KESYIRIKAN MENURUT MADZHAB SYAFI’IYYAH

on Sabtu, 17 Oktober 2009

Oleh: Abu Umair

Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa manwalah.
Wahai pembaca yang budiman, kalian pasti tidak lupa dan selalu ingat salah seorang tokoh agama dan ulama besar dalam sejarah Islam yaitu Al-Imam Al-Mujadid Al-Faqih Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (Imam Syafi’i). Imam Syafi’i adalah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan salah satu dari imam-imam empat yang banyak pengikutnya, yang dilahirkan pada tahun 150 H. Beliau seorang ulama yang mapan dalam keilmuannya, berakhlak mulia, dan pembaharu (reformis) dalam bidang agama pada akhir abad ke-dua. Banyaknya orang yang belajar dan mengikuti pendapat (madzhab) beliau sehingga melahirkan banyak para ulama besar dalam Islam dari generasi ke generasi. Adapun para ulama yang mempelajari fiqh mahzab Imam Syafi’i tersebut dikenal dengan ulama syafi’iyyah. Madzhab Syafi'i ini tersebar di Iraq, Syam, Mesir, Hijaz, Yaman dan lain-lain. Bahkan negara-negara Islam sampai hari ini tetap menjadikan madzhab Syafi'i ini sebagai madzhab resmi negara. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya dan pahala yang agung kepada imam yang mulia ini.
Para ulama Syafi’iyyah dan para ulama dari madzhab manapun memandang bahwa Ilmu tauhid itu mempunyai pengaruh yang baik dan jelas dalam kehidupan manusia dan masyarakat, dan juga memiliki buah yang matang yang dapat memberikan pengaruh yang sangat bagus dan agung. Antara lain: (1) Membebaskan Manusia dari Pengabdian kepada Selain Allah Ta’ala; (2) Menekankan Keseimbangan antara Perilaku dan Perbuatan; (3) Mewujudkan Jiwa yang Aman, Damai dan Tangguh; (4) Menanamkan Prinsip Persaudaraan dan Persamaan.
Disamping para ulama menekankan pentingnya tauhid, maka di sisi lain mereka mengingatkan umat akan bahaya kesyirikan yang akan mendatangkan kerusakan-kerusakan sebagai berikut: (1) Pelecehan Martabat Manusia; (2) Membenarkan Khurafat; (3) Syirik adalah Kezhaliman yang Terbesar (QS.Luqman: 13); (4) Syirik Menimbulkan Rasa Takut; (5) Menyebarkan Hal-hal yang Negatif dalam Kehidupan Manusia; (6) Pelaku syirik pasti masuk neraka (QS. Al-Maidah: 72)
PENGERTIAN SYIRIK MENURUT ULAMA MADZHAB SYAFI’IYYAH
Al-Imam al-Azhari asy Syafi’i, mengatakan, Allah Ta’ala menceritakan tentang hamba-Nya yang bernama Luqman al-Hakim, beliau berkata kepada putranya:
Artinya : “Janganlah kamu menyekutukan Allah dengan yang lain, karena syirik itu merupakan kezhaliman yang agung.” (QS. Luqman: 13)
Maka kata isyrak (syirik) dalam ayat itu adalah menyepadankan (menyekutukan) Allah Ta’ala dengan yang lain. Dan siapa yang menyepadankan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya, maka ia telah musyrik, karena Allah itu satu, tidak ada sekutu, tidak ada tandingan maupun bandingan-Nya.”
Imam al-Raghib al-Ishfahani, menyatakan, “Syirik yang agung adalah menetapkan adanya sekutu bagi Allah Ta’ala. Misalnya, Fulan menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirik ini adalah kekafiran yang paling besar.”
MACAM SYIRIK MENURUT SEBAGIAN ULAMA MADZHAD SYAFI’IYYAH
Imam ar-Raghib al-Ishfahani, berkata, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, Syirik Akbar (besar), yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah Subhanaahu wa Ta’ala, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua adalah syirik Khofi (yang samar /tidak jelas) dan kemunafikan.” Selanjutnya Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i, berkata, “Ketahuilah bahwa syirik itu adakalanya terjadi di Rububiyah (yaitu keyakinan, bahwa bersama Allah ada tuhan lain yang mencipta dan mengatur alam raya ini-pen), dan adakalanya terjadi di Uluhiyah (yaitu berdo’a atau bernadzar kepada selain Allah Ta’ala, baik do’a itu merupakan do’a ibadah maupun do’a permintaan). Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Rabb.
Imam Ahmad Ibn Hajar Ali Bathmi asy-Syafi’i, mengatakan, “Syirik itu ada dua macam; syirik besar dan syirik kecil. Siapa yang bersih (bebas) dari ke dua syirik itu, ia pasti masuk Surga. Siapa yang meninggalkan dunia dan masih melakukan syirik besar, maka ia pasti masuk Neraka. Sementara orang yang bersih dari syirik besar, tapi ia melakukan sebagian syirik-syirik kecil, sedangkan kebajikan-kebajikannya lebih banyak dari dosa-dosanya, maka ia akan masuk Surga...Perbuatan yang termasuk syirik besar adalah sujud dan nadzar kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan yang termasuk syirik kecil adalah riya’, bersumpah dengan menyebut selain Allah Ta’ala apabila yang bersangkutan tidak bermaksud mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah Ta’ala.”
SARANA SYIRIK YANG PERLU DIHINDARI
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, Imam Syafi’i dan para ulama madzhab Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik, agar hal itu dihindari, seperti menembok kuburan, meninggikannya, dan membuat bangunan di atasnya .Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur, memasang lampu di atasnya, dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Termasuk yang dilarang yaitu melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan (tanpa dinding pembatas), berdo’a menghadap ke kuburan, melakukan thawaf mengelilingi kuburan, duduk di atasnya, mencium dan mengusapnya dengan tangan, memasang tenda dan naungan-naungan (kelambu) apa saja di atasnya, dan mengatakan, “Demi Allah dan demi keturunan kamu”, atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.”
Sebagaimana Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wassalam: “ Semoga laknat Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para Nabi (termasuk para alim) mereka sebagai masjid-masjid (tempat ibadah). Beliau memperingatkan agar menjauhi perbuatan (seperti) yang mereka lakukan” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, ad-Darimi, al-Baihaqi, Ahmad dari ’Aisyah dan Ibnu Abbas). Kemudian Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wassalam: ”Sesungguhnya mereka itu apabila ada seorang yang sholih diantara mereka (meninggal dunia), mereka mendirikan masjid diatas kuburnya. Kemudian mereka membuat gambar-gambar itu di dalam masjid. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah (pada hari kiamat)” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Nasa’i, dll)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu berkata: ”Bahwasanya Rasulullah melarang mengapur kuburan, duduk diatasnya dan membuat bangunan diatasnya” (HR.Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Tirmidzi, al-Hakim, Ahmad). Kemudian Dari Mu’awiyah Radhiyallahu berkata: ”Sesungguhnya meratakan kuburan itu termasuk sunnah. Dan sungguh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani telah meninggikannya, maka janganlah meniru-niru mereka.” (HR. At-Thabrani, sanadnya shahih)
Dari hadits-hadits tersebut di atas, maka Imam Syafi’i mengatakan, “Saya tidak menyukai (benci) ada masjid dibangun di atas kuburan,lalu kuburan diratakan, atau dipakai untuk shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau melakukan shalat dengan menghadap kuburan.”

Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atas kuburan.” Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.”

Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki asy-syafi’i selanjutnya mengatakan, “Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini, yaitu haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat itu diterima dari Nabi Shallallahu’aialihi wassalam dari generasi ke generasi.

Imam Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai (benci) ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada dirinya pada saat itu, atau orang-orang yang datang sesudahnya mengkultuskan dirinya.”

Maka kesimpulan hukum keharaman itu. Dapat diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali, seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, di mana Nabi bersabda, “Apabila terdapat orang-orang shaleh…” Oleh karena itu, para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi dan para wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas kuburan, mencari keberkahan, dan mengagungkan kuburan.

Adapun menjadikan kuburan sebagai sesembahan (berhala), hal itu dilarang, berdasarkan hadits Nabi : “Jangan kamu menjadikan kuburku sebagai berhala (sesembahan) yang disembah setelah aku meninggal dunia.” (al hadits). Jadi Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan-sesembahan (berhala-berhala)nya dengan sujud atau yang lain.

Imam Nawawi mengatakan “Tidak boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula menempelkan badan (perut dan punggung) pada dinding makam Rasulullah. Pendapat ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa makruh (tidak boleh) hukumnya mengusap kubur Nabi Shallallahu’alaihiwassalam dan menciuminya. Yang baik sesuai dengan tata krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi Shallallahu’alaihi wassalam, seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi ketika beliau masih hidup, berada agak jauh dari beliau.(yang seharusnya adalah mengucapkan salam - sholawat kepada Nabi-pen).”

Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh (dibenci) hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Syaidina Umar bin Khathab pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”.

Sementara dalam kitab al-Minhaj dan Syarahnya, karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama mayit yang dikubur maupun tulisan yang lain, dan baik tulisan itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang lain.

Imam Nawawi Asy-Syafi’i mengatakan, “Larangan Nabi untuk menjadikan kuburan beliau dan kubur orang lain sebagai masjid, hal itu hanyalah khawatir terjadi sikap yang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kuburan, sehingga akan terjadi hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah (fitnah). Bahkan, bisa jadi hal itu dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu.

Ketika para sahabat dan para tabi’in memerlukan perluasan pembangunan Masjid Nabawi, di mana umat Islam bertambah banyak, sementara perluasan masjid kemudian menjadikan rumah-rumah para istri Nabi berada di dalam masjid, termasuk dengan sendi-sendi rumah Aisyah di mana Nabi dimakamkan dan dua sahabat Beliau, Abu Bakar dan Umar, maka para sahabat dan tabi’in membuat tembok tinggi yang mengitari kubur Nabi Shallallahu’alaihi wassalam. Dengan demikian, kubur Nabi itu tidak kelihatan dari masjid. Karena bila tampak, hal itu dapat menyebabkan perbuatan yang dilarang.
Para shahabat dan tabi’in kemudian membuat tembok dari arah dua sudut di sebelah utara, dan dua. tembok itu dibuat miring sehingga keduanya bertemu. Dengan demikian orang yang shalat tidak dapat menghadap kubur Nabi Shallallahu’alaihi wassalam.”

Sementara orang yang senang membuat bangunan-bangunan diatas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-habul Kahfi. Maka Imam al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman ini dengan dua jawaban: (1) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan hujjah (dalil); (2) Sekiranya perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang terpuji dalam perbuatan tersebut.

Para ulama madzhab Syafi’i juga memperingatkan umat akan contoh-contoh kesyirikan agar hal itu dijauhi, seperti berdo’a dan minta tolong kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, ruku’ kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, keyakinan bahwa seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut selain Allah”, menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu”, dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang”.

Jadi semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Beliau Shallallahu’alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.”

Imam Syafi’I berkata, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.

Salah satu kesyirikan yang banyak terjadi dikalangan kaum muslimin, mereka meramai-ramai melakukan perjalanan (tour) mengunjungi tempat-tempat ‘keramat’ baik itu berupa kuburan para wali atau para sholihin dalam rangka membayar nadzar atau mencari berkah. Yang mana amalan tersebut dilarang oleh Rasulullah dan para ulama syafi’iyyah, sebagaimana dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafi’i Asy-Syafi’I mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.”

Seharusnya mencintai orang-orang shaleh hakikatnya adalah sejalan dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para Salaf Ash-Sholeh. Adapun caranya adalah dengan mengetahui keutamaan-keutamaan mereka dan mencontohnya dalam amalan-amalan yang sholeh tanpa meremehkan atau bersikap berlebih-lebihan terhadap mereka. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 10.

Kemudian Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’I juga menjelaskan contoh kesyirikan yang lain, beliau mengatakan, “…cabang-cabang dari pohon kesyirikan itu. Seperti takhayul (klenik), bersumpah dengan menyebutkan benda-benda yang mereka jadikan tuhan (perantara), menggantungkan mantra-mantra, benda-benda pengasih (sikep, pelet, pemanis), dan jimat-jimat untuk memperoleh atau menolak apa yang mereka kehendaki. Maka dengan perbuatan itu mereka telah menyepadankan dan menyekutukan antara Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya…”

Akhirnya,inilah sedikit bentuk-bentuk kesyirikan yang dijelaskan oleh para ulama madzhab syafi’I agar umat menjauhinya demi keselamatan dunia dan akhirat. Renungkanlah!!! Wallahu a’lam bishshowab.

Maraji’: Diringkas dengan perubahan dari buku “ Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi`i “ karya Dr. Abdur Rahman al-Khumayyis.

(Dinukil dari Risalah As-Sunnah. Edisi ke-2 Tahun I: Jumadil Awwal 1430 H/ Mei 2009 M. Diterbitkan oleh Maktabah Nurussalaf, Terbit setiap 2 kali sebulan, InsyaAllah. Penasehat: Al-Ustadz Mas’ud bin Absor Redaktur: Abu Umair, Khadijah Distributor: Syaifullah, Absor, dll. Alamat Redaksi: Jl. Kecamatan no.27 Bagan Punak, Bagansiapiapi Kab. Rokan Hilir. Telpon: 085278874048 )

0 komentar:

Posting Komentar