MUSH’AB BIN UMAIR, DUTA ISLAM PERTAMA

on Minggu, 25 Oktober 2009

Oleh: Abu Umair Al-Bagani


Mush’ab Radhiyallahu’anhu adalah mawar indah yang mengharumkan setiap majelis Quraisy. Dia selalu menjadi buah bibir gadis-gadis cantik di Mekkah. Setiap majelis di Mekkah pasti merasa akan lebih semarak dengan kehadiran Mush’ab melalui keindahan, harta, kedudukan, dan prestisenya.
Ketika mendengar tentang dakwah Islam, mush’ab kagum terhadap Nabi Shallallahu’alahi wassalam. Dia langsung menyatakan masuk Islam di hadapan Beliau. Begitu ia masuk Islam dan hal itu tersebar, keadaannya langsung berubah: dari suka glamour ke kehidupan yang zuhud dan compang-camping, dari pakaian yang indah-indah dan penampilan yang menawan ke pakaian yang terbuat dari bulu kasar dan cahaya iman.
Muhammad Al-’Abdari meriwayatkan perkataan bapaknya bahwa Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekkah yang paling tampan, masih sangat muda. Kedua orang tuanya sangat mencintainya. Ibunya kaya raya, memberinya pakaian yang paling indah dan halus. Dia adalah penduduk Mekkah yang paling harum parfumnya. Ia menggunakan sandal Hadhrami (yang dibuat di Hadhramaut). Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam pernah menyinggungnya dengan sabda Beliau Shallallahu’alahi wassalam, ”Tak pernah kulihat di Mekkah pemuda yang paling bagus rupanya, lebih halus pakaiannya, dan lebih banyak kenikmatannya daripada Mush’ab bin Umair.”
Suatu hari dia mendengar kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam menyiarkan dakwah Islam di rumah al-Arqam bin Abil Arqam. Dia segera datang masuk Islam. Kemudian dia pergi dan menyembunyikan keislamannya karena takut kepada ibu dan kaumnya. Dia sering mendatangi Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam secara sembunyi-sembunyi.
Suatu ketika Thalhah memergokinya sedang shalat. Dia segera melaporkannya kepada Ibu dan kaum keluarganya. Mereka akhirnya menangkap dan menahannya. Dia terus berada dalam tahanan hingga suatu ketika berhasil pergi ke negeri Habasyah dalam hijrah yang pertama. Setelah beberapa waktu di sana, ia pulang sewaktu kaum muslimin yang lain pulang.
Ketika dia pulang, keadaannya sudah berubah. Dia menjadi keras. Ibunya pun tidak memerhatikannya karena dia marah.
Tak ada yang lebih berat dirasakan oleh seseorang daripada kehilangan kenikmatan yang dahulu dimilikinya. Namun Mush’ab bin Umair meninggalkan kenikmatan yang fana demi kenikmatan yang kekal abadi begitu iman menyentuh hatinya dan cahaya Islam memenuhi relung-relung dadanya.
Selamat buat Mush’ab yang telah dipilih oleh Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam sebagai duta Islam pertama dan berhasil dengan amat baik dalam menjalankan misinya di Yastrib (Madinah Al-Munawarah). Situasi Yastrib saat itu benar-benar memerlukan pemikiran dan kerja bersama untuk menghadapinya. Saat itu jalur ekonomi dan politik dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Sistem riba yang diterapkan Yahudi sangat mengganggu roda perekonomian, dimana kesenjangan antara kaya dan miskin teramat kentara.
Sementara itu kesatuan masyarakat Yastrib yang terdiri dari berbagai suku, selalu dalam kondisi terpecah dan saling curiga, ditambah dengan intrik-intrik Yahudi yang selalu meniupkan rasa permusuhan di antara mereka. Opini umum saat itu juga dikuasai Yahudi. Kedaan diperparah dengan kepercayaan tradisi leluhur dan animisme yang membelenggu cara berpikir masyarakat. Singkatnya, jalan da'wah di Yastrib masih terasa teramat sulit.
Hasil pengamatan lapangan ini semua memerlukan analisis dan penyusunan strategi yang briliant, dan juga sekaligus "bil-hikmah" serta "istiqomah". Perlu pendekatan kompromistis tanpa harus menyelewengkan nilai-nilai al-Islam. Mereka berpikir keras dan menyusun strategi. Akhirnya diputuskan untuk menempuh jalan da'wah sirriyyah (da'wah secara diam-diam).
Dalam musyawarah pasca Aqabah itu, diputuskan juga untuk menugaskan seseorang untuk menghadap Rasulullah, meminta kepada beliau untuk mengirimkan seorang da'i dan instruktur ke Yastrib. Da'i ini dipandang sangat perlu untuk mengajar "alif-ba-ta"nya ajaran-ajaran Al-Qur'an, sekaligus menjadi "uswah" mereka dalam cara hidup yang Islami. Menurut mereka inilah cara terbaik untuk meningkatkan akselerasi da'wah di Yastrib, tanpa harus kehilangan arah.
Rasulullah sangat menghargai nilai strategis yang telah diputuskan oleh kaum muslimin Yastrib, beliau juga sangat memahami obsesi yang mereka miliki saat itu. Akhirnya, beliau memutuskan untuk mengabulkan permohonan delegasi Yastrib, serta menunjuk Mush'ab al-Khair bin 'Umair Radhiyallahu’anhu. Tentunya bukan tanpa alasan Rasulullah memilih pemuda pendiam yang satu ini. Beberapa sisi kehidupan yang ada pada diri Mush'ab sangat menentukan dalam mengantarkannya menduduki jabatan penting ini. Dengan begitu kualitas dan taat asasnya sangat terjamin.
Mush'ab adalah tipe muslim yang mengutamakan banyak kerja. Dengan sikap "sami'na wa atho'na", Mush'ab menerima tugas yang diamanahkan Rasululullah Shallallahu’alahi wassalam ke atas pundaknya. Jadilah ia seorang utusan dari Sang Utusan. Dengan segera, sesampainya di Yastrib, Mush'ab menemui para naqib (pimpinan kelompok) yang ditunjuk Rasulullah di Aqabah. Dengan mereka, Mush'ab membuat outline langkah-langkah da'wah yang akan mereka lakukan. Untuk menghindari benturan langsung dengan masyarakat Yahudi, yang saat itu sangat geram karena mengetahui bahwa Nabi Terakhir ternyata bukan dari kalangan mereka, Mush'ab menetapkan untuk mempertahankan jalan da'wah secara sirriyyah. Disamping itu, ditetapkan kuntuk mempertinggi intensitas da'wah kepada beberapa kabilah, terutama Aus dan Khajraj, karena kedua kabilah ini dinilai sangat potensial dan merupakan kunci dalam memudahkan jalan da'wah.
Mush'ab bin Umair terjun langsung memimpin para naqib dalam berda'wah. Beliau berda'wah tanpa membagi-bagikan roti dan nasi atau jampi-jampi. Ia meyakini Islam ini adalah dienul-haq, dan harus disampaikan dengan haq (benar) pula, bukan dengan bujukan apalagi paksaan. Mush'ab terkenal sangat lembut namun tegas dalam menyampaikan da'wahnya, termasuk ketika ia diancam dengan pedang oleh Usaid bin Khudzair dan Sa'ad bin Muadz, dua pemuka Bani Abdil Asyhal. Dengan tenang, Mush'ab berkata: "Mengapa anda tidak duduk dulu bersama kami untuk mendengarkan apa yang saya sampaikan? Bila tertarik, Alhamdulillah, bila tidak, kami pun tidak akan memaksakan apa-apa yang tidak kalian sukai." Keduanya terdiam dan menerima tawaran Mush'ab, duduk mendengarkan apa yang dikatakannya. Mereka ternyata tidak hanya sekedar tertarik, dengan seketika keduanya bersyahadat ... dan tidak itu saja mereka kembali kepada kelompok masyarakatnya dan mengajak mereka semua memeluk Islam.
Demikianlah, satu persatu kabilah-kabilah di Yastrib menerima Islam. Hampir semua anggota kedua kabilah besar: Aus dan Khajraj, mau dan mampu menerima Islam. Gaya hidup terasa mulai berubah di Yastrib. Lingkaran jamaah muslim semakin melebar, hampir di setiap perkampungan ditemui halaqah-halaqah Al-Qur'an. Potensi ummat telah tergalang, namun demikian Mush'ab tidak lantas merasa berwenang untuk memutuskan langkah da'wah selanjutnya. Untuk itu Mush'ab mengirim utusan kepada Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam untuk meminta pendapat beliau mengenai langkah da'wah selanjutnya, apakah perlu diadakan "show of force" dengan sholat berjamaah di Musim haji tiba! Mush'ab bersama tujuh puluh-an muslim Yastrib menuju Makkah dengan tujuan utama menemui pimpinannya: Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam, untuk melaporkan hasil dan problema da'wah di Yastrib, serta mengantarkan para muslimin Yastrib untuk berbai'ah kepada Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam. Mush'ab tidak berlama-lama di kampung halamannya, karena tugasnya di Yastrib telah menanti. Beliau segera kembali bersama rombongan menuju ke Yastrib untuk semakin menggiatkan aktifitas da'wah, serta mempersiapkan kondisi bila sewaktu-waktu Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam dan muslimin Makkah berhijrah ke Yastrib. Penerapan nilai-nilai Islam di Yastrib berjalan mulus, murni dan konsekuen. Kaum Yahudi tidak banyak berbicara, mereka melihat kekuatan muslimin yang semakin besar, sulit untuk dipecah. Singkatnya, saat itu, kota Yastrib dan mayoritas penduduknya telah siap secara aqidah dan siyasah (politik). Mereka dengan antusias menantikan kedatangan Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam dan muslimin Makkah.
Selamat buat dia yang telah mendapat kehormatan mati syahid di jalan Allah dan mati layaknya orang zuhud. Beliau mendapatkan syahid-nya di medan pertempuran Uhud. Rasulullah sangat terharu sampai menitikkkan air mata ketika melihat jenazah Mush'ab. Ketika meninggal, Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya kecuali sehelai jubah. Jika kain itu diletakkan di kepalanya, kakinya akan kelihatan. Tapi jika diletakkan di kakinya, kepalanya akan kelihatan. Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam menangis sambil mengulang-ulang perkataan yang pernah beliau ucapkan bahwa beliau tak pernah melihat di Mekkah pemuda yang lebih bagus rupanya, lebih halus pakaiannya, dan lebih banyak kenikmatannya daripada dia. Lihatlah dia sekarang mati dan Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam tidak mendapatkan kain yang cukup lebar untuk mengkafaninya. Selamat buat dia karena mendapat kenikmatan di sisi Rabb-nya. Saat itulah Rasulullah membaca bagian dari surat al-Ahzab ayat 23: "Sebagian mu'min ada yang telah menepati janji mereka kepada ALlah, sebagian mereka mati syahid, sebagian lainnya masih menunggu, dan mereka memang tidak pernah mengingkari janji."
Mush'ab bin 'Umair wafat dalam usia belum lagi 40 tahun. Ia masih muda, tidak sempat melihat hasil positif dari kerja akbar yang telah dilakukannya. Semoga Allah Rabbul Jalil merahmati Mush'ab al-Khair bin 'Umair.
Sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam adalah teladan yang baik bagi kita. Mereka menjalani seluruh kehidupan mereka dengan mengorbankan diri mereka untuk mengabdi kepada agama Allah.

(Maraji’: Kitab ”Mawaaqif Mubkiyah min Hayaatir Rasuul Shallallahu’alahiwassalam wa Ash-habih, Karya Muhammad Mahir Al-Buhairi. Penerbit Daar Shalahuddin, Litturats. Cet. 1/1423 H – 2003 M, dan Referensi Islam yang shohih lainnya.)

0 komentar:

Posting Komentar