Berbahagialah Wahai Salafiyin……

on Jumat, 07 Mei 2010

Penulis: Abu 'Amr


Wahai Salafiyin Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya, Maka Berbahagialah kalian..…

Ya Berbahagialah kalian… , Kenapa Tidak? Karena kalian adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka.

Sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala :

والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100)

Rasulullah bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

Maka Berbahagialah kalian …jangan bersedih..

Wahai Salafiyin Sesungguhnya Kalian diatas kebenaran, Maka Berbahagialah kalian….

Ya Berbahagialah kalian…Kenapa Tidak? Karena Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:

(وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ) [ النساء :115]

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali.” (An-Nisa`:115).

Dan kalian bukanlah orang-orang yang menentang/meyelisihi Ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena kalian adalah orang-orang yang mengikuti Jalannya Kaum Mukminin dari Kalangan para Sahabat dan Tabi’in.

Kalian adalah Firqotun Najiyah

Sebagaimana disabdakan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَ فِيْ رِوَايَةٍ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيِوْمَ وَأَصْحَابِيْ.

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al- Jama’ah dalam satu riwayat : “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini”. Hadits shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.

وعن عن ثوبان. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق. لا يضرهم من خذلهم. حتى يأتي أمر الله وهم كذلك).[ مسلم : 1920

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”. Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.

Maka Berbahagialah Kalian…Jangan Bersedih.

Wahai Salafiyin Sesungguhnya Kalian adalah orang-orang yang asing, Maka Berbahagialah Kalian….

Ya..kalian Adalah orang yang asing pada jaman ini. Kenapa tidak? Karena kalian selalu meghidupkan sunah-sunah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan bid’ah dalam agama.Dijaman yang penuh fitnah ini banyak sekali yang meninggalkan sunnah dan banyaknya yang melakukan kebid’ahan.

Jangan bersedih wahai salafiyin…. apabila kebanyakan orang menganggap kalian asing karena kalian termasuk orang-orang yang beruntung.

Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim no.145:

عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى ‏للغرباء)[ أخرجه مسلم برقم : 145 وغيره‏‎

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”.

Maka Berbahagialah kalian…Jangan Bersedih.

Wahai Salafiyin sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan kalian tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Kalian selalu mengajak persatuan di atas Al Qur’an dan Assunnah nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak menginginkan perpecahan. Maka Berbahagialah kalian…

Ya..Berbahagialah kalian…kenapa tidak? karena kalian selalu mengikuti apa-apa yang datangnya dari Allah dan Rasul Nya. Tidak fanatik terhadap golongan tertentu dan selalu mengambalikan setiap permasalahan kepada Al Qur’an dan Assunnah.

Sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” ( Ali ‘Imran : 103)

Dan Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيًّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدًّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan ulil amri Diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Quran dan As-sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (balasannya)”. (Q.S. An Nisaa’ : 59)

Demikian juga perkataan imam Mahzab tentang jeleknya fanatisme golongan/taqlid buta.

Abu Hanifah Berkata:

1. ‘Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. ‘Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)

Al Imam Malik Berkata:

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2.’Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataanya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “. (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

Imam Asy Syafi’i berkata:

1.Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Inilah ucapanku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2.”Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

3.”Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

Imam Ahmad bin Hanbal Berkata:

“Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al¬ Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

Maka Berbahagialah kalian…jangan bersedih.

والله الموفق

sumber: http://muwahiid.wordpress.com/2008/01/07/berbahagialah-wahai-salafiyin/

Tujuh Keajaiban Dunia Menurut Islam

Tujuh Keajaiban Dunia

Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 46 Tahun I.

Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas

Menara Pisa, Tembok Cina, Candi Borobudur, Taaj Mahal, Ka’bah, Menara Eiffel, dan Piramida di mesir, inilah semua keajaiban dunia yang kita kenal. Namun sebenarnya semua itu belum terlalu ajaib, karena di sana masih ada tujuh keajaiban dunia yang lebih ajaib lagi. Mungkin para pembaca bertanya-tanya, keajaiban apakah itu?

Memang tujuh keajaiban lain yang kami akan sajikan di hadapan pembaca sekalian belum pernah ditayangkan di TV, tidak pernah disiarkan di radio-radio dan belum pernah dimuat di media cetak. Tujuh keajaiban dunia itu adalah:

* Hewan Berbicara di Akhir Zaman

Maha suci Allah yang telah membuat segala sesuatunya berbicara sesuai dengan yang Ia kehendaki. Termasuk dari tanda-tanda kekuasaanya adalah ketika terjadi hari kiamat akan muncul hewan melata yang akan berbicara kepada manusia sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, surah An-Naml ayat 82,

“Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami”.

Mufassir Negeri Syam, Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy berkomentar tentang ayat di atas, “Hewan ini akan keluar diakhir zaman ketika rusaknya manusia, dan mulai meninggalkan perintah-perintah Allah, dan ketika mereka telah mengganti agama Allah. Maka Allah mengeluarkan ke hadapan mereka hewan bumi. Konon kabarnya, dari Makkah, atau yang lainnya sebagaimana akan datang perinciannya. Hewan ini akan berbicara dengan manusia tentang hal itu”.[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/498)]

Hewan aneh yang berbicara ini akan keluar di akhir zaman sebagai tanda akan datangnya kiamat dalam waktu yang dekat. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Sesungguhnya tak akan tegak hari kiamat, sehingga kalian akan melihat sebelumnya 10 tanda-tanda kiamat: Gempa di Timur, gempa di barat, gempa di Jazirah Arab, Asap, Dajjal, hewan bumi, Ya’juj & Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat, dan api yang keluar dari jurang Aden, akan menggiring manusia”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2901), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2183), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4041)]

* Pohon Kurma yang Menangis

Adanya pohon kurma yang menangis ini terjadi di zaman Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , mengapa sampai pohon ini menangis? Kisahnya, Jabir bin Abdillah-radhiyallahu ‘anhu- bertutur,

“Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Adalah dahulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdiri (berkhutbah) di atas sebatang kurma, maka tatkala diletakkan mimbar baginya, kami mendengar sebuah suara seperti suara unta dari pohon kurma tersebut hingga Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- turun kemudian beliau meletakkan tangannya di atas batang pohon kurma tersebut” .[HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (876)]

Ibnu Umar-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Dulu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah pada batang kurma. Tatkala beliau telah membuat mimbar, maka beliau berpindah ke mimbar itu. Batang korma itu pun merintih. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya sambil mengeluskan tangannya pada batang korma itu (untuk menenangkannya)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3390), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (505)]

* Untaian Salam Batu Aneh

Mungkin kalau seekor burung yang pandai mengucapkan salam adalah perkara yang sering kita jumpai. Tapi bagaimana jika sebuah batu yang mengucapkan salam. Sebagai seorang hamba Allah yang mengimani Rasul-Nya, tentunya dia akan membenarkan seluruh apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya, seperti pemberitahuan beliau kepada para sahabatnya bahwa ada sebuah batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam kepada beliau sebagaimana dalam sabdanya,

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya aku mengetahuinya sekarang”.[HR.Muslim dalam Shohih-nya (1782)].

* Pengaduan Seekor Onta

Manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan. Dari perasaan itu timbullah rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi ketahuilah, bukan hanya manusia saja yang memiliki perasaan, bahkan hewan pun memilikinya. Oleh karena itu sangat disesalkan jika ada manusia yang tidak memiliki perasaan yang membuat dirinya lebih rendah daripada hewan. Pernah ada seekor unta yang mengadu kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengungkapkan perasaannya.

Abdullah bin Ja’far-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.

Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]

* Kesaksian Kambing Panggang

Kalau binatang yang masih hidup bisa berbicara adalah perkara yang ajaib, maka tentunya lebih ajaib lagi kalau ada seekor kambing panggang yang berbicara. Ini memang aneh, akan tetapi nyata. Kisah kambing panggang yang berbicara ini terdapat dalam hadits berikut:

Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menerima hadiah, dan tak mau makan shodaqoh. Maka ada seorang wanita Yahudi di Khoibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memakan sebagian kambing itu, dan kaum (sahabat) juga makan. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Angkatlah tangan kalian, karena kambing panggang ini mengabarkan kepadaku bahwa dia beracun”. Lalu meninggallah Bisyr bin Al-Baro’ bin MA’rur Al-Anshoriy. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengirim (utusan membawa surat), “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?” Wanita itu menjawab, “Jika engkau adalah seorang nabi, maka apa yang aku telah lakukan tak akan membahayakan dirimu. Jika engkau adalah seorang raja, maka aku telah melepaskan manusia darimu”. Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh wanita itu, maka ia pun dibunuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau,”Senantiasa aku merasakan sakit akibat makanan yang telah aku makan ketika di Khoibar. Inilah saatnya urat nadi leherku terputus”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4512). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (hal.813), dengan tahqiq Masyhur Hasan Salman]

* Batu yang Berbicara

Setelah kita mengetahu adanya batu yang mengucapkan salam, maka keajaiban selanjutnya adalah adanya batu yang berbicara di akhir zaman. Jika kita pikirkan, maka terasa aneh, tapi demikianlah seorang muslim harus mengimani seluruh berita yang disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik yang masuk akal, atau tidak. Karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah berbicara sesuai hawa nafsunya, bahkan beliau berbicara sesuai tuntunan wahyu dari Allah Yang Mengetahui segala perkara ghaib.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, “Wahai hamba Allah, Inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shohih-nya (2922)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat”.[Lihat Fathul Bari (6/610)]

* Semut Memberi Komando

Mungkin kita pernah mendengar cerita fiktif tentang hewan-hewan yang berbicara dengan hewan yang lain. Semua itu hanyalah cerita fiktif belaka alias omong kosong. Tapi ketahuilah wahai para pembaca, sesungguhnya adanya hewan yang berbicara kepada hewan yang lain, bahkan memberi komando, layaknya seorang komandan pasukan yang memberikan perintah. Hewan yang memberi komando tersebut adalah semut. Kisah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an,

“Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. (QS.An-Naml: 16-19).

Inilah beberapa perkara yang lebih layak dijadikan “Tujuh Keajaiban Dunia” yang menghebohkan, dan mencengangkan seluruh manusia. Orang-orang beriman telah lama meyakini dan mengimani perkara-perkara ini sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai sekarang. Namun memang kebanyakan manusia tidak mengetahui perkara-perkara itu. Oleh karena itu, kami mengangkat hal itu untuk mengingatkan kembali, dan menanamkan aqidah yang kokoh di hati kaum muslimin

Diambil dari http://www.almakassari.com

file:///D:/My%20Documents/Downloads/artikel%20islam/Tujuh%20Keajaiban%20Dunia%20Menurut%20Islam%20%C2%AB%20Muwahhidin.htm

MUHADHRAH BERSAMA 'ASATIDZ

MUHADHARAH BERSAMA AL-USTADZ USAMAH MAHRI
Dalam Kunjungannya ke Ma’had As-Salafy Jember,
11 Jumadal Ula 1431 / 24 April 2010

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنامن يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد

Ikhwati fillah wa abna-i rahimani wa rahimakumullah,

Alhamdulillah, kita banyak bersyukur dan memuji kepada Allah subhanahu wata’ala, atas banyaknya kenikmatan yang telah Ia berikan kepada kita, utamanya kenikmatan iman, kenikmatan hidayah di atas Islam, demikian pula kenikmatan taufiq, yang Ia berikan untuk kemudian kita berada di atas sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang keduanya merupakan kenikmatan besar yang Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada hamba-Nya, tetapi banyak dari mereka yang tidak menyadarinya.

Ikhwati ahibbah a’azakumullah,

Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim ketika menyadari diberikan taufiq oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menelusuri jalan ilmu, maka itu pertanda khair (kebaikan) yang Allah berikan kepada hamba-Nya.

ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Dan barang siapa yang Allah inginkan untuknya kebaikan, akan Allah jadikan dia faqih (berilmu, faham tentang agamanya.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma]

Kata ‘khairan‘ dalam hadits tersebut adalah nakirah dalam konteks syarat, yang berarti menunjukkan keumuman segala bentuk dan makna khairiyyah (kebaikan), serta segala kebaikan duniawi maupun ukhrawi, akan Allah subhanahu wata’ala berikan kepada hamba-Nya yang kemudian dipermudah baginya untuk tafaqquh fiddin.

Kalau kemudian niat ini yang ada pada masing-masing kita lillah dan untuk tafaqquh fi dinillah -nas’alullah dzalika (kita memohon kepada Allah yang demikian)-, maka kebaikan itu yang akan Allah subhanahu wata’ala berikan kepada kita walaupun yang lain tersibukkan dengan dunianya.

Disebutkan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah:

“Kami empat bersaudara (beliau sebutkan nama masing-masingnya), masing-masing punya cita-cita dan keinginan sendiri-sendiri, fulan saudaranya menginginkan harta dunia, maka dia cari pasangan (yakni wanita) yang kaya dari keluarga yang berada, fulan yang lain menginginkan kehormatan duniawi, maka dia mencari istri dari kelurga yang mulia dan terhormat secara duniawi, dan yang lain lagi menginginkan kecantikan … dan seterusnya, maka Allah balas pada masing-masing mereka kebalikannya. Fulan menginginkan harta pada akhirnya kemiskinan justru yang dia dapati sehingga terpuruk dunianya, fulan lain yang mengingikan kehormatan justru dia akhirnya terhina, … dan seterusnya. Adapun aku -kata beliau rahimahullah- menginginkan diin (agama), maka Allah subhanahu wata’ala kumpulkan yang lain untukku.”

Karena agama yang dipentingkan, maka kemudian Allah subhanahu wata’ala berikan pada beliau harta, padahal semula tidak beliau inginkan dan tidak ada di niat beliau untuk itu. Allah juga berikan kehormatan dan kemuliaan duniawi sebelum akhiratnya, padahal itu juga bukan tujuan beliau.

Tetapi demikianlah balasan bagi orang-orang yang mementingkan iman dan agamanya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan:

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ - وفي رواية: بَثَّهُ وَسَدَمَهُ - جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Barang siapa yang akhirat itu menjadi sesuatu yang dia pentingkan dari segalanya, -dalam riwayat yang lain: sesuatu yang menyibukkan dan menyita dia dari segalanya, dan dia korbankan dirinya untuk akhirat tersebut-, maka Allah cukupkan hatinya dan Allah satukan untuk perkaranya, dan datang dunia itu padanya dalam keadaan dunia itu yang terhina.” [HR. At-Tirmidzi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]

Karena layaknya orang yang mencari dan mengejar dunia, sehingga dia yang menghinakan diri di hadapan dunia itu. Tetapi balasan bagi orang mu’min yang mementingkan agamanya, dunia itu yang datang mengemis untuk dia terima dalam keadaan terhina.

Ikhwati fillah a’azzakumullah,

Tentunya perkara iman dan ilmu, telah ma’ruf (diketahui) oleh antum semua tentang keutamaannya. Bagaimana pujian Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu dan ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu). Keutamaan-keutamaan itu menuntut dari setiap muslim untuk menjaga keikhlasannya, agar dia mendapati apa yang Allah janjikan kepadanya. Yakni keikhlasan kepada Allah dan untuk Allah semata, karena itu adalah perintah Allah kepada segenap hamba-Nya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]

Keikhlasan dengan membenahi segala ucapan dan amal perbuatan kita, yang tampak maupun yang tidak tampak. Ishlahul bathin (upaya membenahi batin / yang ada di dalam diri kita). Keikhlasan kepada Allah, ketaqwaan kepada-Nya, serta menyadari dan yakin bahwa dia selalu diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala. Itulah yang akan membenahi pribadi seorang muslim.

Oleh sebab itu seseorang pasti tidak luput dari dua keadaan:

* mungkin dia bersama yang lain,
* atau dia sedang dalam keadaan sendiri dan tidak ada yang bersamanya.

Kedua-duanya membutuhkan taqwallah dan keikhlasan kepada-Nya.

Ketika bersama orang lain, dia menjaga ikhlas dan taqwa kepada Allah agar tidak menzhalimi mereka dan tidak menyalahi syari’at Allah. Maupun ketika dia sendiri, agar kemudian dia tidak melanggar apa yang telah Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepadanya.

Di situlah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon selalu kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana di dalam hadits:

وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

“Dan aku memohon kepada-Mu ya Allah agar takut kepada-Mu, di kala sendiri maupun ketika bersama orang lain.” [HR. An-Nasa’i dari shahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu]

Di manapun hamba itu berada, kapanpun dia (sendiri ataupun bersama orang lain), kalau batinnya telah dia benahi dengan iman, ilmu, dan amal shalih, maka dia menjadi seorang yang mukhlis lillah dan bertaqwa selalu kepada Allah ‘azza wajalla, dia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menzhalimi dirinya sendiri ataupun menzhalimi orang lain.

Itulah yang selalu diingatkan oleh para ulama salaf rahimahumullah, kata Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah:

“Ingatlah kalian selalu kepada Allah, bertaqwalah kalian selalu kepada Allah untuk selalu membenahi batin kalian, karena tidak akan bermanfaat keshalihan (kebaikan) secara zhahir (yang tampak) sementara batinnya rusak.”

Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah,

Dunia ini adalah sesuatu yang sering -dan memang tabi’atnya- membuat orang lalai dari akhiratnya dan lalai dari Allah subhanahu wata’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan tentang dunia ini:

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia ini terlaknat, dan terlaknat segala yang ada padanya, kecuali dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah), seorang yang berilmu, dan seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Laknat -yang bermakna dijauhkan dari rahmat Allah- terhadap dunia bersifat umum, karena lafazhnya menunjukkan mubtada’ dan khabar, sehingga maknanya bahwa dunia semuanya/secara umum dan seisinya semuanya adalah terlaknat.

Karena tabi’at dunia yang melalaikan hamba dan menjauhkan hamba dari Rabbnya, sehingga kemudian membuat seseorang melanggar dan menyalahi syari’at Allah, maka terlaknatlah dunia dan seisinya semuanya.

Hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecualikan tiga hal:

1. Dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah)

2. Seorang yang berilmu,

3. Seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.

Tiga inilah yang akan selamat dan diperkecualikan dari laknatnya dunia seisinya dan seluruh yang ada padanya.

Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah menerangkan bahwa apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan: “wamaa waalaah” dari pengecualian yang pertama (kecuali dzikrullah dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah) ini bersifat umum dan luas, temasuk di dalamnya itu ilmu dan ta’allum, sehingga orang alim maupun muta’allim telah masuk di dalam keumumannya. Akan tetapi keduanya disebut secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari keumuman ‘wamaa waalaah‘ adalah termasuk dari bab dzikril khash ba’dal ‘am (penyebutan sesuatu yang khusus setelah penyebutan yang secara umum), dan ini menunjukkan keutamaannya, penting, dan besarnya nilai ilmu, orang alim, dan muta’allim. Sehingga dari sekian banyaknya perkara yang mendekatkan kepada Allah subhanahu wata’ala, hanya dua perkara ini yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan secara khusus, yakni orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu.

Ini juga menunjukkan bahwa merekalah golongan yang berada pada derajat tertinggi dari hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala dan ilmu itu merupakan sesuatu yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Dan hadits ini pula menunjukkan bahwa manusia selain mereka (alim dan muta’allim) adalah hamaj (orang yang sudah tidak ada gunanya di dunia ini / sia-sia keberadaan mereka di dunia ini, keberadaan mereka sama dengan ketidakadaan mereka).

Ikhwati a’azakumullah,

Tentunya ilmu menuntut dan mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga keikhlasan kepada Allah. Al-Imam Ibnu ‘Uyainah rahimahumullah sebutkan:

“Aku tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat dari pada niatku sendiri, kerena dia berbolak balik terus.”

Niat itu perlu pembenahan terus menerus dari sisi hamba, kalau layaknya hafalan perlu dimuraja’ah, maka niat jauh lebih dari itu karena cepat sekali perubahannya. Dan ini adalah ucapan seorang imam yang jauh di atas kita keimanannya, keilmuannya, amal shalihnya. Ini semua menunjukkan bahwa seorang hamba itu hendaknya terus dan butuh selalu untuk ishlah (membenahi dirinya).

Selain itu, ilmu juga menuntut dari kita untuk beradab dan berakhlak, agar kemudian ilmu itu bermanfa’at dan barakah. Bahkan salaf rahimahumullah sangat mementingkan adab sebelum ilmu, banyak atsar atau riwayat dari mereka yang menunjukkan tentang hal ini.

Di antara perkataan a-immatussalaf kepada anaknya adalah:

يا بني لأن تتعلم باباً من الأدب أحب إليَّ من أن تتعلم سبعين باباً من أبواب الفقه

“Wahai anakku satu bab kamu pelajari tentang adab maka itu jauh lebih aku cintai daripada kamu pelajari tujuh puluh bab dari fiqih (dari ilmu).”

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah bahwa mereka (as-salafush shalih) melakukan rihlah (perjalanan) untuk mempelajari adab selama dua puluh tahun lamanya, kemudian mereka rihlah mencari ilmu selama sepuluh tahun.”

Adab yang dengannya seorang thalibul ilmi harus menjaga dirinya, keilmuannya, imannya bahkan kepada Allah subhanahu wata’ala telah diringkas oleh sebagian ulama, di antara yang mereka sebutkan adalah:

1. إِيْمَانٌ عَمِيْقٌ (keimanan yang dalam)

yakni keimanan yang besar, keikhlasan, dan ketaqwaan kepada Allah. Kalau seperti itu yang ada pada seseorang, maka akan ringan segala beban-beban duniawi yang ada di hadapannya. Dia mungkin tidak mendapati ini dan itu dari perkara-perkara yang didapatkan oleh ahlud dunia, ringan baginya dan merasa tidak ada problem dan beban yang berat. Ketika mendengar si fulan mendapatkan ini, si fulan sudah begini dan sudah begitu dari urusan dunia, maka ketika keikhlasan itu telah tertanam dalam dirinya, apa yang menimpa dia menjadi ringan. Dalam jalannya fi thalabil ilmi, bukan beban berat yang membuat dia frustasi, atau kemudian futur (malas) dan kendor semangatnya dalam thalab, kalau keikhlasan itu yang ada pada dirinya.

2. Ilmu yang dia pelajari

yakni ilmu yang luas, yang dengan ilmu itu dia akan terbenahi sedikit demi sedikit, terangkat kejahilannya, dan tergantikan oleh ilmu dalam kehidupan dia sehari-hari.

3. خُلُقٌ وَثِيْقٌ (akhlaq yang kuat)

yang dengan itu terjaga iman dan ilmunya. Akhlaq yang kuat ini akan tampak ketika seseorang menghadapi cobaan dan masalah. Ketika kemudian dia dihadapkan pada ujian tertentu, di situ akan tampak apakah dia orang yang berakhlaq, menjaga adabnya, dan tidak melalaikan akhlaknya, ataukah sebaliknya.

Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah,

Demikianlah hendaknya kita selalu membenahi diri bersamaan dengan kita menambah keilmuan dan hafalan kita. Kita benahi terus diri kita, iman, ilmu, dan juga amal shalih.

Ini penting bagi seorang mukmin untuk selalu dia rawat dan dia jaga pembenahan iman, ilmu, dan amal shalihnya. Para ulama rahimahumullahu ta’ala selalu menasihatkan dan memberikan wasiat kepada kita khususnya thulabul ilmi, untuk selalu muraja’ah kepada dirinya, membenahi apa yang ada pada dirinya dari segala macam kekurangan dalam perkataan maupun amal perbuatan.

Maka jika seorang thalib mementingkan perkara-perkara tersebut, insya Allah dan itu janji Allah yang pasti, akan dia dapati apa yang telah Allah subhanahu wata’ala sebutkan tentang keutamaan-keutamaan ilmu dan ahlul ilmi.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah angkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberikan ilmu di antara mereka.” [Al-Mujadilah: 11]

قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون

“Katakan apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu.” [Az-Zumar: 9]

Tentunya tidaklah sama keutamaan dan kemuliaan mereka di sisi Allah subhanahu wata’ala.

Sehingga banyak-banyaklah masing-masing kita untuk bertadharru’ kepada Allah dan meminta selalu kepada-Nya untuk membantu menghadapi kejahatan diri kita dan kejelekan amalan kita, karena masing-masing diri kita ada kejahatannya, dan amalan kita pun ada kejelekannya, seperti dalam khuthbatul hajah yang ma’ruf:

ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا

“Kita berlindung diri kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari kejelekan amal perbuatan kita.”

Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala terus dan selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, agar kita dijadikan termasuk orang-orang yang berilmu dan bermanfaat ilmunya, serta mengamalkan ilmu tersebut.

Kata Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu:

لا تكون بالعلم عالما حتى تكون به عاملا

“Tidak akan kamu teranggap alim dalam ilmu sampai kamu mengamalkan apa yang telah kamu ketahui.”

Ilmu yang barakah dan bermanfa’at akan berguna bagi orangnya, ilmu itu akan membenahi dan mengubah dirinya, kehidupannya, tutur katanya, akhlaqnya, perbuatannya, muamalahnya. Itu semua akan terbenahi dengan ilmu walaupun sedikit ilmu yang ada padanya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Imam Ibnu Rajab, dan banyak para ulama salaf yang lain rahimahumullah.

Ilmu adalah sesuatu yang bisa membenahi diri orangnya, dia paham terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan mengerti apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kemudian dia amalkan ilmu tersebut pada dirinya walaupun sedikit ilmunya, daripada orang yang banyak ilmunya, banyak yang dia ketahui, tetapi tidak ada perubahan dan pembenahan pada dirinya. Maka inti yang lebih diinginkan adalah pengamalan dari ilmu, apakah itu bisa membenahi kehidupan dan diri seseorang ataukah tidak. Di situlah letak barakah dari sebuah ilmu.

Dan ini semua perlu istia’nah kepada Allah (meminta pertolongan kepada Allah), karena segala sesuatu itu hanya dari-Nya. ‘Ubudiyah dan Istia’nah semuanya dari Allah, manusia itu kata Al-Imam Ibnul Qayyim membutuhkan dua perkara:

Yang pertama, untuk mengenali sesuatu yang bermanfaat baginya,

dan yang kedua untuk mengenali sesuatu yang madharat baginya,

dan untuk mengenali itu semua tidak akan bisa dia lakukan kecuali dia harus memahami mana yang manfaat dan mana pula yang madharat, dan ini semua butuh kepada ilmu. Bagaimana kamu melakukan sesuatu yang bermanfaat sementara kamu sendiri belum tahu apa yang manfaat itu, bagaimana kamu hendak menghindar dari seseutu yang kamu anggap madharat sementara kamu belum mengerti apa yang madharat itu. Maka ini semua butuh kepada ilmu dan juga wasilah untuk mengenalkan kepada kamu mana yang bermanfaat dan mana pula yang bermadharat.

Selain itu, dia juga butuh kekuatan untuk mempelajari dan mengenali sesuatu yang bermanfa’at agar kemudian dia amalkan, dia perjuangkan, dan dia dakwahkan, juga butuh kekuatan untuk mempelajari dan mengenali sesuatu yang bermadharat agar kemudian dia benci dan dia tinggalkan. Itulah rahasia yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan di dalam ayat-Nya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah dan hanya kepada kamu pula kami meminta pertolongan.” [Al-Fatihah: 5]

Istia’nah kepada Allah (meminta pertolongan hanya kepada Allah semata), karena tidak akan ada yang bisa membantu kita untuk mencapai itu kecuali Allah, manfaat seluruhnya hanya di tangan Allah. dan madharat pun semuanya juga dalam kekuasaan Allah subhanahu wata’ala.

Maka seorang hamba hendaknya selalu kembali kepada Allah subhanahu wata’ala dalam segala urusannya, baik di dalam memohon sesuatu yang bermanfa’at bagi dirinya, maupun permohonan agar terhindar dan selamat dari yang madharat.

Inti dari itu semua adalah membutuhkan ilmu dari masing-masing kita dan kemudian mengamalkan ilmu tersebut, agar kita dijadikan oleh Allah subhanahu wata’ala lembah yang luas, lembah yang dalam, untuk menampung ilmu, karena ilmu itu diumpamakan seperti hujan dan air yang bermanfa’at:

فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

“Maka lembah itu mengalirkan air dengan kapasitasnya masing-masing.” [Ar-Ra’d: 17]

Ada lembah yang dalam, besar, dan luas, maka tampungannya besar. Ada pula lembah yang dangkal, kecil, dan sempit, maka hanya sebatas itu dia mampu menampung air, dan hanya sebatas itu pula dia mampu memberikan manfa’at bagi orang lain.

Begitu pula manusia, semakin dia luas, dalam, maka semakin banyak mendapatkan manfa’at dan semakin banyak pula dia memberikan manfa’at itu kepada orang lain. Namun masing-masing orang berbeda-beda satu dengan yang lain dalam kapasitas keilmuan dan manfa’at yang bisa dia berikan kepada orang lain.

وفقكم الله لما يحب ويرضى ونسأل الله لنا ولكم التوفيق والسداد لما يحب ويرضى

والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

سبحانك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك. والحمد لله رب العالمين

Ditranskrip dengan edit beberapa kalimat tanpa mengubah maknanya oleh tim redaksi www.assalafy.org

http://www.assalafy.org/mahad/?p=496#more-496

Meninjau Ulang EMANSIPASI

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 21/V/VIII/1431


Prinsip kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Mulai dari soal kepemimpinan, peran dan partisipasi wanita, hingga masalah sensitif berjuluk poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan, bahwa wanita harus diberi hak yang sama alias sejajar dengan pria dalam segala hal.

Adalah sebuah kenyataan, bahwa wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Baik perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, maupun yang lainnya. Bahkan hal-hal tersebut bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan sebagaimana yang sering didalilkan oleh banyak kaum feminis. Walaupun tentunya, wanita memiliki sekian banyak kelebihan yang tak dimiliki kaum pria. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa menjadi sepasang suami-istri.

Namun, tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai kesetaraan gender. Hal itu diklaim sebagai simbol kemajuan negara-negara Barat. Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat.

Padahal jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari sekedar ‘produk gagal’ dari industri peradaban Barat. Mereka seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat Barat dengan tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, merebaknya homoseksualitas karena dilegalkan, dan berbagai tindak asusila lainnya. Oleh karena itu, tuntutan emansipasi yang berkiblat pada Barat, sudah saatnya ditinjau ulang.

Sejarah Munculnya Emansipasi

Dari kacamata sejarah, munculnya gerakan emansipasi berawal dari rasa frustasi dan dendam terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum wanita. Supremasi masyarakat feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan emansipasi.

Dituturkan, bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Sebuah aksi yang terjadi di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles. Mereka menyuarakan kesetaraan gender, menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria.

Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatarbelakangi oleh perlakuan sewenang-wenang beberapa pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi berguna.

Lambat laun berhembuslah angin emansipasi menuju Bumi Nusantara. Tepatnya di Yogyakarta, kongres wanita pertama pada tanggal 22 Desember 1928 konon menjadi awal pergerakan emansipasi di Indonesia. Sama, mereka pun menuntut adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Mulai soal kepemimpinan, partisipasi dalam dunia perpolitikan, hingga gugatan soal poligami merupakan masalah yang ketika itu disoroti aktivis perempuan dan kalangan feminis.

Demikianlah sejarah menorehkan. Ternyata emansipasi tidak hanya menuntut perlakuan adil, namun merupakan upaya penyamaan antara laki-laki dan wanita. Sebuah upaya yang terlalu dipaksakan, hingga akhirnya menembus batas-batas agama yang berujung terkoyaknya fitrah wanita itu sendiri.

Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan yang membabi buta antara pria dan wanita. Padahal tidak, bukan seperti itu. Islam sangat mengajarkan keadilan, namun bukan persamaan dalam segala hal. Sehingga wanita benar-benar sangat dimuliakan dalam agama Islam.

Islam Memuliakan Wanita

Islam tak semata memuliakan kaum pria. Cahaya Islam telah memupus sejarah kelam kehidupan wanita. Sebelum Islam memancarkan cahayanya, perlakuan terhadap kaum wanita di kalangan bangsa Arab begitu buruk. Mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan adalah tradisi Arab ketika itu.
Perasaan malu, jatuh martabatnya dihadapan masyarakat manakala bayi yang lahir adalah perempuan. Allah Subhanallahu wa Ta’ala mengabarkan kejadian tersebut (yang artinya):

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan ia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari banyak orang disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59)

Selain itu, dalam adat jahiliyah Arab, wanita tidak mendapatkan warisan sedikitpun. Bahkan mereka diperlakukan sebagai barang warisan. Bila seorang istri ditinggal wafat suaminya, maka anak laki-lakinya berhak mewarisi istri ayahnya. Demikian kenyataannya saat Islam belum hadir. Amat sangat terpuruk nasib wanita.

Kini, dengan barokah agama Islam, kaum wanita mendapat tempat yang layak. Semua diskriminasi jahiliyah tersebut terhapus dengan datangnya agama Islam. Bahkan adanya surat An-Nisaa` dalam Al-Qur`an merupakan salah satu bukti, bahwa derajat wanita begitu mulia dalam Islam.

Juga, Islam menghasung setiap wanita muslimah untuk beramal shalih, menunaikan segala aktifitas syar’i tanpa harus merobek-robek fitrahnya sebagai seorang wanita dengan pahala yang sama antara laki-laki dan perempuan. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan kami beri balasan kepada mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Dalam masalah berbuat kebajikan, Islam senantiasa mendorong kaum pria maupun wanita. Dalam ayat lainnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan dirinya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Renungkanlah, wahai para pegiat emansipasi! Adakah dalam ayat di atas sikap diskriminasi terhadap wanita? Tidak, sama sekali tidak! Namun kami tidak tahu, jika hawa nafsu yang menjawabnya. Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala selalu membimbing kita. Amiin yaa mujiibas saailiin.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir beliau (6/417) menyebutkan kisah salah seorang istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bernama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia bertanya:

“Wahai Rasulullah, mengapa kaum pria sering disebutkan dalam Al-Qur’an, sementara kaum wanita tidak? Maka Allah Subhanallahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin … dan seterusnya hingga akhir ayat (Al-Ahzab: 35-red).” (HR. Ahmad dalam kitab Al-Musnad no. 25363 & 25389, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro no.11404, dan Ath-Thobari dalam Jami’ Al-Bayan, 7/486, 20/269 & 270)

Cermatilah, wahai wanita, kisah mulia di atas! Sejenak saja merenungi, niscaya akan didapat mutiara hikmah darinya. Bagaimana Islam begitu adil dalam memperlakukanmu.

Jangan engkau katakan bahwa tafsir yang terkait dengan masalah wanita dihasilkan dari para penafsir yang dominasi oleh laki-laki, sehingga cenderung membela laki-laki. Jangan, jangan terlontar! Kata-kata itu dapat mengeroposkan dan meruntuhkan sendi-sendi keimanan di kalbumu.

Tak kalah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan wanita sholihah sebagai sebaik-baik perhiasan dunia. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Dunia adalah perhiasan. Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim no. 2668, Ibnu Majah no. 1855 dari shahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)

Terjadi sebuah dialog antara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan seorang budak wanita. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya:

“Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di atas langit.’ Rasulullah bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ ‘Engkau Rasulullah,’ tandasnya. Rasulullah berkata: ‘Merdekakan dia. Karena sesungguhnya dia seorang wanita beriman.” (HR. Abu Daud no. 3282, An-Nasa’i no. 1218 dari shahabat Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu)

Coba sekali lagi cermati kisah di atas. Betapa kemuliaan seorang wanita bukan semata diukur dari keelokan paras dan tubuhnya. Bukan pula karena kekayaan yang menyelimutinya. Tidak pula lantaran keturunan semata.

Kisah hadits di atas membeberkan demikian gamblang, betapa keimanan yang kokoh mampu mengantarkan seseorang memperoleh kemuliaan. Keimanan budak wanita itu telah mengurai belenggu budak yang mengikatnya. Dia menjadi seorang wanita yang dengan leluasa menghirup udara segar kebebasan yang nyata.

Namun nyatanya suara-suara sumbang dari kalangan pengusung emansipasi masih saja menggaung. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah rumah alias dapur, sebelum bisa menapaki karir yang tinggi, dianggap sebagai sebuah bentuk keterbelakangan.

Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang menuhankan kecantikan fisik. Hasilnya banyak wanita yang tidak mau menyusui anaknya dengan ASI, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, menanggalkan jilbab, dan se-abreg keanehan lainnya, dengan dalih demi menjaga keelokan dan bentuk tubuh semata. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan karir.

Padahal jika dicermati, ‘aqidah’ ini hanyalah buah dari sikap latah terhadap budaya Barat. Alias silau terhadap kemajuan fisik Barat, yang kemudian melahirkan pemahaman bahwa kemunduran wanita-wanita Islam disebabkan karena tidak mengikuti Barat seakan menjadi harga mati. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seraya mengecam:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031, Ahmad no. 4868 dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Al-Irwa’ no. 2691)

Padahal jika mau jujur, peradaban barat kini sedang dihantui oleh berbagai kerusakan di bidang sosial akibat kebebasan yang kebablasan. Keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya aksi bebas antar pria dan wanita yang bukan menjadi rahasia lagi. Namun masih saja para penjaja emansipasi seakan menutup mata terhadap realita tersebut.

Karenanya, sungguh teramat tidak santun bila ada seorang muslimah menyuarakan bahwa kemuliaan wanita bisa tergapai manakala kesetaraan gender terpenuhi. Naif, sungguh teramat naïf. Bagai menegakkan benang basah.

Saat dirinya menyuarakan emansipasi wanita, saat itu pula jaring-jaring setan telah mengikatnya. Setan menyeretnya secara halus yang berujung terjerembabnya para pegiat emansipasi ke lubang kehinaan. Hina karena syari’at Allah Subhanallahu wa Ta’ala hendak disingkirkan.

Oleh karena itu, jika wanita masih saja menanggalkan nilai-nilai syari’at dan terus mengaca pada budaya Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!!

Wa Billahit Taufiq.

Wallahu a’lam bish showab.

http://www.buletin-alilmu.com/?p=313

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=499#more-499