MUSH’AB BIN UMAIR, DUTA ISLAM PERTAMA

on Minggu, 25 Oktober 2009

Oleh: Abu Umair Al-Bagani


Mush’ab Radhiyallahu’anhu adalah mawar indah yang mengharumkan setiap majelis Quraisy. Dia selalu menjadi buah bibir gadis-gadis cantik di Mekkah. Setiap majelis di Mekkah pasti merasa akan lebih semarak dengan kehadiran Mush’ab melalui keindahan, harta, kedudukan, dan prestisenya.
Ketika mendengar tentang dakwah Islam, mush’ab kagum terhadap Nabi Shallallahu’alahi wassalam. Dia langsung menyatakan masuk Islam di hadapan Beliau. Begitu ia masuk Islam dan hal itu tersebar, keadaannya langsung berubah: dari suka glamour ke kehidupan yang zuhud dan compang-camping, dari pakaian yang indah-indah dan penampilan yang menawan ke pakaian yang terbuat dari bulu kasar dan cahaya iman.
Muhammad Al-’Abdari meriwayatkan perkataan bapaknya bahwa Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekkah yang paling tampan, masih sangat muda. Kedua orang tuanya sangat mencintainya. Ibunya kaya raya, memberinya pakaian yang paling indah dan halus. Dia adalah penduduk Mekkah yang paling harum parfumnya. Ia menggunakan sandal Hadhrami (yang dibuat di Hadhramaut). Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam pernah menyinggungnya dengan sabda Beliau Shallallahu’alahi wassalam, ”Tak pernah kulihat di Mekkah pemuda yang paling bagus rupanya, lebih halus pakaiannya, dan lebih banyak kenikmatannya daripada Mush’ab bin Umair.”
Suatu hari dia mendengar kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam menyiarkan dakwah Islam di rumah al-Arqam bin Abil Arqam. Dia segera datang masuk Islam. Kemudian dia pergi dan menyembunyikan keislamannya karena takut kepada ibu dan kaumnya. Dia sering mendatangi Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam secara sembunyi-sembunyi.
Suatu ketika Thalhah memergokinya sedang shalat. Dia segera melaporkannya kepada Ibu dan kaum keluarganya. Mereka akhirnya menangkap dan menahannya. Dia terus berada dalam tahanan hingga suatu ketika berhasil pergi ke negeri Habasyah dalam hijrah yang pertama. Setelah beberapa waktu di sana, ia pulang sewaktu kaum muslimin yang lain pulang.
Ketika dia pulang, keadaannya sudah berubah. Dia menjadi keras. Ibunya pun tidak memerhatikannya karena dia marah.
Tak ada yang lebih berat dirasakan oleh seseorang daripada kehilangan kenikmatan yang dahulu dimilikinya. Namun Mush’ab bin Umair meninggalkan kenikmatan yang fana demi kenikmatan yang kekal abadi begitu iman menyentuh hatinya dan cahaya Islam memenuhi relung-relung dadanya.
Selamat buat Mush’ab yang telah dipilih oleh Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam sebagai duta Islam pertama dan berhasil dengan amat baik dalam menjalankan misinya di Yastrib (Madinah Al-Munawarah). Situasi Yastrib saat itu benar-benar memerlukan pemikiran dan kerja bersama untuk menghadapinya. Saat itu jalur ekonomi dan politik dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Sistem riba yang diterapkan Yahudi sangat mengganggu roda perekonomian, dimana kesenjangan antara kaya dan miskin teramat kentara.
Sementara itu kesatuan masyarakat Yastrib yang terdiri dari berbagai suku, selalu dalam kondisi terpecah dan saling curiga, ditambah dengan intrik-intrik Yahudi yang selalu meniupkan rasa permusuhan di antara mereka. Opini umum saat itu juga dikuasai Yahudi. Kedaan diperparah dengan kepercayaan tradisi leluhur dan animisme yang membelenggu cara berpikir masyarakat. Singkatnya, jalan da'wah di Yastrib masih terasa teramat sulit.
Hasil pengamatan lapangan ini semua memerlukan analisis dan penyusunan strategi yang briliant, dan juga sekaligus "bil-hikmah" serta "istiqomah". Perlu pendekatan kompromistis tanpa harus menyelewengkan nilai-nilai al-Islam. Mereka berpikir keras dan menyusun strategi. Akhirnya diputuskan untuk menempuh jalan da'wah sirriyyah (da'wah secara diam-diam).
Dalam musyawarah pasca Aqabah itu, diputuskan juga untuk menugaskan seseorang untuk menghadap Rasulullah, meminta kepada beliau untuk mengirimkan seorang da'i dan instruktur ke Yastrib. Da'i ini dipandang sangat perlu untuk mengajar "alif-ba-ta"nya ajaran-ajaran Al-Qur'an, sekaligus menjadi "uswah" mereka dalam cara hidup yang Islami. Menurut mereka inilah cara terbaik untuk meningkatkan akselerasi da'wah di Yastrib, tanpa harus kehilangan arah.
Rasulullah sangat menghargai nilai strategis yang telah diputuskan oleh kaum muslimin Yastrib, beliau juga sangat memahami obsesi yang mereka miliki saat itu. Akhirnya, beliau memutuskan untuk mengabulkan permohonan delegasi Yastrib, serta menunjuk Mush'ab al-Khair bin 'Umair Radhiyallahu’anhu. Tentunya bukan tanpa alasan Rasulullah memilih pemuda pendiam yang satu ini. Beberapa sisi kehidupan yang ada pada diri Mush'ab sangat menentukan dalam mengantarkannya menduduki jabatan penting ini. Dengan begitu kualitas dan taat asasnya sangat terjamin.
Mush'ab adalah tipe muslim yang mengutamakan banyak kerja. Dengan sikap "sami'na wa atho'na", Mush'ab menerima tugas yang diamanahkan Rasululullah Shallallahu’alahi wassalam ke atas pundaknya. Jadilah ia seorang utusan dari Sang Utusan. Dengan segera, sesampainya di Yastrib, Mush'ab menemui para naqib (pimpinan kelompok) yang ditunjuk Rasulullah di Aqabah. Dengan mereka, Mush'ab membuat outline langkah-langkah da'wah yang akan mereka lakukan. Untuk menghindari benturan langsung dengan masyarakat Yahudi, yang saat itu sangat geram karena mengetahui bahwa Nabi Terakhir ternyata bukan dari kalangan mereka, Mush'ab menetapkan untuk mempertahankan jalan da'wah secara sirriyyah. Disamping itu, ditetapkan kuntuk mempertinggi intensitas da'wah kepada beberapa kabilah, terutama Aus dan Khajraj, karena kedua kabilah ini dinilai sangat potensial dan merupakan kunci dalam memudahkan jalan da'wah.
Mush'ab bin Umair terjun langsung memimpin para naqib dalam berda'wah. Beliau berda'wah tanpa membagi-bagikan roti dan nasi atau jampi-jampi. Ia meyakini Islam ini adalah dienul-haq, dan harus disampaikan dengan haq (benar) pula, bukan dengan bujukan apalagi paksaan. Mush'ab terkenal sangat lembut namun tegas dalam menyampaikan da'wahnya, termasuk ketika ia diancam dengan pedang oleh Usaid bin Khudzair dan Sa'ad bin Muadz, dua pemuka Bani Abdil Asyhal. Dengan tenang, Mush'ab berkata: "Mengapa anda tidak duduk dulu bersama kami untuk mendengarkan apa yang saya sampaikan? Bila tertarik, Alhamdulillah, bila tidak, kami pun tidak akan memaksakan apa-apa yang tidak kalian sukai." Keduanya terdiam dan menerima tawaran Mush'ab, duduk mendengarkan apa yang dikatakannya. Mereka ternyata tidak hanya sekedar tertarik, dengan seketika keduanya bersyahadat ... dan tidak itu saja mereka kembali kepada kelompok masyarakatnya dan mengajak mereka semua memeluk Islam.
Demikianlah, satu persatu kabilah-kabilah di Yastrib menerima Islam. Hampir semua anggota kedua kabilah besar: Aus dan Khajraj, mau dan mampu menerima Islam. Gaya hidup terasa mulai berubah di Yastrib. Lingkaran jamaah muslim semakin melebar, hampir di setiap perkampungan ditemui halaqah-halaqah Al-Qur'an. Potensi ummat telah tergalang, namun demikian Mush'ab tidak lantas merasa berwenang untuk memutuskan langkah da'wah selanjutnya. Untuk itu Mush'ab mengirim utusan kepada Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam untuk meminta pendapat beliau mengenai langkah da'wah selanjutnya, apakah perlu diadakan "show of force" dengan sholat berjamaah di Musim haji tiba! Mush'ab bersama tujuh puluh-an muslim Yastrib menuju Makkah dengan tujuan utama menemui pimpinannya: Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam, untuk melaporkan hasil dan problema da'wah di Yastrib, serta mengantarkan para muslimin Yastrib untuk berbai'ah kepada Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam. Mush'ab tidak berlama-lama di kampung halamannya, karena tugasnya di Yastrib telah menanti. Beliau segera kembali bersama rombongan menuju ke Yastrib untuk semakin menggiatkan aktifitas da'wah, serta mempersiapkan kondisi bila sewaktu-waktu Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam dan muslimin Makkah berhijrah ke Yastrib. Penerapan nilai-nilai Islam di Yastrib berjalan mulus, murni dan konsekuen. Kaum Yahudi tidak banyak berbicara, mereka melihat kekuatan muslimin yang semakin besar, sulit untuk dipecah. Singkatnya, saat itu, kota Yastrib dan mayoritas penduduknya telah siap secara aqidah dan siyasah (politik). Mereka dengan antusias menantikan kedatangan Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam dan muslimin Makkah.
Selamat buat dia yang telah mendapat kehormatan mati syahid di jalan Allah dan mati layaknya orang zuhud. Beliau mendapatkan syahid-nya di medan pertempuran Uhud. Rasulullah sangat terharu sampai menitikkkan air mata ketika melihat jenazah Mush'ab. Ketika meninggal, Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya kecuali sehelai jubah. Jika kain itu diletakkan di kepalanya, kakinya akan kelihatan. Tapi jika diletakkan di kakinya, kepalanya akan kelihatan. Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam menangis sambil mengulang-ulang perkataan yang pernah beliau ucapkan bahwa beliau tak pernah melihat di Mekkah pemuda yang lebih bagus rupanya, lebih halus pakaiannya, dan lebih banyak kenikmatannya daripada dia. Lihatlah dia sekarang mati dan Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam tidak mendapatkan kain yang cukup lebar untuk mengkafaninya. Selamat buat dia karena mendapat kenikmatan di sisi Rabb-nya. Saat itulah Rasulullah membaca bagian dari surat al-Ahzab ayat 23: "Sebagian mu'min ada yang telah menepati janji mereka kepada ALlah, sebagian mereka mati syahid, sebagian lainnya masih menunggu, dan mereka memang tidak pernah mengingkari janji."
Mush'ab bin 'Umair wafat dalam usia belum lagi 40 tahun. Ia masih muda, tidak sempat melihat hasil positif dari kerja akbar yang telah dilakukannya. Semoga Allah Rabbul Jalil merahmati Mush'ab al-Khair bin 'Umair.
Sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam adalah teladan yang baik bagi kita. Mereka menjalani seluruh kehidupan mereka dengan mengorbankan diri mereka untuk mengabdi kepada agama Allah.

(Maraji’: Kitab ”Mawaaqif Mubkiyah min Hayaatir Rasuul Shallallahu’alahiwassalam wa Ash-habih, Karya Muhammad Mahir Al-Buhairi. Penerbit Daar Shalahuddin, Litturats. Cet. 1/1423 H – 2003 M, dan Referensi Islam yang shohih lainnya.)

PERNAK-PERNIK SEPUTAR PUASA RAMADHAN

Oleh: Tim Redaksi


Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Kaum muslimin Rahimakumullah, Alhamdulillah bulan yang mulia sudah dihadapan kita yaitu bulan suci Ramadhan. Dimana bulan ini adalah bulan yang penuh dengan berkah dan keutamaan serta waktu tepat untuk pensucian diri dari segala dosa. Pada bulan ini pintu Surga dibuka dan pintu Neraka ditutup. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya terutama ibadah puasa. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin karena kejahilannya terhadap ilmu agama ini, mereka berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah (bid’ah). Mereka lupa firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka melalaikan ibadah yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan cara menambah-nambahi atau mengurangi. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Oleh sebab itu pada tulisan ini, kami mencoba menasehati dan menjelaskan kebenaran, bukan untuk membuat fitnah atau perkara negatif lainnya. Tidak ada niat jelek kami sedikitpun selain untuk mengharapkan ridho-Nya Ta’ala dan untuk meninggikan Dienul Islam dengan cara beramar ma’ruf nahi munkar yaitu menerangkan kebenaran (al-haq) dan meluruskan pemahaman yang salah tentang beberapa perkara seputar puasa Ramadhan dan amalan salah (bid’ah) yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut. Dan supaya amal kita bisa diterima disisi Allah Ta’ala dengan pahala yang besar bukan justru dengan dosa. Mari kita luruskan niat (Ikhlas) dan memperhatikan dengan seksama tentang pernak-pernik di bulan Ramadhan yang akan kita hadapi, sebagai berikut :

1. Mulai dan Berakhirnya Bulan Ramadhan
Beberapa tahun terakhir ini, kita merasakan bahwa kaum muslimin di Indonesia memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan tidak secara bersamaan.
Tahukah engkau wahai saudaraku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dan mengakhiri puasanya dengan berpedoman dengan melihat hilal (munculnya bulan). Bila hilal tidak terlihat pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan alternatif cara, yaitu dengan cara menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Begitu pula dengan masuknya bulan Syawal. Maka metode baru, yaitu menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dengan hisab (kalender) tidak dapat dibenarkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan yang sempurna tentang bagaimana menentukan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan. Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ada pada hadis berikut ini: “Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, jika kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika bulan itu terhalang dari pandangan kalian maka sempurnakan hitungan (Sya’ban) tigapuluh hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Alhamdulillah pemerintah kita (Indonesia) dalam menetapkan awal dan berakhirnya Ramadhan dengan metode melihat hilal. Maka turutlah berpuasa dan mengakhiri bulan Ramadhan bersama pemerintah, karena “Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Berziarah Kubur Karena Ramadhan atau Syawal
Saudaraku yang budiman, Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan- perbuatan syirik di sana (syirik disini maksudnya penziarah memohon dido’akan dan minta izin untuk berpuasa kepada orang yang sudah mati). Perbuatan ini tidak disyariatkan. Padahal, Ziarah kubur sangat dianjurkan dalam Islam agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, supaya meningkatkan keimanan dan beramal sholeh, serta dibolehkan ziarah kapan saja tanpa batas waktu. Akan tetapi mengkhususkannya karena waktu tertentu (menjelang ramadhan atau syawal) tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

3. Mengkhususkan Mandi Wajib Menjelang Puasa Ramadhan
Saudaraku yang bijak, mungkin kita sering melakukan mandi besar (mandi belimau-pen) pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Mereka berkeyakinan sebelum masuk bulan suci Ramadhan, maka kita harus bersuci dengan mandi besar atau belimau. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, dan jika ingin suci diri kita yaitu dengan bertobat kepada Allah, dan saling memohon maaf kepada sesama saudara muslim atau yang lainnya jika ada khilaf dan salah. Adapun mandi junub untuk sebelum puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat Nabi, para tabi’in dan para Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal) serta orang-orang sholeh yang mengikuti jalan mereka. Jadi amalan ini tidak boleh dijadikan keyakinan ”wajib” & diamalkan.

4. Menyemarakkan Bulan Ramadhan dengan Mercun dan Kembang Api
Apabila memasuki bulan suci Ramadhan, penjualan mercun dan kembang api mulai menjamur. Namun yang membuat kesal adalah letusan mercun ini menganggu pelaksanaan ibadah sholat kita. Kita perlu ketahui, kebiasaan menyalakan mercun dan kembang api adalah budaya orang kafir. Maka, hukum menyerupai (tasyabbuh) budaya orang kafir itu adalah HARAM. Apalagi sampai menganggu sholat maka lebih terlarang (dosa) lagi. Sebagaimana Sabda Nabi: ”Barangsiapa menyerupai suatu golongan maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, shahih). Nasehat bagi pemerintah tolong amankan peredaran mercun ini dan peringatan bagi orang tua tolong larang anak-anak Anda agar tidak main mercun, agar ibadah dibulan suci kali ini bisa khusyu’, dan tenang.

5. Tata Cara Niat Puasa
Nawaituu….shauma ghodiinn… dst. Itulah niat puasa Ramadhan yang biasa dilafalkan setelah selesai shalat tarawih dan witir, yangmana imam masjid mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya. Mungkin mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Hafshoh bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi & Ahmad, dishahihkan oleh al Albani dalam al Irwa’)
Tahukah engkau saudaraku, hadits tersebut memang shahih. Tetapi penerapannya ternyata tidak sebagaimana yang dikerjakan oleh masyarakat sekarang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafalkan niat beribadah seperti shalat, puasa dan lainnya. Begitu juga orang-orang shaleh setelah beliau tak pernah menuntunkan berniat dengan diucapkan. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan. Melafazhkan niat tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan. Karena niat adanya di dalam hati bukan diucapkan. Maka cukupkan niatmu untuk berpuasa di dalam hati. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya (dalam hati). Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” (HR. Mutaffaqun’Alaih)
Sebagian orang ada yang berkeyakinan niat itu wajib di-lafazh-kan (diucapkan) baik sebelum sholat, puasa dan amalan lainnya supaya mantap niatnya serta mereka menyandarkan itu berasal pendapat Imam Syafi’i. Maka kita bantah dengan ucapan para ulama Syafi’iyyah dan para ulama lainnya untuk mematahkan pendapat salah orang-orang masa belakangan ini. Perhatikan Al-Qadhi Abu Rabi’ bin Umar Asy-Syafi’I berkata: “Mengeraskan niat dan membacanya dibelakang imam (niat puasa-pen) bukan bagian dari sunnah bahkan dibenci. Jika perbuatan itu mengacaukan orang-orang yang shalat maka hukumnya haram. Barangsiapa berkata bahwa mengeraskan niat adalah bagian dari sunnah maka dia telah keliru. Tidak halal baginya dan yang lain untuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu.”
Berkata Abu Abdillah Muhammad bin Al-Qasim At-Tunisy Al-Maliky: “Niat adalah bagian dari amalan-amalan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah. Disamping itu, mengeraskan niat itu menganggu orang lain yang berada disampingnya.” Begitu pula Imam As-Suyuti berkata: “Diantara bid’ah juga adalah was-was (ragu) dalam menetapkan (melafazhkan) niat sholat (puasa-pen). Hal itu bukanlah perbuatan Nabi dan bukan pula perbuatan shahabatnya.”
Imam asy-Syafi’I berkata: “Was-was (ragu) dalam menetapkan niat (dalam hati) ketika shalat dan bersuci (puasa-pen) adalah bagian dari kebodohan terhadap syariat atau kelemahan akal” (lihat Al-Amru bil ittiba’ dan Al-Qowlul Mubin fi Akhta’il Mushallin, Syaikh Abu Ubaidah Mansyur bin Hasan Salman)
Imam Abul ‘Izzi Al-Hanafi berkata: ”Tidak ada seorang pun dari Imam empat dan tidak juga Asy-Syafi’I dan lainnya yang mengatakan bahwa syarat dari niat itu dengan melafadzkan.”
Imam Nawawy Asy-Syafi’I menjawab pendapat orang yang mewajibkan mengucapkan niat sebelum beribadah, yaitu Beliau berkata: “Dia telah salah dan itu telah didahului oleh kesepakatan (ijma’) sebelumnya.”

6. Imsak, Apakah Sunnah?
Imsak adalah bahasa arab yang berarti “Tahanlah”. Lafal ini biasa dikumandangkan di masjid-masjid sekitar 10 menit sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan (bahkan jadwalnya pun biasa beredar dan ditempel di rumah-rumah penduduk). Maksudnya dikumandangkannya lafal imsak ini adalah agar orang-orang mulai menahan diri dari makan dan minum sejak dikumandangkannya pengumuman tersebut.
Tahukah engkau wahai saudaraku, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan dan memberitahukan cara seperti ini. Bahkan sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sahur sesaat sebelum terbit fajar. Karena yang menjadi ukuran dimulainya puasa adalah saat terbit fajar. Seperti diceritakan oleh Anas radhiallahu’anhu, ia diceritakan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu seperti ini, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat.” Kemudian Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama antara iqomah (adzan kedua) dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.” (HR. Al-Bukhari)
Sayangnya yang terjadi, saat-saat setelah imsak biasanya juga melalaikan manusia dari ibadah wajib setelah itu, yaitu shalat subuh. Bagaimana tidak, dalam keadaan terkantuk-kantuk sahur, kemudian harus menunggu sekitar 10 menit untuk ibadah shalat. Alih-alih ternyata 10 menit itu dipergunakan untuk tidur sesaat, dan akhirnya membuat seseorang terlambat shalat subuh. Sungguh, memang sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun terdapat kebaikan di dalamnya, tetapi mengandung keburukan yang lebih banyak.

7. Do’a Berbuka
Di berbagai media elektronik (TV, Radio), sering diputar lafal do’a ini sesaat setelah adzan Maghrib dikumandangkan. “Allahumma… lakasumtu… wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu… dst.” Tahukah engkau wahai saudaraku, ternyata bukan itu lafal do’a berbuka puasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sanad hadits ini lemah (Dho’if) sehingga tidak bisa diamalkan. Do’a berbuka puasa yang shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
ذهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ الْعُرُقُ وَ ثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَا اللّهَ
Dzahabaz zhama un wabtallatil ’uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Allah.” (HR. Abu Dawud)
Ayo hafalkan sejenak, saudaraku !!!. Supaya bertambah pahala yang kita dapatkan setelah berpuasa seharian karena berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan disunnahkan juga memperbanyak do’a saat menjelang berbuka karena saat-saat itu adalah waktu mustajab untuk berdo’a.

8. Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih
Saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala, coba perhatikan kebiasaan yang banyak terjadi di masjid-masjid di daerah sekitar kita yaitu berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada setiap selesai dua rakaat shalat tarawih dengan dikomandani oleh satu suara seperti ”Subhanallah Malikul Ma’bud...dst” adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “Assholaatu Tarawih Yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khulaf’ur Rasyidin, tidak pula oleh para sahabat, para tabi’in maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam yang empat.
Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka. Ingatlah wasiat Rasulullah tentang peringatan bahaya mengada-ada perkara baru dalam urusan agama dengan sabda Beliau:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: “siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak. (Diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu’anha)

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
”Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat“ (HR. Abu Dawud dan at-Turmuzi, dia berkata: hasan shahih)
Jadi telah jelas bahwa kita apa yang diberikan Rasulullah sudah cukup dan tidak perlu menambah-nambah dan jika seandainya amalan itu baik tentu sudah diajarkan atau dilakukan oleh Rasulullah, para sahabatnya dan para shalafush-sholeh dari dulu. Makanya kita perlu meninggalkan kebiasaan yang jelek ini walaupun dianggap baik oleh kebanyakan orang. Perhatikan wasiat Imam Malik bin Anas (gurunya Imam Syafi’i) Rahimahullah, berkata: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad telah mengkhianat risalah (syariat). Karena Allah Ta’ala telah menyatakan: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3). Maka apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Begitu pula Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, berkata: “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik atau hasanah.” (Al-Ibanah 1/339, Al-Lalikai 1/92)
Saudaraku yang dicintai Allah, apa kita akan menuduh Rasulullah pengkhianat terhadap risalah yang dibawanya sehingga kita berani membuat perkara baru dalam agama ini?? Kalau Anda benar-benar mencintai Rasulullah maka jalankan sunnah Nabi dan tinggalkan segala perbuatan bid’ah. Karena setan lebih menyukai pelaku bid’ah dibanding pelaku maksiat.

9. Bagaimana tentang jumlah sholat antara 11 dan 23 Raka’at?
Jumlah raka’at shalat tarawih di berbagai masjid biasanya berbeda-beda, dan yang masyhur di negara kita kalau tidak 11 raka’at maka biasanya 23 raka’at. Lalu, yang mana yang benar ya?
Tahukah engkau saudaraku, berdasarkan hadits yang diriwayatkan ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi 11 raka’at. Namun, berdasarkan penjelasan ulama, maksud hadits ini bukanlah pembatasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya shalat malam sebanyak 11 raka’at saja. Karena terdapat riwayat shahih lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebanyak 13 raka’at. Jadi, maksud perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat malam tidak lebih dari 11 raka’at.
Nah, bukan berarti menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at adalah kesalahan Lho..!! Karena di hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad). Tapi kalau kita perpatokan shalat tarawih kita harus (wajib) 20 raka’at tambah 3 raka’at witir, tidak mau menerima tarawih yang 11 raka’at (yang dicontohkan Nabi), ini sungguh kesalahan besar dan yang perlu diketahui bahwa dalil mengenai tarawih berjumlah 20 raka’at banyak disandarkan dari hadits-hadits yang lemah (dho’if) bahkan palsu (maudhu’) ini menurut penjelasan dan tahrij para ulama pakar ilmu hadits.
Dan hadits tentang tata cara shalat malam (tarawih), “Shalat malam itu dengan salam setiap dua raka’at. Jika salah seorang dari kalian takut kedatangan subuh, maka hendaklah ia shalat satu raka’at sebagai witir untuk shalat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, jika Anda memilih shalat di masjid yang biasa menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at dengan tenang, tidak terburu-buru (tidak gerak cepat) maka engkau tidak perlu berhenti pulang setelah mendapati 8 raka’at. Ataupun jika shalat sendirian juga tidak mengapa jika ingin memperbanyak shalat 23 raka’at, 39 raka’at atau 41 raka’at. Namun, yang lebih utama (afdhol) adalah melakukannya sebanyak 11 raka’at (2 raka’at 1 salam) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Tentunya seorang mukmin yang baik dan mencintai sunnah akan mendahulukan yang afdhol.
Inilah beberapa pernak-pernik seputar puasa Ramadhan dan sedikit amalan bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita, semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan ini. Semoga dengan yang sedikit ini, kita bisa mengambil manfaat dan bisa mengamalkannya. Wallahu a’lam bis shawab.

(Dinukil dari tulisan Ummu Ziyad, Abu Umair, dan Abu Said Satria Buana di situs http://www.muslim.or.id dan www.muslimah.or.id serta beberapa sumber lainnya yang shohih dan terpercaya )

(Dinukil dari Risalah As-Sunnah. Edisi ke-9 Tahun I: Sya’ban 1430 H/ Agustus 2009 M. Diterbitkan oleh Maktabah Nurussalaf, Terbit setiap 2 kali sebulan, InsyaAllah. Penasehat: Al-Ustadz Mas’ud bin Absor Redaktur: Abu Umair, Khadijah Distributor: Syaifullah, Absor, dll. Alamat Redaksi: Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Bagansiapiapi Kab. Rokan Hilir. Telpon: 085278874048)

MERAIH BERKAH DAN AMPUNAN DI BULAN RAMADHAN

Oleh: Abu Umair Al-Bagani


Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Kaum muslimin Rahimakumullah, Puasa merupakan ibadah yang sangat agung yang disyariatkan Allah Ta’ala kepada umat manusia dari dulu hingga akhir zaman. Puasa juga adalah rukun keempat dari rukun islam. Puasa diwajibkan dan sangat dianjurkan, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Shallalhu ‘Alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
              
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Sabda Nabi Shallalhu ‘Alaihi wasallam : “Tiap-tiap amal bani Adam adalah baginya, kecuali puasa. Sebab ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan memberi pahalanya, dia (bani Adam) tidak makan dan tidak berhubungan dengan istrinya karena (mematuhi perintah)-Ku” (HR.Bukhari dan Muslim)
Begitu besarnya keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadhan membuat kita menjadi bersemangat untuk mengisi bulan ini dengan amalan-amalan sholeh dalam rangka mengharapkan keberkahan, pahala dan maghfirah (ampunan) dari Allah ’Azza wa Jalla yang mungkin tidak kita dapatkan di bulan-bulan lainnya.
Mari kita coba menjaga amal-amal sholih agar menjadi sebagai pen-tarbiyah (pendidikan) bagi diri kita baik di bulan suci ini maupun setelah keluar dari bulan ini agar meraih ketakwaan.

1. Berpuasa
Berpuasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim, karena pada bulan suci ini, Allah Ta’ala mensyari’atkan ibadah puasa sebagai ibadah untuk Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala-lah yang akan langsung memberi pahala kepada orang yang menahan diri dari makan, minum dan jima’ dalam rangka mematuhi perintah Allah ’Azza Wa Jalla. Banyak sekali keutamaan berpuasa di bulan Ramadhan, diantaranya:
a. Puasa bisa memasukkan orang ke surga
Dari Abi Umamah radhiallahu 'anhu : "Aku berkata : "Ya Rasulullahu Shalallahu 'alaihi wasallam tunjukkan padaku amalan yang bisa memasukanku ke syurga; beliau menjawab: "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu." (HR Nasa'I, Ibnu Hibban, Al-Hakim sanadnya SHAHIH)
b. Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada ahlinya
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat, berilah dia syafaat karenaku, Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, berilah dia syafaat. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "maka keduanya memberi syafaat." (HR. Ahmad, Hakim, Abu Nu'aim. Dan sanadnya HASAN)
c. Surga Ar-Rayyan sebagai balasan bagi orang berpuasa
Dari Sahl bin Sa'ad radhiallihu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya dalam syurga ada satu pintu yang disebut dengan rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. jika telah masuk orang terahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut, barang siapa yang masuk akan minum, dan barang siapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya." (HR. Bukhori dan Muslim tambahan akhir dalam riwayat Ibnu Khuzhaimah dalam kitab Shahihnya)
d. Puasa sebagai pengampun dosa
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah ALLAH) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [HR. Bukhari & Muslim]
e. Puasa sebagai Junnah (perisai)
Bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam: "Tidaklah ada seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim/tahun ". (HR. Bukhori, Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudri, ini adalah lafadh Muslim). Sabda Nabi: "Puasa adalah junnah/perisai, seorang hamba berperisai dengannya (puasa) dari api neraka". (HR. Ahmad dari Jabir, Ahmad dari Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shohih).

2. Menjaga Sholat Fardhu dan Sholat Berjama’ah di Masjid
Melaksanakan sholat fardhu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Hukum bagi orang yang meninggalkan sholat adalah Kafir. Sebagaimana sabda Nabi: “Perbedaan antara hamba Allah (yang beriman) dan yang kafir adalah (dalam hal) meninggalkan sholat”. (HR. Muslim)
Sholat adalah ibadah yang pertama kali akan dihisab pada hari pembalasan, sebagaimana sabda Nabi: “Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab ialah Shalat, apabila sholatnya telah rusak maka amal lainnya pun ikut rusak pula.” (HR. Thabrani)
Mengerjakan sholat fardhu hendaknya tepat pada waktunya dan jangan melalaikan (melambatkan) nya. Sebagaimana suatu riwayat mengatakan, bahwa ada seseorang pendatang menghadap kepada Rasulullah, lalu orang itu bertanya: “Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala dalam Islam?” Beliau menjawab: “Sholat tepat pada waktunya, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka berarti tidak mempunyai agama, sebab shalat itu sebagai tiang agama.” (HR. Al-Baihaqi)
Firman Allah Ta’ala: “Maka celakalah orang-orang yang mengerjakan sholat, (yaitu) orang-orang yang melalaikan sholatnya” (QS. Al-Maa’un: 4-5)
Bagi kaum muslimin (khususnya bagi laki-laki) hendaknya menjaga sholat fardhu berjama’ah, karena ini hukumnya wajib dan sangat besar keutamaannya. Sebagaimana Nabi bersabda: “Sholat berjama’ah itu lebih utama daripada sholat sendirian, dengan dua puluh tujuh derajat” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Keutamaan seseorang pergi ke masjid untuk sholat yaitu sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa dalam waktu pagi atau sore menuju ke masjid, maka Allah menyediakan untuknya hidangan di surga setiap datang waktu pagi dan sore”. (HR. Mutafaqun’Alaih dari Abu Hurairah)

3. Memperbanyak Sedekah dan Membayar Zakat
Bulan ini adalah bulan yang paling baik untuk memperbanyak sedekah kepada kaum kerabat yang kurang mampu, fakir miskin, anak yatim dan musafir. Sungguh, banyak sekali keutamaan bersedekah, sebagaimana Firman Allah Ta’ala: “Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya” (QS. Saba’: 39). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau sangat dermawan di bulan Ramadhan ketika dikunjungi Malaikat JIbril (HR. Al-Bukhari)
Kita dilarang kikir dalam berzakat dan bersedekah, sebagaimana firman Allah ta’ala: “…Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (-Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.” (QS. Fushshilat: 6-7) lalu ”Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil/kikir terhadap harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Kelak harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan dilehernya pada hari kiamat...” (QS. Ali Imron: 180)

4. Memperbanyak Membaca Al-Qur’an Al-Karim
Bulan Ramadhan adalah Syarhul Qur’an (Bulan Al Qur’an) karena pada bulan inilah Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Oleh karena itu, amalan terbaik dan utama dilakukan di bulan Ramadhan ini adalah memperbanyak membaca Al-Qur’an. Banyak sekali keutamaan membaca Al-qur’an, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’Alaihi wassalam: ”Bacalah Al-Qur’an! Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya (yang berpegang pada petunjuk-petunjuknya).” (HR. Muslim dari Abu Umamah).
Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Ash-shahih-nya meriwayatkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah Radhiayallahu’anha, berkata: bahwa Rasulullah bersabda: ”Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, maka nanti akan berkumpul bersama-sama para malaikat yang mulia lagi taat. Sedangkan orang yang kesulitan dan berat jika membaca Al-Qur’an (terbata-bata), maka ia mendapatkan dua pahala.”

5. Suka Melakukan Sholat Qiyamul Lail atau Tahajjud (Tarawih dan witir)
Sholat Qiyamul Lail (malam) atau Tahjjud pada bulan Ramadhan dinamakan Tarawih karena dilakukan dengan santai. Allah Ta’ala berfirman: ”Dan pada sebagian malam hari sholat tahajjud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahanmu Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Al-Israa’: 79). Begitu juga Rasulullah bersabda: ”Wahai sekalian manusia! Sebarluaskanlah salam, berikanlah makanan, dan sholat-lah kalian pada waktu malam sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Salam)
Sabda Nabi: ”Barangsiapa mengerjakan sholat sunnah (Tarawih) pada malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Mutafaqun’Alaih dari Abu Hurairah)

6. Umrah di Bulan Ramadhan
Dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya Nabi bersabda: ”Umrah pada bulan Ramadhan itu sebanding dengan haji atau sebanding dengan haji bersamaku” (HR. Mutafaqun’Alaih)

7. Memberi Jamuan Makan Berbuka kepada Orang yang Berpuasa
Nabi Shallallahu ‘Alahi wasallam bersabda: “Barangsiapa memberi jamuan buka puasa kepada yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti pahalanya (orang yang berpuasa) itu, yaitu tidak dikurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.” (HR.Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

8. Bertutur Kata yang Baik, Bermuka Ceria dan Tidak Berdusta
Bertutur kata yang baik adalah akhlak seorang muslim. Dia tidak akan berbicara kecuali perkataan yang baik, bermanfaat, jujur, tidak berbohong, lemah-lembut, menepati janji, sopan-santun, murah senyum, berwajah manis dan ceria serta tidak banyak bicara, karena banyak bicara biasanya banyak salah/rusaknya. Sebagaimana sabda Nabi: “Takutlah kalian terhadap api neraka, walaupun hanya bersedekah separuh biji kurma. Apabila tidak mendapatkannya, cukup dengan berkata yang baik” (HR. Mutafaqun’Alaih). Lalu Rasulullah juga bersabda: “Bertutur kata yang baik adalah sedekah”. (HR. Mutafaqun’Alaih). Kemudian sabda Nabi: “Janganlah sekali-kali meremehkan perbuatan baik, walaupun menyambut saudaramu dengan muka ceria.” (HR. Muslim dari Abu Dzar).
Kita dilarang berdusta, karena Allah berfirman: ”Maka Kami meminta agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali imran: 61) dan Rasulullah bersabda: ”Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari)

9. Mempelajari Ilmu Agama
Bulan Ramadhan adalah waktu yang paling bagus untuk belajar ilmu agama agar waktu kita tidak terbuang sia-sia dengan hal yang tak bermanfaat. Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi kaum muslimin. Kita bisa belajar agama dari pengajian di majelis taklim di rumah, yayasan, sekolahan, kantor, masjid; dari buku-buku islam, kaset/Vcd taklim, atau media massa. Dan sungguh besar keutamaan bagi orang belajar ilmu agama, sebagaimana firman Allah: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu yang diberi limu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11) dan sabda Nabi: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan bagi orang itu karena ilmu tersebut jalan menuju ke surga.” (HR. Muslim) dan sabda Nabi yang lain yaitu: “Barangsiapa keluar dengan tujuan menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik)

10. Selalu Menjaga Sholat Sunnah Rawatib
Dari Ummul Mukminin Ummu Habibah binti Abu Sufyan, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: ”Tiada seorang muslim yang mengerjakan sholat karena Allah, setiap hari 12 raka’at, melainkan Allah menyediakan baginya rumah di dalam surga.” (HR. Muslim)

11. Menjalin Hubungan Silaturahmi
Rasulullah bersabda; “Siapa saja yang menyukai untuk mendapatkan kelapangan rezeki dan panjang umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi dengan keluarganya.” (HR. Mutaqafun’Alaih)

12. Memperbanyak Dzikrullah dan Ber-Shalawat kepada Nabi
Allah berfirman: “Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfal: 45). Begitu juga kita hendaknya memperbanyak ber-shalawat kepada Nabi karena ber-shalawat 1 kali maka Allah akan memberikan shalawat (rahmat) 10 kali (HR. Muslim) dan akan mendapat syafa’at serta tempat yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat kelak. (HR. At-Tirmidzi)
13. Memperbanyak Berdo’a
Allah Ar-Rahman pasti mengabulkan do’a-do’a hambanya. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak do’a karena Allah Ta’ala tidak akan pernah menolak do’a bagi orang yang berpuasa. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” (Qs. Ghafir: 60)
Sabda Nabi Shallalalahu ‘Alaihi Wasallam: “ Sesungguhnya orang yang berpuasa mempunyai doa yang tidak ditolak ketika ia berbuka puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim yang men-shahih-kannya)

14. Memperbanyak Ibadah pada 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan (Malam Lailatul Qadar)
Allah berfirman dalam surah Al-Qadr ayat 1-5 tentang keutamaan Lailatul Qadar, dan kita diperintahkan untuk memperbanyak ibadah pada 10 hari terakhir Ramadhan sebagaimana ummul mukminin ‘Aisyah pernah berkata: “Apabila sudah masuk sepuluh hari yang terakhir (bulan Ramadhan), maka Rasulullah selalu menghidup-hidupkan malam (dengan ibadah) dan membangunkan keluarganya serta mengikatkan sarungnya (tidak menggauli istrinya).” (HR. Mutafaqun’Alaih) dan sabda Nabi: “Barangsiapa beribadah pada malam Qadar dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Mutafaqun’Alaih) dan sabda nabi yang lain yaitu: “Bersungguh-sungguhlah kalian mencari Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

15. Menjaga Wudhu dan Sholat Sesudah Wudhu
Wudhu adalah kuncinya sholat, jadi sholat tidak terima Allah tanpa wudhu. Banyak sekali keutamaan wudhu dan sholat sunnah sesudah wudhu diantaranya yaitu sebagaimana sabda Nabi: “Perhiasan orang mukmin (di surga) itu sampai, sesuai dengan sampainya wudhu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakannya, maka keluarlah semua dosa dari jasadnya, hingga dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim dari Utsman bin Affan)
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian sholat dua raka’at dengan khusyu’, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Mutafaqun’alaih)
“Sesungguhnya umatku kelak di hari kiamat akan dipanggil dalam keadaan putih cemerlang (mukanya) karena bekas air wudhu’. (HR. Mutafaqun’alaih)

16. Selalu Mengerjakan Sholat Dhuha
Dari Abu Dzar dari Nabi bersabda: “Setiap pagi, masing-masing ruas anggota badan kalian wajib dikeluarkan sedekahnya. Dan setiap tasbih adalah sedekah, setiap bacan Tahmid adalah sedekah, setiap bacaan Tahlil adalah sedekah, setiap bacaan tajbit adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah dan melarang berbuat mungkar adalah sedekah. Kesemuanya itu dapat diganti dengan dua raka’at sholat Dhuha.” (HR. Muslim)

17. Menyegerakan Berbuka dan Mengakhirkan sahur
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa (sudah masuk waktunya)” (HR. At-Tirmidzi) dan “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam makan sahur itu terdapat berkah.” (HR. Mutafaqun’alaih). Kemudian dari ’Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan: ”Para Shahabat Muhammad adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar)

18. Perbanyak Amal Kebaikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148 dan Al-Maidah: 51) dan firman Allah: “Siapa saja yang mengerjakan amal sholeh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri.” (QS. Fushshilat: 46)
Rasulullah bersabda: “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal sholeh, karena akan terjadi bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, yaitu seseorang pada waktu pagi dia beriman tetapi pada waktu sore hari dia kafir, atau pada waktu sore dia beriman pada waktu paginya dia kafir, dia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Marilah beramal sholeh dibulan suci Ramadhan ini. Wallahu A’lam bish-showab

Maraji’: Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Riyadush-Shalihin Karya Imam Nawawi dan referensi lainnya yang shohih dan terpercaya

(Dinukil dari Risalah As-Sunnah. Edisi ke-10 Tahun I: Ramadhan 1430 H/ Agustus 2009 M. Diterbitkan oleh Maktabah Nurussalaf, Terbit setiap 2 kali sebulan, InsyaAllah. Penasehat: Al-Ustadz Mas’ud bin Absor Redaktur: Abu Umair, Khadijah Distributor: Syaifullah, Absor, dll. Alamat Redaksi: Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Bagansiapiapi Kab. Rokan Hilir. Telpon: 085278874048)

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH GEMPA BUMI

Oleh:Al-Imam Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz Rahimahullah (1330 -1420 H)


Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Para pembaca yang budiman, mari kita simak nasehat seorang ’Alim ulama besar dunia dalam menyikapi bencana gempa bumi yang melanda di beberapa negeri pada masa belakangan ini:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du:

[Gempa Bumi, Di Antara Tanda Kekuasaan Allah]
Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua yang dilaksanakan dan ditetapkan. Sebagaimana juga Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua syari’at dan semua yang diperintahkan. Allah menciptakan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Dia pun menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Dengan tanda-tanda tersebut, Allah mengingatkan kewajiban hamba-hamba-Nya, yang menjadi hak Allah ‘azza wa Jalla. Hal ini untuk mengingatkan para hamba dari perbuatan syirik dan melanggar perintah serta melakukan yang dilarang. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (Qs. Al-Israa: 59)
Allah Ta’ala juga berfirman,
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (Qs. Fushilat: 53)
Allah Ta’ala pun berfirman,
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain.” (Qs. Al-An’am: 65)
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala turun firman Allah Ta’ala dalam surat Al An’am [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: “Aku berlindung dengan wajah-Mu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan (membaca) [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a lagi, “Aku berlindung dengan wajah-Mu.” [HR. Al Bukhari dalam Tafsir Al Qur’an no. 4262 dan At Tirmidzi dalam Tafsir Al Qur’an no. 2991]
Diriwayatkan oleh Abu Syaikh Al Ash-bahani, dari Mujahid tentang tafsir surat Al An’am ayat 65 [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah halilintar, hujan batu dan angin topan. Sedangkan firman Allah [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], yang dimaksudkan adalah gempa dan tanah longsor.
Jelaslah, bahwa musibah-musibah yang terjadi pada masa-masa ini di berbagai tempat termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah guna menakut-nakuti para hamba-Nya.

[Musibah Datang Dikarenakan Kesyirikan dan Maksiat yang Diperbuat]
(Perlu diketahui), semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Allah Ta’ala juga berfirman,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. An-Nisaa: 79)
Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]
Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raaf: 96)
Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (Qs. Al-Maidah: 66)
Allah Ta’ala berfirman, “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raaf: 97-99)

[Perkataan Para Salafush sholeh Ketika Terjadi Gempa]
Al ‘Allaamah Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Pada sebagian waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan izin kepada bumi untuk bernafas, lalu terjadilah gempa yang dahsyat. Akhirnya, muncullah rasa takut yang mencekam pada hamba-hamba Allah. Ini semua sebagai peringatan agar mereka bersegera bertaubat, berhenti dari berbuat maksiat, tunduk kepada Allah dan menyesal atas dosa-dosa yang selama ini diperbuat. Sebagian salaf mengatakan ketika terjadi goncangan yang dahsyat, “Sesungguhnya Allah mencela kalian.” ‘Umar bin Khatthab -radhiyallahu ‘anhu-, pasca gemba di Madinah langsung menyampaikan khutbah dan wejangan. ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Jika terjadi gempa lagi, janganlah kalian tinggal di kota ini.” Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim -rahimahullah-. Para salaf memiliki perkataan yang banyak mengenai kejadian semacam ini.
[Bersegera Bertaubat dan Memohon Ampun pada Allah]
Saat terjadi gempa atau bencana lain seperti gerhana, angin ribut dan banjir, hendaklah setiap orang bersegera bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, merendahkan diri kepada-Nya dan memohon keselamatan dari-Nya, memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan pada Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana bersabda, “Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah berdzikir kepada Allah, memperbanyak do’a dan bacaan istighfar.”[ HR. Al Bukhari dalam Al Jumu’ah no. 999 dan Muslim dalam Al Kusuf no. 1518]

[Dianjurkan Memperbanyak Sedekah dan Menolong Fakir Miskin]
Begitu pula ketika terjadi musibah semacam itu, dianjurkan untuk menyayangi fakir miskin dan memberi sedekah kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ارْحَمُوا تُرْحَمُوا
“Sayangilah (saudara kalian), maka kalian akan disayangi.”[HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 6255]
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di muka bumi, kalian pasti akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit.”[HR. At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1847]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang.”[HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 5538 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1834]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- bahwasanya saat terjadi gempa, beliau menulis surat kepada pemerintahan daerah bawahannya agar memperbanyak shadaqah.

[Yang Mesti Diperintahkan Pemimpin Kaum Muslimin kepada Rakyatnya]
Di antara sebab terselamatkan dari berbagai kejelekan adalah hendakanya pemimpin kaum muslimin bersegera memerintahkan pada rakyat bawahannya agar berpegang teguh pada kebenaran, kembali berhukum dengan syari’at Allah, juga hendaklah mereka menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijakasana.” (Qs. At-Taubah: 71)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar ; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Qs. Al-Hajj : 40-41)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaaq: 2-3)
Ayat-ayat semacam ini amatlah banyak.

[Anjuran untuk Menolong Kaum Muslimin yang Tertimpa Musibah]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ
“Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya.”[HR. Al Bukhari dalam Al Mazholim dan Al Ghodhob no. 2262 dan Muslim no. 4677 dengan lafazh yang disepakati oleh keduanya]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”[HR. Muslim dalam Adz Dzikr, Ad Du’aa dan At Taubah no. 4867 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1853]
Hadits-hadits yang mendorong untuk menolong sesama amatlah banyak.
Hanya kepada Allah kita memohon agar memperbaiki kondisi kaum Musimin, memberikan pemahaman agama, menganugrahkan keistiqomahan dalam agama, dan segera bertaubat kepada Allah dari setiap dosa. Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa kaum Muslimin. Semoga Allah menolong dalam memperjuangkan kebenaran dan menghinakan kebathilan melalui para penguasa tersebut. Semoga Allah membimbing para penguasa tadi untuk menerapkan syari’at Allah bagi para hamba-Nya. Semoga Allah melindungi mereka dan seluruh kaum Muslimin dari berbagai cobaan dan jebakan setan. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk hal itu.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari pembalasan. Wallahu a’lam bish-showab

{Tulisan dari ceramah Mantan Mufti ‘Aam Kerajaan Saudi Arabia, Ketua Hai-ah Kibaril ‘Ulama’, Ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Lembaga Penelitian Ilmiah dan Fatwa) , Ulama Besar Ahlussunnah Wal Jama’ah di Dunia yaitu Al-Imam Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz Rahimahullah. Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H pada umur 89 tahun.}

Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 9/148-152, Majmu’ Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi’ah Li Samahah As Syaikh Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’ (http://alifta.net). Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal, Artikel www.muslim.or.id.

 MUTIARA AS-SUNNAH 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Tidak akan datang Kiamat sehingga banyak terjadi gempa bumi" [Shahih Bukhari, Kitab Al-Fitan 13 : 81-82]
Dan diriwayatkan dari Salamah bin Nufail As-Sukuni, Ia berkata : Kami sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu beliau menyebutkan suatu hadits yang antara lain isinya : "Sebelum terjadinya hari Kiamat akan terdapat kematian-kematian yang mengerikan, dan sesudahnya akan terjadi tahun-tahun gempa bumi" [Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Al-Bazaar, dan Abu Ya'ala]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata, "Telah banyak terjadi gempa bumi di negara-negara bagian utara, timur dan barat, tetapi yang dimaksud oleh hadits ini ialah gempa bumi secara merata dan terus menerus" [Fathul Bari 13 : 87].
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Pada akhir zaman akan terjadi tanah longsor, kerusuhan, dan perubahan muka. 'Ada yang bertanya kepada Rasulullah'. Wahai Rasulullah, kapankah hal itu terjadi? Beliau menjawab. 'Apabila telah merajalela bunyi-bunyian (musik) dan penyanyi-penyanyi wanita". (Bagian awalnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah di tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi. Al-Haitsami berkata: 'Diriwayatkan oleh Thabrani dan di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Abiz Zunad yang padanya terdapat kelemahan, sedangkan perawi-perawi yang lain bagi salah satu jalannya adalah perawi-perawi shahih'. Majma'uz Zawaid 8:10. di-shahih-kan oleh Al-Albani dlm Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 3:216 hadits no. 3559).

{Dinukil dari Kitab Asyratus Sa'ah karya Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, MA.}

(Dinukil dari Risalah As-Sunnah. Edisi ke-12 Tahun I: Syawwal 1430 H/ Oktober 2009 M. Diterbitkan oleh Maktabah Nurussalaf, Terbit setiap 2 kali sebulan, InsyaAllah. Penasehat: Al-Ustadz Mas’ud bin Absor Redaktur: Abu Umair, Khadijah Distributor: Syaifullah, Absor, dll. Alamat Redaksi: Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Bagansiapiapi Kab. Rokan Hilir. Telpon: 085278874048)

LURUSKAN SHAF KALIAN SEBAGAI AWAL PERSATUAN UMAT ISLAM!

Oleh: Abu Umair Al-Bagani



Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Ikhwah fillah rokhimakumullah, marilah kita sejenak melihat realita dalam kehidupan kaum muslimin. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menyatukan kaum muslimin dalam satu ikatan keimanan yaitu Diennul Islam. Bahkan kaum muslimin pun diperintahkan supaya tetap bersatu dan menjaga kesatuan tersebut dari perpecahan.
Alhamdulillah, kita masih bisa bersyukur kepada Allah Ta’ala karena Dia ‘Azza wa Jalla masih mempersatukan kaum muslimin secara dzohir. Namun, apabila kita teliti lebih jauh dan seksama, nampak sekali bahwa kaum muslimin sekarang mengalami perpecahan yang sangat dahsyat. Sungguh, Iblis –laknatullah- dan bala tentaranya (para setan) tak henti-hentinya untuk menyesatkan umat manusia khususnya kaum muslimin dengan berbagai cara agar mereka berpecah dan tersesat baik itu dengan cara saling benci, mengadu domba, saling dengki, fitnah, khianat, dzolim, taqlid, dan fanatisme antar sesama muslim atau kelompok dalam segala bidang.
Akhir-akhir ini, semakin jauhnya manusia dari petunjuk Nabi, pelanggaran-pelanggaran dalam agama pun makin banyak dan diremehkan. Coba kita lihat di masjid-masjid kaum muslimin telah nampak sekali perpecahan di kalangan kaum muslimin, yang mungkin itu dianggap sepele dan remeh yaitu perkara meluruskan dan merapatkan shaf dalam sholat berjama’ah. Oleh karena itu, mari kita simak pembahasan kali ini tentang perintah wajib dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam untuk meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) dalam sholat berjama’ah.
Kita pasti sering melihat dan sangat terkagum-kagum apabila memperhatikan di hadapan kita, yaitu para tentara yang begitu bagus dan teraturnya pola barisan mereka. Anda tidak dapati adanya kebengkokan maupun celah padanya. Jarak satu dengan lainnya teratur rapi, sungguh pemandangan yang sungguh indah. Kemudian perhatikan juga saat Anda di sekolahan, begitu besar perhatian murid-murid di dalam masalah merapikan dan mengatur barisan. Mereka nampak serius dalam merapikan barisan (shaf), padahal itu hanya sekedar menghormati atau berhadapan dengan makhluk (yang lemah). Subhanallah, perhatian kita dalam sholat seharusnya lebih serius, dibanding diluar sholat dalam hal merapikan shaf, karena kita berhadapan dengan Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia.
Coba kita perhatikan, Bukankah seharusnya para pemakmur Masjid itu adalah orang yang lebih utama di dalam memberikan perhatian di dalam mengatur shaf dan merapatkan barisan, sebagaimana malaikat berbaris dengan rapi, lurus dan rapat di hadapan Rabb mereka Subhânahu wa Ta’âlâ?!

Perintah untuk memperbagus lurusnya shaf (barisan)
Dari Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
أَحْسِنُوْا إِقَامَةَ الصُّفُوْفِ فِيْ الصَّلاَة
“Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat” (HR Ahmad di dalam Musnad-nya dan dishahîhkan oleh Imam al-Albânî di dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb : 499)
Bagaimana cara memperbagus lurusnya shaf?
Hadits Jâbir bin Samuroh Radhiyallâhu ‘anhu menjelaskan hal ini. Beliau berkata : “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami dan berkata : “Aku tidak pernah melihat kalian mengangkat-angkat tangan kalian, seakan-akan seperti ekor kuda liar saja. Tenanglah kalian di dalam sholat (jangan bergerak).” Jâbir berkata kembali : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami (pada lain waktu) dan melihat kami sedang bergerombol, lantas beliau bersabda : “Aku tidak pernah melihat kalian bergerombol?!” Jâbir melanjutkan : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami sembari mengatakan : “Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya Malaikat di hadapan Rabb mereka?” Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :

يَتُمُّوْنَ الصُّفُوْفَ الأَوَّلِ وَيَتَرَاصَّوْنَ فِيْ الصَّفّ
“Mereka menyempurnakan shaf sebaris demi sebaris. Mereka juga menyempurnakan shaf-shaf tersebut.” (HR Muslim dalam As-Shahih no. 430, An-nasaa’i dalam al-Mujtabaa (II/72) dan ibnu Khuzaimah dalam As-shahih no.1544)
Dari Al-Nu’man bin Basyir Radhiyallâhu ‘anhu berkata: “Dulu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdiri menghadap orang-orang seraya bersabda:”Dirikanlah (luruskanlah) shaf-shaf (beliau mengulangnya sebanyak tiga kali). Demi Allah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan mencerai-beraikan hati-hati kalian.” Al-Nu’man berkata: ”Lantas aku melihat seseorang menempelkan bahunya dengan bahu temannya, menempelkan lututnya dengan lutut temannya dan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya,” (HR. Abu Dawud dalam As-Sunan, Ibnu Hibban dalam As-Shahih, Ahmad dalam Al-Musnad dan Al-Daulabi dalam Al-Kunna wa Al-Asmaa’ dengan sanad yang shahih).
Banyak sekali mudharat (bahaya) bagi orang-orang yang kurang memperhatikan dalam masalah meluruskan dan merapatkan shaf (barisan), antara lain sebagai berikut:
1. Kita tidak akan masuk surga sampai kita meluruskan shaf
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersumpah, bahwa kita tidaklah dikatakan beriman, dan kita tidak akan bisa masuk surga sampai kita saling mencintai di jalan Alloh Ta’âlâ. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidaklah dikatakan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai?! Sebarkanlah salam di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim)
Kecintaan ini tidak akan mudah jika tanpa merapatkan dan meluruskan shaf. Sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa ketidaklurusan shaf di dalam sholat itu, memicu perselisihan hati.
Kesimpulannya adalah, bahwasanya keimanan, surga, kecintaan dan persatuan, kesemuanya ini tidak akan mudah diraih melainkan dengan meluruskan dan merapatkan shaf.

2. Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan perselisihan hati
Dari Abû Mas’ûd Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengusap-usap bahu (dada) kami ketika kami hendak sholat serta Beliau bersabda :

اسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُوْا قُلُوْبَكُم
“Luruskanlah shaf dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan hati kalian akan berselisih.” (HR Muslim : 432)
Kalimat pertama dalam hadits, yaitu “luruskanlah”, merupakan bentuk kalimat imperatif (perintah), dan kalimat imperatif itu menunjukkan kewajiban sampai ada qorînah (indikasi) lain yang memalingkan kewajibannya. Sedangkan indikasi yang menunjukkan kewajibannya ada banyak, diantaranya adalah hadits sebelumnya yang berbunyi : “Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat.”
Diantaranya juga adalah penggalan hadits yang Anda lihat di atas, yaitu hadits yang melarang perselisihan, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “dan janganlah kalian berselisih”. Kalimat negasi (larangan) menunjukkan keharamannya sampai ada indikasi yang memalingkannya. Dalam hadits ini, terhimpun kalimat perintah dan larangan sekaligus, yang mana satu dengan lainnya merupakan indikasi yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf dan memperingatkan umat dari tidak mematuhi perintahnya. Karena hal ini akan memicu perselisihan, sebagaimana di dalam hadits :

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَوَاللهِ لَتُقِيْمَنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُم
“Luruskan shaf-shaf kalian. Dan demi Alloh, luruskanlah shaf-shaf kalian, atau jika tidak niscaya Alloh akan menjadikan hati kalian saling berseteru.” (Shahîh Sunan Abu Dâwud : 616)
Di dalam riwayat hadits yang lain :

أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُم
“atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling bertikai.”
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menegaskan hal ini dengan banyak penekanan di dalam nash hadits di atas dan selainnya, diantaranya adalah adanya Lâm dan Nûn Taukîd ats-Tsaqîlah (huruf lam dan nun yang berfungsi superlatif) di dalam dua kata : tuqîm (luruskanlah) dan yukholif (memalingkan), kemudian meng-‘athaf-kan (mengikutkan) taukîd (penegasan) dengan taukîd (penegasan). Namun disayangkan, banyak kaum muslimin yang sholat berjama’ah kurang memperhatikan dalam merapikan shaf dan bahkan mengabaikannya begitu saja.
Coba perhatikan lagi, bahkan Perselisihan ini tidaklah terlewatkan begitu saja dari perhatian Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan hal ini tidak layak bagi beliau, bahkan beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mendahului kita di dalam memahami dan mengetahui hal ini, sebab “ucapan beliau tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS an-Najm : 4)
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan perselisihan ummatnya di dalam banyak nash/teks hadits dengan lafazh yang bervariasi. Diantaranya sabda beliau : “niscaya hati kalian akan berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan hati-hati kalian saling berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih.”
Kendati Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengetahui masalah perselisihan dan faktor penyebabnya serta beliau membencinya, beliau tidak mau berpaling dari perkara meluruskan shaf, agar kaum muslimin terbebas dari perdebatan dan perselisihan di dalamnya, kemudian agar mereka dapat menjaga diri dari perpecahan hati yang merupakan akibat dari perselisihan! Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm juga adalah orang yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan umat daripada kita, beliau lebih faham tentang mana yang penting dan lebih diprioritaskan (diutamakan).
Namun beliau tidak pernah alpa memperingatkan dari perselisihan yang timbul dari tidak lurusnya shaf. Yang ditetapkan, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan masalah meluruskan shaf, tidak pernah ketinggalan untuk melakukannya dan tidak pernah berhenti memperbincangkannya.

3. Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan kehancuran umat
Telah jelas bagi kita dari paparan hadits Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sebelumnya yang tidak meninggalkan keraguan sedikitpun, bahwa ketidaklurusan shaf akan menyebabkan perselisihan yang nantinya dapat memicu kelemahan, kehancuran dan hilangnya kekuatan dan potensi umat. Tentang hal ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    
“Dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.” (QS al-Anfâl : 46)
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian berselisih. Karena umat sebelum kalian, mereka berselisih dan menjadi hancur.” (HR. Al-Bukhârî : 2410)
Dari perpaduan kedua nash di atas, maknanya menjadi: Luruskan shaf kalian dan jangan berselisih, yang nantinya akan menyebabkan kalian menjadi hancur, lemah dan hilang kekuatan kalian.
Adakah kita menginginkan kehancuran yang lebih besar daripada ini? Ataukah menanti kelemahan yang lebih dahsyat? Kita saat ini sedang dikerumuni oleh umat-umat non-Islam, sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas wadahnya. Inilah keadaan negeri kita yang dijajah, musuh-musuh Islam dengan tamaknya mengeksploitasi negeri kita tanpa sisa, kita hanya bisa termenung tanpa memiliki kemampuan dan kekuatan di antara umat yang ada. Tidak satupun yang kita dengar melainkan hanya keluhan dan rintihan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari serangan musuh. Kita sendiri telah menjadi bergolong-golongan dan berkelompok-kelompok. Ingatlah Firman Allah Ta’ala: “dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Mu`minûn : 53)

4. Membuat celah-celah dalam shaf akan memberi jalan setan untuk masuk dalam sholat kita
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda: ”Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah bahu-bahu kalian, tutuplah celah-celah shaf kalian dan janganlah kamu biarkan renggang shaf mu karena akan ditempati setan. Barang siapa yang mempertemukan shaf maka Allah akan mempertemukannya, dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Abu Dawud)
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah bersabda:”Rapatkanlah shaf-shaf kalian dan berdekat-dekatlah kalian serta luruskanlah leher kalian. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamannya, sungguh aku melihat setan-setan itu masuk di celah-celah shaf seperti kambing hitam yang kecil.” (HR. Abu Dawud)

5. Tidak meluruskan shaf berarti menghilangkan kesempurnaan sholat
Rasulullah sudah menegaskan supaya para makmun untuk merapikan shaf-nya, karena lurus dan rapatnya shaf termasuk kesempurnaan sholat, sebagaiman hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah bersabda: ”Ratakanlah shaf-shaf kalian! Sebab, meratakan shaf itu termasuk kesempurnaan sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam riwayat Bukhari dikatakan: ”Sesungguhnya meratakan shaf itu termasuk menegakkan sholat”
Akhirnya, telah nampak dihadapan kita akan pentingnya merapikan shaf (barisan) dalam sholat kita agar sholat kita menjadi lebih sempurna dan diridhoi-Nya. Wasiat bagi para Imam sholat, hendaknya Anda mengatur dulu makmumnya sebelum memulai sholat dan jangan hanya sekedar mengucapkan: ”shaf!”! Atau ”luruskan dan rapatkan Shaf !!” tapi tak sedikitpun Anda memperbaiki shaf para makmun, ini merupakan kesalahan besar. Contohlah Rasulullah dan Para Khulafa’ Rasyidin dalam merapikan shaf sebelum memulai sholat berjama’ah. Semoga kita semua bisa merapikan shaf sholat kita sebagai langkah awal mempersatukan kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam bishshowab

Maraji’: Terjemahan risalah Taswiyatu ash-Shufûf wa Atsaruhâ fî Hayâtil Ummah: Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awâyisyah, Kitab Riyadush Shalihin: Imam Nawawi, Al-Qowl al-mubin: Syaikh Mansyur bin Hasan, dan referensi2 lain yang shohih & terpercaya.

(Dinukil dari Risalah As-Sunnah. Edisi ke-11 Tahun I: Syawwal 1430 H/ September 2009 M. Diterbitkan oleh Maktabah Nurussalaf, Terbit setiap 2 kali sebulan, InsyaAllah. Penasehat: Al-Ustadz Mas’ud bin Absor Redaktur: Abu Umair, Khadijah Distributor: Syaifullah, Absor, dll. Alamat Redaksi: Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Bagansiapiapi Kab. Rokan Hilir. Telpon: 085278874048)

Menanamkan Pondasi Akidah yang Kokoh Sejak Usia Dini

on Sabtu, 24 Oktober 2009

Oleh: Abu Yususf hamzah Al-Atsari


Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah figur guru/pengajar yang terbaik. Sehingga metode Rasulullah dalam menanamkan keyakinan aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.
Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral anaknya, para pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta didiknya, patutlah kita menengok kembali bagaimana Rasulullah memberikan contoh peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu beliau yang masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu.
Bukti sejarah memaparkan keunggulan metode pengajaran Rasulullah tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan berilmu seperti Ibnu Abbas. Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama' di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli tafsir, sekaligus seorang panutan yang menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara', taqwa, dan perasaan takut hanya kepada Allah semata.
Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari. Beliau adalah seseorang yang didoakan oleh Rasulullah: "Wahai Allah, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta'wil (ilmu tafsir AlQuran)". Beliau pula yang dua kali didoakan Rasulullah supaya dianugerahi hikmah oleh Allah. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah.
Mari kitak simak salah satu metode pengajaran agung itu, untuk selanjutnya kita gunakan pula dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan bimbingan Allah. Disebutkan dalam suatu hadits:
Dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu: "Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku:
"Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu�
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu�
Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah�
Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah�
Ketahuilah�kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)�
Ketahuilah� kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)�
Pena telah diangkat� dan telah kering lembaran-lembaran�(hadits riwayat Tirmidzi, hasan shahih)
Inilah salah satu wasiat Rasulullah yang mewarnai kalbu Ibnu Abbas, menghunjam dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Allah. Kita juga melihat bagaimana metode dakwah Rasulullah, hal pertama kali yang ditanamkan adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya di hadapan Allah. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya untuk menghamba hanya kepada Allah. Tidaklah Rasulullah mendahulukan sesuatu sebelum masalah tauhid diajarkan.
Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Allah, maka dia harus 'menjaga' Allah. Makna perkataan Rasulullah: "Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu�" dijelaskan oleh seorang Ulama' bernama Ibnu Daqiqil 'Ied: "Jadilah engkau orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari (mengerjakan) larangan-larangan-Nya". (syarah al-arba'in hadiitsan an-nawawiyah).
Kita jaga batasan-batasan Allah dan tidak melampauinya. Batasan-batasan itu adalah syariat Allah, penentuan hukum halal dan haram dari Allah, yang memang hanya Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum tersebut, sebagaimana dalam ayat: Artinya: "�penetapan hukum hanyalah hak Allah" (Q.S.Yusuf: 40 )
Allah mencela orang-orang yang melampaui batasan-batasan-Nya: Artinya: "�dan barangsiapa yang melampaui batasan-batasan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim"(Q.S. Albaqarah:229).
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan: "Batasan itu terbagi dua, yaitu: batasan perintah (untuk) dikerjakan dan batasan larangan (untuk)ditinggalkan.
Rasulullah dalam hadits ini memberikan sinyalemen bahwa barangsiapa yang senantiasa menjaga batasan-batasan Allah itu maka dia akan senantiasa dalam penjagaan Allah. Maka siapakah lagi yang lebih baik penjagaannya selain Allah? Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dalam AlQuran disebutkan: "Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong"(Q.S. Al-Anfaal:40).
Syaikh Abdirrahman bin Naashir As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan: "�Allah lah yang memelihara hamba-hambanya yang mu'min,dan menyampaikan pada mereka (segala) kebaikan/mashlahat, dan memudahkan bagi mereka manfaat-manfaat Dien maupun kehidupan dunianya, dan Allah yang menolong dan melindungi mereka dari makar orang-orang fujjar, dan permusuhan secara terang-terangan dari orang-orang yang jelek akhlaq dan Diennya.(Kitab Taisiril Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan).
Makna perkataan Rasul "Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu�". Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, menjelaskan makna hadits tersebut: "Jagalah batasan-batasan Allah dan perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada".
"Jika engkau memohon, memohonlah kepada Allah, jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah". Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang selalu kita ulang-ulang dalam sholat: Iyyaaka na'budu waiyyaaka nasta'iin. "Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan"(Q.S. Al-Fatihah: 5).
Kalimat yang sering kita ulang-ulang dalam munajad kita dengan Penguasa seluruh dunia ini, akankah benar-benar membekas dan mewarnai kehidupan kita? Sudahkah kita benar-benar menjiwai makna pernyataan ini sehingga terminal keluhan dan pelarian kita yang terakhir adalah Dia Yang Berkuasa atas segala sesuatu? Demikianlah yang seharusnya. Di saat kita meyakini ada titik tertentu, sebagai batas semua makhluk siapapun dia, tidak akan mampu mengatasinya, pulanglah kita pada tempat kita berasal dan tempat kita kembali. Apakah dengan penguakan kesadaran yang paling dalam ini kita masih rela berbagi permintaan tolong kita yang sebenarnya hanya Allah saja yang mampu, kepada makhluk selain-Nya? Sungguh hal itu merupakan bentuk kedzaliman yang paling besar.
Allah mengabadikan salah satu bentuk nasehat mulya yang akan senantiasa dikenang: Artinya: "Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasehatinya: "Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang paling besar." (Q.S.Luqman:13).
Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Allah saja yang mampu memenuhinya, seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang semisalnya, kepada selain Allah adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta tolong dalam permasalahan yang manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Allah untuk memenuhinya, seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan dan semisalnya.
"Ketahuilah� kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)�" Ketahuilah� kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Dua bait ucapan Rasulullah ini mempertegas dan memberikan argumen yang pasti bahwa Allah sajalah yang berhak dijadikan tempat bergantung, meminta pertolongan, karena hanya Ia saja yang bisa menentukan kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu makhluk. Rasulullah juga mengajarkan kepada kita dzikir seusai sholat yang menguatkan pengakuan itu: "Allahumma laa maani'a limaa a'thoyta walaa mu'tiya limaa mana'ta "
Artinya: "�Wahai Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah/halangi�" (hadits riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim 5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaly).
Dalam hadits itu pula terkandung pelajaran penting wajibnya iman terhadap taqdir dari Allah baik maupun buruk. Seandainya seluruh makhluk berkumpul dan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk memberikan sesuatu pada seseorang, tidak akan bisa diterimanya jika tidak ditakdirkan oleh Allah, demikian pula sebaliknya dalam hal usaha untuk mencelakakan.Kesadaran ini pula yang harus ditanamkan sejak dini. Orang tua hendaknya memberikan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh si anak tentang kekuasaan Allah dan taqdirnya. Anak-anak mulai diajak berpikir secara Islamy, bahwa segala sesuatu yang menjadi kepunyaannya itu adalah pemberian dari Allah dan telah Allah takdirkan sampai padanya. Demikian pula apa yang luput dari usaha anak itu untuk mencapainya, telah Allah takdirkan tidak akan sampai padanya.
Telah diangkat pena-pena dan telah kering lembaran-lembaran�. Maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah tertulis ketentuannya dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah berfirman:
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,"(Q.S. Al-hadiid: 22-23).
Sungguh indah rasanya jika teladan pengajaran dari Rasulullah ini benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai qalbu mereka yang masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di saat mereka beranjak dewasa, kita akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Dien yang mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang untuk menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya kepada, dan karena Allah semata.

Daftar rujukan:
1. Syarah al-Arba'in Hadiitsan an-Nawawiyah, Imam Ibn Daqiiqil 'Ied.
2. Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa'di
3. Tafsir Al-Qurthuby.
4. Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly.
5. Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-Najdi.

ADAB MAKAN DAN MINUM

Oleh: Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah


1. Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah yang halal.


2. Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.


3. Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.


4. Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).


5. Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang dua tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).


6. Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).


7. Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).


8. Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di depanmu. (Muttafaq’alaih).


9. Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum mengelapnya”. (HR. Muslim).


10. Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”. (HR. Muslim).


11. Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).


12. Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).


13. Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.


14. Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika.


15. Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan menjijik-kan.


16. Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana wadah air.” (HR. Al Bukhari)


17. Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri”. (HR. Muslim).

( Dinukil dari Buku Etika Kehidupan Muslim Sehari-Hari, , Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan)

ADAB PENGANTIN DAN PERGAULAN

Oleh: Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah


1. Merayu istri dan bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.


2. Meletakkan tangan di kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita, maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon berkahlah kepada Allah, dan hendaknya ia membaca: “(a Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukanya dan keburukan sifat yang ada padanya)” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al- Albani).


3. Disunnahkan bagi kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut dinukil dari kaum salaf.


4. Membaca basmalah sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan istrinya membaca : “(Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami), maka sesungguhnya jika keduanya dikaruniai anak dari persenggamaannya itu, niscaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama- lamanya” (Muttafaq alaih).


5. Jika sang suami ingin bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).


6. Disunatkan bagi kedua suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena hadits Aisyah menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).


7. Haram bagi suami menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).


8. Haram bagi suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”. (HR. Muslim).


9. Hendaknya masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).


10. Hendaknya suami berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan sesuatu yang dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan apa-apa yang diwajib Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan disisi kalian....” (HR. Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).


11. Hendaknya istri selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya lalu ia tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”. (Muttafaq alaih).


12. Hendaknya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah- masalah yang harus bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia datang di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

( Dinukil dari Buku Etika Kehidupan Muslim Sehari-Hari, Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan)

ADAB JENAZAH DAN TA'ZIYAH

Oleh:Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah


1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).


2. Tidak menangis dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).


3. Disunatkan mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersada: “Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”. Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).


4. Memuji si mayit (janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan- kebaikannya dan tidak mencoba untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:”Janganlah kamu mencaci-maki orang- orang yang telah mati, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).


5. Memohonkan ampun untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiallaahu anhu pernah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila selesai mengubur janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).


6. Disunatkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).


7. Disunnatkan berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala dari-Nya”. (Muttafaq’alaih).

( Dinukil dari Buku Etika Kehidupan Muslim Sehari-Hari, Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan)