Kesesatan Ajaran “Penyatuan Agama”

on Jumat, 29 Januari 2010

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad yang tidak ada lagi Nabi setelahnya, kepada keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.

Amma ba’du:

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia, pen) telah disodorkan beberapa pertanyaan mengenai permasalah yang tersebar di berbagai negeri yaitu dakwah penyatuan agama: Islam, Yahudi dan Nashrani. Dari pemikiran ini muncul pendapat tentang bolehnya membangun masjid kaum muslimin, gereja Nashrani dan tempat ibadah Yahudi dalam satu area secara bergandengan. Dakwah penyatuan agama ini juga membolehkan penerbitan tiga kitab (berisi Al Quran, Taurat dan Injil) sekaligus dalam satu cover. Masih banyak dampak dari dakwah ini dengan adanya perkumpulan dan berbagai pertemuan di belahan dunia barat dan timur.

Pertama: Di antara keyakinan pokok dalam Islam yang sudah pasti diketahui dan telah disepakati oleh seluruh (ulama) kaum muslimin (baca: ijma’) bahwa tidak ada di muka bumi ini agama yang paling benar selain agama Islam. Agama ini adalah penutup seluruh agama. Agama ini menghapus seluruh ajaran agama-agama sebelumnya. Tidak lagi tersisa di muka bumi yang menyembah Allah dengan benar selain agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron: 19)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85)

Yang dimaksud dengan Islam setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau dan bukan yang dimaksud dengan ajaran selainnya.

Kedua: Yang juga termasuk pokok aqidah Islam yaitu Kitabullah (Al Qur’anul Karim) adalah kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah, Rabb semesta alam. Al Qur’an adalah penghapus kitab Taurat, Zabur, Injil dan seluruh kitab yang diturunkan sebelumnya. Al Qur’an adalah sebagai hakim (ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya, pen). Tidak ada satu pun kitab yang diturunkan saat ini yang memberi petunjuk untuk beribadah pada Allah dengan benar selain Al Qur’anul Karim. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai hakim terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)

Ketiga: Seorang muslim wajib mengimani bahwa taurat dan injil telah dihapus dengan Al Qur’anul Karim Perlu diketahui bahwa Taurat dan injil telah mengalami penyelewengan, penggantian, penambahan dan pengurangan sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam Al Qur’anul Karim. Di antaranya kita dapat melihat pada ayat,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat).” (QS. Al Maidah: 13)

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. ” (QS. Al Baqarah: 79)

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. ” (QS. Ali Imron: 78)

Oleh karena itu, setiap ajaran yang benar yang ada dalam kitab-kitab sebelum Al Qur’an, maka ajaran Islam sudah menghapusnya (menaskh-nya). Selain ajaran yang benar tersebut berarti telah mengalami penyelewengan dan penggantian. Ada riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu melihat-lihat lembaran taurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي رواه أحمد والدارمي وغيرهما.

“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khottob? Apakah dalam taurat (kitab Nabi Musa, pen) terdapat ajaran yang masih putih bersih?! (Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti (ajaran)ku.” (HR. Ahmad, Ad Darimi dan selainnya)[1]

Keempat: Di antara keyakinan pokok dalam Islam yaitu nabi dan rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Oleh karena itu, tidak ada rasul yang wajib diikuti selain Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya ada salah satu Nabi dan Rasul Allah hidup ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka ia pun harus mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi tersebut diharuskan mengikuti beliau, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya“. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. ” (QS. Ali Imron: 81)

Begitu pun dengan Nabi Allah ‘Isa ‘alaihis salam. Ketika beliau turun kembali di akhir zaman, beliau akan mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan berhukum dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. ” (QS. Al A’rof: 157)

Begitu pula yang termasuk pokok keyakinan dalam Islam yaitu diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum untuk seluruh manusia. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“ Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al A’rof: 158) Dan masig banyak ayat lainnya yang serupa dengan ini.

Kelima: Yang juga termasuk ajaran pokok dalam agama ini adalah wajib diyakini bahwa setiap orang yang tidak masuk Islam baik Yahudi, Nashrani dan lainnya, maka mereka itu kafir. Penamaan kafir pada mereka adalah setelah datang penjelasan (hujjah) pada mereka. Mereka adalah musuh Allah dan Rasulullah serta musuh orang-orang beriman. Mereka nantinya termasuk penghuni neraka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah: 1).

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al An’am: 19)

هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ

“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya.” (QS. Ibrahim: 52)

Ada sebuah riwayat dalam shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun dari umat ini (yaitu Yahudi dan Nashrani), lalu ia mati dalam keadaan tidak beriman pada wahyu yang aku diutus dengannya, kecuali ia pasti termasuk penduduk neraka.”[2]

Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nashrani, maka ia juga ikut kafir. Hal ini berdasarkan kaedah syar’iyah,

مَنْ لَمْ يَكْفُر الكَافِرَ بَعْدَ إِقَامَةِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir setelah ditegakkan hujjah (penjelasan) baginya, maka ia kafir.”

Keenam: Setelah mengedapankan pokok-pokok keyakinan seorang muslim di atas, maka dakwah penyatuan agama dan pendekatan agama (lebih dikenal dengan pluralisme agama, pen) adalah dakwah yang menyesatkan. Tujuan dari dakwah semacam ini adalah ingin mencampurkan al haq (kebenaran) dan kebatilan, serta menghancurkan Islam dan pondasinya. Perbuatan semacam ini sama saja ingin mengajak seseorang murtad secara total. Hal ini dibenarkan dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (QS. Al Baqarah: 217)

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). ” (QS. An Nisa’: 89)

Ketujuh: Dampak dari dakwah yang menyesatkan ini adalah meniadakan perbedaan antara Islam dan kekafiran, kebenaran dan kebatilan, perbuatan baik dan kemungkaran, serta menghancurkan perbedaan antara muslim dan kafir. Dakwah ini akan meniadakan keyakinan wala’ (loyal) dan baro’ (benci). Dakwah ini pun akan meniadakan berbagai jihad dan peperangan untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. ” (QS. At Taubah: 29)

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. ” (QS. At Taubah: 36)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imron: 118)

Kedelapan: Sesungguhnya dakwah penyatuan agama (lebih dekat dengan istilah: pluralisme agama, pen) jika ini muncul dari seorang muslim, maka ini adalah suatu bentuk kemurtadan dari agama Islam dengan sangat nyata karena dakwah ini dapat betul-betul menggoyahkan keyakinan seorang muslim. Sunguh, dakwah ini telah meridhoi kekufuran pada Allah, membatalkan kebenaran Al Qur’an, menghapus ajaran syari’at dan agama sebelum Islam. Dari sini kita dapat menilai bahwa pemahaman ini tertolak mentah-mentah secara syar’i. Pemikiran semacam ini pun diharamkan secara pasti dengan berbagai dalil syar’i, baik Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (konsensus ulama kaum muslimin).

Kesembilan: Berdasarkan pemaparan yang telah lewat, maka kami katakan,

1. Tidak boleh bagi seorang muslim yang meyakini bahwa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan Rasul mengajak, mendorong dan menunjuki pada pemikiran sesat semacam ini di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan seseorang tidak boleh menerima dakwah ini, mengikuti muktamar, perkumpulan atau menyebarkan dakwah semacam ini.
2. Tidak boleh bagi seorang muslim menerbitkan taurat dan injil secara bersendirian. Lebih-lebih lagi jika keduanya dicetak dalam satu sampul bersama Al Qur’anul Al Karim? Barangsiapa yang melakukan hal ini atau menyeru padanya, maka ia berarti telah berada dalam kesesatan yang nyata karena ia telah mencampur adukkan antara al haq (kebenaran) yang ada pada Al Qur’anul Karim dengan kitab yang telah mengalami penyelewengan atau kebenarannya telah dimansukh (dihapus) yaitu pada Taurat dan Injil.
3. Sebagaimana pula tidak boleh seorang muslim menerima ajakan untuk membangun masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya dalam satu area secara berdampingan karena hal ini sama saja mengakui ajaran agama selain Islam yang menyembah Allah tetapi bukan lewat jalan Islam dan ini sama saja mengingkari kebenaran agama Islam atas agama-agama lainnya.

Sedangkan dakwah yang mengajak pada penyatuan tiga agama (Islam, Yahudi dan Nashrani) dan menyatakan bahwa siapa saja boleh beragama dengan salah satu dari tiga agama tersebut, juga menyatakan bahwa ketiga-tiganya itu sama-sama benarnya, dan Islam sendiri tidak menghapus agama-agama sebelumnya, maka tidak diragukan lagi bahwa mengakui dan meyakini atau ridho pada ajaran semacam ini adalah suatu kekafiran dan kesesatan. Alasannya, karena hal ini telah menyelisihi banyak ayat Al Qur’anul Karim yang begitu tegas, menyelisihi As Sunnah yang suci dan Ijma’ (konsensus) ulama kaum muslimin. Begitu juga termasuk kesesatan jika ada yang menyandarkan penyelewengan Yahudi dan Nashrani pada Allah, -Maha Suci Allah dari hal ini-. Contohnya, menyebut gereja dan tempat ibadah mereka dengan baitullah (rumah Allah) atau menganggap bahwa orang yang beribadah di tempat tersebut adalah orang yang menyembah Allah dan ibadahnya itu diterima di sisi Allah. Ini semua jelas tidak dibolehkan. Karena ibadah yang mereka lakukan bukan menempuh jalan Islam. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85).

Bahkan kita katakan bahwa tempat ibadah mereka adalah tempat ibadah yang di mana di dalamnya terdapat perbuatan kufur pada Allah, sedangkan kita meminta perlindungan pada Allah dari kekufuran dan pelakunya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (22/162) mengatakan, “Tempat ibadah Yahudi dan gereja Nashrani sama sekali bukanlah rumah Allah (baitullah). Yang termasuk rumah Allah hanyalah masjid. Tempat ibadah mereka adalah tempat yang berlangsung kekufuran pada Allah, walaupun mereka berdzikir di dalamnya. Yang namanya tempat ibadah adalah tergantung orang yang beribadah di dalamnya. Orang yang beribadah dalam gereja atau rumah ibadah tersebut adalah orang-orang kafir. Maka lebih pantas disebut tempat ibadah orang kafir.”

Kesepuluh: Yang patut diketahui bahwa mendakwahi orang kafir secara umum dan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) secara khusus adalah kewajiban kaum muslimin berdasarkan dalil tegas dari Al Qur’an dan As Sunnah. Namun hal ini dilakukan dengan memberikan penjelasan dan saling berargumen dengan cara yang baik, tidak sampai mengorbankan ajaran Islam. Jalan ini ditempuh agar mereka bisa tunduk dan masuk Islam atau sebagai hujjah bagi mereka. Dari sini, celakalah siapa saja yang enggan mengambil petunjuk dan selamatlah yang benar-benar mengikuti petunjuk. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. ” (QS. Ali Imron: 64)

Namun apabila berargumen, mengadakan diskusi dan debat dengan mereka dilakukan agar kaum muslimin bisa mengikuti kemauan dan maksud mereka sehingga membatalkan ikatan Islam dan Iman seseorang, maka ini adalah suatu kebatilan. Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sungguh mencela sikap semacam ini. Semoga Allah melindungi kita dari apa yang mereka perbuat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah: 49)

Al Lajnah Ad Daimah telah menetapkan beberapa hal yang telah disebutkan sebagai peringatan untuk setiap muslim. Ini adalah nasehat untuk kaum muslimin secara umum dan orang yang berilmu secara khusus agar mereka selalu bertakwa pada Allah, merasa selalu diawasi oleh-Nya, dan berusaha memperjuangkan Islam dan melindungi aqidah kaum muslimin dari berbagai kesesatan, ajakan kesesatan, kekufuran dan pelakunya. Mereka pun hendaklah memerintahkan kaum muslimin untuk berhati-hati dengan ajaran kekufuran dan sesat yaitu ajaran yang mengajak pada penyatuan agama, jangan sampai terikat dengan jaring-jaringnya. Kami memohon perlindungan pada Allah agar setiap muslim terselematkan dari berbagai kesesatan yang hadir dan tersebar di negeri-negeri kaum muslimin.

Kami memohon pada Allah dengan nama-nama-Nya yang husna (terbaik), dan sifat-Nya yang mulia agar melindungi seluruh kaum muslimin dari berbagai kesesatan dan fitnah (musibah). Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Semoga Allah melindungi umat ini dengan memberi petunjuk dan cahaya iman sampai kita bertemu dengan Rabb kita dalam keadaan Dia ridho.

Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini:

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa Saudi Arabia)

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh

Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Sholih Al Fauzan.

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 19402, 12/275-284, Darul Ifta’

Pangukan-Sleman, 6 Shofar 1431 H.

UMBER: Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Ahmad (3/387), Ad Darimi dalam Al Muqoddimah (1/115-116), Al Bazzar dalam Kasyful Astar (1/78-79) no. 124, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah (1/27) no. 50, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (Bab Menelaah Kitab Ahli Kitab dan Riwayat dari Mereka) 1/24.

[2] HR. Muslim dalam Al Iman (153), Musnad Ahmad bin Hambal (2/317)

KEUTAMAAN SHOLAT ISYROQ

Penulis: Al-Ustadz Abdullah Taslim, MA

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“[2].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat[3].

Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

* Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama[4] dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha[5].

* Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak[6], yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit[7], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit[8].

* Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi”[9].

* Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid[10].

* Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.

* Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah[11].

* Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.

sumber: www.muslim.or.id

footnote:
[1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.

[2] HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).

[3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “at-Targhib wat tarhib” (1/111-shahih at-targhib).

[4] Bahkan penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas t, lihat kitab “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

[5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

[6] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

[7] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61).

[8] Dalam HSR Muslim (no. 831).

[9] HSR Muslim (no.670) dan at-Tirmidzi (no.585).

[10] Demikian keterangan yang kami pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah.

[11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

Kemuliaan, Hanya dengan Kembali kepada Manhaj Salaf

Penulis: Al-Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi

Segala puji adalah milik Allah. Pujian dan keselamatan semoga terlimpah kepada Nabi akhhir zaman Muhammad bin Abdullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut mereka yang setia. Amma ba’du.

Saudaraku, semoga Allah menyadarkan hati kita dari kelalaian dan penyimpangan, sesungguhnya kemuliaan yang didambakan oleh kaum muslimin tidak akan pernah diraih kecuali dengan menjunjung tinggi ajaran al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- telah mengabarkan kepada kita, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian orang dengan sebab kitab ini dan akan merendahkan sebagian yang lain dengan sebab kitab ini pula.” (HR. Muslim)

Barang siapa yang menyangka kebangkitan dan kemuliaan Islam akan bisa diraih dengan meninggalkan al-Qur’an dan memecah belah kaum muslimin menjadi bergolong-golongan serta membiarkan mereka hanyut dalam kebid’ahan maka sungguh dia telah salah. Sebab Allah jalla wa ‘ala –yang ucapannya adalah ucapan yang paling jujur dan paling sesuai dengan realita- telah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’: 115). Maka mengikuti jalan para sahabat –yang mereka itu adalah jajaran terdepan kaum mukminin pengikut Nabi- merupakan sebuah keniscayaan. Inilah jembatan emas yang akan mengantarkan kaum muslimin yang cinta kepada Allah dan rasul-Nya untuk meraih surga di akhirat dan kejayaan di dunia.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100). Inilah ayat yang akan memecahkan telinga para hizbiyyun dan ahli bid’ah. Sebuah ayat yang meleraikan segala pertikaian yang dikobarkan oleh syaitan dari kalangan jin dan manusia di tengah-tengah barisan umat Islam. Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian mereka-reka ajaran baru. Sebab sesungguhnya kalian telah dicukupkan dengan tuntunan yang ada.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul dan juga ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisa’: 58-59). Maka mengikuti pemahaman para sahabat dalam beragama merupakan sebuah keniscayaan. Bagaimana tidak? Sementara mereka adalah orang yang paling paham tentang sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan orang-orang yang paling besar pembelaannya kepada perjuangan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak bisa menemukan solusi semata-mata dengan mencomot ayat dan hadits –untuk membela pendapat kita- tanpa mengikuti metode para sahabat dalam memahami dalil-dalil yang ada. Sebuah generasi yang telah mendapatkan tazkiyah/rekomendasi dari utusan Rabb semesta alam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudahnya, dan kemudian sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka seruan sebagian orang -yang tidak tahu diri- untuk meninggalkan manhaj para sahabat dengan alasan sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman yang ada, atau dengan alasan mereka sudah tinggal kenangan saja, sungguh merupakan penghinaan kepada al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidakkah kita ingat bagaimana pembelaan Allah kepada para sahabat ketika orang-orang munafik mengatakan bahwa mereka –para sahabat- adalah orang-orang yang dungu [?!]. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila dikatakan kepada mereka (orang munafik), Berimanlah sebagaimana orang-orang itu –para sahabat- beriman. Maka mereka menjawab, Akankah kami beriman sebagaimana orang-orang dungu itu beriman? Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah –orang munafik- orang-orang yang dungu…” (QS. al-Baqarah: 13).

Kaum muslimin sekalian –semoga Allah meneguhkan kaki kita di atas kebenaran- sesungguhnya mengikuti jalan hidup para sahabat adalah perjuangan yang akan selalu digembosi oleh musuh-musuh Sunnah. Mereka tahu bahwa apabila kaum muslimin kembali kepada pemahaman para sahabat maka makar mereka untuk memporak-porandakan barisan kaum muslimin akan menjadi sia-sia. Tidakkah kita ingat ucapan emas dari Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya.” Mereka –musuh-musuh Sunnah- sangat takut apabila kaum muslimin kembali kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya. Mereka kira kaum muslimin bisa ditipu dengan ucapan-ucapan batil mereka yang dipoles sedemikian rupa dengan kutipan ayat dan hadits. Mereka lupa bahwa kaum muslimin senantiasa mengingat pesan Nabi mereka, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafau’ur rasyidin yang berada di atas petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya. Dan gigitlah ia dengan gigi geraham, dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, disahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).

Oleh sebab itu, mereka –musuh-musuh Sunnah- sangat gatal telinganya apabila kaum muslimin senantiasa mendengungkan ucapan Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masanya, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau berkata, “Barang siapa yang menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya dia berada di tepi jurang kehancuran.” Ucapan beliau ini didukung oleh Imam Nashir as-Sunnah/Sang pembela Sunnah asy-Syafi’i rahimahullah yang dengan tegas mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan Sunnah itu hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” Mereka –musuh-musuh Sunnah- juga sangat geram apabila kaum muslimin senantiasa mengingat nasihat Imam Syafi’i rahimahullah dalam ucapannya, “Apabila suatu hadits itu sahih maka itulah madzhabku.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah anda temui seorang ahli bid’ah pun kecuali dia pasti memendam rasa benci kepada sunnah yang tidak sesuai dengan bid’ahnya.”

Oleh sebab itu –ikhwah sekalian- para ulama ahli hadits adalah benteng-benteng keimanan di atas muka bumi ini. Salah seorang ulama salaf berkata, “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan para ahli hadits adalah penjaga-penjaga bumi.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan tentang jati diri golongan yang mendapatkan pertolongan Allah, “Apabila mereka itu bukan ahli hadits maka aku tidak tahu lagi siapakan mereka itu.” Imam Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa mereka itu –golongan yang selalu mendapatkan pertolongan Allah- adalah ahli ilmu. Inilah bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka dia akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah bukti yang gamblang tentang kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu –agama- maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Tidakkah kita ingat prestasi para sahabat di sisi Allah ta’ala? Orang-orang yang telah dikabarkan akan menghuni surga sementara jasad-jasad mereka masih berjalan di atas muka bumi. Sebuah generasi yang diabadikan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan ukiran prestasi yang harum dan menakjubkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. al-Fath: 18).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir…” (QS. al-Fath: 29).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam Tafsirnya tentang ayat ini, “Berdasarkan ayat ini Imam Malik rahmatullah ‘alaih -dalam sebuah riwayat yang dinukil dari beliau- mengambil kesimpulan hukum untuk mengkafirkan kaum Rafidhah/Syi’ah yang mereka itu membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Imam Malik beralasan, ‘Sebab para sahabat itu telah membuat mereka -yaitu orang Syi’ah- menjadi murka. Maka barang siapa yang marah kepada para sahabat, itu artinya dia telah kafir menurut ayat ini.’.”

Alangkah indah dan tegas ucapan Imam Malik. Inilah petir yang akan menghanguskan segala upaya musuh-musuh Sunnah untuk memadamkan cahaya kebangkitan dakwah salafiyah di bumi pertiwi ini, yakinlah apabila kita benar-benar membela agama Allah maka Allah tidak segan-segan untuk mengerahkan bala tentara-Nya demi membela pasukan-pasukan Sunnah. Namun sebaliknya, apabila ternyata perjuangan kita telah terkotori oleh motif-motif yang rendah dan hina maka jangan salahkan siapa-siapa atas keterpurukan nasib kita. Bukankah Allah ta’ala telah mengingatkan kita (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Ikhwah sekalian, apa yang kita lakukan ini belum seberapa apabila dibandingkan dengan jasa besar para sahabat dalam menegakkan dakwah Islam di muka bumi ini. Janganlah kita lupa daratan dan menganggap diri kita suci. Para sahabat telah mencontohkan kepada kita bahwa sedikit saja noda syirik mengotori hati manusia maka kekalahan tidak jauh dari mereka, ingatlah kejadian di perang Hunain, ketika banyaknya jumlah pasukan Islam telah membuat hati sebagian mereka ujub dan bangga diri seolah tak akan terkalahkan. Mereka lupa bahwa kemenangan bukan di tangan mereka, namun kemenangan itu adalah milik Allah yang akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba yang bertauhid dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia akan memberikan kekuasaan kepada mereka sebagaimana yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan agama yang telah Dia ridhai untuk mereka, serta Dia akan menukar rasa takut mereka dengan keamanan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nur: 55). Inna wa’dallahi haqq, walakinna aktsaran naasi laa ya’lamuun.


SUMBER: www.muslim.or.id

MENEPIS ANGGAPAN BULAN SHAFAR ADALAH BULAN SIAL

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.

Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.

Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.

Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.

Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.

Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.

Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan

Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.

“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)

Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.

Thiyarah Adat Jahiliyyah

Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.

Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.

Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:

1. Karena sesuatu yang dilihat

Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.

2. Karena sesuatu yang didengar

Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.

3. Karena waktu-waktu tertentu

Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.

Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.

Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.

Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.

Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)

Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.

“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Obat dari Penyakit Ini

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.

“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):

اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.

“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).

Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.

Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.

Sumber:

Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.

Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.

Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Ditulis oleh Abu Abdillah Kediri.

Artikel Terkait:

1. Dilarang Menganggap Sial Bulan Shafar

2. Bulan Shafar Bulan Sial??

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=425#more-425)
sumber: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1602

Empat Perangai Jahiliyyah Yang Masih Menjangkiti Umat Ini

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wata’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai kondisi dan kadar keimanan seseorang. Ujian bisa berupa kesenangan dan bisa pula berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang menggerogoti dirinya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1sampai 3, bahwa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui[1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.

Demikian juga ketika sakit, seseorang akan teruji tingkat kejujuran iman dan aqidah dia. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang tertimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan mengklaim bahwa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zhalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang nekad melakukan upaya bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya iman dan kurang jujurnya dia dalam ikrar keimanannya tersebut.

Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wajalla, Rasul-Nya dan hari akhir jika tertimpa suatu penyakit agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan kami tengahkan kepada anda, bagaimana syari’at membimbing anda tentang sikap yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah[2]:

1. Hendaknya dia merasa ridha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wata’ala tersebut, bersabar dengannya dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wata’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Karena segala yang dia terima adalah merupakan sesuatu terbaik yang Allah subhanahu wata’ala berikan padanya. Ini merupakan sikap seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapatkan keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari shahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)

Beliau juga bersabda:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

2. Hendaknya dia memiliki sikap raja’ (berharap atas rahmat Allah subhanahu wata’ala) dan rasa khauf (takut dan cemas dari adzab Allah subhanahu wata’ala)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi seorang pemuda yang sedang sakit. kemudian beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat mengharapkan rahmat Allah dan saya takut akan siksa Allah dikarenakan dosa-dosa saya.” Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua sifat tersebut ada pada seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa yang dia takutkan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

3. Tidak diperbolehkan baginya untuk mengharapkan kematian segera menjemputnya ketika penyakitnya ternyata semakin menjadi parah dan memburuk.

أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ مِنْ إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi pamannya ‘Abbas yang sedang sakit. Dia mengeluh dan berharap kematian segera datang menjemputnya. Maka beliau bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, janganlah engkau berharap kematian itu datang. Jika engkau adalah orang baik, maka engkau bisa menambah kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka engkau dapat mengingkari dan membenahi kesalahanmu itu, dan itu baik bagimu. maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari shahabiyyah Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha)

Namun ketika ternyata dia tidak bisa bersabar dan harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

4. Hendaknya dia berwasiat ketika merasa ajalnya telah dekat untuk dipersiapkan dan dilakukan pengurusan jenazahnya nanti sesuai dengan bimbingan syari’at dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Dan di sana banyak kisah- kisah para sahabat yang mereka berwasiat dengan hal ini ketika merasa ajal segera menjemputnya. Salah satunya adalah kisah shahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat ketika dia merasa ajal telah dekat. Dia berkata:

إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ

“Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkannya. aku takut kalau perbuatan tersebut termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyyah), karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang perbuatan na’i tersebut.” (HR. At-Tirmidzi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkar: “Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwasiat kepada keluarganya agar meninggalkan kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam penyelenggaraan jenazah. Dan hendaknya dia menekankan permasalahan itu.”

Wallahu A’lam.

Diringkas dari Kitab Ahkamul Jana-iz karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah Imam.
[1] Dan Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui kadar dan tingkat kejujuran iman seseorang walaupun tidak memberikan ujian kepada hamba-Nya itu.

[2] Diringkas dari kitab Ahkamul Jana-iz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu ta’ala.

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=419#more-419)
sumber: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1603

TAHNIAH ATAS KELAHIRAN PUTRI PERTAMA

on Rabu, 27 Januari 2010


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

ALHAMDULILLAH, SEGALA PUJA-PUJI KESEMPURNAAN HANYA MILIK ALLAH 'AZZA WA JALLA SEMATA, SHOLAWAT SALAM BUAT BAGINDA NABI DAN RASUL TERAKHIR MUHAMMAD BIN ABDULLAH SHALLALLAHU'ALAIHI WASSALAM, KELUARGA BELIAU, PARA SAHABAT DAN ORANG-ORANG YANG ISTIQOMAH MENGIKUTI JALAN BELIAU YANG LURUS HINGGA HARI KIAMAT KELAK.

TAHNIAH ATAS KELAHIRAN PUTRI PERTAMA

ALHAMDULILLAH, DENGAN RAHMAT DAN KARUNIANYA ALLAH TA'ALA TELAH MENGANUGERAHKAN AMANAH DAN PERMATA HATI (ANAK) YANG PERTAMA KEPADA AL-AKH ABU UMAIR ABDUR'RAUF (GATOT) BIN MUHAMMAD AL-BAGANI (AYAH/ABI) DAN UMMU UMAIR KHADIJAH (RINI) BIN ABDURRAZAK (IBU/UMMI)

BAARAKALLAHULAKA FII MAUHUUBILAKA WA SYAKARTA WAHIBA WABALAGHO ASYUDDAH WARUZIQTA BIRROH....

MARHABAN YA BUNAI, SELAMAT DATANG KE DUNIA WAHAI PUTRIKU:

" HAFSAH QONITAH "
(WANITA PEMBERANI DAN TA'AT BERIBADAH)
TTL : BAGANSIAPIAPI, 4 SHAFAR 1431 H / 2O JANUARI 2010 M
PUKUL : 18.10 WIB (SEBELUM MASUK WAKTU SHOLAT MAGHRIB)

SEMOGA MENJADI ANAK YANG SHOLEHAH, BERAKHLAK MULIA, BERANI MEMBELA AL-HAQ, TA'AT BERIBADAH, KAYA AKAN ILMU DAN HATI, BERBAKTI KEPADA ORANG TUA, AGAMA DAN BANGSA....AMIIN

REDAKSI "SUNNAH MELAYU"
MAKTABAH NURUSSALAF
BAGANSIAPIAPI-ROKAN HILIR
RIAU

Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin’

Penulis: Yulian Purnama

Allah Ta’ala berfirman,

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Ta’ala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mu’min dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?

Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

1. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.

1. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
2. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
3. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
4. Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
5. 6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Apakah kalian tidak mentadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qu’an bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Ta’ala adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Ta’ala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Karena hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Ta’ala juga melarang kaum mu’minin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

Wabillahi At Taufiq.

Artikel www.muslim.or.id

TANYA JAWAB: APA HUKUM KHURUJ DENGAN JAMA'AH TABLIGH

Penulis: ASY SYAIKH ABDURRAZZAQ AFIFI

Syaikh Abdurrazzaq Afifi – semoga Allah merahmatinya- ditanya: tentang khuruj jama'ah tabligh untuk megingatkan manusia tentang kebesaran Allah?

Beliau menjawab:

الواقع أنهم مبتدعة ومخرفون, وأصحاب طرق قادرية وغيرهم, وخروجهم ليس في سبيل الله ولكنه في سبيل إلياس, هم لا يدعون إلى الكتاب والسنة ولكن يدعون إلى إلياس شيخهم في بنجلادش.


أما الخروج بقصد الدعوة إلى الله فهو خروج في سبيل الله وليس هذا هو خروج جماعة التبليغ

وأنا أعرف التبليغ منذ زمان قديم وهم المبتدعة في أي مكان كانوا في مصر وإسرائيل وأمريكا والسعودية وكلهم مرتبطون بشيخهم إلياس



Pada kenyataannya mereka adalah ahli bid'ah, suka berbuat khurafat, penganut tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya.Khuruj mereka bukanlah dijalan Allah,namun dijalan Ilyas, mereka tidak mengajak kepada Al-Kitab dan a-As-sunnah, namun mengajak kepada Ilyas guru mereka di Bangladesh.

Adapun khuruj dengan tujuan berdakwah menuju jalan Allah Azza wajalla maka itu merupakan khuruj dijalan Allah, dan tidak demikian dengan khuruj jama'ah tabligh.

Saya mengetahui tabligh semenjak dahulu, mereka adalah ahli bid'ah dimanapun berada, apakah mereka berada di Mesir, Israel, Amerika, Arab Saudi. Mereka semua terikat dengan guru mereka Ilyas.

(dari kitab : fatawa wa rasaaail samahatus syaikh Abdurrazzaq Afifi:1/174. Dinukil dari kitab : al-fatawa al-muhimmah fi tabshiir al-ummah,hal:148).

Diterjemahkan Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafidzahulloh
Sumber : http://tsabat.com/ dan http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1685

MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH


KUFUR NIKMAT KARENA MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH

Di antara bentuk kufur nikmat adalah menyandarkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘azza wajalla. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini pembahasannya yang merupakan kelanjutan dari kajian Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah Bab Ma Ja-a Fil Istisqa’ bil Anwa’ yang disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah pada acara LKIBA Ma’had As-Salafy Jember, hari Ahad 1 Shafar 1431 / 17 Januari 2010.

ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه ، قال : « صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح بالحديبية على إثر سماء كانت من الليل ، فلما انصرف أقبل على الناس فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟ . قالوا : الله ورسوله أعلم ، قال : ” قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب. » .

Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh di Hudaibiyyah setelah turunnya hujan tadi malam. Tatkala selesai salam beliau menghadap ke arah para shahabat kemudian bersabda: Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian? Para shahabat mengatakan: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: Allah berfirman: Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir, adapun orang-orang yang mengatakan: Kami diberi hujan dengan sebab keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, maka dia telah berman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan: Kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.

Penjelasan beberapa lafazh hadits:

ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه

Maksudnya adalah hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Dhamir (kata ganti) lahuma (yang maknanya bagi keduanya) yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Penggunaan kata ganti dalam konteks seperti ini sering digunakan oleh para ulama.

صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح

Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh.

بالحديبية

Kata ini dalam bahasa Arab bermakna nama sebuah sumur atau terkadang digunakan juga untuk penyebutan sebuah tempat tertentu. Kenyataanya yang lebih dikenal dan sering digunakan adalah untuk penyebutan sebuah tempat tertentu.

على إثر سماء كانت من الليل

Maksudnya adalah setelah turun hujan malam harinya.

فلما انصرف أقبل على الناس

Yaitu tatkala selesai salam, beliau menghadap ke arah para shahabatnya yang saat itu ikut shalat bersama beliau.

فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟

Kemudian belau bersabda: “Apakah kalian tahu apa yang telah difirmankan Rabb kalian?” Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Beliau ingin memberikan faidah ilmiah kepada umatnya dengan apa yang telah beliau ketahui. Bersemangat untuk memberikan faidah kepada saudaranya merupakan perilaku yang patut dicontoh. Tanamkan pada diri kita bagaimana kita bisa memberikan faidah kepada saudara kita, mungkin di antara kita ada yang tidak mampu memberikan faidah yang sifatnya duniawi (materi) kepada saudaranya, maka sebagai gantinya kita upayakan apa yang kita dapatkan dari majelis ilmu berupa faidah ilmiyyah untuk disampaikan kepada saudara kita yang belum mendapatkan (mengetahuinya).

Dan thariqah (metode) pengajaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah thariqah tanya jawab. Metode seperti ini menarik sekali dan merupakan thariqah yang jitu dalam pengajaran serta lebih bermanfaat daripada mengajar tetapi tidak pernah ada tanya jawab padanya.

قالوا : الله ورسوله أعلم

Para shahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Jawaban para shahabat yang demikian menunjukkan tingginya kemuliaan adab para shahabat, karena ketika mereka tidak mengetahui suatu perkara agama, maka permasalahan tersebut dikembalikan kepada ahlinya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mulianya adab para shahabat ini tidak lepas dari didikan langsung dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب.

Allah subhanahu wata’ala berfirman: Pada pagi hari ini, ada di antara hamba-hamba-Ku yang beriman dan adapula yang kafir. Adapun orang-orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam kepada kita karena keutamaan dan rahmat Allah’, maka merekalah yang telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang yang telah mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam disebabkan bintang yang demikian dan demikian’, maka dia telah kafir kepada-Ku dan telah beriman kepada bintang-bintang.

Penjelasan secara global hadits ini

Dalam hadits ini, shahabat Zaid bin Khalid memberitakan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau selesai mengimami shalat fajar bersama para shahabatnya di Hudaibiyah beliau ingin memberikan faidah dan pelajaran kepada para shahabat, maka beliau menanyakan: ‘Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian?’ Maka para shahabat yang mereka sangat baik adabnya, ketika tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan Rasulullah tersebut, mereka menyerahkan ilmu tentang permasalahan ini kepada ahlinya. Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Allah subhanahu wata’la telah mewahyukan kepada beliau bahwasanya manusia itu terbagi menjadi dua setelah turunnya hujan, yaitu orang yang bersyukur (beriman) dan orang yang kufur. Barang siapa yang menisbahkan (menyandarkan) turunnya hujan kepada Allah, maka dia telah bersyukur (beriman) dan barang siapa yang menisbahkan hujan kepada bintang-bintang, berarti dia telah kufur kepada Allah. Dan yang mengimani bahwa bintang itu sendiri yang menurunkan hujan, maka dia telah kafir. Dan adapun yang menisbahkan hujan itu kepada bintang dan dia tetap meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala yang menurunkan hujan, maka ini masuk ke dalam syirik ashgar kerena dia telah menjadikan sesuatu sebagai sebab yang padahal sesuatu itu bukan sebagai sebab secara syar’i maupun kauni (hukum alam).

Faidah yang terkandung dalam hadits ini:

1. Disunnahkan bagi imam shalat untuk menoleh dan menghadapkan wajahnya ke arah makmum ketika selesai salam.

2. Disunnahkan untuk membuat rindu atau penasaran kepada ilmu dengan thariqah (metode) tanya jawab, sebagaimana hal ini telah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebetulnya Rasulullah mampu untuk menyampaikan langsung pokok permasalahan yang akan menjadi objek pembicaraan, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyengaja tidak melakukanya untuk menciptakan rasa penasaran para shahabat agar mereka lebih perhatian ketika menerima ilmu. Banyak juga hadits yang menyebutkan thariqah seperti ini.

3. Menetapkan sifat berbicara bagi Allah. Berbicaranya Allah tentu berbeda dengan bicaranya makhluq. Bicaranya Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan kemuliaan-Nya.

4. Gambaran adab yang baik bagi orang yang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui, yaitu dengan mengatakan Allahu a’lam atau yang semisal dengannya.

5. Haramnya kufur terhadap nikmat Allah.

6. Penetepan sifat Rahmah bagi Allah ta’ala, yaitu sifat kasih sayang. Makhluk mempunyai sifat kasih saying, tapi berbeda dengan kasih sayang Allah.

7. Menisbahkan (menyandarkan) nikmat kepada selain Allah adalah salah satu bentuk kufur nikmat kepada-Nya.

8. Haramnya ucapan seseorang: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini dan bintang itu.’

Insya Allah bersambung....

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=433#more-433

AHLU HADITS DAN KEUTAMAANNYA



Siapakah Ulama Ahlul Hadits?

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Begitu banyaknya perselisihan di kalangan umat islam. Demikian banyaknya manhaj (metode dalam berpikir, beramal dan berdakwah) dari kelompok-kelompok yang hendak memperbaiki umat ini dan semuanya mengklaim diatas kebenaran, membuat umat islam semakin bingung siapakah sesungguhnya yang bisa dijadikan rujukan, tempat bertanya dan mencari pemecahan masalah dan problematika umat ini.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan tentang sekelompok orang dari umat ini yang beliau memujinya dan merekomendasikannya, dengan sabdanya:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَ لاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menampakkan di atas al haq (kebenaran), tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka dan tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya, dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah (wafat tahun 181 H) berkata, “Menurutku mereka adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullah (wafat tahun 234 H) berkata, “Mereka itu adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, At-Tirmidzi, As-Sunan, 4/485)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat tahun 241 H) berkata, “Jika golongan yang mendapat pertolongan itu bukan ulama ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (maksudnya tidak mungkin yang lain lagi, pen). (Atsar Shahih, Al-Hakim, Ma’rifah Ulumul Hadits, 3)

Al-Imam Ahmad bin Sinan rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Mereka adalah ahlul ilmu dan ulama atsar.” (Atsar Shahih, Abu Hatim, Qiwamus Sunnah fil Hujjah, 1/246)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Yakni (mereka tersebut, pen) ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Sejarah Ulama Ahlul Hadits

Sesungguhnya sudah cukup jelas dan terang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i, bahwa ulama ahlul hadits adalah golongan yang sudah ada semenjak zaman kenabian. Awal mula mereka adalah para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) berkata: “Ulama ahlul hadits telah sepakat bahwa shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.” (Al Ishabah, 12/68)

Al-Imam Asy-Sya’bi rahimahullah (seorang imam besar tabi’in/murid shahabat, wafat tahun 110 H) berkata: “Apa yang akan aku hadapi dan apa yang akan aku tinggalkan, tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits.” (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh, 1/83)

Al-Imam Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Didalamnya terdapat dalil yang jelas dan terang bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan generasi yang pertama kali digelari dengan ulama ahlul hadits, karena Asy-Sya’bi rahimahullah telah menjumpai lima ratus orang shahabat radhiyallahu ‘anhum dan mengambil ilmu (hadits) dari mereka. Oleh karena itulah, ia menyebut mereka dengan gelar tersebut dengan ucapannya, “Tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits (para shahabat radhiyallahu ‘anhum).” (Tarikh Ahli Hadits, 25)

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah diketahui bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum generasi yang pertama kali dijuluki sebagai “ulama ahlul hadits”. Para tabi’in dan para pengikutnya pun menyebut mereka sebagai ulama ahlul hadits. Senantiasa nama yang mulia ini dilekatkan pada ulama ahlul hadits dari generasi ke generasi sampai masa kita ini. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamïn…

Keutamaan-keutamaan Ulama Ahlul Hadits

1. Ulama Ahlul Hadits adalah Al-Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan)

Ini berdasarkan hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu di atas, hadits ini menguatkan keberadaan satu golongan yang akan tertolong sepanjang masa. Golongan ini adalah para ulama ahlul hadits (sebagaimana keterangan diatas) yang selamat dari perpecahan, perselisihan, dan kerugian di dunia, serta selamat dari panasnya api neraka yang merupakan tempat kembalinya tujuh puluh dua golongan yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

« تَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ ثَلاَثَةٌ وَسَبْعِينَ فِرقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ » . قَالُوا : وَمَا تِلْكَ الفِرْقَةُ ؟ قَالَ : « مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي »

“…Umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk An-Nar (neraka), kecuali satu.” Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan kondisi para shahabatku pada hari ini” (yakni kondisi keberagamaan mereka atau cara memahami agama mereka, pen). (HR. At-Thabarani, Ash-Shaghir, 1/256)

karena semua kelompok tersebut (kecuali satu) telah keluar dari jalan Al-Haq, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Ulama ahlul hadits adalah golongan yang selamat, orang-orang yang berdiri diatas kebenaran.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/237)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) berkata: “Jika sifat golongan yang selamat itu (adalah) mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dan itu merupakan syi’ar Ahlus Sunnah-, maka golongan yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah, 3/457)

2. Imam Ulama Ahlul Hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat bersama pemimpin mereka.” (Al-Isra`: 71)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata: “Sebagian salaf mengomentari ayat diatas: “Ini adalah sebesar-besar kemuliaan untuk ashabul hadits (ulama ahlul hadits), karena imam mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al-Qur`an, 2/56)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seseorang dari ulama ahlul hadits seakan-akan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.” (Atsar Shahih Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/477)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Aqidah ulama ahlul hadits adalah sunnah yang murni, karena itu merupakan keyakinan yang benar yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhajus Sunnah, 4/59-60)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Ciri-ciri paling minimal yang terdapat pada ulama ahlul hadits ialah mencintai Al-Qur`an dan Hadits, membahas dan mendalami makna-makna keduanya, beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari keduanya. Dan fuqaha` hadits lebih mengerti dan berpengalaman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari fuqaha` selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 4/95)

3. Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memuliakan, menghormati dan mencintai Ulama Ahlul Hadits

Dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, apabila melihat seorang penuntut ilmu -yakni ulama ahlul hadits- ia berkata: “Marhaban! Selamat bergembira dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar Hasan, riwayat At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya)

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga berkata: “Marhaban dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Adalah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati kami tentang kalian.” (Atsar Hasan, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/88)

Amir bin Ibrohim rahimahullah berkata: “Adalah shahabat Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu apabila melihat penuntut ilmu ia mengatakan, “Marhaban dengan penuntut ilmu! Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kalian.” (Atsar Hasan, Ad-Darimi dalam Al-Musnad, 1/99)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengagungkan ulama ahlul hadits, maka ia akan menjadi besar di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang merendahkan mereka, maka ia akan jatuh dan hina di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ulama ahlul hadits adalah para penyampai berita beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Manaqib Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 180)

4. Kebenaran bersama Ulama Ahlul Hadits

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Wajib bagi kalian mengikuti ulama ahlul hadits karena merekalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Atsar Shahih, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, 14/197)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur`an, maka besarlah nilainya. Dan barangsiapa yang memperhatikan ilmu fiqih, maka mulialah kedudukannya. Dan barangsiapa yang menulis hadits, maka kuatlah hujjah-nya.” (Atsar Shahih, Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 324, dan Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/281)

Al-Walid Al-Karabisi rahimahullah berkata: “Wajib atas kalian berpegang dengan apa yang dipegang ulama ahlul hadits. Sesungguhnya aku melihat kebenaran itu selalu bersama mereka.”

Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Kebenaran itu bersama ulama ahlul hadits dan mereka adalah golongan yang selamat.” (Tarikh Ulama ahlul hadits, 130)

5. Ulama Ahlul Hadits adalah Pengayom dan Penjaga Agama

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (salah seorang ulama tabi’ut tabi’in, wafat tahun 161 H) berkata: “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan ulama ahlul hadits adalah para penjaga bumi.”

Yazid bin Zura’i rahimahullah berkata: “Setiap agama memiliki para penjaga, dan penjaga agama ini adalah ulama asanid (yakni ulama ahlul hadits).” (Atsar Hasan, dinukil oleh Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah dalam Syarafu Ashabil Hadits, 91)

6. Empat Imam Madzhab adalah ulama (ahlul) hadits

* Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullah (wafat tahun 150 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Malik bin Anas Al-Ashbahani rahimahullah (wafat tahun 179 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H)
* Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani rahimahullah (wafat tahun 241 H)

7. Kecintaan terhadap Ulama ahlul hadits sebagai Tolok Ukur seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni-Atsari)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah berkata: “Apabila kamu menjumpai seseorang yang mencintai ahul hadits, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada diatas sunnah. Dan barangsiapa menyelisihi hal ini, ketahuilah bahwa ia adalah seorang ahli bid’ah.” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 1/67)

Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah (wafat 277 H) berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah ialah membenci ahlul atsar (ulama ahlul hadits -pen).” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 2/179)

Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah (wafat 256 H) berkata: “Tidak ada di dunia seorang ahlul bid’ah pun kecuali ia membenci ulama ahlul hadits, maka apabila seseorang telah terjerumus kedalam perbuatan bid’ah, maka dicabutlah manisnya hadits dari hatinya.” (Atsar Shahih, Al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulumul Hadits, hal. 5)

Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah sangatlah nyata, dan yang paling nampak ialah kebencian dan permusuhan mereka terhadap ulama ahlul hadits, serta pelecehan mereka terhadap ulama ahlul hadits.” (Al-I’tiqad, hal. 116)

Penutup

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa merahmati para ulama ahlul hadits dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan yang setelah mereka hingga yang ada pada masa kini; mengampuni kekurangan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga-Nya. Amïn…

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.

SUMBER: http://www.assalafy.org/mahad/?p=434#more-434