Sifat-sifat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

on Selasa, 03 November 2009

Oleh: Abdul Malik bin Muhammad bin Abdur Rahman Al-Qasim


Tibalah kita di depan rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kita ketuk pintu beliau untuk meminta izin. Marilah kita layangkan perhatian kepada sahabat yang melihat langsung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia akan menceritakannya kepada kita seolah-olah kita melihat beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Agar kita dapat mengenal ciri fisik beliau yang mulia serta wajah beliau yang penuh senyum.
Al-Bara' bin 'Azib radhiyallah 'anhu menuturkan:

"Rasulullah adalah seorang yang sangat tampan wajahnya, sangat luhur budi pekertinya, beliau tidak terlalu jangkung dan tidak pula terlalu pendek." (HR. Al-Bukhari)
Masih dari Al Bara' radhiyallah 'anhu ia berkata:

"Rasulullah memiliki dada yang bidang dan lebar, beliau memiliki rambut yang terurai sam-pai ke cuping telinga (bagian bawah telinga), saya pernah menyaksikan beliau mengenakan pakaian berwarna merah, belum pernah saya melihat sesuatu yang lebih indah daripada itu." (HR. Al-Bukhari)
Abu Ishaq As-Sabi'i berkata: "Seseorang pernah bertanya kepada Al-Bara' bin 'Azib radhiyallah 'anhu: "Apakah wajah Rasulullah lancip seperti sebilah pedang?" ia menjawab: "Tidak, bahkan bulat bagaikan rembulan!" (HR. Al-Bukhari)
Anas bin Malik radhiyallah 'anhu mengungkapkan:

"Belum pernah tanganku menyentuh kain sutra yang lebih lembut daripada telapak tangan Rasulullah . Dan belum pernah aku mencium wewa-ngian yang lebih harum daripada aroma Rasulullah " (Muttafaq 'alaih)
Di antara sifat beliau adalah "pemalu", sampai-sampai Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallah 'anhu mengatakan:

"Rasulullah itu lebih pemalu daripada gadis dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai sesuatu, niscaya kami dapat mengetahui ketidak sukaan beliau itu dari wajahnya." (HR. Al-Bukhari)
Demikianlah beberapa sifat dan budi pekerti Rasulullah . Sungguh, ayah dan ibuku sebagai tebusannya! Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan jasmani dan budi pekerti beliau.

Sumber: Buku " Sehari di Kediaman Rasulullah " karya Abdul Malik bin Muhammad bin Abdur Rahman Al-Qasim.

ADAB BERMASYARAKAT

Oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc


Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.

Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini hendaknya dia bersabar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita gembira kepada orang yang bersabar terhadap gangguan manusia dengan sabdanya (yang artinya): “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Shahih Al-Adabul Al-Mufrad no. 300)

Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan
Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya. Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. Dahulu orang Arab mengatakan bahwa “Setiap bejana bila dituangkan akan mengeluarkan isinya masing-masing.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur`an telah memerintahkan para hamba-Nya agar menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia serta memberi berita gembira dengan surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali 'Imran: 133-134)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Sampai-sampai ketika beliau ditanya tentang sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, beliau menjawab: “Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2789)
Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1932)
Berbicara tentang akhlak yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat. Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka tenang dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa aman pada harta dan kehormatan mereka. Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal seperti kalau ia tersenyum kepada rekan sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya terhadap saudaranya baik serta persaudaraannya tulus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)
Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullahu yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2005)
Berikut ini penjelasannya:
- Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782).
Coba kita berangkat dari sesuatu yang mudah dan tidak membutuhkan modal yaitu tersenyum. Niscaya kita akan sampai kepada sesuatu yang tinggi. Tetapi jika yang seperti ini saja diremehkan, mana mungkin bisa melakukan yang lebih besar? Kita justru menyaksikan pemandangan yang sebaliknya. Banyak manusia bila berpapasan dengan orang bukannya menebar salam dan senyuman, bahkan menampilkan wajah cemberut dan muka yang berpaling. Bila kaum muslimin bakhil dengan adab yang seperti ini, adab mana lagi yang akan dijalankan?! Maka, orang yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih semestinya tahu bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk diterimanya dakwah al-haq. Jadikanlah orang tertarik dan cinta dengan dakwah ini dan jangan membuat mereka lari. Sapalah orang yang berjumpa denganmu dan yang duduk semajelis denganmu, terutama mereka yang baru mengenal dakwah dan mulai tertarik dengan dakwah al-haq. Jangan bermuka sangar dan seram, karena hal itu akan memudaratkanmu dan kebenaran yang ada pada dirimu.
- Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat bersama.
Memang manusia pada umumnya memiliki sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Namun watak yang tercela ini bukan berarti tidak bisa diobati. Sesungguhnya membaca kisah-kisah keteladanan yang ada dalam Al-Qur`an, hadits, dan kitab-kitab sejarah para ulama Islam adalah salah satu jalan untuk seorang bisa meninggalkan sifat egois. Misalnya kisah Nabi Musa q ketika beliau lari dari Mesir, saat Fir’aun dan pasukannya hendak membunuhnya. Beliau berjalan kaki berhari-hari dengan rasa lapar yang luar biasa dan keletihan yang tiada tara. Sesampainya di Madyan, beliau melihat sekelompok manusia tengah memberi minum ternaknya. Di sana ada pula dua wanita penggembala yang tidak ikut berdesakan memberi minum ternaknya. Watak baik Nabi Musa q mendorongnya untuk membantu dua wanita yang lemah tadi untuk memberi minum ternak mereka, meski tubuhnya letih, pikirannya capek, dan perutnya kosong. Dibantunya dua wanita tadi tanpa meminta upah sedikitpun, padahal kondisinya sangat membutuhkan.
Demikian pula di masa khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Manusia ditimpa kekeringan dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak menurunkan hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?”
Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya. Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu berhenti di depan rumah ‘Utsman.
Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!”
‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau memberi untung barang daganganku?”
Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu dua dirham.”
‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari ini?”
Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Lima dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Wahai Abu 'Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga ini?”
‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka mengatakan: “Tidak.”
‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”
Ya, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menjualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76).
Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban, tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari nafsu serakah. Apakah kiranya para saudagar kaya bisa mengambil pelajaran dari ini?! Atau bahkan mereka akan tetap larut di atas kerakusan mereka serta menari-nari di atas penderitaan umat? Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita adukan nasib kita.
- Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.
Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa, harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji perpisahan).
Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya, menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya. Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada selain tetangga.
Oleh karena itu Islam telah menentukan adanya hukum had seperti qishash bagi yang membunuh dengan sengaja, potong tangan bagi yang mencuri, hukuman dera bagi yang meminum khamr, dan lainnya. Ini semua dalam rangka menjaga kehormatan manusia agar tidak diganggu tanpa hak.
Bahkan orang-orang yang rentan untuk dizalimi seperti para budak, istri, anak-anak, orang fakir dan semisalnya, hak mereka telah dilindungi oleh syariat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika suatu hari budaknya lengah di saat menggembalakan kambingnya sehingga ada yang dimakan serigala. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu marah dan mencambuknya. Lalu dari belakang terdengar suara: “Wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih mampu untuk menghukum kamu daripada kamu menghukum budakmu!” Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Wahai Rasulullah, budak itu saya merdekakan ikhlas karena Allah!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Ketahuilah, jika kamu tidak melakukan demikian niscaya kamu disentuh oleh api neraka.” (lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 127)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَاءِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Wallahu a’lam bish-shawab.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=720

TAHLILAN DALAM KACA MATA ISLAM

Disusun oleh Redaksi Ahlussunnahmelayu.blogspot.com


Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur'an dan mengutus Nabi Muhammad ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur'an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah ﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﻦﺎﺤﺒﺴ mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan disertai do'a-do'a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah "Tahlilan".
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih dari sekedarnya" cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: "wajib") untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid'ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allahﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﺎﺤﺒﺴ dan Rasul-Nya. Bukankah Allahﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﻦﺎﺤﺒﺴ telah berfirman: "Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa': 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ , di masa para sahabatnya dan para Tabi'in maupun Tabi'ut tabi'in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi'i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo'akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do'a-do'a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur'an, maupun dzikir-dzikir dan do'a-do'a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan -paling tidak- terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur'an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do'a-do'a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur'an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan do'a-do'a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allahﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﻦﺎﺤﺒﺴdan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur'an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan do'a-do'a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allahﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﺎﺤﺒﺴ berfirman: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

"Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya." (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ.
Suatu ketika Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan: "Saya tidak akan menikah", maka Rasulullah menegur mereka, seraya berkata: "Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku." (HR. Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allahﻰﻠﻌﺘﻭﷲﺍﻦﺎﺤﺒﺴ dan mengikuti petunjuk Rasulullah . Allah menyatakan dalam Al Qur'an (artinya): "Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya." (QS.Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ .
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ , maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah (artinya): "Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits 'Aisyah Radliallahu ‘anha., Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
"Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya."
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukil lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi'I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah -pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara' (syari'at) sendiri".
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi'i tentang hukum bacaan Al Qur'an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur'an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah (artinya): "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullahﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya Radliallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah Radliallahu ‘anhu-salah seorang sahabat Rasulullah - berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat ( dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim, bahkan telah di shahihkan oleh jama'ah para ulama' Mari kita perhatikan ijma'/kesepakatan tentang hadits tersebut diatas sebagai berikut:
- Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun ulama' ( sepanjang yang diketahui penulis- Wallahua'lam ) yang mendhaifkan hadits tersebut.
- Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorang pun ulama' yang menolak atsar ini.
- Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama " Tahlillan atau Selamatan Kematian
Perlu diketahui bahwa acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi'i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi'i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi'iyyah. Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu 'Al Um' (1/248): "Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit -pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi'i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi'i diatas didalam kitabnya Majmu' Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: "Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid'ah -pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi'i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
"Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja'far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka." {Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'I ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)}

Hukum Mengadakan Tahlilan (Selamatan Kematian)
Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama' ahlul Ilmi mengenai masalah ini:
- Perkataan Al Imam Asy Syafi'I, yakni seorang imamnya para ulama', mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Umm (I/318) : " Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan ." Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi'I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : " beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"

- Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : " Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah ( kesusahan ) diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, " Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"

- Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : " Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi'I dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah.
Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya ( yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit ) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, 'Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya ( perbuatan tersebut ).' Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."

- Perkataan Al Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih.

- Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : " Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".

- Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi (dan para ulama’ dari mahdzab hanafiyyah-pen.), dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah yang jelek ". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakana shahih.

- Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shollallahu’alaihi wasallam.

- Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah. - Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab: " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139)

- Perkataan Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah al-Hambali, " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hambal dan lain-lain." (Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93 ).

- Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'I ( I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit."

Koreksi Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin
Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin. Sebagaimana surat-surat Al-Qur'an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ.
Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ membaca surat Yasin setiap malam Jum'at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah dilakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad ﻢﻠﺴﻮﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺼ sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha'if (lemah) dan atau maudhu' (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :
1. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum'at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya" (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu'at, 1/247).
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata : Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa : Al-Maudhu'at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I'tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua'ah hal. 268 No. 944).
2. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu'jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma'in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa : Mizanul I'tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
3. "Artinya : Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa'id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa : Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I'tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).
4. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja'. Atha' bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H. (Periksa : Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I'tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
5. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an dua kali". (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
Keterangan : Hadits ini Palsu. (Lihat Dha'if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Imam Al-Albani).
6. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an sepuluh kali". (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
Keterangan : Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha'if Jami'ush Shagir, No. 5798 oleh Imam Al-Albani).
7. "Artinya : Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur'an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur'an sepuluh kali".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 3048) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata : Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa : Silsilah Hadits Dha'if No. 169, hal. 202-203) Imam Waqi' berkata : Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa'i : Muqatil bin Sulaiman sering dusta.
(Periksa : Mizanul I'tidal IV:173).
8. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar : Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa : Taqrib I:355, Mizanul I'tidal II:283).
9. "Artinya : Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
10. "Artinya : Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza') melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa'i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu 'Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa : Mizanul I'tidal IV : 90-91).
11. “Artinya: Ada 2 laki-laki beriman dan munafik sama-sama difitnah (dalam kubur). Adapun yang mukmin difitnah sampai 7 hari dan yang munafik difitnah sampai 40 hari. (Dari Ubaid bin Amir / Al-Hawi Lil fatawaa/Imam Suyuthi Juz.II hal 178)
Keterangan: Hadits ini Sangat Lemah (Dhoifun Jiddan)
Imam Syafi’I menolak keras hadits ini sebagai hujjah/dalil, dengan alasan sanad hadits hanya shahih sampai peringkat tabi’in yaitu Ubaid bin Amir bukan shahabat tapi Tabi’in, demikian penilitian Imam Syafi’I rahimahullah (Al Hawii Lil Faatawaa, Juz II hal 183)

12. “ Artinya: Bacalah untuk para mayitmu surat Yasin”
Keterangan: Hadits ini Dhaif (Lemah)
Ibnu Qaththan, setelah melalui penelitian dengan cermat, hadits itu mudhtharib (kacau), mauquf (tidak sampai isnahnya kepada Nabi), majhul (tidak diketahui). Imam ad-Daruqutni mengatakan, hadits itu mudhtharib isnadnya (para perawinya kacau, tidak jelas), majhul matannya (kandungan maknanya tidak diketahui) dan tidak shahih(hadits lemah/dhaif) (Minhaj al-firqah an-najiyah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
13. “Artinya: Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin. Niscaya Alloh akan meringankan adzab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan.”
Keterangan: Hadits ini Palsu (Maudhu’) lihat as Silsilah adh-Dho’ifah: 3/397 (1246)

14. “Artinya: “Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat al-Ikhlas sebelas kali…”
Keterangan: Hadits ini Palsu (Maudhu’) lihat as Silsilah adh-Dho’ifah: 3/452 (1290)


Penjelasan:
Abdullah bin Mubarak berkata : Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata : Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur'an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur'an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur'an. (Periksa : Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha'if, hal. 113-115).

Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur'an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu a’lam
Setelah kita mengetahui permasalahannya dengan jelas wajib bagi seorang mukmin yang taat untuk rujuk (kembali) kepada Al-Haq (Kitabullah dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafussholih). Seperti kita lihat bahwa amalan tahlilan yang sering dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin tidak ada contohnya dari Nabi Shallahu ‘Alahi Wasallam, para shahabat, tabi’in , athbaut tabi’in dan para imam-imam yang mengikuti jejak mereka. Suatu kejelekan bagi suatu umat yang mengadakan suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh para pendahulunya (salafussholih) dengan bangga melakukan amalan yang mengerah kepada suatu kebid’ahan.
Imam Asy Syatibi dalam berkata: “Suatu nash yang tidak dijadikan oleh para salafussholeh untuk menetapkan suatu amal, lalu datang generasi berikutnya menjadikannya sebagai dalil atas suatu amal maka amalnya tak diterima”.( Kitab Al-Adillah Asy Syar’iyyah min Al Muwaffaqaat)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: "Tidak ada keberuntungan kecuali sampai engkau mengikuti Al-Kitab (Al-Qur'an) dan As-Sunnah" (Fathur-Rabbani, hal.128)
Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya Ahlus Sunnah Wal jamaah sejak dahulu adalah kelompok minoritas diantara manusia, demikian pula sampai saat ini mereka adalah minoritas. Mereka tidak mengikuti para tukang maksiat dalam kemaksiatan. Mereka tidak pula mengikuti para ahli bid’ah (pelaku bid’ah) dalam perbuatan bid’ah mereka. Mereka bersabar atas sunnah-sunnah mereka sampai mereka menghadap Rabb mereka. Demikianlah karena itu jadilah ahlus sunnah.”

Wahai Saudaraku, Apakah perkataan orang-orang yang ahli dalam ilmu agama tersebut masih belum meyakinkan?
Marilah kita mencoba merenungi dengan hati yang jernih, janganlah kita kedepankan hawa nafsu kita. Tentu dalam hati kita senantiasa banyak pertanyaan yang mengganjal diantaranya:
- Kenapa sejak dahulu, kakek kita, bapak kita, ustadz kita bahkan kyiai kita mengajarkannya dan bahkan sudah lumrah dimasyarakat ?
- Darimana mereka ( ustadz/kyiai kita ) mengambil dalilnya apa hanya budaya ?

AL-QUR’AN UNTUK ORANG HIDUP BUKAN UNTUK ORANG MATI

Allah Ta’ala berfirman:
         
”Inilah adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (QS.Shaad: 29)
Pada saat sekarang banyak kaum muslimin meninggalkan ajaran-ajaran Al-Qur’an, dan hanya dijadikan bacaan untuk orang-orang mati, dimana mereka membacakannya di kuburan dan ketika ta’ziyah, mereka ditimpa kehinaan dan perpecahan. Hal ini berbeda dengan para sahabat nabi dan orang-orang beriman yang mana mereka berlomba-lomba untuk mengamalkan perintah-perintah al-Quran dan meninggalkan larangan-larangannya. Apa yang diperhatinkan Rasulullah terdahulu, kembali menjadi kenyataan, sebagaimana dikisahkan al-Qur’an:
   •      
”Berkatalah Rasul, ”Ya Rabb, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diperdulikan.” (QS. Al-Furqon: 30)
Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an untuk orang-orang yang hidup agar mereka mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, al-Qur’an itu bukan untuk orang-orang mati. Mereka telah putus segala amalnya. Karena itu, pahala bacaan al-Qur’an yang disampaikan (dihadiahkan) kepada mereka-berdasarkan dalil dari al-qur’an dan hadits shahih-tidaklah sampai kepada mereka, kecuali dari anaknya sendiri. Sebab anak adalah bagian dari usaha ayahnya. Rasulullah bersabda: ” Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: Shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kepadanya.” (HR. Muslim)
Allah Ta’ala berfirman:
      
”Dan bahwasanya seseorang tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam menyebutkan tafsir ayat diatas mengatakan, ”Sebagaimana dosa orang lain tidak dipikul atasnya, demikian pula dia tidak mendapatkan pahala kecuali dari usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i kemudian mengambil kesimpulan bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai pahalanya, jika dihadiahkan kepada orang mati. Sebab pahala itu tidak dari amal atau usaha mereka sendiri. Karena itulah Rasulullah tidak mengajarkan hal itu (menghadiahkan bacaan qur’an pada mayit) kepada umatnya, juga tidak menganjurkannya,dan tidak pula mengisyaratkan kepadanya, baik dengan dalil nash (al-Qur’an dan hadits shohih) atau sekedar isyarat. Yang demikian itu-menurut riwayat-juga tidak pernah dilakukan para sahabat. Seandainya hal itu merupakan suatu kebaikan, tentu mereka akan lebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Perkara mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) itu terbatas pada petunjuk dalil-dalil nash, dan tidak berdasarkan berbagai macam kias dan pendapat. Adapun do’a dan shodaqah, maka para ulama sepakat bahwa keduanya bisa sampai kepada orang-orang mati, disamping karena memang ada dalil yang membenarkannya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Wahai saudaraku, Dalam menilai sebuah kebenaran bukanlah disandarkan oleh banyak atau sedikitnya orang yang mengikuti, karena hal ini telah disindir oleh Alloh Ta’ala dalam QS. Al An'aam 116 : "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk."
Marilah kita dalam beragama bersandarkan kepada dalil-dalil yang shahih karena dengan berdasar hujjah ( dalil ) yang kuat maka kita akan selamat. Kita tidak boleh beragama hanya mengikuti orang lain yang tidak mengetahui tentangnya karena di akhirat kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang telah kita lakukan di dunia, perhatikan peringatan Alloh dalam QS. Al Israa' 36; "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya."
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik serta hidayah kepada kita sehingga mendapat ridho dari Allah Ta’ala atas amal-amal yang kita lakukan dan bukan sebaliknya, Amiin
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu 'a'lam.


(Maraji’: Al Qur’an dan terjemahan; Ringkasan dari Bulletin Al Ilmu Ma’had Salafy Jember; buku Al-Masa’il; serta dinukil dari sumber lain yang terpercaya lagi shahih)

NGALAP BERKAH (TABARRUK) MENURUT SYAR’I DAN SYIRIK

Penulis: Abu Hasan R. Saputra (Alumni Ma’had ilmi)

Ngalap berkah atau tabarruk adalah kata yang tidak asing lagi di telinga orang Jawa khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Sebab ditilik dari segi sejarah, kerangka budaya suku-suku di Indonesia memang dilatarbelakangi prinsip animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke nusantara tradisi ini makin marak, karena memang dalam Islam terdapat syariat tabarruk (mencari berkah).
Tetapi masalahnya banyak kaum muslimin yang tidak memahami manakah tabarruk yang sesuai syariat dan manakah tabarruk yang tidak sesuai dengan syariat. Akibatnya banyak kaum muslimin yang berbondong-bondong ke tempat keramat atau orang yang disangka punya berkah seperti kuburan wali, gua, pemandian, pohon, sendang (telaga) dan sebagainya. Kenyataan ini diperburuk dengan ada orang yang dipandang oleh masyarakat sebagai kiai atau ulama kemudian malah menganjurkan. Padahal kalau dilihat seringkali amalan-amalan di tempat tersebut merupakan wajah lain kesyirikan.
Makna Tabarruk
Tabarruk adalah mencari berkah berupa tambahan kebaikan dan pahala dan setiap yang dibutuhkan hamba dalam dunia dan agamanya, dengan benda atau wahyu yang barokah. Tabarruk ini terbagi menjadi dua macam yaitu tabarruk yang syar’i dan yang tidak syar’i.
Tabarruk yang Syar’i dan yang Tidak Syar’i
Tabbaruk dengan sesuatu yang syar’i dan diketahui secara pasti atau ada dalilnya bahwa sesuatu tersebut mendatangkan barokah.
1. Tabarruk dengan perkataan dan perbuatan: membaca Al Quran, berzikir, belajar ilmu agama dan mengajarkannya, makan dengan berjamaah dan menjilati jari sesudah makan.
2. Tabarruk dengan tempat: I’tikaf di masjid, tinggal di Mekkah, Madinah atau Syam.
3. Tabarruk dengan waktu: semangat beribadah di malam Lailatul Qodar, banyak berdoa di waktu sahur.
4. Tabarruk dengan makanan dan minuman: Meminum madu dan air zam-zam, memakai minyak zaitun, mengonsumsi habatussauda’ (jintan hitam).
5. Tabarruk dengan zat Nabi shollalohu ‘alaihi wa sallam: berebut ludahnya, mengambil keringatnya, mengumpulkan rontokan rambutnya ketika beliau masih hidup.
Tabarruk yang tidak syar’i atau terlarang yaitu tabarruk yang tidak ada dalil syar’inya atau tidak mengikuti tuntunan syariat.
1. Tabarruk dengan perkataan dan perbuatan: Sholawat atau zikir yang bid’ah.
2. Tabbaruk dengan tempat: Ziarah religius ke kubur para wali.
3. Tabarruk dengan waktu: menghidupkan malam nisfu sya’ban, mengadakan perayaan maulid nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Quran dan sebangsanya.
4. Tabarruk dengan makanan dan minuman: minum sisa kiai, berebut tumpeng sekaten.
5. Tabarruk dengan benda-benda: mengambil tanah karbala, berebut kotoran “Kyai Slamet”, sabuk supranatural.
6. Tabarruk dengan zat orang sholih atau peninggalannya: meminum ludahnya atau keringatnya, berebut bekas peci atau bajunya, memilih sholat di tempat orang sholih itu sholat, meminum atau menyimpan sisa air wudhu’ orang sholih, atau dengan menciumi lututnya.
Mengharap Berkah Kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya Adalah Kesyirikan
Abu Waqid Al-Laitsi menuturkan, Suatu saat kami pergi keluar bersama Rosululloh sholallahu alaihi wa sallam ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja masuk Islam. Kemudian kami melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang dinamakan Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu untuk mencari berkah. Kami pun berkata: “Ya Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana Dzatu Anwath mereka.” Maka Rosululloh bersabda: “Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Alloh yang diriku hanya berada di Tangan-Nya, ucapan kalian seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana tuhan orang-orang itu.’ Musa menjawab, ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti.’” Beliau bersabda lagi, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu (Yahudi dan Nasrani).” (Hadits shohih, riwayat At-Tirmidzi)
Mereka para sahabat meminta kepada Rosululloh untuk bertabarruk dengan pohon tersebut sebagaimana orang musyrik. Namun jawaban beliau amat keras, beliau malah menyamakan permintaan itu dengan meminta sesembahan selain Alloh, dan ini adalah syirik besar. Namun mereka melakukan itu karena baru saja lepas dari kekufuran dan belum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang. Dan mereka belum melaksanakan permintaan tersebut. Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal-hal yang diperbuat oleh orang-orang yang meyakini bahwa boleh ngalap berkah dari pohon dan bebatuan, wukuf dan menyembelih hewan di tempat tersebut merupakan kesyirikan.
Tidakkah kita lihat bagaimana Umar bin Khottob ketika beliau mencium Hajar Aswad beliau mengatakan, “Sungguh aku tahu bahwa kamu hanyalah sebuah batu, tidak mendatangkan manfaat juga tidak mendatangkan mudhorot. Seandainya aku tidak melihat Rosululloh menciummu maka aku pun tidak akan menciummu.” (Bukhori). Lihatlah kepasrahan Umar terhadap syariat yang ditetapkan ketika beliau mencium Hajar Aswad. Beliau mencium Hajar Aswad karena mencontoh Rosululloh, dan dengan mencontoh Rosululloh inilah didapatkan barokah. Lain halnya dengan beberapa kaum muslimin yang justru malah mengusap baju-baju mereka di Hajar Aswad untuk mencari berkah! Masya Alloh!
Demikianlah, pada prinsipnya, berkah itu hanya kepunyaan Alloh. Dialah yang memberikannya. Sedangkan pribadi-pribadi, benda-benda, tempat-tempat serta waktu-waktu yang dinyatakan banyak mengandung berkah oleh syariat, tidak lain hanyalah sebab semata bagi diperolehnya berkah. Bukan pemilik dan pemberi berkah. Cara mencari berkah melalui hal-hal yang diakui menurut syariat, juga harus mengikuti petunjuk syariat, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah atau syirik. Siapa yang mencari berkah kepada selain Alloh, ia terjerumus ke dalam syirik akbar. Dan siapa yang mencari berkah melalui hal-hal yang dibenarkan menurut syariat, tetapi dengan cara yang berlawanan dengan syariat, ia terjerumus dalam bid’ah. Na’udzu billah min Dzalik. Wa Nas’alullah Al ‘afiyah.


Sumber: Artikel www.muslim.or.id

JERITAN PEMUDA-PEMUDI ZAMAN SEKARANG

Oleh: Abu Umair
Siang dan malam datang silih berganti. Hari-hari berlalu tanpa pernah kembali lagi. Lebih-lebih hari berlalu dengan suatu penantian. Menanti adalah hal yang paling membosankan, apalagi jika menanti sesuatu yang tidak pasti. Sementara waktu berjalan terus dan usia semakin bertambah, namun satu pertanyaan yang selalu mengganggu di hati anak-anak muda sekarang adalah :"Kapan aku menikah??".
Resah dan gelisah kian menghantui hari-harinya. Manakala usia telah melewati kepala tiga, sementara jodoh tak kunjung datang. Apalagi jika melihat disekitarnya, semua teman-teman seusianya, bahkan yang lebih mudah darinya telah naik ke pelaminan atau sudah memiliki keturunan. Baginya, ini suatu kenyataan yang menyakitkan sekaligus membingungkan. Menyakitkan tatkala masyarakat memberinya gelar sebagai "bujang lapuk" atau"perawan tua" , "tidak laku".Membingungkan tatkala tidak ada yang mau peduli dan ambil pusing dengan masalah yang tengah dihadapinya.
Apalagi anggapan yang berkembang di kalangan wanita, bahwa semakin tua usia akan semakin sulit mendapatkan jodoh. Sehingga menambah keresahan dan mengikis rasa percaya diri. Sebagian wanita yang masih sendiri terkadang memilih mengurung diri dan hari-harinya dihabiskan dengan berandai-andai.
Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri sebab hal ini bisa saja terjadi pada saudari kita, keponakan, sepupu atau keluarga kita. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini, tingginya batas mahar dan uang nikah (hantaran-pen) yang ditetapkan. Hal ini banyak terjadi dinegeri kita -misalnya di daerah sulawesi, riau, dll-. Telah banyak kisah para pemuda yang sudah ingin sekali menikah, mundur dari lamarannya hanya karena tidak mampu menghadapi mahar yang ditetapkan. Setan pun mendapatkan celah untuk menggelincirkan anak-anak Adam sehingga melakukan perkara-perkara terlarang mulai dari kawin lari sampai pada perbuatan-perbuatan yang hina (zina) seperti pacaran, onani/ masturbasi, pergi ketempat pelacuran, bahkan sampai menghamili (Hamil luar nikah) sebagai solusi dari semua ini. Padahal agama yang mulia ini telah menjelaskan bahwa jangankan zina, mendekati saja diharamkan,
Allah Ta’ala Berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.". (QS. Al-Israa’:32 )
Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, "Di dalam larangan dari mendekati zina dengan cara melakukan pengantar-pengantarnya terdapat larangan dari zina –secara utama-, karena sarana menuju sesuatu, jika ia haram, maka tujuan tentunya haram menurut konteks hadits".[Lihat Fathul Qodir (3/319)]
Pembaca yang budiman, sesungguhnya islam adalah agama yang mudah; Allah Ta’ala telah anugerahkan kepada manusia sebagai rahmat bagi mereka. Hal ini nampak jelas dari syari’at-syari’at dan aturan yang ada di dalamnya, dipenuhi dengan rahmat, kemurahan dan kemudahan. Allah Ta’ala telah menegaskan di dalam kitab-Nya yang mulia,: "Allah tidak menghendaki menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur."(QS. : Al-Maidah: 6)
Namun sangat disayangkan kalau kemudahan ini, justru ditinggalkan. Malah mencari-cari sesuatu yang sukar dan susah sehingga memberikan dampak negatif dalam menghalangi kebanyakan orang untuk menikah, baik dari kalangan lelaki, maupun para wanita, dengan meninggikan harga uang pernikahan dan maharnya yang tak mampu dijangkau oleh orang yang datang melamar. Akhirnya seorang pria membujang selama bertahun-tahun lamanya, sebelum ia mendapatkan mahar yang dibebankan. Sehingga banyak menimbulkan berbagai macam kerusakan dan kejelekan, seperti menempuh jalan berpacaran. Padahal pacaran itu haram, karena ia adalah sarana menuju zina. Bahkan ada yang menempuh jalan yang lebih berbahaya, yaitu jalan zina !!
Di sisi yang lain, hal tersebut akan menjadikan pihak keluarga wanita menjadi kelompok materialistis dengan melihat sedikit banyaknya mahar atau uang nikah yang diberikan. Apabila maharnya melimpah ruah, maka merekapun menikahkannya dan mereka tidak melihat kepada akibatnya; orangnya jelek atau tidak yang penting mahar banyak!! Jika maharnya sedikit, merekapun menolak pernikahan, walaupun yang datang adalah seorang pria yang diridhoi agamanya dan akhlaknya serta memiliki kemampuan menghidupi istri dan anak-anaknya kelak. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam - telah mamperingatkan,

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِيْنَهُ فَزَوِّجُوْهُ . إِلَّا تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِيْ الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
"Jika datang seorang lelaki yang melamar anak gadismu, yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah (musibah) dan kerusakan yang merata dimuka bumi "[HR.At-Tirmidziy,dan Ibnu Majah. Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1022)]
Jadi, yang terpenting dalam agama kita adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan sekedar kekayaan dan kemewahan. Sebuah rumah yang berhiaskan ketaqwaan dan kesholehan dari sepasang suami istri adalah modal surgawi, yang akan melahirkan kebahagian, kedamaian, kemuliaan, dan ketentraman. Namun sangat disayangkan sekali, realita yang terjadi di masyarakat kita, jauh dari apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hanya karena perasaan "malu" dan "gengsi" hingga rela mengorbankan ketaatan kepada Allah; tidak merasa cukup dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan dalam syari’at-Nya. Mereka melonjakkan biaya nikah, dan mahar yang tidak dianjurkan di dalam agama yang mudah ini. Akhirnya pernikahan seakan menjadi komoditi yang mahal, sehingga menjadi penghalang bagi para pemuda untuk menyambut seruan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah mampu, maka menikahlah, karena demikian (nikah) itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa akan menjadi perisai baginya". [HR. Al-Bukhoriy, dan Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’iy]
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah menganjurkan umatnya untuk mempermudah dan jangan mempersulit dalam menerima lamaran dengan sabdanya,

مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَسْهِيْلُ أَمْرِهَا وَقِلَّةُ صَدَاقِهَا
"Diantara berkahnya seorang wanita, memudahkan urusan (nikah)nya, dan sedikit maharnya". [HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqiy, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thobroniy. Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (2231)]
Perkara meninggikan mahar, dan mempersulit pemuda yang mau menikah, ini telah diingkari oleh Umar -radhiyallahu ‘anhu-. Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,: "Ingatlah, jangan kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita karena sesungguhnya jika hal itu adalah suatu kemuliaan di dunia dan ketaqwaan di akhirat, maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang palimg berhak dari kalian." [HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad. Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3204)]
Pembaca yang budiman, pernikahan memang memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganyanya kelak. Sebab pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari perilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegakkan tauhid di atas muka bumi ini.
Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- perkah bersabda,

ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُ الْغَازِيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ التَّعَفُّفَ
"Ada tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolongnya: Orang yang berperang di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang menikah yang ingin menjaga kesucian diri". [HR. At-Tirmidziy, An-Nasa’iy, Ibnu Majah. Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3089)]
Orang tua yang bijaksana tidak akan tentram hatinya sebelum ia menikahkan anaknya yang telah cukup usia. Karena itu adalah tanggung-jawab orang tua demi menyelamatkan masa depan anaknya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran orang tua semua untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Ingatlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Agama adalah mudah dan tidak seorangpun yang mempersulit dalam agama ini, kecuali ia akan terkalahkan". [HR. Al-Bukhary, dan An-Nasa’iy]
Pernikahan (Walimahan Urys) hendaklah dilakukan sesuai syariat (tuntunan Sunnah Nabi) walaupun sederhana tetapi khitmat dan mengandung keberkahan dan keridhoan dari Allah Ta’ala. Hendaknya proses walimahan jauh dari segala bentuk perlombaan pamer keluarga dalam “gengsi” sehingga akan memunculkan kecemburuan sosial. Walimahan yang berkah dan sesuai dengan syariat yaitu walimahan yang terhindari segala bentuk foya-foya (mubazir), kepercayaan (tradisi) yang akan menjerumuskan mereka dalam kebid’ahan dan kesyirikan dan jauh dari segala bentuk maksiat (seperti hiburan musik dan lagu yang diharamkan, biduanita, minuman keras, tabaruj/berhias ala jahiliyah, terjadi ikhtilath/campur baur laki-laki dan wanita, dll).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan umatnya untuk menerapkan prinsip islam yang mulia ini dalam kehidupan mereka sebagaimana dalam sabda Beliau,

يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
"permudahlah dan jangan kalian mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari". [HR.Al-Bukhary, dan Muslim]
Al-‘Allamah Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, "Kalau sekiranya manusia mencukupkan dengan mahar yang kecil, mereka saling tolong menolong dalam hal mahar (yakni tidak mempersulit) dan masing-masing orang melaksanakan masalah ini, niscaya masyarakat akan mendapatkan kebaikan yang banyak, kemudahan yang lapang, serta penjagaan yang besar, baik kaum lelaki maupun wanitanya".[Lihat Az-Zawaaj]
Wahai kaum muslimin -barokallahufikum- sudah sepantasnya bagi kita yang mengakui sebagai orang-orang yang beriman hendaknya mencontoh tuntunan syariat dalam proses pernikahan dan jangan karena gengsi, kita rela meremehkan hukum allah (syariat) di atas hukum kebiasaan (adat) sehingga tanpa kita sadari kita bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bishshowab.

BEBERAPA KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK

Oleh: Abu Umair
Setiap manusia (orang tua-pen) pastilah mengharapkan untuk memiliki anak. Yang perlu diketahui yaitu Anak merupakan amanah yang berharga bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua haruslah bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar dan termasuk menghianati amanah Allah Ta’ala.
Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.

BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK
Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 •       
“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]

           

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Sabda Nabi: “Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga baginya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK
Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.
Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai frustasi atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.
Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.
Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.
Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.

[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.

[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.

[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.

[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.

[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.

[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran
Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya: dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik

[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.
Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.

[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.

[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya
Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.
Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Dan jadilah orang tua yang bisa mendidik anak dengan baik dan mencintai Islam. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia. Wallahu a’lam bishshawab.


Maraji’:
Diringkas dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M yang disadur dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad, Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.

Kajian Islam Rutin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Bagansiapiapi



Kajian Islam Ilmiah rutin Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Bagansiapiapi dan sekitarnya
Penulis: Redaksi Ahlussunahmelayu.blogspot.com

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Berikut jadwal kajian terakhir yang diadakan oleh Majelis Ta'lim Nurussalaf Kota Bagansiapiapi dan sekitarnya sebagai berikut :

1. Aqidah
Waktu : Sabtu, Ba'da Ashar (Jam 16.20) – selesai (Pekan 1 dan 2)
Materi : Kitab Aqidah At-Tauhid (Karya: Syaikh DR. Sholih bin Fauzan Al-Fauzan)
Lokasi : Mubarok Ponsel, Jl.Pelabuhan Hulu/Samping Yayasan Hj. Ujang Kholijah Bagansiapiapi-Kab.Rokan Hilir
Pengajar: Al Ustadz Mas’ud (Pengajar Ma’had Imam Syafi’i - Bagan Batu, Kab. Rokan Hilir, Riau)
Peserta : Umum (Ikhwan/laki-laki & Akhwat/perempuan)

2. Aqidah, Fiqh, Akhlak dan Mu’amalah
Waktu : Sabtu, Ba'da Ashar (Jam 16.20) – selesai (Pekan 3 dan 4)
Materi : Kitab Al-Mar’ah al-Muslimah (Karya: Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi)
Lokasi : Mubarok Ponsel, Jl.Pelabuhan Hulu/Samping Yayasan Hj. Ujang Kholijah Bagansiapiapi-Kab.Rokan Hilir
Pengajar: Al Ustadz Mas’ud
Peserta : Umum (Ikhwan/laki-laki & Akhwat/perempuan)

3. Hadits
Waktu : Sabtu, Ba'da Ashar (Jam 16.20) – selesai (Pekan 1 dan 3)
Materi : Kitab Syarah Hadits Arbain An Nawawi (Karya: Imam Nawawi Asy-Syafi’i)
Lokasi : Mubarok Ponsel, Jl.Pelabuhan Hulu/Samping Yayasan Hj. Ujang Kholijah Bagansiapiapi-Kab.Rokan Hilir
Pengajar: Al Akh Abu Umair
Peserta : Umum (Ikhwan/laki-laki & Akhwat/perempuan)

4. Fiqh dan Adab Islam
Waktu : Sabtu, Ba'da Ashar (Jam 16.20) – selesai (Pekan 2 dan 4)
Materi : 1. Kitab Thuhuru Al-Muslimi fi Dhau-i Al-Kitabi wa As-Sunnati Mafhumun wa Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun (Karya: Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin wahb Al-Qahthani); atau
2. Kitab Adabul Muslim fil Yaumi wal Lailah, 24 Adaban Mutanawi’an (Disusun oleh Departemen Ilmiah Darul Wathan)
Lokasi : Mubarok Ponsel, Jl.Pelabuhan Hulu/Samping Yayasan Hj. Ujang Kholijah Bagansiapiapi-Kab.Rokan Hilir
Pengajar: Al Akh Abu Umair
Peserta : Umum (Ikhwan/laki-laki & Akhwat/perempuan)

Contact Person : Abu ’Umair (085278874048) dan Ummu ’Umair Khadijah (081328202842)

Penyelenggara Maktabah Nurussalaf. Alamat Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Kec Bangko , Kab Rokan Hilir.

Semoga bermanfaat bagi Kaum Muslimin

Sumber : Abu Umair, Bagansiapiapi; gats03malay@gmail.com

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarokatuh