu maksiat saja tidak ada maksiat yang lain sebelum itu.
Kedua: Allah Ta'ala menghukum seorang pelaku maksiat pada awal terjadinya maksiat, hanya saja dengan hukuman yang dia tidak menyadarinya bahwa itu dikarenakan dosa yang telah dia lakukan. Terkadang Allah Ta'ala menghukum seorang pelaku maksiat dikarenakan maksiatnya dengan mencampakkan kegelapan, kegundahan, kesedihan, dan kecemasan pada kalbunya dan sebagainya, namun dia tidak menyadarinya bahwa itu dikarenakan maksiat yang dia lakukan padahal itu disebabkan oleh dosa tersebut.
Ketiga: Ketetapn Allah Ta'ala sebagaimana yang tertera dalam hadits yang kita bahas ini. Yaitu pelaku masiat dan kezhaliamn tersebut melakukan apa yang dia lakukan, lalu Allah Ta'ala membiarkan dan mengulur baginya waktu sehingga dia dalam kondisi terus berbuat zhalim, dan terkadang makin menjadi-jadi, dan terkadang dia mengajak orang lain untuk ikut bersamanya dan menyebarkan kezhaliman tersebut, kemudian setelah itu Allah Ta'ala mendatangkan adzabnya sebagaimana yang baru saja kita dengar. Allah ta'ala mengadzabnya dengan adzab yang datang dari Dzat yang Maha Perkasa dan Maha Mampu.

Barangsiapa yang dihukum oleh Allah Ta'ala pada awal waktu terkadang terasa begitu berat sebgaimana yang terjadi pada Iblis –yaitu dijauhan dari rahmat Allah Ta'ala-, maka hukuman yang seperti ini tidaklah mampu seseorang mananggungnya. Sebuah hukuman yang menghancurkan masa depan dunia dan akhirat.
Dan terkadang hukuman itu berbentuk hukuman yang kita mampu menjalaninya dan akan menghasilkan kebaikan setelahnya berupa taubat dan tunduk kembali kepada Allah Ta'ala. Dan ini seperti yang terjadi pada bapak kita Adam 'alaihi salam. Hukuman ini meskipun terasa berat –yaitu dikeluarkan dari surga dan diharamkan untuk tinggal di dalamnya- hanya saja Allah Ta'ala menganugerahkan kepada Adam 'alaihi salam taubat kepadaNya sehingga kebaikan ada di belakangnya.

Sebagaimana yang kalian dengar, maksiat itu mengakibatkan hukuman dan adzab. Namun terkadang kita menyadarai akan datangnya hukuman tersebut, dan terkadang kita tidak menyadarinya. Terkadang terasa begitu cepat datangnya dan terkadang terasa datangnya agak terlambat atau terasa tidak datang. Sehingga sebagian orang merasa berbaik sangka kepada Allah Ta'ala dengan cara yang tidak sesuai ketentunnya. Maka dia menyangka bahwa Allah Ta'ala tidak mengadzabnya karena maksiatnya. Ini adalah salah besar!!
Ketahuilah bahwa Allah Ta'ala itu sangat cemburu akan apa yang terjadi pada agamaNya, pada hambaNya dan makhlukNya. Kapan seseorang melanggar hakNya dan apa yang Dia haramkan, kapan seseorang meninggalkan kewajiban yang Dia wajibkan, kapan orang yang dilarang untuk dizhalimi itu terzhalimi maka tidaklah dia akan merasakan aman dari makar dan tipu daya Allah Ta'ala. "Tidak ada yang merasa aman dari tipu daya Allah Ta'ala kecuali orang-orang yang merugi".

Adapaun hukuman maksiat bagi seorang mukmin kebanyakannya terjadi untuk mendidik dan mengajari serta mengingatkan mereka. Sekumpulan orang dari kalangan shahabat pada perang Uhud menyelisihi perinttah Nabi shalallahu 'alaihi wa salam dan turun dari gunung yang diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam agar mereka berada padanya. Maka datanglah hukuman secara langsung dari Allah Ta'ala dengan dijadikan kaum kuffar menguasai dan mengalahkan mereka, sehingga orang kuffar mampu membunuh tujuh puluh orang shahabat saat itu juga. Maka hukuman ini adalah datang untuk mendidik dan mengingatkan para shahabat sehingga setelah datangnya hukuman ini mereka jadi lebih mendengar akan perintah dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, lebih semangat menjalankan apa yang diperintahkan sesuai yang diminta oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam.
Maka hukuman untuk kaum mukimin itu datang untuk mengingatkan kaum mukmin untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah Ta'ala. Agar mereka menjadi semakin lebih baik dan meninggalkan apa yang mereka miliki berupa kelalaian, kesalahan dan penyelisihan. Kita memohon kepada Allah Ta'ala agar menerima taubat kita semua.
Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang; "Tidaklah didatangkan hukuman itu untuk menghancurkanmu akan tetapi didatangkan untuk meluruskamu". Allah Ta'ala Maha Penyayang terhadap kaum mukmin, maka hukuman yang diberikan itu untuk memperbaiki keadaannya.

Sebagian Salaf berkata; "Jika aku menyakiti seekor anjing maka aku sangat takut kalau-kalau Allah Ta'ala akan menghukumku". Sedangkan anjing adalah anjing, lalu bagaimana menurutmu kalau dia menyakiti seorang manusia, menyakiti dan mengganggu tetangga, anak-anak, istri, menyakiti teman-temannya, menyakiti thalibul ilm, menyakiti (du'at dan) ulama??!!.

Sebagaimana kalian dengar bahwa kita tidaklah bersih dari kezhaliman, dari kesalahan, dan dari maksiat. Siapa yang beranggapan bahwa dia bersih dari semua ini maka dia itu jahil atau tertipu oleh dirinya, tidak memahami ayat dan hadits yang terkait dengan taubat.

Tidakkah kita melihat bahwa bapak kita Adam 'alaihi salam di hukum gara-gara satu sauapan dari perkara yang haram, lalu disana ada orang yang menipu dan menzhalimi lalu tidak dihukum??!!

Sudah selayaknya bagi seorang mukmin untuk bersiap bertaubat kepada Allah Ta'ala kembali kepada Allah Ta'ala.

(Wallahu Ta'ala a'lam bi shawab)

Disampaikan oleh:
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam
Di Darul Hadits Ma'bar – Yaman
(16 Dzul Qa'dah 1430H pada pelajaran Shahih Al-Bukhary)

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh:
Abu Zubair 'Umar Al-Indonisy
(Ma'bar, 18 Dzul Qa'dah 1430H)

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1732

Waktu dan Tempat Menghafal Ilmu

Penulis: Redaksi Asysyariah

Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkan sisa umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.
Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.
Waktu terbaik untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal pagi.
Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.
Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.

Al-Khathib rahimahullahu berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.”
Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”
Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi kosongnya hati.”


(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullahu, hal. 72-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=875